Senin, 27 Juni 2011

We Were There (CHAPTER 3)


Jack says             : “Indonesia sekarang semakin menjadi Negara yang aneh.”
Anonym says    : “Semua orang harus mati.”
Yuki says            : quote “Jack says Indonesia sekarang semakin menjadi Negara yang aneh.”
                                  “Ya, Indonesia Negara yang aneh sekarang. Terlalu banyak orang idiot yang memuakkan.”
A2 Says              :“Negara seperti ini lebih baik dimusnahkan”

Anak laki-laki itu perlahan menyuapkan mie instant di tangannya tanpa mengalihkan pandangan mata sedikitpun dari layar komputer di hadapannya. Sesekali ia tersenyum melihat barisan ocehan orang-orang yang tak henti-hentinya mencerca negaranya sendiri.

Mata anak-laki-laki itu melirik sejenak ke layar computer lain yang ada di sebelahnya. Ada 3 komputer di ruangannya itu. Masing-masing menampakkan gambar yang berbeda. Satu yang ada di hadapannya terus menampilkan umpatan-umpatan orang di luar sana yang merasa Negara ini sudah terlalu terpuruk. Komputer lain di sebelah kanannya menampilkan command prompt yang berada dalam kondisi standby. Sementara itu satu computer lagi yang ada di sebelah kirinya yang sekarang ia lirik dengan sudut matanya menampilkan sebuah video yang semenjak tadi entah sudah berapa kali ia repeat.

Sudut matanya menatap tajam video itu. Sebuah video yang menampilkan orang-orang di sebuah gedung perkantoran Rusia. Orang-orang itu berlarian kesana kemari melangkahi orang-orang lain yang telah terkapar di lantai. Mereka berlari terseok-seok sambil menutupi hidungnya yang tak henti-hentinya mengeluarkan darah. Orang-orang itu mencoba mendobrak pintu yang terkunci dengan sisa-sisa kesadaran yang sedikit demi sedikit mulai hilang ditelan rasa sakit yang mereka rasakan. Seorang lelaki paruh baya tampak menggapai-gapai kamera yang menjadi saksi bisu peristiwa itu. Laki-laki itu menggapai-gapai sambil terus mendesah lirih memohon pertolongan sebelum akhirnya ia jatuh terkapar di hadapan si pembawa kamera. Video itu terus berlanjut merekam setiap teriakan panik yang ada disana hingga akhirnya kamera itupun turut jatuh seiring kematian si pembawanya.

Anak laki-laki itu kembali mendesah dalam. Sudah berulang kali ia menyaksikan video itu. Dan setiap kali menyaksikannya pula, ia akan merasakan rasa takut yang mulai menyergap perlahan. Ia pun kembali mengalihkan pandangannya kearah komputer yang sedang menampilkan sebuah chatbox suatu situs jejaring sosial. Baru beberapa saat ia tak menatapnya, sekarang umpatan-umpatan itu sudah bertambah puluhan baris. Semua orang mencerca Negara ini. Semua orang mencoba melontarkan suatu solusi yang konyol, yaitu menghancurkannya.

Anak laki-laki itu melatakkan cup mie instant yang sedari tadi menghangatkan telapak tangannya. Ia mematikan komputer di hadapannya dan mulai beranjak pergi. Sebuah gumaman mengiringi langkahnya keluar dari pintu.

“Sepertinya keinginan kalian sebentar lagi akan terwujud.”

--------------------------

PUBLIC SAFETY SPECIAL UNIT-TERRORISM POLICE UNIT
THIRD-I Senin, 27 Juni 2011 pukul 14.00

“Apakah kita sudah menerima daftar teroris Rusia?”
Seorang lelaki paruh baya bernama Tantowi tampak memandangi layar LCD yang terpampang di dinding kantornya tersebut.

“Belum Pak. Kita masih membutuhkan komfirmasi dari pemerintah Rusia.”
Seorang perempuan di belakangnya tampak berkutat dengan keyboard computer yang ada di depannya. Wanita itu mencoba menampilkan peta sebuah wilayah di Rusia dan kemudian menampilkannya di layar besar yang sekarang sedang dipandangi atasannya tersebut. Ia adalah Teknisi Komputer Third-I, Ita.

Di layar LCD yang sedang dipandangi oleh Pak Tantowi sekarang muncul peta sebuah wilayah di Rusia yang belakangan ini menjadi fokus utama penyelidikan yang mereka lakukan.
“ini gambar yang diambil berdasarkan foto satelit pak. Pihak Rusia sudah mengkonfirmasi bahwa kota ini benar menjadi target teroris tersebut.

Pak Tantowi memandang tajam peta tersebut. Tak ada sesuatu yang berbeda dari daerah tersebut. Sama seperti peta-peta lain yang pernah ia lihat.

Seorang laki-laki berambut putih bergegas mendekat saat melihat peta yang terpampang.
“Ini…..kota yang menjadi sasaran teroris itu?”
Pak Tantowi menoleh kaget saat Kepala kantornya itu tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.

“Benar Pak. Kota ini……menghilang.”

“Menghilang?!?!?!”
Semua orang sontak menghentikan pekerjaannya demi mendengar pembicaraan dua orang itu. Sekarang semua orang turut menatap layar LCD itu. Mereka tak kalah kagetnya dengan Pak Susilo, Kepala kantor, yang sekarang menatap Pak Tantowi dengan pandangan heran.

“Benar pak. Kota ini menghilang. Seluruh warga kota ini…..tewas mendadak.”

Semua orang di ruangan itu terperangah mendengar penuturan Pak Tantowi.

“Jadi, hal seperti itukah yang akan mereka lakukan pada Jakarta?”

Pak Tantowi hanya mengangguk pelan.

“Apa yang sebenarnya terjadi disana?”
Tak ada seorangpun yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Itulah yang selama ini mereka cari tau. Teror teroris itu terus menghantui mereka tanpa mereka tau apa yang sebenarnya direncanakan oleh orang-orang itu untuk menghancurkan Negara ini.

“Apakah sudah ada kabar dari mata-mata kita di Rusia?”

“Belum Pak.”
Pak Tantowi menghela nafas dalam. Rasa penat yang melanda setelah berhari-hari tenaganya diforsir untuk memikirkan masalah ini membuat tubuhnya terasa lelah. Namun, hal itu tak berarti apa-apa bila dibanding nyawa jutaan penduduk yang berada dalam bahaya.

Semua orang sudah kembali pada pekerjaannya. Akan tetapi telinga mereka tak pernah lepas dari pembicaraan dua orang tersebut.

Tiba-tiba Pak Susilo bergumam pelan.
“Anak laki-laki itu……..mungkin bisa melakukannya…..”

Pak Tantowi sontak menatap heran pada kepala kantornya tersebut.

“Hacker jenius yang tertangkap karena insiden beberapa minggu yang lalu.”

“Maksud Bapak…….Falcon?”
Kening Pak Tantowi tampak semakin berkerut.

Semua orang yang mendengar nama Falcon disebut sontak melayangkan ingatannya ke beberapa minggu yang lalu saat seorang hacker yang baru kelas 2 SMA tertangkap saat menerobos masuk ke sistem pertahanan nasional. Pikiran semua orang yang ada disana tertuju padanya………Falcon.

***Domain:  We Were There. Password: chapter 3***

Matahari pagi menelusup di antara celah-celah gorden kamar. Sinarnya yang menyilaukan memaksa Ify untuk membuka mata. Kepalanya terasa pening. Ketika ia sudah sepenuhnya terbangun, barulah ia sadar bahwa semalaman ia tidur dalam keadaan duduk dan kepala tertelungkup di meja belajar. Diusapnya kedua matanya dengan punggung tangan. Matanya terasa pedas. Menangis cukup lama hingga akhirnya tertidur membuat matanya bersemu merah pagi ini.

Ify menatap jam di dinding belakangnya. Pukul 09.30. Dengan langkah gontai ia berjalan ke tempat tidur. Badannya terasa ngilu karena posisi tidurnya semalam. Ify menghempaskan tubuhnya ke kasur. Dengan malas ditariknya selimut dan ia tutupkan beitu saja ke kakinya yang kedinginan. Hari sudah terlalu siang untuk siap-siap ke sekolah. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak masuk sekalian.

Ia memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. Ia ingin memejamkan mata sebentar saja dengan posisi tidur yang benar. Tapi, semakin ia coba memejamkan mata, pusing di kepalanya makin terasa menyiksa.

“Arrgghh!!!”
Akhirnya Ify bangun dan langsung meraih handuk lalu kemudian bergegas menuju kamar mandi.

------------------------

Ify masih menelungkupkan kepalanya di atas meja kasir. Kepalanya masih terasa berputar-putar. Beruntung hari ini tak banyak pelanggan yang datang, jadi, Ify bisa sedikit bersantai.

“Oi, kalau kamu datang lebih awal hanya untuk tidur, lebih baik kau pulang lagi saja sana.”
Kiki, rekannya yang sudah lebih dulu bekerja di minimarket selama 4 tahun itu mengacak-acak rambut Ify yang belum juga mau mengangkat kepala.

“Ahhhh, aku pusing…..”
Perlahan Ify mulai mengangkat wajahnya. Kiki bisa melihat wajah Ify yang bersemu merah. Sontak ia pun menempelkan punggung tangannya ke dahi Ify.

“Kau sakit?”

“Mmmm…”
Ify hanya menggeleng pelan.

“Hei, istirahatlah dulu. Sepertinya kau terlalu banyak pikiran. Atau jalan-jalan sana menghirup udara segar. Sepertinya kau ini jarang terkena sinar matahari karena terus menerus mengurung diri di kamar.”
Kiki terus bicara seperti tetua yang memberi petuah pada muridnya.

“Ya ya ya….”
Dengan malas Ify berdiri dan mengenakan jaketnya.
“Kalau begitu aku akan jalan-jalan sebentar. Menghirup udara segar. Berarti kau yang harus menggantikan pekerjaanku.”
Ify mencibir pada Kiki.

“Iya iya tenang aja.”

Ify pun berjalan keluar minimarket. Ia melangkah kearah taman yang tak jauh dari minimarket tersebut. Dan seperti bisa ia tak pernah meninggalkan tas jinjing berisi laptop kesayangannya. Ia terus berjalan sambil sesekali menarik nafas dalam-dalam menghirup udara pagi yang masih segar. Matahari yang tak terlalu panas memang saat yang paling tepat untuk jalan-jalan. Tanpa ia sadari, seseorang terus mengikutinya dari kejauhan.

Ia memilh sebuah bangku besi bercat putih yang ada di tepi kolam kecil. Ditatapnya gemericik air yang jatuh membentuk riak-riak kecil di atas kolam kehijauan itu. Bayangannya kembali melayang pada sosok gila yang berani-beraninya memeluk dirinya semalam. Ia mencoba mengingat wajah anak itu. Beberapa detik berlalu, tiba-tiba dia seolah baru saja menemukan ingatan yang terselip di antara tumpukan memory dalam otaknya.

Kali ini ia menatap kolam itu dengan dahi berkerut.
“Sepertinya…..aku pernah bertemu dengannya…..”

Semakin ia mengingat, semakin bertambah tumpukan kerutan di wajahnya. Sampai akhirnya dia mengacak-acak rambutnya sendiri.
“Arrgghhh!!!!”
Semakin Ify mencoba mengingat, kepalanya justru semakin pusing. Akhirnya dia memutuskan untuk mengeluarkan laptop kesayangannya.

Sebelum membuka laptopnya,  Ify mengelus-elus laptop kesayangannya itu.
“Ahhh, selalu saja hanya kau yang mengerti perasaanku.”
Perlahan ia membuka Vaio pink nya. Ia mengeluarkan flashdisk yang selalu ia kalungkan di lehernya dan menancapkannya pada slot laptopnya. Ditatapnya command prompt yang menunggu untuk diisi sesuatu. Tangannya belum mengetik apapun. Ia masih ragu.

“Aku tidak akan menyerah hanya karena dia.”
Seperti biasa ia meregangkan jarinya terlebih dahulu. Kali ini ia akan mencoba untuk kesekian kalinya. Tapi baru saja ia “menginjakkan kaki” di gerbang host THIRD-I tiba-tiba sebuah gambar burung aneh memenuhi layar laptopnya.

“Hah?”
Ify mencoba memencet-mencet keyboardnya tapi tak ada reaksi apapun. Lambang aneh itu tetap mendominasi untuk beberapa saat hingga akhirnya power komputernya mati seketika.

“Berapa kali lagi kau akan mencoba masuk kesana?”

Suara itu mengagetkan Ify yang masih tercengang menatap layar laptopnya. Sontak iapun menoleh kearah suara di belakangnya itu.
“KAU?!?!?!”
Ify sontak berdiri menatap laki-laki gila yang baru saja ia pikirkan.

“Harus dengan cara apa lagi agar kau tidak lagi mengakses THIRD-i?!?!?”
Kali ini laki-laki itu terdengar seperti membentak. Tapi sorot matanya tampak bukan seperti orang marah. Seperti, khawatir.

“Apa urusanmu denganku?!?!”
Ify membalas tak kalah kerasnya.

“Kau tau itu tindakan yang berbahaya kan? Kenapa kau terus melakukan tindakan illegal itu? Apa kau tidak takut jika sesuatu menimpamu? Apa kau tidak memikirkan apa resikonya?”
Laki-laki itu bicara panjang lebar, bahkan nafasnya pun tampak sedikit terengah di akhir kalimatnya.

“Apa kau bisa melindungi dirimu sendiri kalau….”

“Kau tidak punya hak ikut campur!!!”
Kalimat anak lelaki itu tertahan di tenggrokan saat Ify dengan kesalnya memotong kalimat panjangnya. Tangan Ify meremas laptop yang ada di genggamannya Karena kemarahan yang mulai mengusik hatinya.

“KALAU AKU BILANG BERHENTI YA BERHENTI!!!!!”

“KENAPA?!?!?”

Laki-laki itu tercekat, ia tak bisa membalas pertanyaan Ify kali ini. Pandangan mata tajamnya seketika lenyap berganti dengan wajah yang tertunduk tanpa tau harus berbuat apa.

“Kau apakan laptopku?”
Sekarang berganti Ify yang menatap tajam anak laki-laki itu.
“Kamu kan yang mengirim gambar burung aneh ini?”

Bukannya menjawab, anak laki-laki itu tiba-tiba melangkah mendekat dan menarik tangan Ify.
“Ikut aku.”

Ify pun sontak mencoba melepaskan diri dari genggaman tangannya.
“Aku tidak mau!”

Anak laki-laki itu justru semakin kuat mencengkeram tangan Ify dan terus mencoba menarik Ify.

“Aku bilang aku tidak mau!”
Ify terus meronta. Begitu pula anak laki-laki itu tak mau melepaskan Ify. Ia terus mencoba menarik Ify hingga akhirnya ia sontak berhenti saat Ify berteriak bersamaan dengan lepasnya laptop yang ia pegang sedari tadi. Laptop itu terlempar dan menghantam tanah berbatu. Ify menatap laptopnya yang sekarang tergeletak di tanah. Perlahan anak laki-laki itu melepaskan tangan Ify dan membiarkan Ify bergegas meraih laptopnya.

Ify mencoba memencet tombol power laptopnya tapi tak ada sesuatupun yang berubah. Laptopnya tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan sama sekali. Ia terus mencoba, air matanya sudah jatuh seiring dengan usaha kerasnya untuk menyalakan benda berharganya itu.
 Anak laki-laki yang ada di dekatnya hanya bisa menatap gadis itu dengan tatapan mata penuh rasa bersalah. Perlahan ia berjalan mendekat.

“Ma….maaf….”

“Pergi kamu!!!!”
Ify tak memalingkan sedikitpun wajahnya pada orang di dekatnya. Ia masih terus mencoba menyalakan laptopnya.

“Aku…..aku akan menggantinya….aku…”

“PERGIII!!!!!!!”
Ify berdiri dan mendorong badan anak laki-laki itu ke belakang.

“Aku bilang pergi!!! Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!!!!!!”
Ify mengusap lelehan air mata di pipinya dan mulai melangkah pergi meninggalkan anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu terdiam menatap Ify yang sudah beberapa  langkah meninggalkannya. Rasa bersalah kini menyelimuti perasaannya atas tindakan bodoh yang telah membuat gadis itu menangis.

Ify berjalan cepat meninggalkannya sambil memeluk erat laptopnya yang sudah tak berfungsi. Tiba-tiba langkahnya terhenti saat ia mendengar teriakan di belakangnya. Ify pun sontak menoleh.

“Arggghh!!!”
Anak laki-laki tadi meronta kesakitan saat seorang laki-laki berpakaian serba hitam menahan tangannya dengan kasar.

Ify terpaku melihat apa yang terjadi di depannya. Anak laki-laki itu dibuat tak berkutik oleh laki-laki bertubuh kekar yang kini menyilangkan tangan anak laki-laki itu ke belakang sehingga membuat anak laki-laki itu tak bisa melarikan diri.

“Lepaskan!!!!”
Anak laki-laki itu terus meronta mencoba melepaskan diri dari tahanan lelaki kekar yang kini membatasi gerak tubuhnya.

“Rio, ikut kami!”
Laki-laki itu menarik tubuh anak laki-laki bernama Rio itu.

Rio pun tak kuasa untuk melawan. Dengan sisa-sisa waktu yang ia miliki sebelum tubuhnya tenggelam dalam mobil hitam yang dibawa oleh laki-laki kekar itu, Rio berteriak pada Ify yang masih tertegun menatap kejadian di depannya.

“Aku akan mengganti laptopmu!!!!! Jangan lakukan hal itu lagi!!!!!!!”
Tepat saat kalimat Rio selesai, laki-laki berseragam tadi menutup pintu mobilnya dan bersama satu orang temannya yang memegang kemudi membawa Rio menjauh dari sana.

Ify masih kaku berdiri di tempatnya menatap jalanan yang kini telah lengang. Ia masih terkejut karena kejadian barusan. Rio? Siapa dia? Siapa laki-laki yang tadi membawanya? Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban itu membuat Ify masih tertegun. Tubuhnya tak bisa beranjak karena rasa terkejut yang begitu hebat melanda dirinya. Ia masih berdiri disana untuk beberapa saat.

Sementara itu, orang yang sedari tadi mengawasinya hanya tersenyum manatap gadis yang masih tertegun menatap jalanan. Orang itu mengelus-elus dagunya sehingga menampakkan sebuah tato bergambar kupu-kupu merah hitam di punggung tangannya.


Story from: Bloody Monday

Senin, 13 Juni 2011

We Were There (CHAPTER 2)

Tepat pukul 8 malam. Tanpa terlambat barang semenitpun gadis itu seperti biasa segera meraih tas jinjingnya dari kolong meja kasir dan berpamitan pada 2 orang teman kerjanya yang lain. Dua orang temannya itu juga sudah hapal betul bahwa rekannya yang satu itu tak pernah terlambat datang dan juga tak pernah terlambat pulang.



Gadis itu bergegas menuju halte bis tak jauh dari sana untuk menanti kendaraan umum yang akan membawa dirinya segera pulang ke rumah. Badannya terasa lelah setelah seharian berkutat dengan pelajaran-pelajaran yang menurutnya membosankan lalu dilanjutkan kerja part time di minimarket itu.



Walaupun dia hanya tinggal sendiri, tapi tak ada tempat yang paling membuatnya nyaman selain rumah. Disana ia bisa melakukan apapun yang ia suka. Ia bebas menghabiskan waktu bersama PC nya untuk menerobos masuk ke dalam sistem informasi manapun yang ia perlukan datanya.



Kegiatan yang baru ia tekuni semenjak 1 tahun yang lalu itu membuatnya lebih banyak mengurung diri. Kebencian terhadap segala macam bentuk cyber crime membuatnya bertekad untuk memporak-porandakan siapapun yang berani melakukan cyber crime di negeri ini.



Rasa benci itu tertanam kuat karena mereka selalu mengingatkannya pada kejadian yang membuatnya harus kehilangan orang yang paling ia sayangi sebagai seorang penjahat. Kakak laki-lakinya, keluarga satu-satunya yang ia miliki, meninggal ditembak polisi karena telah membobol sistem pertahanan nasional NKRI. Ya, kakaknya adalah seorang hacker, tanpa ia tahu. Kematiannya mengundang decak kesenangan bagi semua orang. Mereka semua menganggap kakaknya pantas mati. Sejak saat itulah ia bertekad memberantas segala macam cyber crime yang ia temui.



Satu keahlian yang bisa melindunginya dari segala ancaman adalah kemampuannya menyembunyikan identitas. Proram yang ia rancang sedemikian rupa akan memudahkan aksinya tanpa ada seorangpun yang bisa melacak keberadaannya. Dengan demikian ia bisa menjalankan misinya tanpa perlu waswas. Kode namanya dalah….Ladybird.



Akan tetapi, untuk melakukan hal itu, ia memerlukan data mengenai target operasinya. Untuk itu, ia harus mengakses data server THIRD-I. THIRD-I adalah salah satu divisi di kepolisian yang menangani masalah public safety dan menyimpan ribuan data cyber crime mulai dari kelas rendah hingga kelas profesional. Selama ini ia bisa dengan mudah mendapatkan data-data itu, akan tetapi, baru beberapa hari ini seorang hacker sialan mencoba membuat firewall terhadap aksesnya.



Bis yang ia tunggu baru saja berhenti di hadapannya, ia bersiap melangkah naik sebelum tiba-tiba otaknya menyuruhnya berhenti melangkah. Terbersit sebuah ide di pikirannya. Ia batal naik ke atas bis, dan sontak memutar langkah kearah lain. Ia melangkah secepat yang ia bisa. Kali ini dia menuju sebuah warnet yang terletak tak jauh dari sana.



Gadis itu berjalan di antara box-box yang berjejer di kanan kirinya. Dari 8 box yang ia lewati semuanya berpenghuni. Barulah di box ke 9 ia bisa menggunakannya. Gadis itu duduk di sebuah kursi mungil disana. Ia mengeluarkan laptopnya dan bergegas menyalakannya. Ia memangku laptopnya tersebut, sementara itu ia juga menyalakan komputer di hadapannya.



Gadis itu menarik nafas dalam. Ia meregangkan jari-jarinya sebelum akhirnya membiarkannya menari di atas keyboard komputer warnet.



“Jika kali ini kau tidak menghalangiku, maka aku akan mendapatkan data yang kubutuhkan. Tapi, jika kau menghalangiku, maka aku akan mendapatkanmu.”

Gadis itu berbisik pelan. Seulas senyum tampak di bibirnya.





ladybird# telnet 10.0.0.133

Trying 10.0.0.133…

Connected to 10.0.0.133.

Escape character is *^]*.

Login:

Last login: Sun Dec 8 20:17:51 on console

Vlan Mac Address

----- -------------

1 001f.29b3.5be9

Total Mac Addresses

BRDR-SW1#conf t

Enter configuration command

bb:-$ ping 10.0.0.133

PING 10.0.0.133

From 10.0.0.133 (10.0.0.133)

From 10.0.0.66 icmp_seq=1

From 10.0.0.66 icmp_seq=2

---

11 packets transmitted,

Pipe 3

Bb:-$

---



“Hhh, ternyata dia sedang lengah.”

Gadis itu tersenyum puas. Kali ini tak ada firewall yang menghalangi aksesnya.



Type “copyright”, “credits” or “license” for more information.

1Python 0.0.4 – An enhanced interactive Python.

? -> Introduction and overview of 1Python’s features.

%quickref -> Quick reference.

Help -> Python own help system.

Object? -> Details about “object”, ?object also works, ?? prints more.



Jemari gadis itu berpacu dengan waktu. Seperti biasa ia harus mampu membobol server mereka dalam waktu secepat mungkin. Karena THIRD-i Server surveillance system akan memonitor setiap 20 detik. Namun, tiba-tiba sesuatu membuat jari-jemarinya sontak diam terpaku di atas keyboard.



1 rows affected by INSERT INTO upwlist (passwd) VALUES (?) (**,)

1 rows affected by INSERT INTO upwlist (passwd) VALUES (?) (*password*,)

1 rows affected by INSERT INTO upwlist (passwd, service) VALUES (?.?) (*public*. *snap*)



“dia datang”

Gadis itu tersenyum puas, akhirnya yang ia tunggu datang. Hacker itu mulai membuat firewall pada aksesnya. Tanpa menunggu lebih lama, kini jari-jemari gadis itu beralih menari di atas keyboard laptop yang sekarang ia pangku. Komputer di depannya ia biarkan begitu saja. Sengaja ia biarkan hacker itu menahan aksesnya, selama mungkin kalau bisa, agar ia bisa melacak keberadaannya.



Local_net.Scanner (‘eth0’)

Interface ethO using 10.1.1.52/255.255.255

An_arp()

Local network..73 hosts found

Local_net.Venom(s.oface)

Poison(s.hosts)

Poisoning 72 hosts using 11:22:33:44:55:66

Filter(“tcp.port==80”,”foreign host)

Streams matched : Falcon



Senyum makin mengembang di bibir gadis itu.

“mmmm, jadi ini kau? Falcon….”

Jari jemarinya dengan sigap menekan satu persatu deretan huruf di atas keyboard laptopnya.



Live streams..listening for /xe3/x81/x8a

Connecting to 10.1.1.42 portable…..closed

Connecting to 10.1.1.42 portable…..Open.NBINFO: CLNT-43

Connecting to 10.1.1.42 portable…..Closed

Connecting to 10.1.1.42 portable…..Closed-43



Mata gadis itu sontak membelalak saat membaca apa yang tertulis di layar laptopnya.

“CLNT-43? Dia…..disini?”



Sontak gadis itu bergegas beranjak dari tempat duduknya dan secepat yang ia bisa ia berlari ketempat yang baru saja ia temukan. Tak bisa dipercaya, hacker itu ada di warnet yang sama dengannya.



Matanya teliti menatap nomor-nomor yang tertempel di masing-masing box. Langkah dan nafasnya saling memburu.

“Sial. Di lantai dua.”



Ia bergegas naik ke lantai dua.

“39….40….41….42…..”

Tepat di box nomor 43 gadis itu membuka pintu box dengan kasar. Ia sudah bersiap untuk menangkap hacker itu, tapi sontak geraknya terhenti saat ia hanya menemukan box kosong disana. Nafasnya masih memburu. Ia menatap desktop komputer di depannya. Dibukanya data history PC tersebut.



“Dia benar-benar disini”

Data system history computer tersebut memang menunjukkan si pengguna baru saja melakukan tindakan “hacking.”



“Sial…..”

Sekali lagi tangan gadis itu mengepal menahan rasa kesal yang semakin membeludak. Dengan kasar dibantingnya pintu box itu dan sempat membuat orang di kiri kanannya mendongak untuk mengintip. Dengan amarah ia meninggalkan warnet itu setelah membayar pada kasir, bahkan ia berlalu begitu saja tanpa mempedulikan kasir yang berteriak hendak memberi uang kembalian padanya.



Di seberang jalan, sosok itu kembali menatap gadis dengan muka kesal yang berjalan tergesa-gesa menjauh dari warnet. Seulas senyum kembali tersungging di bibirnya.



“Capture….complete.”



***Domain: We Were There, password: Chapter 2***



Gadis itu menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Matanya menerawang menatap langit-langit. Tangannya mengepal meremas sprei yang ada di kanan kirinya. Gadis itu menggigit bibirnya, sekuat tenaga ditahannya perasaan marah yang kali ini benar-benar terasa menyesakkan kerongkongannya.



Setitik bening menyembul dari sudut matanya dan terjatuh membasahi rambutnya yang tergerai di bawah kepalanya. Tak ada suara isakan yang terdengar, hanya mata gadis itu yang berangsur-angsur memerah menahan luapan air mata yang bercampur emosi.



Pikirannya melayang meninggalkan masa kini. Ia menangkap bayangan samar-samar orang berlarian di depannya. Sekeras apapun ia berteriak tak akan ada seorangpun yang mendengarnya. Ia hanya terus berlari dan berlari, mencoba mengikuti kemana arah kaki-kaki itu melangkah. Air mata terus meninggalkan jejak di sepanjang perjalanannya. Ia terus mencoba berlari hingga akhirnya suara tembakan menghentikan paksa langkahnya. Perlahan ia berjalan menghampiri kerumunan yang berdengung di kejauhan.



Disingkirkannya tubuh-tubuh yang berhimpitan di kanan kirinya. Ia mencoba mencari jalan untuk sampai di depan. Sontakkedua kakinya serasa tak bertulang dan memaksanya jatuh terduduk saat melihat kakaknya terbaring dengan dada yang berlumuran darah. Sebuah pistol masih tergeletak di genggaman tangannya. Nafasnya naik turun menahan sakit. Di kanan kirinya polisi-polisi itu masih mengarahkan pistol ke arahnya.



Gadis itu hanya menatap bayangan kakaknya yang samar-samar. Matanya yang basah hanya mampu menangkap tatapan mata kakaknya yang memandangnya.



Pistol di tangan kakaknya tergerak. Baru saja kakaknya hendak mengarahkannya pada salah satu polisi. Tapi belum sempat tangannya terangkat, salah satu polisi yang lain telah menembakkan sebuah peluru kearah dadanya.



“KAKAAKKK!!!!!!!!”



Gadis itu terbangun dari tempat tidur dengan wajah yang sudah basah dengan air mata. Nafasnya naik turun seolah kejadian itu baru saja ia alami. Pandangannya berputar menatap sekeliling hingga akhirnya dia sadar masih ada di dalam kamarnya. Matanya tertumpu pada sebuah foto di atas meja belajar. Ditatapnya kakaknya yang tersenyum memeluknya.



Gadis itu mulai terisak. Ia mengatupkan kedua tangan ke wajahnya. Mencoba meredam suara isakan dan goncangan yang mendera tubuhnya. Air mata kesedihan, kerinduan, dan kemarahan. Sejenak kemudian gadis itu mengangkat wajahnya.



“Falcon….”

Suaranya lirih tertahan. Nadanya bergetar menahan amarah mengingat hacker sialan yang mencoba mengusik kehidupannya.



Drrrtttt drrrtttt….

Pandangan gadis itu tertuju pada ponselnya yang tergeletak di atas meja. Bergegas diraihnya ponsel itu. Ditatapnya layar ponsel itu dengan dahi berkerut. Sebuah panggilan dari nomor baru.



Ragu-ragu diangkatnya telfon tersebut.Tak ada suara di seberang.



“Halo?”

Perlahan gadis itu memulai pembicaraan.



Masih tetap sunyi.Gadis itu masih menunggu.Hingga akhirnya.



“Halo….Ladybird…”

Gadis itu sontak membelalakkan matanya mendengar suara diseberang yang menyebut kode namanya.



“Kamu….siapa?”



Sekali lagi tak ada suara jawaban di seberang. Sesaat mereka tenggelam dalam kesunyian.



“Falcon.”



Kali ini gadis itu tak bisa menahan gejolak perasaan marahnya mendengar nama itu disebut. Ruangan kamarnya yang tak terlalu luas itu menggemakan suara teriakannya ke segenap penjuru.



“SIAPA KAMU SEBENARNYA?!?!?!”



Terdengar nada senyuman dari seberang.

“Jangan marah. Aku tidak bermaksud mengganggumu.”



Gadis itu meremas tas di hadapannya mencoba menahan luapan emosi yang tak lagi bisa tertahan.



“KATAKAN APA MAUMU!!!”



Suara di seberang tak menjawab. Hanya desah nafas yang lirih terdengar.



“KATAKAN APA MAUMU!!!”

Gadis itu mengulangi pertanyaannya. Kali ini suaranya bergetar menahan tangis. Mulai terdengar suara isakan tertahan.



Sosok di seberang sana masih terdiam. Sekarang hanya suara isakan tertahan yang ada di antara mereka.



“Kau……menangis??”

Suara di seberang terdenagr memelan. Ada nada keragu-raguan disana.



“SIAPA KAMU?!?! KATAKAN APA MAUMU!!!!”

Suara gadis itu semakin bergetar hebat. Air mata sudah jatuh membasahi wajahnya yang memerah.



“Ma….maaf….”

Suara yang tak dikenal tersebut semakin memelan.



“Aku…..”

Kali ini ia terdengar benar-benar ragu.

“Aku ada di depan rumahmu. Di seberang jalan.”



Tanpa menunggu lagi gadis itu berlari keluar rumah. Dia benar-benar tak habis pikir apa yang dilakukan hacker sialan itu di depan rumahnya.



Matanya teliti menatap trotoar di seberang jalan rumahnya. matanya menangkap sosok yang sedang berdiri di trotoar sepi itu. Laki-laki itu sedang menelfon. Tanpa menunggu lagi, gadis itu menengok ke kanan kiri menatap jalanan yang beruntung saat itu sedang lengang. Ia berjalan bergegas kearah orang itu. Orang yang ada disana menutup telefonnya. Tampak tatapan ketakutan dari sosok di seberang itu.



Gadis itu sampai di hadapannya. Dan…



PLAKKKK!!!!!!

Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi tirus laki-laki yang berdiri di hadapannya. Tatapan matanya tajam penuh amarah. Anak lelaki itu mengusap-usap pipinya.



“SIAPA KAMU?!?!?! APA MAUMU?!?!?”

Lelaki di hadapannya hanya terdiam. Ada sorot mata yang menyiratkan rasa bersalah dari tatapannya. Anak laki-laki itu tertegun menatap gadis yang berurai air mata di hadapannya.



“Maaf.”



“APA MAUMU?!?!”

Gadis itu mencengkeram kerah jaket lelaki di hadapannya. Teriakannya tenggelam bersama suara deru mobil yang baru saja lewat.



Laki-laki itu masih tetap diam. Tangannya menggenggam kuat tak tau harus berbuat apa.



“AARRGGHHH!!!!”

Tak sabar menunggu, akhirnya gadis itu memutuskan untuk melangkah pergi. Bergegas diusapnya lelehan air mata yang sedari tadi menghiasi wajahnya. Suara isakan tertahan mengiringi langkahnya. Namun, baru saja ia hendak menyeberang jalan tiba-tiba ia merasa sesuatu meraih pundaknya.



Sensasi rasa hangat tiba-tiba mendekapnya. Laki-laki itu tiba-tiba memeluknya dari belakang, membuat badannya berdiri kaku tak mampu bergerak. Lidahnya seolah kelu tak mampu mengucap sepatah katapun. Sosok di belakangnya itu memeluknya erat.



“Aku, akan menjagamu,apapun yang terjadi, Ify.”

Sebuah kalimat lirih menelusuk daun telinga Ify. Lelaki itu semakin erat memeluknya. Ia masih tetap terpaku menatap jalanan lengang yang ada di hadapannya.



Beberapa detik badannya membeku hingga akhirnya Ify sadar dan segera menghempaskan tangan lancang itu dari badannya.



Dengan sorot mata tajam Ify menatap lelaki yang masih menatapnya dengan tatapan sayu itu. Beribu pertanyaan menyeruak mendesak pikirannya.



“Kau gila!!”

Ify berlari meninggalkan laki-laki yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Ditatapnya punggung gadis itu yang semakin menjauh. Dari seberang jalan ia bisa melihat Ify yang membanting pintu rumahnya dengan kasar.



Perlahan laki-laki itu melangkah pergi. Bayangan wajah gadis yang berurai air mata itu masih membayangi pelupuk matanya. Langkahnya gontai menyusuri jalanan sepi malam itu. Lelaki itu semakin menjauh dari rumah Ify tanpa menyadari ada seseorang yang mengawasi dirinya dan rumah Ify secara bergantian. Sosok itu mengelus-elus dagunya dengan tangan kanannya. Senyum yang sarat akan makna tersungging dari bibirnya. Di punggung tangan kanannya itu tampak sebuah tato bergambar kupu-kupu berwarna merah hitam. Beberapa saat sosok itu menatap tajam rumah di hadapannya. Namun, beberapa saat kemudian ia mulai melangkah pergi. Sebuah tawa lirih mengiringi langkah kakinya.

Song of Love

Do you hear that?

It is a song.

A beautiful song.

A Song about you

A Song about us

Song about love



**********Song of Love***********



Gadis itu menggenggam tangan kekasihnya erat. Semua orang yang ada disana mengunci bibirnya rapat-rapat, membiarkan kesunyian memeluk masing-masing jiwa yang menyaksikan. Untuk kesekian kalinya gadis itu mencium punggung tangan kekasihnya, mencoba merambatkan sedikit kehangatan pada kulit pucat yang terasa dingin dalam genggamannya itu. Air mata jatuh ke atas punggung tangan orang yang dikasihinya yang sekarang menatapnya dengan pandangan sayu.



Suara nafas laki-laki itu terdengar sayup-sayup di dalam masker oksigen yang menutup sebagian wajahnya. Ditatapnya lekat-lekat wajah cantik berurai air mata yang sedari tadi tak pernah beranjak dari sisinya. Ditatapnya lekat-lekat wajah itu, mata itu, senyum itu, senyum yang sebisa mungkin ia sunggingkan di tengah guyuran air mata demi memberikan setitik ketenangan baginya yang sedang berusaha melawan waktu. Ditatapnya lekat-lekat bayangan wajah di sisinya yang mulai tampak memudar dalam pandangannya.



Satu kata terasa mendesak ingin diucapkan, namun bibirnya tak punya kuasa lagi untuk bergerak. Kini yang tersisa darinya hanyalah tatapan mata yang sebisa mungkin tak ia pejamkan, menatap wajah itu selama mungkin, berharap sang waktu melemparkan jangkarnya di sana, berhenti sejenak, dan membiarkannya tetap memandang wajah cantik yang akan menjadi kenangan terakhirnya.



Senyum itu mulai surut dari bibir sang gadis, bibirnya tak bisa lagi berpura-pura melawan hatinya yang sama sekali tak memiliki keinginan untuk tersenyum. Berganti dengan isakan tertahan seiring jatuhnya air mata untuk yang kesekian kalinya ke atas punggung tangan yang diciumnya. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat berusaha untuk tetap bertahan agar isakannya tak memecah kesunyian yang merambatkan suara nafas sang kekasih, satu-satunya yang ia harap terus ia dengar lebih lama lagi.



Laki-laki itu mulai mengerjapkan matanya perlahan. Bayangan hitam dan buram itu mulai merenggut wajah gadisnya. Sebulir air mata merembes dari sudut mata sayunya yang mulai kehilangan warna. Sekali lagi ia mencoba sekuat tenaga mengerjapkan kelopak matanya perlahan. Dengan sisa-sisa tenaga ia membalas lemah genggaman tangan kekasihnya, mencoba meyakinkan bahwa dirinya masih disini bersamanya. Wajah perempuan di sisinya mulai mengelam, suara isakannya sayup-sayup terdengar seolah semakin menjauh. Rasa hangat di tangannya perlahan mulai surut. Dan perlahan namun pasti, sedikit demi sedikit, mata itu kehilangan kuasanya untuk terjaga. Air mata itu menetes kembali. Air mata terakhir, yang mengiringi terpejamnya mata itu selamanya….



“RIOOOO!!!!!!!!!!!!!”

Gadis itu menangis terisak mencoba menggerakkan tubuh yang terdiam di hadapannya. Rasa takut sontak menyergap seluruh persendiannya saat ia tahu mata itu tak lagi menatapnya, keheningan itu tak lagi merambatkan desah suara nafasnya. sDibelainya wajah yang pucat itu berharap ia masih bisa merasakan nafas hangat dari sana. Digenggamnya erat tangan yang tak lagi membalas genggamannya itu. Ia menggenggamnya erat, sangat erat, berharap orang yang ia cintai itu tak pernah pergi.



“Rio…..”

Lirih gadis itu memanggil nama kekasihnya. Tak peduli apakah suaranya didengar ataukah hanya berlalu seiring hawa dingin yang menyergap dari arah jendela. Sedingin tubuh yang terpaku di hadapannya. Hanya kesunyian yang membalas panggilannya. Sang waktu membiarkan sayapnya beristirahat sejenak. Membiarkan gadis itu meluapkan perasaannya dalam bulir-bulir air mata yang jatuh menyapa dunia. Membiarkan kesedihan menjadi satu-satunya teman yang memeluknya hangat.



.

.

.

.

.

.

.

.

.

.



“CUTT!!!!”



Suara itu membangunkan sang lelaki yang sedari tadi terbaring di kasur putih itu. Sang gadis segera mengangkat wajahnya dan melepaskan genggaman tangannya. Seorang wanita paruh baya bergegas menyodorkan sekotak tisu pada gadis itu dan tanpa ragu gadis itu langsung mengambil 2 lembar dan ia sapukan ke wajahnya yang basah. Sementara lelaki di depannya, dibantu oleh seorang lelaki berumur belasan tahun, mulai melepaskan selang-selang yang menempel di tubuhnya.



“Good job!!!”

Laki-laki berkumis yang sedari tadi duduk di depan layar sontak berdiri menghampiri mereka dan memberikan tepuk tangan sekeras-kerasnya. Sang sutradara menjabat tangan sang actor dan aktris itu bergantian.



“Siap-siap konferensi pers ya…..”

Sang sutradara memberi aba-aba dengan jentikan tangan pada kedua artis dan semua kru yang ada disana.



“Dul, udah siap semuanya?”

Sutradara itu memanggil seorang laki-laki bernama Abdul yang kebetulan lewat di depan pintu.Laki-laki yang tampak berjalan tergesa-gesa itu sontak menghentikan langkahnya dan melongokkan kepalanya ke dalam ruangan. Laki-laki yang dimaksud, hanya menjawab dengan acungan jempol, dan sejenak kemudian segera kembali berlalu dari sana dengan tergesa-gesa.



“Ify, Rio, ditunggu di bawah ya!”



Rio yang hendak berjalan ke kamar ganti hanya mengangguk. Sementara gadis bernama Ify yang sedang diurus oleh make up artisnya hanya mengacungkan jempol.



“Wahhh, semoga film nya bisa booming ya, acting kalian TOP abis. Aku ikut nangis tadi. Benar-benar terasa sangat nyata.”

Make up artis yang sibuk memoleskan bedak pada Ify berbicara dengan ekspresi wajah penuh antusiasme. Ia adalah make up artis pribadi Ify yang selalu paling tahu seperti apa selera aktrisnya itu. Dia sudah menemani Ify di belasan dorama dan beberapa judul film. Dan sampai detik ini ia tak pernah berhenti mengagumi bakat gadis yang masih belia itu.



“Hmmm.”

Ify hanya mengguman dengan anggukan pelan agar tidak merusak make-up yang sedang dipoleskan ke wajahnya.



Rio merapikan kerah bajunya di depan cermin. Make-up artisnya tampak membereskan kotak-kotak kecil yang berserakan di meja yang ada di sampingnya. Tampaknya ia baru saja membersihkan bedak tebal yang sedari tadi membuat wajah Rio tampak pucat. Sekarang wajah Rio tampak lebih cerah dan tentunya tampak lebih tampan seperti biasanya. Setelah merasa semuanya tampak rapi, Rio segera melangkah menyusul Ify dan beberapa kru yang sudah terlebih dulu turun ke ruang konferensi pers.



Silau blitz bergantian menyapa wajah-wajah tampan dan cantik yang duduk berjajar di meja panjang itu. Beberapa kali Rio dan Ify melambaikan tangan dan tersenyum pada para wartawan dan beberapa fans yang meneriakkan nama mereka. Sejenak kemudian suasana berangsur-angsur hening. Konferensi pers sekaligus meet and greet untuk memperkenalkan film terbaru mereka itupun dimulai. Konferensi pers tersebut sengaja dilakukan langsung setelah syuting scene terakhir selesai dibuat karena beberapa pertimbangan. Selain karena jadwal padat yang sudah menanti kedua tokoh utamanya, ada beberapa hal yang membuat konferensi pers tidak bisa dilaksanakan beberapa hari kemudian.



Film yang mereka mainkan berjudul Sky of Love. Berkisah tentang dua orang remaja yang saling jatuh cinta semasa SMA dan berlanjut hingga dewasa setelah mereka sempat berpisah karena sang kekasih divonis menderita kanker otak dan tak ingin menjadi beban bagi pasangannya. Yang menjadi inti cerita adalah lika-liku kisah cinta mereka semenjak sang kekasih divonis menderita kanker otak tersebut. Film yang diangkat dari novel populer itu dimainkan oleh dua orang aktor dan aktris remaja papan atas bernama Mario Stevano dan Alyssa Saufika. Banyak fans yang mengatakan bahwa mereka adalah pasangan serasi, oleh karena itu, film tersebut menggunakan nama asli agar feel yang didapat terasa lebih nyata, tentunya setelah mendapat ijin dari penulis aslinya.



**********Song of Love************



Suara gelak tawa terasa memenuhi mobil Avanza yang bermuatan 6 orang penumpang itu. Kehebohan dalam mobil itu terasa mengalahkan bisingnya jalanan kota Jakarta yang mereka lalui.



“Hahaha, tuh kan, sudah kuduga pasti banyak yang bilang seperti itu!”

Kalimat itu disambut tawa oleh orang di sampingnya.



“Ahhh, pasti film ini bakal booming di antara fans kalian. Baru juga tadi siang konferensi pers degelar, sekarang, Sky of Love jadi Trending Topic di twitter lho. Kalian memang keren. Benar-benar pasangan serasi.”

Ify hanya tersenyum menanggapi celotehan manager Rio yang sedari tadi terus menggodanya dengan kalimat-kalimat jahil yang membuat wajah Ify bersemu merah..



“Eh, eh, liat ngga, cewe yang tadi nanya kapan Rio dan Ify nikah? Inget ngga?”

Sekarang giliran, Nana, manajer Ify yang berseloroh.



“Heh? Yang mana?”

Uki, Manajer Rio menanggapi dengan tak kalah antusias.

“Yang tadi bawa iketan bunga mawar merah yang gedeeee banget terus minta Rio ngasih bunga itu ke Ify. Masa’ ya, dia tadi sampai berkaca-kaca gitu, kayaknya berharap banget kalian berdua tuh nikah beneran.Hahaha…”



“Iya? Hahahaha….”

Kedua manager itu dengan asyiknya tertawa tanpa mempedulikan ekspresi dua orang artisnya yang hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Bahkan supir dan satu orang kru yang ada di kursi depan pun terdengar terkekeh mendengar percakapan mereka.



Rio dan Ify hanya diam sambil sesekali tersenyum menanggapi dua orang manajer yang saling menimpali dan tak henti-hentinya membahas berbagai celotehan fans yang tadi hadir di meet and greet. Rio sesekali menggaruk-garuk kepalanya bingung jika dua orang manager itu mulai mengutip-ngutip kalimat kalimat penjodohan yang dilontarkan fans. Usianya yang baru 18 tahun tentu saja hanya bisa pasrah pada puluhan, ratusan, atau bahkan mungkin ribuan fans yang menjodohkannya dengan Ify, bahkan meminta mereka menikah, yang benar saja, ia terlalu muda untuk hal seperti itu.



Apalagi Ify yang satu tahun lebih muda dari Rio. Dia hanya bisa tersenyum sambil menahan muka memerah saking malunya. Dia dan Rio yang biasanya bisa mengobrol dengan santai kali ini malah saling memalingkan wajah dan tidak bicara sedikitpun satu sama lain. Mereka sibuk menyembunyikan muka merona mereka masing-masing.



Avanza itu terus melaju menuju sebuah restoran yang sudah dibooking untuk acara farewel party kru film dan artis-artis Sky of Love. Malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk saling berbincang setelah sekian lama berkutat dengan pekerjaan yang melelahkan.



*********Song of Love************



Pukul 10 malam. Kebisingan gelak tawa dan suara karaoke masih memekakkan telinga penghuni ruangan itu. Rio dan Ify masih berbincang dengan sutradara dan beberapa kru di kursi yang berada di pojokan ruangan. Sesekali sang sutradara menepuk punggung keduanya dan memuji acting mereka. Kemampuan acting mereka memang tidak perlu diragukan, padahal usia mereka masih sangat muda. Bahkan mereka bisa memerankan peran dewasa dalam film tersebut dengan feel yang sempurna.



“Eh, ayo nyanyi bareng sana di depan.”



“Heh?”

Ify sontak menggelengkan kepala saat salah satu kru menarik tangannya dan tangan Rio untuk menyanyi di depan .



“Ayolah, sekali saja. Ayo Rio, sana…”

Sutradara itu menarik Rio untuk bangkit, begitupun dengan Ify. Dengan langkah ragu mereka maju ke depan diiringi tepuk tangan dari beberapa kru. Seorang kru menyerahkan dua buah mic pada mereka.



Semua orang ikut bernyanyi bahagia melantunkan lagu soundtrack Sky of Love yang berjudul Song of Love. Mereka semua tampak berbahagia malam ini. Rio dan Ify yang tadi sempat malu-malu saat diminta menyanyi, lama kelamaan mulai bisa menikmati suasa malam itu.



Ify menghempaskan badannya ke sofa setelah selesai menyanyikan lagu. Disusul Rio yang masih tampak menghentak-hentakkan tangannya mengikuti irama yang masih terlantun. Mereka berdua duduk disana sementara semua orang masih berkumpul di sekeliling panggung.



“Ify….”



“Mmm?”

Ify melihat ke arah Rio sambil menyeruput Melon soda di gelas mungilnya.



“Rio mencari-cari sesuatu dari dalam sakunya. Susah payah ia mencari-cari benda itu.



“Ahh,”

Ekspresi wajahnya tampak lega begitu tangannya berhasil menggenggam benda mungil itu. Ia mengeluarkannya dari sana dan menyodorkannya pada Ify.



“Eh?”

Ify tercengang menatap benda di telapak tangan Rio. Perlahan diletakkannya gelas di tangannya ke atas meja tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari benda mungil di tangan rekan kerjanya itu.



Dua buah cincin sederhana berjajar rapi di telapak tangan Rio.



“Aku menyukaimu.”

Rio mengucapkannya pelan.



“Hah?”

Ify menatap Rio ragu. Wajahnya semakin jelas menggambarkan kebingungan dan ketercengangan.



“Maukah kau menjadi kekasihku?”

Rio menatap Ify dengan pandangan yang entah kenapa kali ini terasa begitu hangat. Ify belum mampu mengucapkan apapun. Ini benar-benar menjadi hal yang paling mengagetkan bagi Ify. Mereka berdua tenggelam dalam diam. Hingga tiba-tiba tanpa mereka sadari…



“Terima!!! Terima!!!”

Suara gemuruh sontak memecah kediaman di antara mereka. Ify dan Rio yang sedari tadi saling menatap sontak menoleh. Wajah mereka kontan bersemu melihat semua kru sekarang menatap mereka sambil memberikan tepukan tangan dan teriakan-teriakan “terima”. Rio menggaruk-garuk kepalanya karena sempat merasa begitu bodoh kenapa dia menyatakan perasaan di tempat seramai ini.



Ify menggigit pelan ujung bibirnya. Ia mengalihkan pandangan pada Rio. Tampak lelaki itu mulai bisa mengendalikan perasaan malunya dan kembali menatap Ify dengan tatapan hangat dan pandangan yang menyiratkan permohonan.



Perlahan tapi pasti, Ify mengangguk pelan, disusul sorakan riang dari para kru yang membahana di seluruh penjuru ruangan. Suara-suara itu tedengar lebih bising dari sebelumnya. AC ruangan yang sudah sangat dingin itupun tak mampu membendung rembesan keringat di telapak tangan Ify karena perasaan berdebar yang teramat sangat.



“Suittt….suittt!!!!”

Riuh rendah suara bahagia mengiringi Rio yang memasangkan cincin ke jari manis Ify dan memasang yang satunya pada jari manisnya sendiri. Pengalaman membintangi belasan judul drama dan beberapa film tentu saja tidak menyulitkan dia untuk mengutip beberapa adegan romantis untuk ia terapkan di acara penembakannya itu.



Cium….ciummmm”

Sontak riuh rendah suara di ruangan itu berubah nada dan tak pelak lagi mengukirkan semu merah di pipi kedua pasangan baru tersebut.



Tiba-tiba ada satu kru yang menyeletuk

“Eh, mereka masih kecil….”



“Cium pipi aja.”

Kru yang lain menyahut dengan tak kalah antusias.



Sepertinya Rio sudah tak tahan lagi dengan keringat dingin yang sedari tadi menemani rasa malu yang sudah tak tertahankan. Tampaknya ia ingin segera mengakhiri kegilaan ini. Dan tanpa menunggu lagi sontak ia meraih pundak Ify, dan dalam sepersekian detik kemudian sebuah ciuman hangat terasa menyentuh pipi Ify yang bersemu merah. Gemuruh tepuk tangan dan riuh rendah suara teriakan menjadi saksi awal kisah mereka malam itu. Benar-benar farewell party yang berbeda dari biasanya.



Jabat tangan terus mengalir seiring suara tepuk tangan yang tak henti-hentinya berdengung di telinga gadis itu. Sayup-sayup ucapan selamat dan senyuman hangat mereka berlalu lalang dalam pelupuk mata gadis itu dan tampak semakin menjauh dan terdengar semakin samar.



Sebutir air mata menetes jatuh dari sudut mata gadis itu dan membasahi rambut yang tergerai di bawah kepalanya. Perlahan sinar mentari menelusup silau di antara kedua kelopak matanya yang perlahan terbuka. Suara kicauan burung gereja menemani sang gadis yang baru saja membuka mata dan masih terbaring berselimut di atas tempat tidurnya yang bernuansa putih. Masih mengumpulkan segenap kesadarannya, gadis itu menatap langit-langit kamarnya yang masih tampak buram dalam pandangannya yang masih setengah mengantuk.



Tangannya mulai tergerak mengusap sudut matanya yang terasa basah. Ditatapnya sisa-sisa air mata yang baru saja dihapusnya dengan jari tangan kanannya. Gadis itu menghela nafas dalam.



“Mimpi itu lagi.”

Gadis itu menggumam pelan. Ia masih belum beranjak bangun. Ditatapnya gorden kamarnya yang tersibak pelan oleh angin. Sinar mentari pagi menelusup di celah-celahnya, memberikan sedikit rasa hangat di tengah hawa dingin angin pagi yang berhembus pelan.



Perlahan gadis itu bangun. Masih dengan langkah gontai ia berjalan menuju jendela dan menyibakkan gordennya sehingga kini mentari pagi bersinar penuh menyinari ruangan bernuansa serba putih itu. Gadis itu menatap dedaunan yang bergoyang-goyang pelan ditiup angin di luar sana. Suara riuh rendah anak kecil yang bermain bola terdengar sayup-sayup di kejauhan. Sejenak gadis itu tenggelam dalam lamunan menatap langit biru yang terhampar luas di kejauhan, bayangan mimpi yang baru saja ia alami terasa masih jelas tergambar dalam ingatannya, dan sepertinya tidak pernah berkurang sedikitpun dari ingatannya. Beberapa saat ia tenggelam dalam lamunan hingga suara ketukan di pintu menyadarkannya.



“Ify….ayo cepet siap-siap, acaranya jam 10 lho…”

Suara Nana yang berteriak dari depan kamarnya membuatnya terkesiap dan bergegas menjauh dari jendela.



“Iya…”

Gadis itu segera menyambar handuknya dan bergegas mandi untuk segera bersiap-siap menuju lokasi konferensi pers.



**********Song of Love*************



Suara mobil menderu dari halaman depan. Managernya sudah siap di kursi belakang. Tangan perempuan 30 tahun itu sibuk membolak-balik buku agenda yang berisi deretan jadwal sang aktris. Mulai dari konferensi pers, syuting video clip, hingga pertemuan dengan produser film. Dan agenda pertama hari itu adalah konferensi pers. Ditatapnya jadwal-jadwal yang berderet itu. Sejenak pikirannya melayang. Pandangannya beralih menatap rumah besar di samping kanannya. Lama ia memandangnya. Ia menghela nafas panjang. Dilingkarinya jadwal konferensi pers yang akan segera mereka laksanakan.



Tampak sang aktris menutup pintu rumahnya. Sang manajer melongokkan kepalanya dari jendela mobil dan disambut lambaian tangan oleh sang aktris.



“Ify, ayo cepetan!!!”

Sang manajer berteriak dari dalam mobil. Ify hanya membalasnya dengan angggukan. Bergegas ia melangkahkan kaki menuju mobil berwarna merah metalik tersebut.



Di tengah ketergesa-gesaannya tiba-tiba gadis itu menghentikan langkahnya. Matanya menatap kotak pos di pintu gerbang rumahnya. Seperti biasa, kotak pos itu selalu penuh dengan amplop-amplop kecil berhias. Begitu penuhnya kotak pos itu hingga penutupnya pun harus menganga lebar dengan surat-surat yang menyembul keluar. Perlahan tangan Ify meraih tumpukan surat itu dan mengambil segenggam. Ia meninggalkan sebagian di sana karena tangannya sendiri sudah tak cukup untuk memegang semuanya. Ditatapnya kertas surat-kertas surat bergambar beraneka warna yang kini ada dalam genggamannya.



Manajer Ify menatap gadis yang masih berdiri terpaku menatap surat-surat itu. Ia membiarkan gadis itu sejenak berdiri di sana, ia mencoba memahami perasaan sang artis.



“Ify!”



Ify sontak menoleh pada manajernya.

“Ah, maaf!”

Bergegas ia berlalri ke arah mobilnya. Ify duduk di jok belakang bersama manajernya. Ia kembali menatap tumpukan surat di tangannya. Mobilpun melaju meninggalkan rumah mewah yang tampak lengang itu.



Siang itu jalanan Jakarta tidak terlalu padat. Mobil mereka bebas melaju tanpa tersendat barang sedikitpun. Lokasi konferensi pers yang cukup jauh memerlukan waktu sekitar 20 menit untuk sampai disana.



Ify meletakkan surat-surat itu dalam pangkuannya. Perlahan diraihnya satu surat di tumpukan yang paling atas. Sebuah postcard bergambarkan mawar merah yang dihias dengan pita dan coretan-coretan sederhana si pembuat. Sebuah kalimat sederhana berada di antara gambar taburan kelopak bunga di sekelilingnya.



“Ify, jangan bersedih, semua akan baik-baik saja.”



Seulas senyum tersungging dari bibir mungilnya. Tangannya kini beralih pada surat di tumpukan paling atas yang selanjutnya. Sebuah kertas surat bergambar teddy bear. Sungguh lucu. Tak jauh berbeda dengan surat yang sebelumnya, hanya ada sebuah kalimat sederhana di bagian tengahnya.



“Ify, sabar ya J”



Ify tertawa kecil melihat gambar di bawah kalimat tersebut. Gambar seorang lelaki dan perempuan yang bergandengan tangan. Gambar sederhana yang bahkan bisa dibilang sangat sederhana. Lebih mirip coretan anak SD yang baru belajar menggambar.



Manajernya yang sedari tadi memperhatikannya, hanya bisa tersenyum samar menatap wajah gadis di sampingnya. Ia biarkan gadis di sampingnya berada dalam dunianya sendiri. Ia beralih menatap jalanan di hadapannya. Sedikit ada perasaan ingin perjalanan ini tak segera berakhir, agar senyum gadis disampingnya tak cepat hilang.



Ify kembali meraih surat yang lain. Kali ini sebuah amplop pink bergambar salah satu tokoh anime favoritnya. Ify membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isinya. Kali ini sebuah kertas pink bergaris. Dan kali ini, isinya bukanlah sebuah kalimat sederhana, namun barisan kata-kata yang mungkin lebih mirip sebuah puisi.



Ify, hapuslah air matamu

Disini kami semua ingin kau tak lagi bersedih

Kami semua mendukungmu

Jika kau kuat, cinta tak akan pernah meninggalkanmu

Namun, jika kau lemah

Cinta itu tak kan sanggup bertahan dalam hatimu

Tersenyumlah,

Untukmu, untuk kami,

Untuknya….



Setetes air mata menelusuri wajah halus Ify. Pandangannya nanar menatap deretan huruf yang baru saja ia baca. Sederhana memang, tapi cukup untuk menggetarkan hati seorang gadis yang sedang berusaha mengumpulkan kembali serpihan-serpihan kebahagiaan seperti dirinya.



Tiba-tiba ia merasakan tangan sang manajer menggenggam erat tangannya. Ify sontak menoleh pada perempuan yang sudah menemani kisah hidupnya selama bertahun-tahun itu. Pandangan mereka beradu. Entah mengapa, air mata Ify justru semakin tak terbendung. Tangan manajernya perlahan menyentuh pipi gadis berusia 22 tahun itu. Diusapnya perlahan bulir bening yang membasahi wajah cantik itu. Ia menyunggingkan seulas senyum pada Ify.



Ify menundukkan wajahnya. Ia hanya terdiam menatap tumpukan surat-surat di pangkuannya. Ia membalas genggaman tangan manajernya sekuat mungkin. Mencoba menahan air mata di pelupuk matanya agar tak jatuh membasahi tumpukan-tumpukan surat dari orang-orang yang menyayanginya itu.



************Song of Love***********



Silau puluhan Blitz menyambut kedatangan Ify. Seorang laki-laki berjas hitam mempersilahkan Ify untuk duduk di sebuah kursi yang berada di tengah-tengah meja panjang tersebut. Deretan mic dengan label berbagai stasiun TV dan beberapa alat perekam suara berjajar rapi di atas meja tersebut. Manajer Ify duduk di sampingnya. Sekali lagi digenggamnya tangan sang artis.



Laki-laki yang tadi mempersilahkan Ify duduk, sekarang berdiri. Ia menyapa pers yang sudah duduk rapi berjajar di deretan kursi-kursi yang sudah disiapkan. Ia memulai acara konferensi pers tersebut. Dan setelah memberikan kalimat pembuka, ia menyerahkan pada Ify untuk bicara.



Ify menarik nafas dalam.



“Selamat siang semuanya. Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran rekan-rekan semua.”



“Hari ini, saya, mewakili segenap keluarga dan manajemen ingin menyampaikan pada saudara sekalian, bahwa Mario Stevano resmi mengundurkan diri dari dunia hiburan.”

Sorot Blitz sontak memberondong wajah Ify seiring berakhirnya kalimat tersebut. Genggaman tangan manajernya terasa semakin erat.



“Kami, mewakili Mario Stevano, dengan segenap kerendahan hati, mengucapkan terima kasih pada seluruh masyarakat yang menyaksikan, kepada seluruh kru yang sudah pernah bekerja sama maupun yang hendak bekerja sama namun batal karena kejadian ini, kepada seluruh artis yang selama ini menjadi rekan kerja, kepada seluruh fans yang setia mendampingi dan mendukung Rio sampai detik ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Dan dengan segenap kerendahan hati kami memohonkan maaf yang sebesar-besarnya apabila selama Mario Stevano bekerja di dunia hiburan, ada kesalahan maupun perilaku yang kurang berkenan di hati rekan-rekan semua. Dan tak lupa, kami memohon dengn sangat kepada seluruh yang menyaksikan, kepada seluruh fans, dan semua orang yang pernah mengenal Rio untuk dengan penuh keikhlasan sekiranya mau mendoakan demi kesembuhan Rio.”



Puluhan sorot blitz kembali menerangi ruangan itu. Tak ada seorangpun yang bicara. Mereka semua terdiam dan membiarkan hanya sorot lampu blitz yang mengabadikan wajah Ify yang sedang mencoba untuk tegar.



“Saat ini Mario Stevano sedang menjalani perawatan atas kanker otak stadium 4 yang di deritanya. Sebelumnya kami sangat-sangat memohon maaf atas pilihan yang kami ambil, bahwa kami tidak memperkenankan media untuk meliput Rio. Kami mohon pengertiannya, dan semoga rekan-rekan sekalian bersedia memberikan maklum atas keputusan tersebut. Dan selain itu saya mewakili keluarga Rio juga memohon maaf karena yang menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers ini adalah saya, tunangan Rio, dan bukan ayah, ibu, atau keluarga Rio yang lain, karena mereka sedang fokus pada pengobatan Rio dan mempercayakan masalah ini pada saya.”



Ify menarik nafas dalam. Sekuat tenaga ia mencoba menyembunyikan suaranya yang bergetar.



“Sekian dari kami, atas kurang dan lebihnya mohon maaf, selanjutnya apabila ada pertanyaan dapat disampaikan dan akan dijawab langsung oleh saudara Uki, manajer Rio, dan sekaligus saya mohon maaf untuk yang kesekian kalinya karena tidak dapat berada disini lebih lama lagi karena ada urusan lain yang tidak dapat ditinggalkan. Sekian dan terima kasih.”



Ify meninggalkan ruangan tersebut diiringi sorot kamera dan kilatan blitz yang terus mengabadikan momen mengharukan tersebut. Manajernya masih menggenggam tangannya erat. Ia bisa merasakan tangan Ify yang bergetar dan berkeringat dingin. Ia melirik pada Ify yang berjalan dengan kepala tertunduk. Ia dapat mengerti usaha gadis tersebut untuk menahan sekuat tenaga agar tidak menangis.



***************Song of Love****************



Pepohonan yang berderet di tepian jalan berlari meninggalkan mereka satu persatu seiring laju mobil yang menyusuri jalanan kota Jakarta. Ify masih menatap langit di kejauhan. Hari ini langit tampak biru, bahkan tak ada setitikpun awan putih yang menggantung. Matanya hampir tak berkedip menatap langit yang terbentang agung tersebut. Barulah ia tersadar dari lamunannya ketika deru mesin mobil berhenti di depan sebuah rumah besar yang sangat mewah.



Ify mengerjap-ngerjapkan matanya berusaha mengumpulkan kesadaran yang sempat terkikis dalam lamunan. Ia membuka pintu mobil dan melangkah mendekati gerbang rumah tersebut, akan tetapi ia tidak masuk kesana. Rumah itu tampak sepi seolah tak berpenghuni. Ify menuju kotak pos yang tertempel di samping gerbang rumah itu. Dan tak jauh berbeda dengan kotak pos yang ada di rumahnya, kotak pos di rumah itupun tak kalah penuhnya dengan surat-surat yang menyembul hingga ke mulut kotak.



Ify memasukkan tumpukan surat-surat itu ke dalam tasnya. Kali ini ia tak menyisakan satupun, ia membawa seluruh kertas-kertas itu kecuali surat yang memang ditujukan untuk keperluan lain.



Setelah semua surat masuk ke dalam tasnya, Ify segera kembali ke dalam mobil dan tak lama kemudian deru mobil mulai menjauhi rumah tersebut dan kembali membiarkan Ify menerawang langit luas di sepanjang perjalanan.



*************Song of Love**************



“Ingat, jam 2 aku akan kembali menjemputmu, jadi waktumu hanya satu setengah jam. Aku tidak mau kru mereka marah-marah lagi karena kau terlambat.”

Nana berbicara dari dalam mobil sambil melongokkan kepalanya pada Ify melalui kaca jendela. Ify tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Setelah mobilnya berlalu, barulah Ify segera melangkah memasuki gedung megah 8 lantai itu.



Ify melongokkan kepalanya melalui daun pintu yang ia buka sedikit. Senyumnya terkembang saat melihat sosok yang dicarinya sedang duduk bersandar pada bantal.



“Hai…”

Ify berjalan mendekati Rio yang sontak tersenyum lebar begitu melihat gadisnya datang.



Ify meletakkan buah-buahan yang di bawanya di atas meja kecil di samping tempat tidur Rio. Setelahnya Ify memeluk Rio yang masih menatapnya gembira. Sebuah ciuman hangat menghangatkan wajah Rio yang tampak berseri siang ini.



“Berapa menit?”



Ify hafal betul pertanyaan yang akan ditanyakan Rio setiap kali ia datang.



“Satu setengah jam. Kali ini Nana akan menyeretku keluar jika sampai aku terlambat.”



Rio tertawa kecil membayangkan wajah marah manajer Ify yang memang terkenal cerewet itu.

Ify duduk di tepi tempat tidur. Mereka berdua duduk berhadap-hadapan cukup dekat. Rasa itu tetap sama, tak pernah berubah. Rasa senang dan jantung yang berdebar itu tetap ada dalam diri Rio setiap kali berada di sisi Ify.



“Aku membawakan pesananmu.”

Ify meraih tasnya dan mengeluarkan setumpuk surat yang tadi ia ambil dari kotak pos rumah Rio. Ia meletakkan surat-surat tersebut di pangkuannya.



“Wahh, mereka tak pernah bosan.”

Rio tersenyum menatap tumpukan surat di pangkuan Ify.



“Mereka tidak akan pernah bosan dan tidak akan pernah lelah mendukungmu.”

Ify menanggapi pernyataan Rio sambil membuka sebuah amplop di tumpukan paling atas.



“Eh, mmm…..tadi mimpi itu datang lagi.”



“Mimpi yang sama?”

Ify mengangguk pelan.



“Ahh, kenapa selalu kau yang memimpikannya. Aku kan juga ingin mengenang kejadian itu lagi.”

Rio memanyunkan bibirnya dengan mimik muka yang manja. Ify hanya tersenyum melihat wajah kekasihnya.



“Oke, surat pertama.”

Ify memecahkan kesunyian yang sempat mampir sejenak. Rio mengangguk antusias.



Ify membacakan satu persatu surat yang ada disana. Sama seperti apa yang ia terima. Kalimat motivasi, sekedar ucapan semangat dan kalimat-kalimat yang menyentuh maupun lucu seringkali mengundang tawa kecil mereka berdua di setiap akhir surat yang mereka baca.



Tanpa terasa sudah satu jam 15 menit mereka menghabiskan waktu membaca surat-surat itu.

“Ahhh, tinggal 15 menit lagi. satu surat lagi ya…”

Ify meraih satu surat lagi dari pangkuannya dan disambut senyuman oleh Rio.



Untuk Rio



Rio apa kabar? Sudah lama kami tidak mendengar suara nyanyianmu. Sudah lama kami tidak melihat wajahmu muncul di TV. Semua foto dan video yang mereka tayangkan hanya foto-foto dan videomu yang sudah mereka ambil sejak lama.

Aku dan teman-temanku hampir setiap hari membicarakan tentangmu. Tentang drama mu yang perannya tiba-tiba digantikan oleh orang lain.

Eh, kemarin, Sky of Love diputar lagi di TV. Aku dan teman-teman menonton bersama di rumahku hingga larut malam. Kau tahu, kami semua menangis. Padahal itu bukan pada saat adegan sedih. Setiap kali wajahmu muncul, rasanya seperti ada perasaan yang mendorong kami untuk menangis. Rio, kami merindukanmu. Cepatlah sembuh.

Oh iya, aku masih menyimpan fotomu dan Ify dulu. Terima kasih, dulu, kalau kau masih ingat, karena kau mau memenuhi permintaanku. Kau mau memberikan bunga mawar merah itu pada Ify. Kalian memang pasangan yang serasi. Foto kalian kujadikan background blog ku lho. Lain kali, jika ada waktu, mampirlah. Alamat blog ku mariostevanofans.blogspot.com. Haha, bahkan blog ku pun menggunakan namamu. Disana ada banyak cerita tentangmu dan tentang Ify.

Dan aku sangat-sangat senang saat keinginanku agar kalian menikah menjadi kenyataan. Sekarang kalian sudah bertunangan. Dan pastinya tak lama lagi kalian akan menikah. Ah, aku masih menyimpan kliping majalah 5 tahun yang lalu. Berita tentang kamu yang meminta Ify menjadi kekasihmu saat farewell party Sky of Love. Saat itu aku benar-benar sampai berlonjak riang karena membaca berita itu.

Cepat sembuh ya, kami smua menantimu. Kami semua menantimu kembali menyanyi. Kami semua menantimu hadir kembali sebagai pemeran utaman drama-drama yang pasti akan kami tonton setipa hari tanpa terlewat. Kami menanti kabar bahagia itu. Kami menanti hari bahagiamu dengan Ify.

Jangan menyerah, kau tak sendiri, kami semua dan tentunya ribuan orang yang ada di luar sana mendoakanmu.

Cepat sembuh ya, Rio.



Nadia



Kali ini tak ada senyum maupun tawa di akhir kalimat yang dibacakan Ify. Mereka berdua tertegun dalam kesunyian. Jarum jam yang berdetik serasa menusuk di tengah hawa dingin angin musim penghujan yang berhembus dari luar sana.



Ify dan Rio sama-sama terdiam menatap kertas yang ada di tangan Ify. Kesunyian terus berlangsung hingga beberapa detik, hingga akhirnya Ify tak kuasa mencegah air mata yang jatuh membasahi kertas surat yang dipegangnya. Beberapa huruf tampak memudar tintanya karena tetesan air matanya.



Terburu-buru Ify mengusap lelehan air mata di pipinya. Ia merasa begitu bodoh. Padahal ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tak akan menangis di depan Rio. Dengan bodohnya kali ini dia melanggar janjinya.



Sontak Rio meraih pundak Ify. Ia memeluknya erat. Matanya terpejam merasakan hangat tubuh perempuan yang ada di pelukannya.



“Maaf….”

Suara Ify bergetar dalam pelukan Rio. Rio tak menjawab apapun. Ia semakin erat memeluk Ify.



“Maaf….”

Sekali lagi Ify memaksakan untuk bicara di tengah isakannya.



“Mmmm.”

Rio hanya mengangguk pelan.



Beberapa saat Rio membiarkan Ify terisak dalam pelukannya.



“Semuanya…..tidak akan berakhir…..seperti di film kan?”

Ujar Ify terbata-bata.



Rio hanya diam tanpa menjawab sepatah katapun.



Untuk kesekian kalinya sang waktu melemparkan jangkarnya, terhenti dan membiarkan mereka dipeluk kesunyian.



“I want to become the sky. Become the sky and always look after Ify from above.”

Ify semakin terisak dalam pelukan Rio saat Rio entah kenapa mengutip salah satu kalimat dalam film Sky of Love yang perankan.



“A clear sky means, Rio is in a good mood. A rainy day means, Rio is crying. A sunset means Rio is embarrassed. A night sky means, Rio is warmly hugging me. Then, every time I look at the sky, I’ll think of Rio.”

Rio mengutip kalimat yang dulu diucapkan Ify di salah satu scene Sky of Love.



Ify terus terisak. Ia membalas pelukan Rio. Ia memeluknya erat.



Manajer Ify memandang adegan di depannya dengan mata basah. Bayangan mereka yang sedikit mengabur karena kaca pintu yang agak buram, kini semakin buram karena biasan air mata yang menggunung di pelupuk matanya. Sebuah adegan yang tak sedang ia saksikan dalam sebuah syuting film. Tak ada yang menyangka semuanya akan menjadi begitu nyata. Sebuah adegan yang benar-benar terjadi di kehidupan dua orang manusia. Apa yang terjadi di film, tak selalu mustahil untuk menjadi nyata. Dalam kisah ini, satu perbedaan yang nyata yang tidak terjadi sebagaimana adegan dalam script film, yaitu mereka berdua selalu saling menjaga tanpa ada keraguan. Sang laki-laki tak pernah meminta sang gadis untuk meninggalkannya, dan sang gadis tak pernah sedikitpun berniat meninggalkannya. Karena itulah cinta yang sebenarnya, bukan sekedar cinta dalam cerita.



**************Song of Love*************





The wind always blows on the road

I want to meet you

Can you hear the song of love?

Time is flowing, dreams are flowing

But I will still draw the sky of tomorrow

Can you hear the song of love?

My tears were flowing

Someday, the flower will bloom

Kamis, 02 Juni 2011

We Were There (CHAPTER 1)


“Laki-laki itu siapa?”
Ify yang berdiri membelakanginya perlahan menoleh sejenak kearah Sivia yang duduk di tepi tempat tidur. Tangannya yang masih sibuk membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja tak lantas terhenti. Ia terus melanjutkan aktivitasnya tanpa mempedulikan tatapan penasaran Sivia yang menunggu jawaban atas pertanyaannya.

   “Siapa?”
   Dengan nada yang sangat lirih Ify balik bertanya pada Sivia. Sivia yang mendengar pertanyaan yang lebih mirip desahan itu hanya menghela nafas dalam. Ia bisa menangkap perasan tak nyaman dari getar suara Ify.

   “Laki-laki dengan kalung bulan sabit itu.”
   Kalimat itu bak aliran listrik yang tiba-tiba menyengat sekujur tubuh Ify dan sontak berhasil menghentikan gerakan tangannya. Matanya terpaku menatap kosong buku-buku yang masih terdiam dalam genggamannya.

   Ruangan itu sejenak kembali tenggelam dalam kesunyian.

   Urat-urat syarafnya yang sempat berhenti sejenak akhirnya kembali mampu bergerak normal. Tangannya beringsut merapikan tumpukan buku terakhir ke dalam rak kayu yang sudah usang di atas meja belajarnya.
  
   Sebelumnya Ify menyempatkan menghela nafas dalam-dalam sebelum akhirnya ia perlahan membalikkan badannya menghadap Sivia yang masih menatapnya menanti jawaban. Tatapan mereka beradu yang menyebabkan Ify merasa semakin tak mampu menyembunyikan gurat perasaan tak nyaman atas pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya tadi.

   Tak menjawab sepatah katapun, Ify langsung berjalan kearah tempat tidur dan menghempaskan badannya memunggungi Sivia yang masih diselimuti rasa penasaran. Foto di ponsel Ify yang tanpa sengaja ia lihat tadi siang membuatnya terus bertanya-tanya ada hubungan apa laki-laki itu dengan sahabatnya, karena menurut sepengetahuannya, sahabatnya itu tak pernah sekalipun berhubungan istimewa dengan lelaki, apalagi sampai menyimpan fotonya di ponsel. Dan yang pasti itu bukan foto kakaknya, karena ia tahu seperti apa wajah kakak Ify dari foto yang pernah ditunjukkan padanya.

   “Siapa dia?”
   Masih dengan nada pelan Sivia mengulang kembali pertanyaannya. Ia masih menunggu barang sedetik dua detik. Tapi sepertinya Ify tak ada niat untuk menjawab. Akhirnya Sivia turut membaringkan tubuhnya di sebelah Ify. Ditatapnya punggung sahabatnya yang masih tidur membelakanginya. Ify menghela nafas panjang. Akhirnya dia memutuskan bahwa dirinya tak berhak untuk terus memaksa. Perlahan ia pun memejamkan matanya dan memutuskan untuk tidur.

   Namun, baru saja ia hendak terlempar kealam bawah sadar, suara Ify memaksanya membuka mata tiba-tiba. Pandangannya menangkap punggung Ify yang masih belum beranjak dari posisinya, hanya saja kali ini dia mau mengeluarkan sedikit suara.

   “Hacker.”

   Hanya satu kalimat yang baru saja terlontar itu yang bisa keluar dari bibir Ify. Sivia mengerutkan dahinya, mencoba memahami apa maksud kalimat tersebut.

   Ify menatap dua tangkai bunga matahari yang berada di sebuah vas kaca sederhana dengan hanya berisi air yang terletak di pojok jendela kamarnya. Sinar bulan yang sedang penuh memantulkan cahaya berkilauan dari vas bunga kaca itu.

Sivia masih menunggu.

   Perlahan dilihatnya Ify mulai mengubah posisi tidurnya. Kali ini dia terbaring menghadap atap. Matanya menatap plafon kamarnya dengan pandangan menerawang. Menerawang seolah meniti kembali memori-memori yang sudah usang dalam loker-loker otaknya.

   Sivia tak bicara sepatah katapun. Ia hanya menunggu kalimat selanjutnya. Ia biarkan sahabatnya tersebut bercerita dengan sendirinya.

   “Dia seorang hacker.”
   Sivia mulai menikmati sedikit-demi sedikit rasa penasarannya. Sepatah dua patah kalimat yang diucapkan Ify seolah menyimpan misterinya masing-masing.

   “Sepertimu?”
   Sivia memberanikan diri melontarkan sebuah pertanyaan.

   “mmm.”
   Ify hanya menjawab dengan anggukan perlahan. Kali ini ia meraih guling yang ada di sebelahnya dan memeluknya erat. Sivia bisa menangkat perubahan riak wajah sahabatnya. Wajah yang sungguh berbeda dari dirinya yang biasa.
   “Ah, bukan…..”
   Tiba-tiba Ify meralat kalimatnya.
   “Dia tidak sepertiku. Dia …..jauh lebih hebat dariku.”
   Setiap kata-kata yang terlontar dari bibirnya selalu meluncur dengan perlahan. Kesunyian di dalam ruangan itu seolah semakin menambah misteri di setiap untaian kalimat Ify.

   “Dia…..dulu pacarku.”

   Kalimat itu serasa menyentak perasaan Sivia yang masih mendengarkan dengan seksama, tapi juga sekaligus mengundang sebersit penasaran di hati Sivia.

   “Dulu?”

   “mmm”
   Sekali lagi Ify hanya menjawab dengan anggukan kepalanya.
  
Untuk kesekian kalinya ruangan itu kembali tenggelam dalam kesunyian. Tak tampak tanda-tanda bahwa Ify akan melanjutkan ceritanya.

   “Fy….”
   Nada suara Sivia yang tampak sedikit ragu mencoba menyeruak di antara keheningan mereka berdua..

   “Hm?”
   Tatapan mereka kembali beradu saat Ify memutar pandangannya dan menatap Sivia.

   “Aku ingin mendengar ceritamu.”
   Kali ini justru Ify yang mengerutkan kening tanda tak mengerti dengan ucapan orang yang sekarang ada di sampingnya.

   “Aku ingin mendengar ceritamu. Aku…..ingin mendengar cerita tentangmu, tentang hidupmu. Kita sudah setengah tahun berteman, aku juga sudah terlalu cerewet menceritakan ini itu padamu, tapi…. aku merasa aku tak banyak mengenalmu. Aku……ingin mendengar cerita tentangmu.”
  
Ify hanya menanggapinya dengan senyuman.

   “Aku hanya tahu sedikit tentang kehidupanmu. Dan itu membuatku semakin penasaran tentangmu.”
   Sivia meraih sebuah boneka Piglet dari samping badannya. Ia memeluknya erat dan kali ini ia merubah posisi tidurnya menjadi seperti Ify, menatap langit-langit.

   “Aku tau kamu seorang hacker. Aku tau kamu suka menggunakan skillmu itu untuk sekedar having fun. Dan pasti yang paling membuatku kagum adalah kamu bisa menghalangi murid SMA sebelah yang mencoba merusak data-data club majalah kita. Itu sangat keren.”
   Sivia tersenyum lebar saat mengingat kembali kejadian menakjubkan seperti film yang benar-benar terjadi di hadapannya ketika Ify dengan kerennya mengobrak-abrik data server murid SMA saingan mereka yang mencoba mengapus file-file untuk majalah tahunan SMA Ify.

   Di sampingnya, Ify tersenyum simpul. Senyum yang menyiratkan banyak makna. Sivia memang tak pernah tau….

Sejenak kemudian Sivia menyadari kebodohannya yang tersenyum girang di tengah suasana serius itu. Sontak iapun menarik senyumnya dan mengembalikan wajah serius yang sedari tadi melekat di raut mukanya.

“Aku tau kamu hanya tinggal sendiri disini. Aku tau kedua orang tuamu meninggal saat kamu SMP. Aku tau kamu dulu hanya tinggal berdua dengan kakakmu sampai akhirnya kakakmu meninggal….”
Kalimatnya terhenti sejenak. Sivia mencoba menata kalimat sejeli mungkin agar tidak menyinggung sahabatnya. Ia menggigit bibirnya pelan sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.

“……Karena dibunuh teroris.”
Sivia memberanikan melirik wajah Ify. Tak ada perubahan disana. Ify masih menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang.

   “Dari semua ceritamu itu….. justru membuatku penasaran. Aku yakin ada cerita yang lebih dari itu. Aku yakin, apa yang kamu ceritakan padaku dulu itu tak mungkin sesederhana itu. Aku yakin……Ada hal besar yang pernah terjadi dalam hidupmu. Dan aku…..aku…..ingin kau membaginya denganku.”

   Beberapa saat mereka tenggelam dalam kesunyian. Ruangan itu terasa senyap. Hanya desah nafas mereka berdua yang menghembus pelan ke udara. Detikan jarum jam menggema di ruang kamar yang tak terlalu luas itu.

   “Aku membenci mereka.”
   Suara Ify menggantung. Menyisakan setumpuk tanda tanya ysang semakin menggunung di benak Sivia.
   “Mereka menghancurkan hidupku.”

   Sivia mencoba menempatkan tubuhnya dalam posisi yang paling nyaman. Karena ia tahu, malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk cerita yang akan segera ia dengar.


*************** domain: We were there, Password : Capter 1******************

“Aku membenci mereka. Mereka menghancurkan hidupku.”

“Eh?”
Raut wajah Sivia sontak berubah saat menatap ekspresi Ify. Matanya yang belum beralih dari langit-langit kini seolah menatap plafon kamar itu dengan penuh kebencian. Tak ada lagi senyum simpul yang tersirat di sana. Ekspresi wajahnya tampak kaku….. dan marah….

“Dulu….”

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
ladybird# telnet 10.0.0.133
Trying 10.0.0.133…
Connected to 10.0.0.133.
Escape character is *^]*.
Login:
Login: Connection attacked by foreign host.
Ladybird# telnet  -l- froot 10.0.0.133
Trying 10.0.0.133…
Connected to 10.0.0.133.
Escape character is *^]*.
Last login: Sat Dec 6 04:38:43 on console
Vlan          Mac Address
-----           ---------------
1                001f.29b3.5be9
            Total Mac Addresses
            BRDR-SW1#conf t
            Enter configuration command
            bb:-$ ping 10.0.0.133
            PING 10.0.0.133
            From 10.0.0.133 (10.0.0.133)
            From 10.0.0.66 icmp_seq=1
            From 10.0.0.66 icmp_seq=2
            ---
            11 packets transmitted,
            Pipe 3
            Bb:-$
            ---           
            Login: Connection closed by foreign host.

“Sial…..”
Seketika jari-jarinya berhenti menari di atas keyboard. Tangannya mengepal menahan amarah yang menyeruak. Ditatapnya layar laptopnya dengan tatapan kebencian. Untuk keempat kalinya usahanya untuk menerobos masuk ke dalam system server Kepolisian digagalkan oleh hacker yang tak dikenalnya.

Ia tak tau siapa yang baru-baru ini mengacaukan moodnya dengan berkali-kali mencoba menghalangi aksesnya. Orang itu menggunakan metode yang sangat rapi. Dan ia mengakui, teknik yang digunakan memang jauh di atas kemampuan yang dimilikinya.

Gadis itu menutup layar laptopnya dengan kasar. Bergegas dimasukkannya laptop kesayangannya itu ke dalam tas jinjing yang tak pernah lepas ia bawa. Masih dengan menahan amarah ia beranjak dari duduknya dan tergesa-gesa melangkah meninggalkan halte yang sedari tadi menjadi tempatnya melancarkan aksi.

Langkahnya terus dipercepat. Raut wajah yang masih menahan kesal membuat gadis itu menatap siapa saja yang lalu lalang di sekelilingnya dengan tatapan tajam. Kali ini dia benar-benar tak bisa tinggal diam. Kesabarannya sudah mencapai puncak.

Di kejauhan, sosok itu terus mengamati gadis yang semakin jauh meninggalkan halte itu. Senyum simpul tergurat jelas di bibirnya.

Ditutupnya laptop yang sedari tadi menjadi tempat jari-jarinya menari.
“Capture…..Complete.”
Seulas senyum kembali tersungging. Begitu punggung gadis itu menghilang di tengah lalu lalang manusia, barulah sosok itu beranjak dari tempat persembunyiannya dan dengan santai melangkah pergi sambil memanggul tas berisi laptop yang merupakan hartanya yang paling berharga.