Minggu, 22 Mei 2011

Rindukan Dirimu

***************Disini, aku kan selalu rindukan dirimu, wahai sahabatku*********************

              Lukisan bunga-bunga sakura yang tergambar di atas gorden berwarna putih itu tampak meliuk-liuk karena hembusan angin semilir dari luar jendela.
              Angin yang membawa hawa sejuk menerobos masuk ke dalam ruangan bernuansa kuning gading yang sepi tanpa penghuni. Hembusannya yang lembut mampu menyingkapkan lembaran sebuah buku yang tergeletak bebas di atas meja tak jauh dari jendela.
              Lembar demi lembar yang penuh dengan tulisan satu persatu tersingkap mempertontonkan goresan halus yang terpampang di atasnya. Barisan huruf-huruf yang tersusun rapi membentuk sebuah cerita di setiap alurnya.
Sejenak angin berhenti bertiup dan membiarkan lembaran buku itu terhenti di sebuah halaman yang juga penuh dengan tulisan………….


             21 Agustus 2000

             “Aaaaa!!!!!”
             Ify berlari sekencang-kencangnya tanpa menengok ke belakang sedikitpun. Sebisa mungkin ia memacu langkahnya menghindari tangan yang mencoba menggapai bahunya. Ia berusaha sekuat tenaga agar tangan itu tak mampu menjangkaunya. Dikerahkannya segenap tenaga untuk memacu langkahnya lebih cepat. Namun, ia merasa semakin sulit bertahan karena perutnya yang terasa kram karena terus berlari sambil tertawa.

            “Huaaaa!!!!!”
             Ify makin kencang berlari sambil berteriak histeris karena kejaran Alvin dan Rio di belakangnya.

           “Tangkep Vin!!!!!!”
             Rio yang tertinggal di belakang Alvin berteriak menyemangati Alvin yang dengan susah payah mencoba meraih Ify sambil terus berlari.

             “Gaaaa kenaaaaaa!!!!! Huaaaa!!!!”
             Adrenalin Ify benar-benar terpacu. Ia merasa seperti benar-benar dikejar pembunuh bayaran. Ia terus berlari di bibir pantai berpasir lembut itu. Tak mempedulikan kakinya yang tanpa alas meninggalkan jejak dalam di sepanjang pantai yang dilaluinya.

             Tiba-tiba Ify merasakan ada sesuatu menggapai punggungnya.

             “Kenaaaaa!!!!”
             Alvin menarik bahu Ify dan itu hampir membuat Ify terjatuh ke belakang.

             “Huaaaa!!!”
              Ify yang kaget pun berteriak geli saat Alvin menangkap pinggangnya.

              “Yeayyyy kena!!!!”
               Rio berhasil menyusul mereka dan sekarang ikut-ikutan memegangi tangan Ify yang meronta minta dilepaskan. Alvin mulai menggelitiki Ify dan membuatnya tertawa menahan rasa geli di pinggangnya.

              “Aaaaaa!!!! Alvin!!! Aduh!!!! Aduh…lepasin!!! Alvin!!!!”

             “Hahahaha….”
              Rio yang turut andil memegangi tangan Ify semakin tertawa terbahak melihat badan Ify yang kejang-kejang minta dilepaskan.

              “Ampun…. ampun!!! Alvin udah!!! Aaaa….Rio ampun!!!! Hahaha…..”

              “Hahahaha….ngga bisa wekkkk…hahaha….”

               “Huaaaa……. Alvinn geliiiii!!!!”
               Ify makin menjerit campur ketawa karena Alvin yang semakin ganas menggelitikinya. Setetes air mata menyembul dari sudut mata Ify saking gelinya.

              “Aaaa!!! Udah dong!!! Ampun!!! Aku nangis nih!!!”

              Rio yang melihat Ify kegelian sampai menangis akhirnya melepaskan pegangan tangannya.
              “Udah Vin udah……mewek tuh dia…”

               Alvin pun akhirnya menghentikan aksinya. Dia masih tertawa terbahak-bahak melihat Ify yang masih guling-guling di pasir sambil terus memegangi perut saking gelinya. Ify juga masih tertawa-tawa sambil menghapus air matanya sendiri.

                Rio mengulurkan tangannya dan membantu Ify bangun. Ify meraih tangan Rio dan bangkit berdiri lalu menepuk-nepuk bajunya yang kotor terkena pasir sambil masih terus menahan sisa-sisa rasa geli.

               “aduh….Alvin reseee!!!!”
               Ify memukul-mukul bahu  Alvin tapi masih sambil meringis-meringis karena rasa geli yang masih belum hilang. Perutnya terasa kram gara-gara ulah dua sahabatnya itu.

              “Hahahaha…”
                Alvin berlari-lari kecil meninggalkan Ify dan Rio. Ify dan Rio pun menyusul langkah Alvin yang mulai memelan. Merekapun berjalan beriringan sambil menikmati deru ombak yang saling bersahutan di tengah lengangnya suasana pantai yang hanya ada mereka bertiga disana.

               “Mau gendong ngga Fy?”
               Rio menawarkan punggungnya pada Ify.

               “mauuuu!!!!”
               Tanpa basa basi lagi Ify pun langsung pasang badan di punggung Rio. Perlahan Rio mencoba berlari sambil menggendong Ify, meninggalkan Alvin yang masih berjalan santai di belakang.

                “kejar aku Vin!!!!! Wekkkk….”
                 Ify memeletkan lidahnya kearah Alvin yang hanya tersenyum menatap mereka.

                 “Hih….ngledek ya? Okeeee!!!!”
                 Alvin berlari pelan menyusul mereka.

                “Huaaaaa!!!! Lari Yo!!!”
                Rio pun spontan mempercepat larinya karena komando Ify. Alvin sengaja melambatkan larinya karena Rio pun tak bisa berlari terlalu cepat dengan Ify di punggungnya.

                “Ayo Vin!!!!!”
                 Ify mengulurkan tangannya pada Alvin. Alvin pun menggapai tangan kiri Ify yang masih bebas sedangkan tangan kanan Ify berpegangan di pundak Rio.

                “Woy kasian Rio berat…turun.”
                Alvin mulai menoel-noel pinggang Ify yang otomatis menggeliat kegelian.

                “Aaaa!!!!Alvin!!!”

                “Aduh Ify jangan gerak-gerak…”
               Rio mulai protes karena Ify yang meronta-ronta di punggungnya.

                 “Alvin nih….”
                 Ify mencoba membela diri sambil manyun kearah Alvin.

                 Rio pun tak lagi berlari. Ia hanya berjalan dengan Ify yang bergelayut di punggungnya sambil menggandeng tangan Alvin.

                 “Hahahahaha…..”
                  tawa mereka membahana berpadu dengan sorot kemerahan mentari senja yang mulai tenggelam di tengah lautan.

“Jika saat ku pejamkan mata
Yang tertinggal hanya kegelapan dan kesunyian
Tiada tampak rupa dan wajahmu
Maka….
Inginku terjaga selamanya

Tangguh,
Menantang silau terik mentari
Terjaga di keheningan malam
Hanya untuk melihat
Lukisan dunia di setiap detik hidupku
Terwarnai satu persatu
Oleh gelak tawamu“

***************Semoga dirimu disana kan baik-baik saja untuk selamanya******************


                 Sejenak kemudian semilir angin kembali mengiringi tarian bunga-bunga sakura yang meliuk-liuk di antara lekukan tirai jendela yang tersibak menyambut kedatangan sang pembawa udara.
                 Lembaran-lembaran itu kembali tersingkap melewati beberapa halaman, hingga terhenti kembali saat sang dewi angin menghentikan desah semilir merdunya.
                 Sebuah halaman yang masih penuh dengan rangkaian huruf membentuk untaian kenangan sang penulis……………


                 3 Maret 2003

                  Ify berlari menerobos keramaian anak-anak yang masih saling berbisik di sepanjang lorong-lorong sekolah. Anak-anak itu masih penasaran akan apa yang sedang terjadi hingga  ketenangan waktu istirahat mereka tiba-tiba terpecahkan dengan suara teriakan dan derap langkah orang-orang yang berlarian.

                 Sekuat apapun ia berusaha, langkah Ify tetap tak mampu menyusul langkah satpam sekolah yang sudah jauh menghilang di depannya. Sedangkan Rio entah sekarang berlari dari arah mana. Ify hanya berharap semuanya akan baik-baik saja. Yang paling ia inginkan sekarang adalah tak ada sesuatupun hal buruk yang akan terjadi hari ini.

                  Rio terus berlari melompati tanaman-tanaman kecil. Sekuat tenaga dicobanya melampaui berbagai halangan yang menghalangi jalannya. Ia memilih memotong jalan dari lorong di belakang laboratorium bahasa dengan harapan ia dapat mendahului satpam sekolah. Ia memilih lorong yang sepi dengan harapan langkahnya tidak perlu terhalang oleh anak-anak yang sedang ramai beristirahat.

                 Nafasnya yang memburu semakin membuat langkahnya terasa berat. Sesekali langkahnya terseok tersandung bebatuan ataupun tanaman kecil yang ia lalui. Mata Rio teliti menatap jalanan di depannya. Sedikit lagi ia akan sampai di persimpangan lorong.

                    Persis seperti yang ia perkirakan…

                   “Alvin!!!!”
                   Secepat mungkin diraihnya badan Alvin yang melaju kencang saat ia tepat melewati persimpangan lorong. Akhirnya ia bisa mendahului satpam sekolah dan menghentikan Alvin tepat di pertigaan samping perpustakaan.

                    Tangan Rio yang tepat menggapai pundak Alvin membuat Alvin menghentikan larinya dengan tiba-tiba dan jatuh tersungkur bersama dengan Rio. Tangan Rio masih memegang kuat ujung baju Alvin agar ia tak lagi melarikan diri.

                    “Lepasin gue!!”
                    Alvin berusaha bangkit. Matanya waspada menatap ke belakang kalau-kalau satpam sekolah mampu menyusulnya.

                    “Vin lo jangan lari!”
                    Rio masih tetap memegangi baju Alvin.

                    “Lo pengen gue ketangkep? Hah??”
                    Alvin membentak Rio masih dengan nafas tersengal. Ia ingin secepat mungkin meninggalkan tempat itu, tapi Rio bersikeras tak mau melepaskannya.

                     “Keadaan bakal lebih parah kalau lo lari Vin!”

                    “Ahhh!!!”
                     Buggg!!!

                    Rio jatuh tersungkur karena pukulan Alvin tepat mengenai sudut bibirnya. Alvin mulai berlari meninggalkan Rio.

                    “Vin!!!”
                    Tanpa memperdulikan rasa sakitnya, Rio mencoba bangkit dan berlari mengejar Alvin.

                    “Vin!”
                    Langkah Alvin kembali terhenti karena Rio menarik bagian belakang bajunya. Kali ini tanpa bicara apapun Alvin langsung melayangkan tinjunya ke arah Rio. Rio tersungkur untuk yang kedua kalinya. Tapi kali ini Alvin tak melanjutkan larinya, ia mencengkeram kerah baju Rio dan melayangkan tinjunya sekali lagi. Hantaman tangannya berhasil membuat setetes darah membasahai sudut bibir Rio.

                    “Lo ngga punya hak ngatur-ngatur hidup gue. Apapun yang gue lakuin, lo ngga berhak ikut campur. Gue….”
                    Belum sempat Alvin menyelesaikan kalimatnya, ia merasa kerah belakangnya ditarik oleh seseorang.

                  “Alvin!”
                   Tepat saat Alvin menoleh ke belakang, sang satpam sekolah telah berdiri menahan amarah karena Alvin yang melarikan diri dari kejarannya.

                   “Lepasin!”
                   Kali ini Alvin tak akan mampu melepaskan diri dari satpam sekolah bertubuh kekar itu. Ia menyeret tubuh Alvin menjauh dari Rio.

                   “Lepasin!”

                   “Diam kamu! Ikut saya!”
                    Alvin ditarik menuju ruang kepala sekolah. Ia tak lagi meronta. Karena semakin ia meronta, maka semakin murkalah pria paruh baya yang kini menahan gerak tubuhnya. Dengan sorot mata tajam menatap Rio, Alvin berjalan pasrah kemana satpam sekolah membawanya.

                    “Vin!”
                    Rio menatap kepergian Alvin. Setitik rasa penyesalan tersirat dari tatapan matanya. Perih di sudut bibirnya tak lagi terasa.  Rasa penyesalan itu jauh lebih dominan. Kenyataan yang baru saja terjadi seolah menampar dan menyadarkan dirinya. Karena ternyata, ia sama sekali tak mengenal sahabatnya.

                    Di kejauhan Ify sontak menghentikan langkahnya saat melihat Alvin berhasil dicekal oleh satpam sekolah. Rasa takutnya yang memuncak membuatnya terdiam menatap Alvin yang menjauh.

--------------

                   Ify yang duduk tak jauh dari tempat Rio berdiri tampak gelisah menatap jalanan yang terus berlari meninggalkan mereka. Keramaian dan bisingnya jalanan terasa begitu hening dalam pikiran Ify. Matanya menatap kosong lantai yang berada di bawah kakinya. Bayangan kejadian tadi siang begitu jelas terputar kembali dalam otaknya.

                   Sementara itu, tangan Rio masih menggenggam erat pegangan busway yang ia jadikan penopang tubuhnya agar tak jatuh. Urat-urat tangannya yang menegang menyiratkan kekhawatiran yang tak jua reda. Jarak yang biasa mereka tempuh untuk sampai di rumah kali ini terasa begitu panjang. Rasa ingin cepat sampai bercampur baur dengan begitu banyak tanda tanya yang menuntut untuk segera mendapat jawaban.

                   Rio menatap Ify yang duduk tak jauh darinya. Wajahnya masih tertunduk dengan jari-jemari terkait menahan gelisah.

                  “Tenang Fy, Alvin bakal baik-baik aja.”
                  Sebuah kalimat yang mungkin juga ia lontarkan untuk menenangkan hatinya sendiri.

               Ify tak mengangkat wajahnya. Ia hanya mengangguk perlahan. Ia pun berharap seperti itu, dan itulah yang sedari tadi coba ia yakini namun terus menerus gagal karena pikiran-pikiran buruk lebih kuat menghantuinya.

               10 menit di perjalanan, akhirnya sekarang mereka sudah melangkahkan kaki di jalanan komplek rumah mereka. Di persimpangan jalan Ify tak berbelok pulang ke rumahnya, begitupun Rio. Mereka terus berjalan hingga beberapa meter kemudian sampailah mereka di depan rumah Alvin. Dari seberang jalan sejenak mereka berhenti mencoba menata hati dan membayangkan hal seperti apa yang sekiranya mungkin terjadi nanti.

                Rio mendahului langkah menuju rumah Alvin yang pagarnya masih terbuka. Bahkan pintu rumah pun belum sempat ditutup oleh pemiliknya. Tanpa menunggu lagi mereka memasuki halaman rumah Alvin. Rasa penasaran dan khawatir semakin mendesak untuk diluapkan hingga tiba-tiba….

                Pranggg!!!!

                Sebuah suara pecahan kaca membuat Rio dan Ify sontak berlari masuk kedalam. Betapa terkejutnya mereka melihat kejadian yang untuk pertama kalinya mereka saksikan menimpa sahabatnya.

               “Kurang apa yang papa kasih sama kamu,HAH? Berani-beraninya kamu mencoreng muka papa?!?!?”
               Plakkk!!!

               Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Alvin yang tertunduk berlutut di hadapan ayahnya.

               “Alvin!”
                Rio berteriak dari arah pintu. Terakannya sontak membuat ayah Alvin memalingkan wajahnya kearah Rio dan Ify yang baru datang. Baru saja Rio akan masuk ke dalam untuk menolong Alvin….

               “Siapa yang menyuruh kalian masuk?!?”
Tampak gurat-gurat kemarahan semakin jelas terlukis di wajah ayah Alvin yang tampak menyiratkan jejak-jejak usia.

               “Kenapa Om mukulin Alvin?”

                “Bukan urusan kamu! Pergi kalian!”

                Di belakangnya tampak Alvin yang berusaha bangkit. Ify semakin membelalakkan matanya saat melihat ternyata wajah Alvin penuh dengan lebam.

                 “Dia pantas mendapatkannya! Dia sudah mencoreng nama baik keluarga ini!”

                 Rio tak menyangka satu-satunya orang tua yang masih Alvin miliki tega melakukan hal tersebut pada putra kandungnya sendiri. Seorang anak kelas 1 SMA yang ketahuan merokok di sekolah tak selayaknya mendapat perlakuan yang berlebihan seperti sekarang. Kejadian ini membuat Rio semakin penasaran jangan-jangan ayah Alvin selama ini memperlakukan Alvin dengan tidak layak.
                 “Tapi, Om, Alvin Cuma ngrokok, ngga perlu sampai dipukuli seperti itu…”

                 “Kamu anak kecil tau apa? Jangan ikut campur urusan orang lain. Ngrokok kamu bilang cuma? Atau jangan-jangan kamu yang bikin anak saya jadi salah pergaulan seperti ini? Pergi!!!”

                “Tapi Om…”

                 “Pergi kalian!”
                 Tanpa disangka Alvin melangkah cepat kearah Rio dan Ify lalu mendorong mereka keluar dengan paksa.

                  “Alvin…”
                   Ify menyebut nama Alvin lirih. Pandangannya nanar menatap wajah sahabatnya yang penuh lebam. Seberkas darah tampak mengering di sudut bibirnya. Air mata menerobos sudut mata Ify, tak tega melihat keadaan Alvin seperti sekarang apalagi melihat Alvin tampak begitu pasrah atas perlakuan ayahnya.

                  “Makin lama kalian disini itu bakal nambah penderitaan gue. Kalian pikir kedatangan lo bakal nyelametin gue? Ngga! Lo Cuma nambahin siksaan yang bakal gue terima. Pergi!!”
                    Sekali lagi Alvin mendorong tubuh Rio dan Ify hingga keluar dari pintu rumahnya dan dengan kasar ia menutup pintu rumahnya lalu menguncinya dari dalam.

                   Di belakang tubuh Rio yang masih terpaku menatap daun pintu yang terkunci, badan Ify sudah gemetar hebat menahan tangis. Perih menyeruak dari dalam rongga tenggorokannya menahan isakan yang terasa begitu menyesakkan.

                   Beberapa saat mereka terpaku disana. Entah apa yang terjadi. Hanya sesekali teriakan sang Ayah samar-samar menelusuk celah-celah dinding dan suara benda pecah menambah kegetiran hati dua sahabat yang masih termenung pasrah akan takdir.

                   Semakin mereka menyadari bahwa ternyata begitu banyak hal yang tidak mereka ketahui tentang sahabatnya, dan begitu banyak hal yang tidak Alvin bagi dengan mereka. Tentang kehidupannya, tentang seperti apa perlakuan orang tuanya selama ini, dan tentang apa yang ia rasakan, semua semakin buram dimata Rio dan Ify.

“Ketika kaki ini
 tak mampu menandingi derap langkah sang waktu
Ketika hati ini
Tak mampu menerangi gelap jalanmu
Ketika raga ini
Tak sanggup menemani gulir asamu

Alir darah di antara degup jantungku
Membawa sesal menerobos relung mata
Menyampaikan rasaku
Lewat bulir bening yang menyadarkan
Betapa aku tak mengenalmu”


***********Berjanjilah wahai sahabatku bila kau tinggalkan aku tetaplah tersenyum*************

               Lembar demi lembar terus tersibak. Hembusan angin membuka kembali halaman-halaman lusuh yang terkadang hanya berisi coretan-coretan kasar ataupun gambar-gambar sederhana. Di halaman-halaman selanjutnya tampak beberapa baris kata dengan tinta yang luntur di beberapa bagian karena tetesan air mata. Air mata kepedihan dari si empunya cerita. Hingga sang dewi angin kembali memilih sebuah halaman untuk berhenti…..

                12 November 2004

                 Ify berdiri terpaku di ambang pintu ruangan gelap dan penuh debu itu. Ia menutupkan kedua telapak tangannya ke mulutnya menahan rasa terkejut yang begitu dahsyat menghantam relung jiwanya. Rembesan berbutir-butir air mata tak mampu lagi ia tahan dengan kapasitasnya sebagai seorang wanita. Sekujur tubuhnya lemas menahan beban yang seolah baru saja mencapai titik terberat.

                “Alvin!”
                Dengan sisa-sisa tenaga di antara tulang-tulangnya yang seolah tak mampu menopang tubuhnya sendiri ia berlari kearah Alvin. Dengan paksa ia meraih benda laknat itu dari tangan Alvin.

               “Apa-apaan lo?”
Dengan tubuh gemetar Alvin mencoba meraih kembali benda sejenis dari atas meja kecil tak jauh dari tempat ia terduduk menyandar dinding.

                Plakkk!!!
               Dengan penuh amarah Ify menampar wajah Alvin yang memandangnya tajam.
               “Kamu gila!!!”
                Ify meraih kembali benda laknat itu dari tangan sahabatnya. Setelahnya, dengan sekali sapuan ia menghempaskan barang-barang haram yang berceceran tak teratur di atas meja. Membuatnya jatuh berceceran di lantai berdebu yang tak terjamah mentari entah untuk berapa tahun.

               Alvin mencoba merangkak menggapai benda-benda yang berceceran itu. Gemetar badannya menahan sakau yang sedang hebat melanda raganya.

                “KENAPA KAMU MAKE BARANG LAKNAT ITU VIN?!?!?”
                Sekuat tenaga Ify menarik tubuh Alvin sebelum tangannya mampu menggapai suntikan-suntikan dan benda asing yang tak pernah Ify sangka akan berada langsung di hadapannya. Air mata Ify sudah jatuh membanjiri lantai di bawah kakinya yang bercampur dengan cairan-cairan berwarna aneh.

                “Sadar Vin!!! Sadar!!!”
                Ify mencoba menjauhkan Alvin dan menyeretnya menjauh. Tapi apa daya, tenaga seorang perempuan tak akan mampu menandingi arogansi seorang lelaki yang sedang berada dalam keadaan tak terkendali.

                Alvin melayangkan sebuah tamparan yang sangat kuat kearah pipi Ify karena rasa marah yang semakin meledak-ledak. Ify yang tak siap dengan tamparan tiba-tiba itupun jatuh menghantam lantai.

                 Belum sempat Ify mengusap pipinya yang terasa panas, Alvin tiba-tiba menjambak rambutnya dan menariknya cukup keras hingga Ify pun terpaksa berdiri mengikuti arah tarikan Alvin. Tangan kiri Alvin yang masih bebas sontak mendorong tubuh Ify ke belakang hingga menghantam dinding.

                Ify tak pernah menyangka sifat arogan Alvin akan menjadi sejauh ini dan bahkan membuatnya melupakan status mereka sebagai sahabat. Ify tak sempat berpikir apapun. Yang dia harapkan sekarang hanyalah ada seseorang yang datang menolongnya dan menjauhkannya dari Alvin yang sedang kalap.

                 Alvin melepaskan tangannya dari rambut Ify dan beralih mencengkeram kuat pipi Ify yang sudah benar-benar merasa kesakitan karena perlakuan Alvin.

                 “Lo bisa diem ngga sih??? Ini urusan gue dan lo ngga berhak ikut campur!!! Lo tu bisanya Cuma ngomong!!!! Lo ngga pernah ngrasain apa yang gue rasain!!!”
                 Alvin menekan pipi Ify kuat-kuat hingga Ify hanya mampu mengerang tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun untuk membela diri. Kepalanya terasa pening karena benturan ke dinding yang cukup keras.

                 Ify meronta sekuat tenaga dari cengkeraman tangan Alvin. Tapi semakin dia meronta, semakin kuat pula Alvin menyiksa dirinya. Emosional yang tak terkontrol membuat Alvin melampiaskan segala kemarahannya pada Ify.

                 “Aaaa!!!!”
                 Ify terus berontak. Ia menendang-nendangkan kakinya ke kaki Alvin, namun sama sekali tak mengendurkan cengkeraman Alvin dari tubuhnya. Teriakannya hanya bergema diantara dinding-dinding rumah usang di tengah hutan kecil yang dulu sering mereka gunakan sebagai tempat bermain. Tak ada seorangpun yang mungkin mendengar ataupun mencoba menolongnya.

                “Vin…..aaaaa…. ini aku, Ify…sahabat kamu…sakit Vin…lepasin!!!”
                Ify terus berusaha melepaskan diri dan diapun menendang sekuat tenaga lutut Alvin. Alvin yang merasa jengah dengan tingkah Ify akhirnya membanting tubuh Ify ke lantai yang kotor dan dingin.

                 Ify yang berhasil lepas dari cengkeraman Alvin hendak berdiri untuk menyelamatkan diri tetapi Alvin tiba-tiba kembali melayangkan sebuah tamparan. Tamparannya memang tak mengenai pipi Ify yang sempat memalingkan wajah. Tapi hantaman keras dari telapak tangan Alvin itu cukup membuat kepala Ify pening karena pelipisnya yang terhantam.

                Ify berusaha melindungi kepalanya dengan menyilangkan kedua tangannya di atas kepalanya. Alvin terus menghujaninya dengan pukulan-pukulan keras. Tangan kiri Alvin pun tak mau ketinggalan. Alvin menahan tangan Ify dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya terus melayangkan pukulan kearah wajah Ify. Kondisi psikologis yang sedang tak terkendali membuat Alvin bertindak tanpa berpikir.

                  Tak pelak lagi, wajah Ify mulai lebam disana sini. Setetes darah mengalir dari sudut bibir Ify. Pertama kali dalam hidupnya ia mendapat perlakuan seperti ini. Terlebih lagi dari seorang sahabat.

                   Alvin yang seolah kalap tak perduli lagi dengan erangan Ify yang kali ini benar-benar tak menyangka dengan sikap Alvin yang membuatnya tak berkutik. Alvin seolah tak mengenali Ify, bahkan seolah tak mengenali dirinya sendiri. Alvin tak pernah seperti ini. Ify benar-benar takut melihat kondisi sahabatnya sekarang.

                   “Alvin!!! Alvin sakit!!!! Alvin lepasin!!!! Sakiiittt!!!!”
                    Alvin tak mempedulikan teriakan Ify. Tangannya tanpa henti terus menjambak, menampar dan memukuli Ify.

                    Dengan sisa-sisa kesadaran yang masih dimilikinya, Ify berusaha melindungi wajah dan kepalanya dari hantaman tangan Alvin yang sudah benar-benar kehilangan akal sehat, hingga akhirnya sebuah pukulan yang tepat mengenai pelipis kanan Ify membuat gadis itu jatuh tersungkur ke lantai dan kehilangan kesadaran.

                     Dengan dada yang masih naik turun karena nafas yang tersengal, Alvin menatap Ify yang sudah tak melakukan perlawanan lagi. Kepalan tangannya perlahan mengendur melihat sosok di hadapannya sekarang sudah tak bergerak. Kini kakinya tergerak untuk mundur perlahan. Alvin mulai menggeleng-gelengkan kepalanya pelan menyadari apa yang baru saja ia lakukan.

                     Berangsur-angsur Alvin melangkah mundur. Untuk yang terakhir kalinya Alvin menatap tubuh yang tergeletak penuh luka dan darah di hadapannya, hingga sesaat kemudian tubuhnya tak mampu melawan perintah otaknya untuk lari sejauh mungkin.

                    Alvin berlari sekuat yang ia bisa. Sejauh mungkin dari tempat dimana Ify tergeletak. Sekencang mungkin seolah ia berharap rasa penyesalannya akan jatuh tertingal seiring derap langkah kakinya.

-------------------------------------

                Rio menatap nanar kepergian mobil berwarna biru hitam itu menjauh dari halaman rumah sahabatnya. Suara bisik-bisik orang-orang yang bergerombol tak jauh dari sana menambah isakan Ify yang menangis bersandar di bahu Rio. Hanya rangkulan tangan Rio mencoba meredam goncangan tubuhnya yang kejang menahan isakan mendalam.

                Beberapa orang sudah kembali masuk ke dalam rumah masih dengan gumaman-gumaman miris dan ungkapan-uangkapan tajam yang merendahkan. Sementara itu Rio masih terpaku menatap jalanan lengang di kejauhan. Tak lagi terdengar sirine berdengung memecah kesunyian.  Urat lehernya menegang menahan perasaan yang sama dengan Ify.

                Tak pernah ia sadari suatu saat ia akan mengalami guncangan sehebat ini. Alvin, entah seperti apa hidup yang akan mereka jalani mulai sekarang.

                 Sudah berhari-hari Alvin dan Ify ijin tidak hadir di sekolah. Tak ada satupun yang bisa dihubungi ataupun ditemui. Tak ada seorangpun yang Rio tanyai mampu memberi jawaban yang melegakan hatinya. Hingga akhirnya 2 hari yang lalu Ify datang ke sekolah dengan sisa-sisa lebam di wajah bersama kedua orang tuanya.

                Dan hari ini, baru saja Rio mendengar segala apa yang terjadi langsung dari Ify yang menceritakan semuanya dengan berurai air mata. Dan hari ini pula, semuanya menjadi semakin buram dimata mereka. Di DO dari sekolah, dan baru saja dibawa oleh polisi karena perintah penahanan dengan tuntutan telah mengedarkan dan memakai narkoba, membuat mereka semakin jauh dari harapan untuk bahagia seperti dulu.

                  Semakin jauh waktu bergulir, semakin jauh jarak memanjang, semakin dalam penyesalan. Betapa Rio dan Ify terbelenggu dalam kesedihan karena selama ini sebuah fakta yang tak pernah mereka sadari, bahwa sebenarnya mereka tak mengenal siapa Alvin. Tak satupun mampu menemukan jawaban siapa yang harus bertanggung jawab atas segala perubahan pada diri sahabatnya. Mungkinkah mereka? yang terlalu disibukkan oleh kedewasaan sehingga tak lagi mampu menghidupkan masa-masa indah saat permasalahan mampu mereka hadapi hanya dengan saling bergandengan tangan?

                 Sejak saat itu mereka tak kan mampu lagi mengelak dari jeruji batas yang akan semakin memisahkan mereka. Orang tua yang tak kan merelakan putra putrinya bergaul dengan orang yang salah, adalah hal terbesar yang akan menjadi tembok tertinggi kebebasan mereka. Penghalang terbesar bagi persahabatan yang memang semakin hari semakin tampak buram maknanya.

“Kau lepas genggam erat tanganmu
Pergi menjauh menerobos sang waktu
Tak lagi lekat canda tawa
Mengisi ruang hampa kehidupan

Alur sungai menuju hilir
Tak kan mampu kembali menjemput hulu
Semakin menjauh
Membawa pasir,lumpur dan bebatuan
Hingga sampai di ujung perjalanan
Terpisah jauh di tengah luasnya lautan”


************Meski hati sedih dan menangis, Ku ingin kau tetap tabah menghadapinya************

             Setahun…

             Begitu banyak yang telah terjadi. Rio, Ify dan Alvin kini telah menempuh jalannya masing-masing. Bukan hendak pasrah melepas kawan, hanya raga yang tak kuasa melawan haluan. Segala upaya yang diusahakan jika terus dipaksa justru akan menyebabkan perpecahan. Tiada pilihan lain, kecuali hanya mengenang persahabatan dan menanti saat yang tepat untuk menemukan kembali indahnya pertemanan.

              Rio dan Ify hanya sesekali mengunjungi Alvin. Untuk itupun mereka harus rela bolos sekolah. Karena kedua orang tua mereka selalu mengantar mereka ke sekolah dan menjemput ketika pulang. Rasa takut dan kekhawatiran membuat mereka over protective.

               Semakin lama intensitas perjumpaan mereka semakin berkurang. Tes masuk perguruan tinggi semakin menyita waktu dan pikiran Rio dan Ify. Mereka tak lagi saling bercerita, mengungkapkan segala apa yang dirasa. Ketika akhirnya Alvin mampu menghirup udara kebebasan dari pusat rehabilitasi pun, mereka berdua tak sempat menengoknya karena tenggelam dalam kesibukan yang tak bisa mereka tinggalkan untuk mempersiapkan kehidupan kampus. Hingga akhirnya waktulah yang menyadarkan, betapa kini mereka sudah terlalu jauh…….

                6 Juli 2006

                 TIIINNNN!!!!!!TIIIIINNNN!!!
                Tangan Rio yang basah keringat dingin terus menekan klakson mobil berkali-kali. Sebuah angkot yang berhenti di pinggir jalan mempersempit ruas jalanan yang padat dengan lalu lalang kendaraan.

                 Ify memukul-mukulkan pelan kepalan tangannya ke pahanya sendiri. Berkali-kali ia menggigit bibir berharap jalanan mau sejenak memberikan ruang untuk mereka melaju.

                  “Yo, gimana dong? Cepetan Yo…”

                   Rio kembali menekan klakson mobil. Kali ini bunyi nyaring mobil Rio menarik perhatian orang-orang di sekitar. Mereka menatap Rio dan Ify dengan pikiran mereka masing-masing. Ada yang berbaik sangka, tapi tentu saja ada yang berburuk sangka. Rio tak peduli dengan tatapan mereka, yang terpenting sekarang adalah ia ingin memacu mobilnya sekencang yang ia bisa.

                  Perlahan angkot di depannya melaju menyisakan sedikit ruang. Dengan sigap Rio memutar stir mobilnya, menyusup di keramaian kendaraan yang berlalu lalang. Honda Jazz merah itu kembali melaju kencang menerobos jalanan Jakarta yang padat dan panas.

                  10 menit berlalu…
                  Gedung-gedung menjulang tinggi sekarang tak lagi tampak. Yang ada sekarang adalah pohon-pohon palm di kanan dan kiri jalan yang berlari kencang meninggalkan mereka seiring laju mobil Rio yang semakin cepat.

                   “Yo…”
                  Semakin dekat dengan tujuan, hati Ify bukan semakin tenang, tapi justru semakin panik. Perasaan khawatir, gundah dan gelisah menyeruak di antara kebisingan degup jantungnya sendiri. Perasaan tak enak menggelayut muram di relung hatinya.

                  Rio tak menoleh sedikitpun pada Ify. Matanya konsentrasi menatap jalanan lengang di hadapannya. 100 km/jam terasa tak cukup berpacu mengejar waktu.

                   Mata Ify terpejam menahan air mata yang hampir jatuh ke pangkuannya. Bayangan suara Kak Sivia terngiang-ngiang di telinganya. Suara yang membuat Ify sontak terlonjak dari tempat duduk kuliahnya dan berlari meninggalkan dosen yang sedang mengajar. Suara yang membuatnya berteriak memanggil nama Rio dari jarak 30 meter dan mengundang tatapan jengah mahasiswa di sekelilingnya.

                  Sivia adalah tetangga sebelah rumah mereka (Rio, Alvin dan Ify). Kira-kira 20 menit yang lalu ia menelfon Ify. Sebuah kabar yang tak pernah ia sangka akan mampir ke telinganya baru saja disampaikan oleh Sivia.

                   Ia bilang, sekarang dia sedang berada di bawah sebuah menara PLN. Sebuah menara yang berada tak jauh dari komplek rumah mereka. Ia bilang semua orang sedang berkumpul disana, menatap keatas, menantang terik mentari. Ia bilang…..

                    Alvin ada di atas sana…..

                    “Kenapa jadi kayak gini Yo?”
                    Pejaman mata Ify tetap tak mampu membendung bulir air mata yang berarakan menyusuri lekuk pipinya. Rasa sesal terus menghantui Ify di sepanjang perjalanan. Rasa sesal karena dia baru menyadari betapa mereka terlalu jauh dari Alvin, betapa mereka telah sejenak melupakan sahabat mereka yang mungkin sangat membutuhkan kehadiran mereka untuk mendampingi hari-harinya yang sulit. Rasa sesal karena ia tak lagi sering menanyakan kabar Alvin. Rasa sesal karena harus dengan cara seperti ini mereka diingatkan kembali akan pentingnya kebersamaan dan rasa sesal lain yang masih banyak tak mampu terhitung lagi oleh Ify dan Rio.

              Tak ada jawaban dari Rio.
               Rio terlalu takut untuk menjawab. Ia hanya ingin sampai secepat mungkin. Ia ingin segera menebus rasa sesalnya. Ia tak ingin rasa sesal itu menghantui dirinya seumur hidup jika sampai terjadi sesuatu pada sahabatnya.

                “RIOOOOO!!!!”

                 Ify sontak berteriak saat matanya yang buram karena air mata samar-samar menangkap bayangan besar yang tiba-tiba muncul dari kelokan jalan di hadapan mereka. Sebuah truk pemuat material bangunan sebentar lagi akan menghantam mobil mereka.

                Entah apa yang terjadi, hanya sakit dan perih di sekujur tubuh yang bisa Ify rasakan saat ia dengan sisa-sisa kesadarannya mencoba meraih pundak Rio yang tertelungkup menghantam stir. Pecahan-pecahan kecil dari kaca mobil berserakan di atas tubuh mereka. Tangan Ify tak sampai meraih pundak Rio yang bersimbah darah. Ify hanya mampu meraih udara hingga akhirnya ia sendiri jatuh bersandar tak sadarkan diri di pintu mobil yang terbalik.

-----------------------------

                 Prang!!!!!
                 Suara nyaring nampan alumunium rumah sakit yang menghantam lantai membuat Bu Ira terjaga dari tidurnya. Baru saja ia memejamkan mata sejenak sambil bersandar di kursi kayu yang keras. Rasa penat dan lelah setelah semalaman terjaga membuatnya tak lagi memperdulikan kenyamanan.

                 “Rio?!?!”
                  Bu Ira terlonjak dari duduknya dan bergegas meraih tubuh Rio yang jatuh tersungkur di lantai.

                 “Ma, Mama….”
                 Rio menyebut nama mamanya lirih. Tangannya berusaha menggapai sesuatu yang bisa ia jadikan pegangan.

                  “Rio….Bangun Nak….”
                 Bu Ira menarik tubuh Rio untuk bangkit. Akan tetapi Rio menepis tangan mamanya dengan kasar hingga akhirnya ia tersungkur kembali di lantai. Tangannya kembali mencoba meraih  apa saja yang ada di sekelilingnya.

                  “Rio….”
                   Bu Ira berlutut di samping Rio. Kedua tangannya meraih pundak putra satu-satunya itu dan memeluknya erat. Air mata seorang ibu yang melihat anaknya dalam kesedihan meluncur melampaui gurat-gurat usia di wajah sayunya.

                   Ia tak mempedulikan Rio yang terus meronta di pelukannya dengan tangan yang masih mencoba menggapai, dan meraba.

                   “Matakuuuuu!!!!!!!!!!! Aaaaaaa!!!!!!!!!!”
                    Tak lagi hanya meronta, kini Rio memukul-mukulkan kepalan tangannya ke lantai. Mencoba meluapkan rasa hatinya yang dibelenggu ketakutan karena tak mampu menangkap bayangan apapun.

                    Bu Ira semakin erat memeluk putranya tanpa peduli Rio yang semakin kalap memukul-mukul lantai. Pedih hatinya mencoba merasakan kesendirian yang diderita Rio karena berada dalam dunia yang tak nampak di matanya.

                   Rio berhenti memukul lantai. Tubuhnya lemas pasrah menatap kosong hitam tak berujung di pelupuk matanya. Kesendirian dalam kegelapan. Kini, dunia pun kelam dalam pandangannya. Matanya yang terjaga hanya mampu memandang pekatnya warna dunia. Hanya setetes air mata mewakili amarahnya, karena kini, kehampaan adalah teman setianya.

“ Di kala mata menatap kembali
Ukiran-ukiran kasar alur kehidupan

engkau tenggelam di dasar kehampaan
  Terasa gentar ragamu
menapak kembali jalan keadaan

Dirimu sendiri di tengah bara dunia

merana di tengah hampa semesta
 Terlintas alunan nada sumbang

  rintihanmu lirih jauh dan samar-samar
 Aku tak pernah sejauh ini denganmu”

             Bunga-bunga sakura itu menari-nari kembali. Hembusan angin menebarkan hawa sejuk ke seluruh penjuru ruangan. Lembaran-lembaran kusam itu kembali tersingkap menunjukkan tegas pena yang tergores. Terus, terus dan terus. Halaman demi halaman mengikuti alur cerita jalan kehidupan. Sebuah foto yang warnanya telah memudar disana-sini, tampak terpajang di sebuah bingkai kayu berukiran sederhana di samping buku tersebut. Foto tiga orang anak berseragam SMP yang saling berangkulan berlatarkan sunset dan deburan ombak senja di sebuah pantai indah yang lengang.
             Hembusan terakhir sang dewi angin, lembar selanjutnya perlahan terkuak, bergerak menyingkap lembaran baru. Hingga akhirnya terhenti di sebuah lembaran kosong tak bertulisan……..

************Bila kau harus pergi meninggalkan diriku, Jangan lupakan aku*******************

              Hari ini, 1 Desember 2011

“Liku terjal bukit berbatu
Debur hantam ombak lautan
 Tak kan menghalang pandang
Karena yang paling kau kasihi
Mungkin tampak lebih jelas dalam ketiadaannya
Bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki
Nampak lebih agung
Daripada tanah ngarai daratan

Kelam dunia di mataku
Kini tlah jadi milikmu
Ku lihat biru langit meluas
Ku tatap hijau hamparan semi
Ku pandang indah warna dunia
Untukmu…
Karenamu….. ”

-------------------------------

               30 September 2008

                Hatinya terlalu takut untuk berhenti berlari sekarang. Ia terus, terus dan terus berlari seolah jantungnya akan ikut terhenti jika ia menghentikan langkahnya.

               Tangannya yang mengepal mulai berair. Terasa dingin. Lututnya terasa bergetar menopang tubuhnya yang tak henti berkeringat. Udara panas menerpa tubuhnya yang terus melaju melawan arah angin di tengah sesaknya lalu lalang manusia.

                “Kumohon……”
                Desah lirih terucap di sela-sela nafasnya yang terputus-putus karena paru-paru yang turut berpacu.

                  Ia menggigit bibirnya mencoba menahan perasaan takut teramat sangat yang menyergapnya. Ia tak mempedulikan tangan dan kakinya yang berulang kali terantuk karena ia terus berlari di tengah kerumunan yang menghalangi jalannya. Licinnya lantai bandara bisa saja membuatnya terjatuh saat itu juga. Tapi dia tak peduli, hanya satu yang dia ingin saat ini. Dia ingin melihat wajah orang yang disayanginya untuk terakhir kali. Ia ingin memohon agar dia tidak pergi.

                BRAKKK!!!

                “Woiii dek!!!!!”

                Rio tak menghiraukan teriakan dan pandangan orang-orang di belakangnya. Ia terus berlari. Ia tak sanggup untuk berhenti sekarang walaupun dadanya sekarang terasa begitu sesak.

                 ‘Kumohon….’

                  Rio memejamkan matanya sekejap mencoba melawan sesak di dadanya agar kakinya tak menyerah dan berhenti. Ia menatap papan petunjuk di kejauhan. Ia berharap tak tersesat dalam keadaan seperti ini. Ia mencoba mengingat kembali saat terakhir kali dia kesini 2 tahun yang lalu. Bukan waktu yang sebentar untuk tetap mengingat dimana arah menuju tempat pemberangkatan internasional. Berharap ia bisa menemukan orang yang disayanginya sebelum ia pergi.

                 ‘satu belokan lagi.’
                 Rio menatap papan petunjuk di depannya. Langkahnya mulai terseok dengan kecepatan yang semakin berkurang namun tetap ia paksa untuk terus berlari.

                  “DEPARTURE”
                  dengan anak panah ke kiri.

                 Rio berbelok mengikuti arah yang ditunjuk anak panah di depannya. Ia hampir saja terjatuh karena berbelok dengan kecepatan yang cukup tinggi.

                Di depannya tampak sebuah palang kecil yang dijaga 2 orang berseragam. Tampak antrian orang menyerahkan sesuatu kepada para penjaga itu lalu kemudian mereka akan diijinkan masuk.

               Rio menghentikan langkahnya dan berdiri tak jauh dari palang pintu itu dengan pandangan mata yang teliti mengawasi kerumunan orang yang melewati palang tersebut. Matanya mencoba menemukan apa yang dia cari.

               Deg!!!
               Debar jantungnya menyadarkan ia dari kediaman. Matanya menemukan orang yang ia cari sedang berjalan membelakanginya. Sontak Rio pun  berlari. Ia berlari mendekati palang yang dijaga orang berseragam itu namun tepat saat kakinya hendak melangkah melewatinya, tangan kekar kedua penjaga itu terasa menghantam dadanya. Mereka menahannya.

             “Maaf, paspornya?”

               Rio tak mempedulikan pertanyaan mereka.matanya tak lepas dari orang yang disayanginya. Ia mencoba meronta dari genggaman tangan kedua penjaga itu.

               “Maaf, anda tidak diijinkan lewat tanpa paspor…”
               Salah seorang penjaga memandang tajam padanya dan semakin erat mencengkeram lengannya yang meronta kuat. Rio terus mencoba melepaskan diri.

               Alvin berjalan semakin menjauh. Rio makin panik karena tak juga bisa menembus palang itu.

               “Lepasin…..saya mau ketemu temen saya!!!”

              Seseorang yang berdiri tak jauh dari dari sana sontak menengok begitu mendengar teriakan Rio.

               “Rio?”
                Ify yang berdiri tak jauh dari situ bergegas menghampiri Rio yang terus meronta.

                 “Rio!”
               Rio menoleh kearah suara yang memanggilnya.

               “Ify?”
                Rio berhenti meronta. Ia menjauh dari kedua penjaga itu, menghampiri Ify yang menatapnya dengan mata memerah. Tampak gurat jejak air mata mengering di kedua pipinya.

               Sejenak mereka bertatapan hingga akhirnya Rio sadar.

              “Alvin…”
               Rio mendekat kearah kaca pembatas. Dari sana ia bisa menatap Alvin yang menjauh. Alvin berpegangan pada tangan seorang laki-laki paruh baya yang entah siapa.

                “ALVIIIINNN!!!”
               Sekuat tenaga dipanggilnya nama sahabatnya. Tak pelak lagi puluhan pasang mata menyorot Rio yang berteriak pada orang di seberang sana yang entah bisa mendengarnya atau tidak.

                “Udah Yo, udah….”
               Ify mengelus pundak Rio yang masih berteriak dari kaca pembatas.
               “ALVIIIINNN!!!”

               “Rio udah…”
               Ify tak mampu menahan air matanya. Begitu banyak air mata yang mewarnai kisah mereka. Entah ini akan menjadi yang terakhir atau bukan, yang jelas, jarak semakin jauh terbentang.

                “Alvin….”
                 Suara Rio melemah. Tubuhnya merosot di hadapan kaca bening yang berdiri angkuh membatasi dirinya dari sahabatnya. Perlahan ia memukulkan kepalan tangannya kearah kaca yang sama sekali tak bergeming.

                 Ditatapnya punggung Alvin yang terus menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik badan pesawat yang menelan tubuhnya menghilang dari pandangan Rio. Betapa inginnya Rio melihat Alvin untuk yang terakhir kalinya. Ia bahkan belum sekalipun melihat wajah sahabatnya itu sejak ia bisa membuka kembali matanya. Betapa Alvin meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

               Kali ini Rio membiarkan air matanya mengalir bebas. Membiarkan butiran-butiran basah itu jatuh menyapa dunia. Butiran bening yang mewakili segenap rasa kehilangannya. Butiran bening yang mewakili ribuan kata yang tak sempat ia ucapkan. Butiran bening yang mewakili kata maaf dan terima kasih yang tak sempat ia sampaikan. Butiran bening yang menetes lembut dari sudut matanya. Butiran bening yang menetes lembut dari sudut mata sahabatnya, yang kini menjadi miliknya.

___________________________________

 “……Hari ini aku menemuimu Lewat puisi untuk mengenangmu
ku tatap nanar ragamu yg tlah pergi
Meninggalkan tanya gundah di hati


Aku masih menatap langit yang sama
Yang juga menaungi ragamu disana

Entah...
Dalam dekapan rasa
Untuk berapa kali aku duduk di sini
Entah...
Dalam dekapan rindu
Berapa kali lagi aku akan di sini
Saat ini...
Dengan segala asa
Masih duduk di dermaga tua ini
Entah sampai kapan aku di sini
Mungkin...
Sampai tidak ada lagi dermaga di kota ini

Di manapun engkau berada
Entah masih mewarnai
Lukisan hidupmu di dunia
Ataukah telah damai
Bersama kekasih abadimu
Kami disini selalu mengingatmu
Seperti dulu
Berpegang tangan menggapai langit
Berpegang tangan menggapaimu”


               Rio menutup buku kecil  berisi puisi yang baru saja ia bacakan. Derai tepuk tangan orang-orang yang hadir menggema di seluruh sudut ruangan. Tangan Rio meraih kembali selembar kertas kusam dari dalam kantong jas putihnya. Sebuah kertas lusuh termakan usia yang selama ini terus disimpan olehnya.

               Dari atas panggung Rio menunjukkan kertas yang dibawanya kepada tamu yang hadir.Seulas senyum tersungging dari bibirnya saat ia menatap kembali barisan-barisan kata yang tertulis disana. Tatapan matanya seolah mengatakan bahwa benda itu sangat berharga baginya.

              “Ini adalah sebuah surat. Surat yang dikirimkan ke rumah saya beberapa bulan yang lalu. Sebuah surat dengan kertas yang sudah sedikit kusam. Entah kapan sang penulis membuatnya. Dan siang ini, saya akan membaca kembali isi surat ini. Saya hanya ingin kehadirannya tidak dilupakan.”

               Rio menatap Ify yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Ify mengangguk pelan padanya.Dan Rio pun mulai membacakan untaian-untaian kata yang terukir disana.

Kepada sahabatku,
Rio dan Ify

         Bagaimana kabar kalian? Baikkah? Masihkah kalian mengingatku?
         Maaf, mungkin, beribu tanya yang ingin kalian sampaikan padaku.
         Disini panas, mungkin disana sedang hujan.Tapi yang jelas, seperti yang selalu kalian katakan, kita masih menatap langit yang sama. 

        Ify, marahkah kau padaku? Karena aku yang tak pernah berterus terang padamu? Karena aku yang selalu memendam semua masalahku sendirian? Karena aku yang membuatmu begitu terkejut saat mengetahui seperti apa diriku? Masih sakitkan lukamu dulu? Maaf……

          Rio……
         Aku tak pernah marah padamu. Sekalipun aku tak pernah membencimu. Semua itu bukan amarah, bukan benci. Aku yang salah.
          Rio……
          Cerahkah disana? Masih bisakah kau melihat rasi bintang kita bertiga? Masih indahkah bukit belakang rumah jika rerumputannya bersemi?
         Aku bisa melihatnya. Walaupun aku jauh disini, aku bisa melihatnya. Karena kita melihatnya bersama kan? Aku masih bisa menatap Ify setiap hari, aku masih bisa menatap padatnya jalanan Jakarta setiap hari, aku masih bisa melihat birunya langit disana setiap hari. Karena kau memandangnya,Rio. Mata yg ada padamu, jagalah, agar aku tetap bisa melihat tawa kalian dari sini.

          Rio, Ify….
         Apakah kalian masih mengingatku?
         Apakah kalian masih mengingat saat kita bersama dulu?
         Apakah kalian masih ingat?
         Aku masih ingat. Karena setiap kali ku membuka mata, tak ada lagi warna dunia yang bisa kulihat. Di tengah kegelapan, hanya bayangan kalian yang terlintas. Hanya saat-saat indah itu yang membekas.

         Rio, Ify….
         Bisakah kalian membayangkan aku ada disana sekarang? Bisakah kalian membayangkan aku menggenggam tangan kalian sekarang? Jika iya, bayangkanlah aku berada di dekat kalian. Bayangkanlah aku tersenyum pada kalian. Karena sekian lama aku tak melakukannya.

        Aku, menjadi seperti ini semua karena orang tuaku. Perlakuan mereka padaku membuatku memandang dunia menjadi sesuatu yang kejam. Kehidupan yang kujalani membuatku memandang hidup sebagai sesuatu yang melelahkan.
Maaf,…

        Rio, Ify….
        Surat ini kutitipkan pada seseorang. Aku memintanya mengirimkan pada kalian. Tapi saat aku memberikannya, aku hanya meminta satu hal. Aku ingin surat ini dikirim jika kelak aku telah tiada.
        Maaf, sekali lagi aku tak jujur pada kalian.
        Aku, menderita AIDS. Kata dokter, semua karena jarum suntik yang dulu kupakai untuk mengkonsumsi narkoba. Hidupku takkan lama.
        Maaf, akulah yang membuat kalian celaka. Aku begitu putus asa hingga berniat mengakhiri hidupku sendiri. Aku merasa begitu sendiri, hingga akhirnya aku sadar masih ada kalian yang begitu mengkhawatirkanku.

        Karena tingkah bodohku kamu kehilangan penglihatanmu Rio. Maaf… karena itulah aku memberikan mataku untukmu Rio. Untuk menebus kesalahanku. Maaf, bahkan aku melarang semua orang memberitahumu bahwa itu adalah mataku. Maaf, bahwa kau harus tau semuanya tepat disaat hari aku harus pergi meninggalkan Indonesia. Maaf, bahkan aku tak sekalipun menemuimu. Maaf, aku terlalu malu, aku terlalu takut menghadapi kenyataan.

       Tapi, dibalik semua itu, ada alasan lain kenapa aku memberikan mata ini untukmu. Karena aku tak ingin begitu saja meninggalkan warna dunia. Karena aku tetap ingin menatapnya, lewat dirimu. Walaupun suatu saat aku tak lagi hidup, aku ingin tetap menatap tawa kalian. Aku ingin tetap melihat senyum kalian.

       Sungguh, betapa penyesalan tak pernah bisa kuhapuskan setiap kali aku memikirkan kalian. hidup terlalu berharga untuk dilewati dengan sia-sia. Aku hanya berharap cerita tentang kita bisa menjadi pengalaman bagi orang lain.

       Satu hal yang sekian lama begitu ingin kukatakan, dan kali ini, akhirnya aku bisa mengatakannya.

       Rio, Ify….
       Aku merindukan kalian…
       Aku ingin terus bersama kalian….
       Maaf,…
       Dan terimakasih untuk segalanya…..

Dari sahabatmu,
Alvin Jonathan



             Rio mengusap sudut matanya dengan punggung tangannya. Tamu yang hadir terdiam larut dalam keheningan.

             “Kami, tidak akan melupakan Alvin. Setiap orang berhak menatap dunia, setiap orang berhak memaknai hidup dengan cara mereka sendiri. Tak ada seorangpun yang hidup sia-sia. Karena mereka semua tercipta untuk orang-orang yang menyayanginya.”

             “Di hari AIDS sedunia kali ini, saya Rio, dan sahabat saya Ify, meresmikan yayasan rehabilitasi AIDS ini untuk mengingatkan kembali kepada saudara-saudara kita yang terkena AIDS, bahwa hidup terlalu berharga untuk dilewati dengan sia-sia, seperti yang Alvin katakan. Kami ingin membagi apa yang pernah kami alami. Apa yang pernah kami rasakan adalah pengalaman bagi orang lain dan diri kami tentunya. Apapun itu, satu hal yang pasti, setiap diri kalian telah diciptakan untuk memberi kebahagiaan bagi orang lain. Kalian adalah harta yang berharga bagi orang-orang yang menyayangi kalian. Karena itu, tetaplah berjuang,…”

              “Untuk sahabat kami Alvin, semoga kau tenang disana. Maaf, dan terima kasih…..”

                Sekali lagi derai tepuk tangan tamu undangan riuh rendah mengiringi akhir kalimat Rio. Namun sejenak kemudian keramaian itu kembali terganti dengan keheningan.

                Jemari lentik Ify menekan tuts tuts piano yang terletak tak jauh dari tempat Rio berdiri. Perlahan terlantun suara merdu menyergap setiap rasa orang-orang yang mendengarnya.

               Intro sebuah lagu mengalun perlahan….

               Rio menatap tamu-tamu yang datang. Wajah orang-orang yang pernah dibelenggu keputusasaan karena merasa hidupnya sia-sia. Orang-orang yang pernah terpuruk dalam ketakutan karena ajal yang terasa begitu dekat di depan mata. Orang-orang yang mengingatkan Rio pada sahabatnya. Orang-orang yang pernah merasakan apa yang dirasakan Alvin. Menatap wajah mereka, serasa seperti menatap sahabatnya tersenyum di hadapannya.

               “Untukmu Alvin, Dari kami, Rindukan Dirimu….”
               Rio memejamkan matanya. Tangannya lembut menggenggam standing mic di hadapannya. Seluruh jiwa dan raganya terhanyut dalam keheningan. Keheningan yang memutar kembali slide-slide buram kenangan.
Sebuah pantai, dihiasi semburat kemerahan sang surya tenggelam. Gelak canda tiga orang anak yang penuh kegembiraan dalam balutan indah persahabatan menggaung memecah kesunyian. Berpadu dengan riuh rendah deburan ombak. Nyanyian alam menegaskan lukisan samar-samar wajah mereka. Berlarian dalam canda,…..Rindukan Dirimu…….


Berjanjilah wahai sahabatku
Bila kau tinggalkan aku
tetaplah tersenyum

Meski hati sedih dan menangis
Ku ingin kau tetap tabah menghadapinya

Bila kau harus pergi meninggalkan diriku
Jangan lupakan aku

Semoga dirimu disana
kan baik-baik saja
Untuk selamanya

Disini aku kan selalu
rindukan dirimu

Wahai sahabatku….

Sabtu, 21 Mei 2011

Andai Cakka Tak Pernah Mengenal Shilla

“Sepuluh…sembilan…delapan…….” Ify menghitung mundur sedangkan badannya menghadap ke sebuah pohon besar dengan wajah yang dia benamkan di antara kedua telapak tangannya layaknya orang yang sedang berjaga saat bermain petak umpet.

“Tiga….dua…..satu……Udah belom?” tak ada jawaban dari orang yang ditanya. Dan itu artinya…
“Aku mulai nyari ya…” Ify membalikkan badannya. Matanya mengawasi sekeliling. Sepi…hanya ada banyak pohon besar dan rindang di depannya. Dia mulai melangkahkan kakinya mengitari pohon-pohon terdekat di tepi tebing itu untuk mencari mangsanya yang sedang sembunyi.

Mata Ify teliti memandangi setiap bagian tempat itu, siapa tau dia ada di salah satu balik pohon yang ada di depannya.
Beberapa saat mencari, Ify tak juga menemukan orang yang dicarinya. Dia mulai kelelahan. Ify sudah mengitari di pohon-pohon terdekat. Lawan mainnya itu tak mungkin sembunyi terlalu jauh. Biasanya juga dia mudah ditemukan.

“Ih…..mana sih ni anak?” Ify mengusap peluh yang mengalir di dahinya. Dia mulai putus asa.
“Aku nyerah deh Cak…..” Ify berteriak mengaku kalah pada lawan mainnya yang ternyata adalah Cakka.

Mereka biasa bermain petak umpet disini. Mereka melakukannya tiap hari tapi mereka tak pernah bosan mengulangnya di hari berikutnya. Biasanya tak ada yang menang maupun yang kalah. Karena masing-masing pasti bisa menemukan lawannya. Bagaimana tidak, mereka sudah bermain di tempat itu puluhan kali. Bisa dibilang mereka hapal betul tempat-tempat strategis untuk sembunyi.

“Cakka keluar dong…..aku nyerah deh, capek nih…..” Ify duduk di tanah begitu saja menunggu Cakka keluar. Ia tak peduli gaun putihnya akan kotor terkena tanah yang ia pijak. Matanya masih teliti melihat sekeliling siapa tau bisa menangkap sosok Cakka. Beberapa saat Ify menunggu tapi Cakka tak juga keluar.

“Cakka!!!!!” Ify akhirnya berdiri. Dia terus memanggil-manggil nama Cakka dan meneruskan mencari.
“Apa dia sembunyi di balik tebing ya? Tapi kan ayah bilang kami masih belum boleh bermain di tebing.”

Ify melangkahkan kakinya menuju bibir tebing. Beberapa langkah lagi dia akan sampai di bibir tebing, tapi langkahnya terhenti saat melihat sesuatu di depannya.
Sebuah sepatu tergeletak tak jauh dari bibir tebing. Hanya satu sisi. Dan Ify mengenalinya.

“Cakka?” Ify berlari mendekati sepatu itu dan mengambilnya dengan perasaaan campur aduk.
“Cakka??” Ify mulai panik. Sepatu itu milik Cakka. Tapi kemana pemiliknya? Dia sudah hampir menangis. Dia menuju bibir tebing lalu mengintip ke bawah.
“Ya Tuhaan…ini curam sekali. Mungkinkah….”

“CAKKAAAAA!!!!!!!!!” Ify sudah benar-benar panik. Pikiran buruk mulai menghantuinya. Dia terus berteriak memanggil nama Cakka. Ify terpaku di bibir tebing dan masih meneriakkan nama Cakka sekeras mungkin dengan berurai air mata. Matanya melihat sekeliling. Sekarang dia benar-benar sendiri. Dimana Cakka?

“Cakkaaaaaaa!!!!!!!!” Ify merasakan badannya lemas. Dia menangis menatap jurang terjal di hadapannya. Cakka tak juga menjawab. sampai tiba-tiba sesuatu menepuk pundaknya dari belakang.
Ify menoleh kaget.

Cakka berdiri di belakangnya sambil meringis jahil.
“Cakka?!?!?!?” Ify langsung memeluk Cakka erat-erat, tangisannya semakin keras dan badannya gemetar.

“Hehehe…..Kena deh Ify….”
Cakka masih tersenyum-senyum dengan gaya jahilnya. Sedangkan Ify semakin erat memeluk Cakka dan tubuhnya semakin keras berguncang.

“Ih…Ify cengeng. Masa gitu aja nangis…takut ya ditinggal sendirian di hutan?” Masih dengan nada bercanda Cakka terus menggoda Ify yang masih terus menangis sambil memeluknya.

“Eh…Fy?” Cakka menghentikan tertawanya. heran kenapa Ify tak berhenti menangis padahal jelas-jelas dia hanya bercanda dan sekarang sudah berdiri di hadapannya.
“Fy…udah dong nangisnya…kan cuma becanda…maaf deh…”
Ify masih terus menangis….

Cakka menyentuh tangan Ify yang melingkar di pinggangnya berniat melepaskannya dari tubuhnya tapi dia kaget.
“Fy….tangan kamu dingin banget…kamu gemetar???”
Cakka yang tadinya berniat hanya menjahili Ify jadi panik melihat Ify yang gak berhenti menangis dan malah semakin erat memeluknya.

“Fy…maaf Fy…aku cuma bercanda….” Sekarang ganti Cakka yang panik menenangkan Ify.

“Ga mau……ga mau…”
“Ga mau apa Fy? Maaf…aku cuma bercanda….maaf kalau keterlaluan…”

“Ga……mau…Cakka …..pergi…..”
Cakka tertegun mendengar jawaban Ify. Tangan Ify semakin erat memeluk pinggangnya.
“Fy…..Fy maaf Fy…beneran aku cuma bercanda……” Cakka memegang bahu Ify dan menariknya menjauh dari badannya. Ditatapnya wajah Ify yang basah karena air mata. Dia jadi merasa bersalah.

”Ify….mau…sama…..Cakka…terus”
Kalimat Ify terputus-putus karena dia mengucapkannya sambil terisak.
“Iya Fy iya…maaf Fy…maafin Cakka….jangan nangis lagi ya…”Cakka mengusap air mata di pipi Ify…badan Ify masih gemetar.
“Kita pulang aja ya….” Cakka menggenggam tangan Ify dan menggandengnya perlahan pulang ke rumah.
“Jangan nangis lagi dong Fy….nanti aku bisa dikutuk jadi kodok sama Rio kalau sampai ketauan bikin kamu nangis….” Cakka berkata sungguh-sungguh dengan tatapan penuh harap pada Ify.

Ify mengangkat wajahnya dan menatap Cakka yang berjalan di sampingnya. Dia mencoba menenangkan perasaannya. kemudian menghapus air matanya sendiri dan mengangguk pelan pada Cakka. Dia juga tak ingin terjadi apa-apa pada Cakka kalau sampai kakaknya marah.

“Senyum dong….” Cakka menatap Ify dengan muka memohon.
Perlahan Ify memberikan senyum manisnya pada Cakka. Mereka berjalan pulang dengan langkah pelan sambil menunggu mata Ify yang merah kembali seperti semula.

>>>>>>>>>>

8 Tahun kemudian

12 April 2010 pukul 16.00

“Shillaaaa!!!!!!!!!!!”  Cakka berteriak saat melihat sebuah mobil melaju kencang dan hendak menabrak Shilla.

BRAKK!!!!!!
Suara kaca pecah dan benturan benda keras memancing perhatian orang-orang sekitar. Semua orang segera berkerumun di sekitar mobil yang menabrak pohon palm itu. Beberapa orang membantu Shilla berdiri. Cakka berlari melihat keadaan Shilla yang sudah bisa berdiri tegak tanpa ada kurang suatu apapun.

“Shil,kamu gapapa kan?” Cakka bertanya dengan nada panik sambil melihat Shilla dari ujung kepala sampai ujung kaki meneliti kalau-kalau Shilla terluka.
“Gapapa Cak….aku cuma kaget tadi waktu di klakson….” Shilla masih tampak ketakutan, mungkin karena terlalu kaget.

Orang-orang berkerumun di sekitar mobil yang remuk bagian depannya itu. Tapi sepertinya pengemudinya tidak apa-apa. Hanya luka ringan. Beberapa orang membawanya ke rumah sakit. Shilla juga tidak ditanya macam-macam oleh polisi karena memang mobil itu yang salah. Setelah diijinkan oleh polisi yang menangani kecelakaan itu Cakka segera membawa Shilla pulang.

“Kamu beneran gapapa Shil?”
“Gapapa Cakka…..aku cuma kaget. Aku juga heran. Padahal tadi waktu aku nengok mobil itu udah deket banget di belakangku. Kayaknya ga mungkin lagi menghindar. Tapi kok mobilnya malah nabrak pohon?” Shilla mengerutkan keningnya seolah mengingat-ingat sesuatu.
“Udah jangan dipikirin lagi. Yang penting kamu selamat.” Cakka meyakinkan Shilla.

“Tapi Cak….aku udah sering banget ngalamin kayak gini.” Shilla masih tetap berusaha mengingat-ingat.
“Udahlah Shil….”

“Beneran Cak…” Shilla memotong kalimat Cakka. “Dulu juga waktu aku mau disrempet sepeda motor tiba-tiba sepeda motornya malah jatuh dibelakangku. Trus waktu aku hampir aja jatuh ke tebing di perkemahan, eh….ada sulur pohon yang ngiket kaki aku, padahal kayaknya waktu itu ga ada pohon. Trus…”
“Shil udah lah….” Cakka buru-buru memotong kalimat Shilla yang ngomong panjang lebar.

“Tapi Cak….semua tu kejadiannya aneh, ga wajar. Dan kamu nyadar ga sih, setiap kali aku hampir celaka itu selalu ada kamu yang nolongin aku?” Shilla menatap Cakka serius.
“Shil….kamu percaya keajaiban kan?” Shilla mengangguk pelan.
“Nah…siapa tau itu adalah salah satunya.”
Shilla tampak berpikir.

“makanya ga usah dipikirin. Udah ah…pulang yuk….udah sore nih…”
Cakka menggandeng tangan Shilla dan merekapun pulang ke rumah setelah menghabiskan sore itu untuk mengerjakan tugas di rumah Oik untuk acara camping besok.

>>>>>>>>>>

13 April 2010 pukul 10.00
 @Bumi perkemahan

“Cakka, Shilla dan Gabriel cari kayu bakar ya….kita kumpul lagi disini 1 jam lagi…” Alvin, ketua pramuka, membagi tugas pada kelompok-kelompok yang sudah dibentuk.

Cakka, Shilla dan Gabriel pun menuju tempat yang sudah ditunjukkan oleh Alvin. Mereka berjalan berpencar di tengah hutan yang sepi itu sambil memunguti ranting-ranting yang sekiranya bisa mereka jadikan kayu bakar. Masing-masing memunguti ranting di tempat yang berbeda tapi tetap berdekatan.

Mereka berkonsentrasi melihat sekitar mengamati ranting mana yang bisa mereka ambil.

Tiba-tiba.…..

“AAAAA!!!!!!!!!!”

BRAKKK!!!!
Terdengar teriakan Cakka disusul suara benda terjatuh di antara ranting-ranting. Shilla dan Gabriel sontak menengok ke sumber suara dan betapa kagetnya mereka melihat Cakka tergeletak setelah tubuhnya menghantam sebuah pohon besar.

“Cakka!!!!” Shilla dan Gabriel segera berlari ke arah Cakka yang sedang berusaha bangun. Shilla meraih bahu Cakka, begitu juga dengan Gabriel.

“Cak….kamu Kenapa?” Shilla bertanya dengan wajah khawatir.
“Iya Cak….kenapa?” Gabriel tak kalah paniknya.

Cakka tidak menjawab, hanya dia mengarahkan pandangannya ke depan. Sorot matanya menunjuk sesuatu.
Shilla dan Gabriel ikut mengarahkan pandangan pada obyek yang ditunjuk Cakka dengan sorot matanya. Dan betapa kagetnya Shilla dan Gabriel saat menyadari apa yang mereka lihat.

Gabriel melotot menatap sesuatu itu, sementara Shilla menatapnya dengan ketakutan. Mereka tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Cakka memandang sinis pada sesuatu yang muncul secara tiba-tiba itu.

Beberapa meter di depan mereka tampak sosok dengan pakaian yang tidak biasa. Seorang anak laki-laki yang tampak sedikit lebih tua dari mereka mengenakan baju serba putih.
Yang membuat mereka ternganga adalah dari punggung anak lelaki itu tampak sepasang sayap sangat lebar yang sekarang semakin menciut dan akhirnya menghilang. Anak laki-laki itu berdiri tegap di hadapan mereka bertiga. Tatapannya sinis dan tajam.

Mereka terdiam dalam keheningan yang mencekam. Rasa takut sekaligus tak percaya campur aduk dalam perasaan mereka. Hanya Cakka yang tampak tak terlalu heran dan sekarang berusaha bangkit menatap sosok itu dengan tatapan tajam.

“Rio??” Cakka mengucapkan nama itu pelan namun seperti penuh amarah.

Anak laki-laki yang dipanggil Rio itu tidak menjawab. Dia perlahan mengacungkan telunjuknya ke arah Cakka dan seketika itu juga tubuh Cakka tiba-tiba terlempar menghantam pohon besar di belakangnya. Darah segar mengalir dari bibir Cakka.

“Cakka!!!!!” Shilla dan Gabriel tersadar dari lamunannya dan berteriak bersamaan lalu berlari menolong Cakka. Wajah mereka tampak pucat pasi melihat apa yang terjadi. Dalam mimpipun mereka tidak pernah membayangkan akan mengalami kejadian seperti ini.

“Cak, dia siapa? Kenapa dia bisa….”
Belum sempat Shilla menyelesaikan kalimatnya dia merasakan kedua lengannya dicengkeram kuat. Begitu juga dengan Gabriel. Saat mereka menoleh ke belakang ternyata di belakang mereka masing-masing ada dua orang yang juga berpakaian serba putih dan tentu saja juga bersayap mencengkeram kuat lengan mereka.

 Shilla dan Gabriel tak bisa  melepaskan diri dari cengkeraman mereka. Mereka ditarik menjauh dari Cakka.

“Shilla!!!! Gabriel!!!!” Cakka menatap mereka dengan pandangan khawatir.
“Heh lepaskan mereka!!!!”  Cakka bersiap menghampiri Shilla tapi anak laki-laki bernama Rio itu kembali mengacungkan telunjuknya dan sekali lagi tubuh Cakka terlempar menghantam pohon. Darah semakin banyak menetes dari bibir Cakka.

“Cakka!!!!!” Shilla sudah menangis melihat pacarnya disiksa seperti itu. Rasa takut membuat badannya lemas dan gemetar. Sementara Gabriel terus meronta dari cengkeraman dua orang pengawal itu.
“Lepasin!!!!”
Para pengawal itu tidak menghiraukan rintihan Gabriel dan Shilla yang kesakitan. Mereka justru semakin kuat mencengkeram lengan mereka.

Cakka tergeletak lemas di tanah. Dia kesulitan untuk bangkit. Punggungnya terasa remuk. Sekujur tubuhnya penuh luka dan darah segar.
Rio berjalan pelan mendekati Cakka.

“Ke…kenapa?” Cakka berbicara dengan nada kesakitan. Tatapan matanya sinis pada Rio.

Rio berdiri di samping tubuh Cakka yang masih tergeletak lemah di tanah.
“Apa kau sudah lupa?” Rio berbicara pelan. Dia mengarahkan telapak tangannya ke arah dada Cakka. Dan tiba-tiba Cakka merasakan dadanya begitu sakit. Seperti ada sesuatu yang menusuk jantungnya.

“Aaaaa!!!!! apa maksudmuuu?” Cakka bicara diselingi dengan rintihan karena dadanya yang terasa semakin sakit.

“Siapa Shilla?” Nada suara Rio meninggi dan masih tetap mengarahkan telapak tangannya ke dada Cakka.

“Aaaaa!!!! Dia…..dia pacarku. Kenapa??? Hentikaaaan!!!! Aaaaaa!!!!” Cakka merintih memegangi dadanya yang semakin sakit tanpa bisa bangkit sedikitpun.

“Jadi kau sudah benar-benar lupa? APA KAU LUPA?????” Rio berteriak membentak Cakka dan bersamaan dengan itu Rio semakin mendekatkan telapak tangannya seolah menekan jantung Cakka.

“Aaaaa!!!!!!!”

“Cakkaaaaaa!!!!!” Shilla benar-benar merasakan tubuhnya lemas tak berdaya. Dia tak bisa bergerak menyelamatkan Cakka. Dia hanya bisa melihat kekasihnya mengerang kesakitan.

“Jadi kau lupa janjimu 7 tahun yang lalu????”

>>>>>>>>>>

7 tahun yang lalu….
Istana langit

“Ayah jangan!!!!!”  Ify meronta dari cengkeraman pengawal istana yang memegang lengannya erat sekali.

“Ify….sudahlah Nak…..” Permaisuri menenangkan putrinya yang meronta-ronta. Beliau iba melihat putrinya menangis mengiba-iba seperti itu.

“Ayah jangan ayah…..”
“Ify sudahlah!!!!” Rio membentak Ify yang terus berteriak memohon daritadi.

Raja langit tak mempedulikan teriakan putrinya. Dia menatap Cakka tajam.
“Kau akan kami anggap sebagai anggota kerajaan kami jika kau telah menjalani masa ujianmu di bumi selama 7 tahun. Pengawal lemparkan dia!!!” Para pengawal yang menahan tubuh Cakka bersiap melemparkan Cakka ke lubang hitam yang merupakan batas antara langit dan bumi.

“JANGAAAANN!!!!!” Ify meronta semakin kuat dan akhirnya berhasil melepaskan diri lalu berlari kepada ayahnya dan berlutut di kakinya.

“Ayah jangan ayah…..Ify mohon jangan….” Ify memohon sambil terus menangis di kaki ayahnya.

“Rio!” Ayah Ify memberi isyarat pada Rio untuk menjauhkan Ify. Rio pun segera mengerti dan menarik adiknya berdiri lalu menyeretnya menjauh dari ayahnya.

“Lepasin!!!! Lepasin Kak!!!!” Ify meronta2 dari cengkeraman kakaknya. “Ibu!!!! Ify mohon Ibu……jangan!!!! Ibu!!!!” Ify menatap ibunya dengan tatapan mengiba. Rio semakin kuat menahan Ify yang terus berteriak sekuat tenaga.

“Ify mau ngomong sama Cakka sekali saja Ibu…..Ibu!!!!”

“Baginda…..” Mata permaisuri menatap Raja langit dengan tatapan yang mengisyaratkan permohonan. Raja langit tampak berpikir dan akhirnya mengijinkan Ify bicara dengan Cakka.

“Lepaskan dia!!!” Raja langit memerintahkan agar Cakka dilepaskan. Para pengawal itu melepaskan tangannya dari lengan Cakka. Ify segera berlari kearahnya dan langsung memeluk Alvin.

Sedari tadi Cakka memang tidak meronta minta dilepaskan karena dia tahu memang itulah yang harus dia hadapi. Sekeras apapun dia memohon tak akan bisa merubah keputusan Raja Langit. Semua ini sudah bagian dari hukum kerajaan.
Cakka ternyata adalah keturunan penyihir hitam yang merupakan musuh terbesar kerajaan langit. Dia dan keluarganya harus turun ke bumi dan hidup berpencar di tempat yang berbeda. Mereka akan diakui sebagai anggota kerajaan langit asalkan mereka mau menjalani hidup di bumi selama 7 tahun.

“Cakka….jangan pergi….” Ify terus memeluk Cakka sembari menangis tersedu-sedu.
“Fy…..Ify…liat aku…….” Cakka mengarahkan wajah Ify agar menatapnya.
“Aku hanya pergi 7 tahun dan aku akan kembali….” Cakka berusaha meyakinkan Ify.

“Tapi Cak…” Ify masih terus menangis.
“Fy…..kalau kamu sayang sama aku, kamu harus percaya kalau aku pasti kembali buat kamu. Aku pasti kembali buat kamu Fy….aku akan baik-baik saja. Aku janji….” Cakka menatap mata Ify penuh harap. Sebenarnya hatinya juga sakit harus berpisah dengan orang yang sangat disayanginya.

“Tapi Cak……” Ify tetap tak rela berpisah dengan Cakka.
“Fy……aku janji…..” Cakka menatap Ify dengan mata berkaca-kaca. Hatinya tetap tak bisa sok kuat menahan perasaan sakit.

“Pengawal!!!” Raja memberi isyarat pada pengawalnya untuk menangkap Cakka.

“Cakka!!!!” Tubuh Cakka tertarik menjauh dari pelukan Ify. Ify tetap bersikeras tak mau melepaskan Cakka. Rio pun segera bertindak. Dia menarik tubuh adiknya yang masih terus meronta menjauh dari Cakka.

“Turunkan mereka!!!!” Raja langit mengeluarkan titah.

“CAKKAAAA!!!!!!!” Teriakan Ify mengiringi jatuhnya tubuh Cakka ke lubang hitam. Ify jatuh terduduk menatapi tubuh orang yang disayanginya menghilang dari pandangannya.

7 tahun dilalui Ify dengan berat. Di awal Cakka meninggalkannya, hampir setiap hari dia menangis. Tapi makin lama dia tak lagi menangis. Ify berubah menjadi anak yang pemurung. Rio dan Permaisuri selalu berusaha memberikan semangat pada Ify. Tapi semua itu tak cukup untuk mengembalikan Ify seperti dulu lagi.

Tapi penantian Ify itu dibalas dengan sakit hati oleh Cakka.
Setelah 7 tahun waktu yang diberikan telah berakhir. Raja langit mengeluarkan sebuah cermin raksasa. Dari cermin itu mereka akan bisa melihat keberadaan Cakka dan keluarganya di bumi. Ify sangat menanti-nantikan hari itu. Hari dimana dia akan bisa melihat lagi orang yang selama ini ditunggunya. Tapi saat bayangan Cakka perlahan mulai tampak jelas, betapa kagetnya Ify, begitu juga Rio dan semua orang yang menjadi saksi janji yang diucapkan Cakka dulu, saat melihat Cakka sedang mencium Shilla di sebuah taman di bumi.

Raja langit memutuskan untuk tidak menaikkan dulu Cakka ke langit karena hal itu. Sementara Rio akhirnya tak tahan lagi melihat adiknya setiap hari menangis menyadari kenyataan bahwa orang yang ditunggunya selama 7 tahun ternyata melupakannya dan bahkan sudah menemukan penggantinya.

Akirnya Rio pun memutuskan untuk turun sendiri ke bumi dan ingin menghajar Cakka yang sudah sangat menyiksa adiknya.

>>>>>>>>>>

“Jadi kau sudah lupa dengan janjimu pada adikku Hah???”

“Aaaaa!!!! Hentikan Rio hentikan!!!!”

“Hentikan?? Baiklah….” Rio menarik tangannya. Cakka masih meringis merasakan perih di dadanya. Tapi tiba-tiba tangan Rio mengarah ke arah lain…..

“Aaaa!!!!” Terdengar teriakan Shilla yang terkena sihir Rio.

“Shilla!!!!” Cakka berusaha bangkit saat melihat Shilla kesakitan karena ulah Rio.

“jangan sakiti Shilla!!!”

Rio tersenyum sinis pada Cakka dan semakin menguatkan mantranya pada Shilla.

“Aaaa!!!! Sakiiiit!!!”

“Cukup Rio!” Sebuah suara membuat Rio menghentikan mantranya. Rio menoleh ke sumber suara.
Tampak Raja langit, permaisuri dan beberapa pengawal yang berjumlah hampir 20 orang muncul dengan pakaian serba putih.

Gabriel yang masih meronta-ronta terbelalak kaget melihat fenomena yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Sementara Shilla yang masih merasakan sakit di tubuhnya, semakin merasa badannya lemas menatap rombongan peri bersayap yang baru saja hadir di hadapannya.

“Ayah??” Rio menghentikan sihirnya. “maaf ayah….”

Raja langit hanya mengangguk tanpa berkata apapun.

Tibatiba Ify muncul dari sela-sela rombongan pengawal. Matanya tertuju pada sosok yang sangat dirindukannya.
“Cakka…..”

Cakka yang melihat sosok Ify terbelalak. Dia tak menyangka akan bertemu lagi dengannya setelah sekian lama. Dan perasaannya pada Ify…..

“Aaaaaa!!!!!” Terdengar teriakan Shilla yang terkena sihir Rio.
“Shilla!!!”
Cakka yang merasa tubuhnya telah sedikit pulih berlari ke arah Shilla tapi Rio mengacungkan telunjuknya sehingga tubuh Cakka tiba-tiba kembali terlempar ke belakang.

“Kenapa kau masih membelanya???? Itu Ify….apa kau tidak ingat dengannya????” Rio menatap Cakka emosi.

Cakka menatap Ify tapi kemudian kembali melihat Rio.
“Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Shilla. Dia pacarku dan aku tidak akan membiarkan dia terluka.”

Jantung Ify terasa dihujam pedang saat mendengar kalimat Cakka langsung dihadapannya. Cakka bahkan tak mau mempedulikan dia sedikitpun.

“Lalu bagaimana dengan Ify? Bertahun-tahun dia menunggumu. Bertahun-tahun dia memegang janji yang kau ucapkan dari mulut manismu itu, tapi seperti ini balasanmu??” Rio kembali melemparkan tubuh Cakka hingga menghantam pohon di belakangnya.

“Cakka!!” Ify hendak berlari menolong Cakka tapi tangannya ditahan oleh ayahnya.

Cakka berusaha bangkit.
“Aku mencintai Shilla!!!!!”

“Kurang ajar!!!!!” Rio berlari ke arah Cakka dan menghantam tubuhnya dengan sihir sekuat tenaga. Tubuh Cakka terhantam kembali ke pohon. Darah segar mengalir dari kepalanya.

Ify yang melihat kejadian itu menggigit bibirnya. Tangannya mengenggam kuat.

“Lawan aku!” Rio bersiap meluncurkan sihirnya tapi Cakka reflek mengeluarkan kekuatannya yang memang masih tetap ada selama ia tinggal di bumi dan menghantam tubuh Rio hingga terjatuh. Pertarungan pun tak terelakkan lagi. Shilla hanya bisa menjerit melihat tubuh Cakka terlempar kesana kemari. Dia dan Gabriel tak bisa berbuat apapun karena mereka dijaga ketat oleh para pengawal. Sedangkan Ify merasakan jantungnya berdetak kencang melihat orang yang disayanginya merintih kesakitan.

Pertarungan itu tidak seimbang. Rio tentu jauh lebih kuat dibanding Cakka. Dan sekarang Cakka sudah tergeletak tak berdaya di tanah. Sekujur tubuhnya penuh luka dan darah. Matanya terpejam. Badannya sama sekali tak bergerak. Namun dadanya masih tampak naik turun menandakan dia masih bernapas.

Shilla sudah menjerit-jerit memanggil nama Cakka. Tubuhnya meronta-ronta minta dilepaskan. Sedangkan Ify merasakan tubuhnya semakin lemas melihatnya.

Rio berjalan mendekati tubuh Cakka yang sudah tak bergerak. Rio mengarahkan telapak tangannya ke arah dada Cakka dan bersiap meluncurkan sihir terakhirnya untuk mengakhiri hidup Cakka.

“Jangaaaaaan!!!!!!!!!!!!” Ify meronta keras dari genggaman tangan ayahnya dan berlari ke arah Cakka.

“Jangan Kak jangan….” Ify memohon pada Rio agar tidak meneruskannya.

“Cakka bangun Cakka….” Ify memangku kepala Cakka yang berlumuran darah. Air mata Ify sudah tak terbendung lagi melihat Cakka tak berdaya.

“Minggir Ify!!!!” Rio hendak menarik bahu Ify tapi Ify menepisnya dengan kasar.

“Jangan!!!! Aku bilang jangaann!!!!!”
Ify kembali menatap wajah Cakka. Diusapnya pipi Cakka yang berlumuran darah. Rio hanya berdiri terpaku.

“Kenapa kau masih membelanya?” Rio berkata pelan dan menatap adiknya dengan tatapan iba. Dia tak tega melihat air mata adiknya terkuras hanya karena manusia tak tau diri seperti Cakka.

“Kakak tidak mengerti perasaanku….” Ify berkata lirih masih tetap memandang wajah Cakka yang sudah tak berdaya. Rio bungkam mendengar penuturan adiknya.


Ify meletakkan kembali kepala Cakka ke tanah dan kemudian bergegas berjalan ke arah Gabriel dan Shilla.

“Lepaskan mereka!!!!” Ify memerintahkan para pengawalnya untuk melepaskan Shilla dan Gabriel.

“Ify!” Ayah Ify memberikan isyarat agar Ify kembali.

“Aku bilang lepaskan!!!!!” Pengawal-pengawal itu menatap Ify bimbang.

“Lepaskaaaaaaannnn!!!!!!!” Ify berteriak.

“Lepaskan mereka” Ayah Ify memberi isyarat agar pengawal melepaskan mereka. Sebagai seorang ayah ia pun tak tega melihat putrinya terus-menerus memohon dan mengiba. Akhirnya Shilla dan Gabriel pun dilepaskan.

“Bawa Cakka pergi!” Ify menatap Shilla tajam. Sementara Shilla masih menatap Ify dengan wajah ketakutan.
“Bawa dia pergi!!!!!!!” Ify mengulangi kata-katanya dengan air mata yang terus menetes.

Tanpa menunggu lagi Shilla dan Gabriel langsung berlari ke arah Cakka lalu memapahnya pergi dengan terburu-buru.

“Kenapa kau membiarkan dia pergi?” Rio menatap Ify tajam. Tanpa mempedulikan pertanyaan Rio, Ify langsung mengucapkan sihirnya dan menghilang kembali ke istana.

>>>>>>>>>>

Rio tak pernah lagi menemui Cakka. Ify akan sangat marah padanya jika dia berani menyentuh Cakka lagi. Ify mengancam akan menceburkan diri ke telaga hitam jika ada yang berani menyakiti Cakka. Semua penghuni istana langit tahu tak ada satu peripun yang akan selamat jika tercebur kesana.
semenjak kejadian itu Ify hanya termenung di kamarnya. Wajahnya murung. Matanya selalu sembab karena menangis. Wajahnya tampak sayu dan pucat.

Seluruh anggota kerajaan merasakan kesedihan Ify, tapi mereka menghargai keputusan Ify untuk membiarkan Cakka bebas.
Ify semakin menjadi sosok yang pemurung. Senyum tak pernah lagi tersungging dari bibinya. Dia bertekad untuk mengikhlaskan Cakka tapi akhirnya tetap tak bisa. Ia tak pernah bisa melupakan Cakka.

Kedua orang tua Cakka sudah diangkat ke langit dan menjadi anggota kerajaan langit, tapi tidak demikian dengan Cakka. Raja langit tidak menaikkannya ke langit karena sepertinya Cakka pun sudah merasa hidupnya lebih bahagia di bumi.

>>>>>>>>>>

4 tahun kemudian.

Ruangan itu tampak sepi. Hanya ada seorang Ibu yang duduk di samping ranjang memandangi sosok yang sudah 5 hari terbaring lemah di kasur rumah sakit itu. Wajah ibu itu tampak kelelahan. Dia memandangi wajah anaknya yang pucat dengan perasaan sedih. Setiap hari dia berdoa agar anaknya bisa selamat dan segera bangun dari koma.

Sekarang sudah jam 8 malam. Suster baru saja selesai mengganti perban di kepala Cakka. Shilla juga baru saja pulang setelah sejak pulang sekolah tadi menunggui Cakka di rumah sakit.

Cakka mengalami kecelakaan 5 hari yang lalu saat mengendarai motornya ke puncak. Benturan di kepalanya menyebabkan dia koma selama 5 hari dan belum sadar sampai sekarang. Setiap hari hanya ada ibu angkat Cakka dan Shilla yang selalu setia menunggu Cakka. Entah kapan Cakka akan sadar.

Tiba-tiba Ibu angkat Cakka merasakan dirinya begitu mengantuk. Ia berkali-kali menguap dan akhirnya tertidur bersandar di kursinya.

Waktu pun berhenti berdetak.

Sesosok makhluk bergaun serba putih dan bersayap lebar muncul dari  pojok ruangan. Sosok itu adalah Ify.
Ify berjalan perlahan ke tempat tidur Cakka. Dia berdiri di samping kiri tubuh Cakka yang terbaring tak berdaya. Dia menatap Cakka dengan perasaan sedih yang teramat sangat. Semua yang terjadi sudah membuatnya begitu sakit hati. Tentang masa lalunya, tentang Shilla, dan tentang keadaan Cakka sekarang.

Malam ini Ify pergi diam-diam dari istana langit. Tak ada seorangpun yang tahu bahwa dia turun ke bumi untuk menemui Cakka. Dia sudah tak tahan lagi melihat Cakka menderita seperti ini. Dia juga tak sanggup lagi menahan perasaan cinta sekaligus sakit hatinya pada Cakka yang sudah tak lagi mempedulikannya.
4 tahun ini dia jalani dengan menahan perih yang terasa membakar hatinya. 4 tahun dia berusaha melupakan Cakka tapi 4 tahun pula dia terus terbayang wajah Cakka dan tak pernah bisa menghapusnya dari pikiran.

Ify menatap wajah Cakka yang pucat. Air matanya mengalir melihat orang yang dulu sangat menyayangi dan disayanginya sekarang dalam keadaan antara hidup dan mati.

Ify sudah mengambil keputusan. Walaupun mungkin keputusan yang diambilnya tidak akan pernah disetujui oleh kakak, ayah, ibu, maupun semua orang yang mengenalnya. Karena itulah Ify tak mengatakan keputusannya itu pada siapapun.

Malam ini dia akan melakukan apa yang sudah menjadi pilihannya. Tak akan ada yang bisa menahannya untuk tidak melaksanakannya. Semua itu demi Cakka dan juga demi dirinya.

Ify mengelus dahi Cakka yang dibalut perban. Dia genggam tangan Cakka yang lemah tanpa daya. Air matanya semakin deras mengalir di pipinya. Dia harus bisa, dan pasti bisa.

Ify menggenggam kalung yang melingkar di lehernya. Kalung yang tidak akan pernah bisa terlepas kecuali dia sudah mati. Itu adalah kalung kehidupannya. Cahaya dari kalung itu adalah simbol dari nyawanya.

Dan sekarang dia akan memberikan cahaya kalung itu kepada orang yang paling dicintainya selama hidupnya. Orang yang sudah mengisi hari-harinya saat mereka masih kecil, menanamkan perasaan cinta yang tertancap begitu dalam di hatinya, orang yang selama 7 tahun dinantikannya tanpa sedikitpun berkurang perasaan cintanya, dan orang yang ternyata sudah mengabaikan dan menyakiti hatinya setelah sekian lama ditunggunya dengan uraian air mata rindu dan penantian yang teramat panjang.  Dan 4 tahun dia menghabiskan hari-harinya dengan air mata karena Cakka tak lagi mempedulikannya. Tapi hari ini dia akan memberikan cahaya kehidupannya pada Cakka.

“Aku ingin kau tak lagi mengingatku Cakka…”

Ify mengarahkan telapak tangannya ke dahi Cakka dan sebuah cahaya terang dari telapak tangan Ify merenggut semua ingatan Cakka tentang Ify….tentang istana langit….dan tentang semua yang berhubungan dengan dirinya. Dia ingin Cakka menjadi manusia seutuhnya. Cahaya itu padam dan itu berarti Cakka tidak akan ingat lagi segala sesuatu tentang Ify.

Ify menundukkan badannya agar dia bisa mendekatkan bandul kalungnya pada Cakka. Digenggamkannya bandul kalungnya yang berbentuk bulan sabit itu ke tangan kiri Cakka. Kemudian tangan kanan Ify juga menggenggam tangan Cakka yang di dalamnya terdapat bandul kalungnya itu.

“Jangan Fy!!!!!!”
Sebuah suara dari pojok ruangan mengagetkan Ify.

“Kak Rio???”
Rio bergegas berjalan ke arah Ify tapi terlambat. Ify mengacungkan telunjuknya dan tiba-tiba muncul tirai transparan seperti gelembung sabun yang melingkupi tubuh Ify dan Cakka sehingga menghalangi Rio.

“Maaf Ka‘….”
Rio mencoba menembus tirai itu tapi tak bisa. Tirai transparan itu begitu kuat. Rio memukul2kan tangannya dan menendang-nendang dengan segenap kekuatannya tapi tirai itu tetap tak bergeming. Dia keluarkan sihir-sihir yang dimilikinya tapi tetap tak bisa menembus tirai itu.

Ify menatap kakaknya sejenak lalu kembali menatap Cakka. Dia menggenggamkan lagi kalungnya ke tangan Cakka dan kemudian di genggamnya juga dengan tangan kanannya.

“Fy jangan Fy!!!!!”

Ify tak mempedulikan panggilan kakaknya. Air matanya menetes jatuh ke badan Cakka.

“Fy…kakak mohon jangan Fy…Fy…ingatlah ayah dan ibu…Ify jangan!!!” Rio terus berteriak sambil terus memukul-mukul tirai itu dengan sekuat tenaga mencoba menembusnya.

“Ify!!!! Ify jangan…Ify!!!!!”
Ify tak mempedulikan Rio yang benar-benar panik.

Ify menempelkan tangan kirinya ke dada Cakka. Dia memejamkan matanya, berkonsentrasi mencoba mencari dan merasakan detak jantung Cakka.

“Maaf Kak…..Ify egois…..” Ify berkata lirih.

“Ify jangan Ify!!! Ify!!!!!!!”
Akhirnya Rio berhenti memukuli tirai itu. tubuhnya berdiri kaku menatap adiknya di dalam sana mengorbankan hidupnya demi orang yang sudah menyakitinya.

“Ify….” Rio menyebut nama adiknya lirih. Dia sadar tak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk mancegah Ify.

Ify sudah siap.

“Cakka…….aku sangat menyayangimu. Andaikan kau tau aku menunggumu sekian lama berharap kita bisa seperti dulu lagi.” Ify bicara dengan air mata yang terus mengalir.

“Ku akui aku sangat membenci Shilla……..tapi kau sangat menyayanginya. Dan aku sangat menyayangimu. Aku ingin kau bahagia Cakka.” Ify menatap wajah Cakka sayu.

“Aku tak tau harus bagaimana. Aku tak mungkin memaksamu untuk melupakan orang yang kau sayangi karena aku tau itu tidak mudah. Begitu juga denganku yang berusaha melupakanmu tapi tetap tak pernah bisa. Tapi aku juga tak sanggup menahan sakit hatiku menatapmu bersamanya Cakka….Aku tidak sekuat itu. Aku tidak sanggup Cakka….tidak sanggup….”

“Jangan pernah sakiti dia. Jangan buat dia merasakan apa yang kurasakan. Sakit Cakka…..Sakit……Andaikan kau tau aku rela mengorbankan hidupku hanya demi dirimu.” Ify semakin erat menggengam tangan Cakka.
“Seumur hidupku tak ada seorangpun yang bisa menggantikanmu di hatiku. Andaikan kau mengerti aku sakit hati Cakka….sakit…….Aku akan selalu ada untukmu. Entah kau peduli maupun tidak. Karena aku hanya untukmu. Hanya untukmu Cakka……semoga kau bahagia……”

Rio menatap adiknya tanpa bisa berbuat apapun.
“Ify…….semoga kau bahagia…..maaf tak bisa menjagamu dengan baik“ Rio menatap adiknya sendu. Sebutir air mata mengalir dari pelupuk matanya. Rio menundukkan wajahnya. Dia pejamkan matanya.

Ify mendekatkan wajahnya pada Cakka. Ify mencium kening Cakka dan memejamkan matanya. Dia rasakan tangan kanannya yang menggenggam tangan Cakka terasa menghangat karena cahaya dari kalungnya. Dia rasakan tangan kirinya yang menempel di dada Cakka, merasakan detak jantung Cakka.

Kalung itu bersinar beberapa saat…..terang sekali……lama kelamaan semakin meredup dan akhirnya padam. Dan seiring dengan padamnya cahaya itu, tubuh Ify pun terjatuh tergeletak ke lantai dan tirai yang melindungi mereka pun lenyap.

“Ify!!!!” Rio berlari ke arah Ify yang sudah terkulai di lantai dan memeluk adiknya. Ia menangis memangku badan adiknya.
Rio tak sanggup mengatakan apapun. Kalung Ify menghitam, menandakan tak ada lagi kehidupan disana. Adiknya telah mati. Air mata Rio terus menetes menatap mata adiknya yang terpejam.

Rio mengangkat tubuh adiknya.

Sebelum beranjak pergi Rio melihat ke arah Cakka.
“Semoga kau bahagia. Adikku mengorbankan dirinya untukmu. Mengertilah arti cinta sejati.”

Rio memejamkan matanya. Tubuh Ify terkulai di tangan Rio. Rio mengucapkan sihirnya dan sekejap kemudian mereka menghilang.

Waktu kembali berputar. Ibu angkat Cakka terbangun dari tidurnya dan tak lama kemudian Cakka tersadar dari komanya.

>>>>>>>>>>

Semenjak itulah Cakka menjadi manusia seutuhnya. Dia tak lagi ingat tentang istana langit, tentang sihir dan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ify. Dia menjalani hari-harinya bersama Shilla sebagai manusia seutuhnya.

Sedangkan tubuh Ify tetap abadi terbaring di sebuah kotak kaca di salah satu ruangan di istana langit. Setiap hari Rio, ayah, Ibu dan orang2 yang mengenal Ify berdoa untuknya.

Ify……
Jasadnya akan menjadi simbol cinta sejati dan pengorbanan. Cinta, kasih, penantian, kerinduan, sakit hati, dan pengorbanan. Setiap orang yang melihat jasad Ify akan merasakan hawa itu dalam hati mereka.

Cinta sejati tak pernah menyakiti orang yang dicintai walaupun itu menyakitkan bagi dirinya sendiri.
Semoga kau bahagia Cakka….
Hatiku selalu untukmu…
Selamanya……