Selasa, 29 November 2011

We Were There (CHAPTER 13)



“Gabriel!”
Rio yang bergegas mendekat pada Gabriel pun semakin terkejut saat ia melihat begitu banyak genangan darah merah pekat di wastafel itu.

“Apa kamu baik-baik saja?”

Gabriel meraih tisu yang disodorkan Shilla dan mengusap bibirnya yang terdapat bekas-bekas darah. Sejenak kemudian Gabriel memandang Rio dengan tatapan penuh ketakutan.
“Rio…….apa……. yang terjadi padaku?”

Rio tak menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan prasangka buruk yang sejak tadi menggelayuti pikirannya. Ia masih tertegun membalas tatapan Gabriel yang masih menunggu jawabannya.

Shilla seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran Rio tentang dugaan virus itu. Shilla pun segera meraih pundak Gabriel.
“Ayo kita ke rumah sakit.”
Shilla menuntun Gabriel menuju pintu keluar.

Rio yang menyadari kemungkinan inveksi virus pun segera berlari hendak menghadang.
“Tunggu! Tunggu sebentar!”

Belum sempat kalimatnya membuat Shilla dan Gabriel berhenti, tiba-tiba pintu yang ada di depan mereka didobrak dengan keras hingga terbanting menghantam dinding. Jeritan ketakutanpun terlontar dari bibir Shilla dan Zahra saat 2 orang bersenapan laras panjang memasuki tempat mereka dan mengacungkan senapannya pada 5 pemuda itu.

“Lama tidak bertemu………… Falcon……”

Rio terbelalak saat ingatannya berhasil menemukan rekaman wajah orang yang menyapanya tersebut. Dia adalah badut yang menyebarkan virus palsu dalam insiden Senayan City.

Tanpa menunggu lama dua orang teroris itu menyuruh mereka berjalan keluar sembari terus menodongkan senapan yang tampak mengerikan itu. Mereka dibawa ke sebuah ruang kelas di lantai tiga.

Dengan kasarnya dua orang teroris itu menghempaskan tubuh mereka ke lantai kelas. Selanjutnya salah satu di antara mereka berjalan ke meja guru dimana di atasnya sudah ada satu buah laptop. Rio dan yang lainnya hanya bisa pasrah menunggu apa yang akan selanjutnya terjadi.

Laki-laki itu menyalakan laptop tersebut. Sebentar ia mengutak-atiknya dan tiba-tiba….

“Baaa…”
Wajah seorang laki-laki muda memenuhi layar laptop tersebut dengan senyum terkembang yang menampakkan raut sangat ceria.

“P?”

“Eh?”
Shilla memandang Rio tak mengerti.

“Dia adalah P, pemimpin teroris yang menyebarkan virus ini.”

Tak pelak lagi kalimat Rio itu membuat Alvin, Shilla, Zahra dan Gabriel menatap wajah itu dengan penuh ketakutan sekaligus kebencian.

“Yang pertama, aku ucapkan selamat pada Gabriel, kamu yang pertama mendapatkan hadiah besar dari kami.”

Mereka semua sontak memandang Gabriel yang semakin parah terbatuk-batuk. Rio mengepalkan tangannya kuat-kuat. Nampaknya dugaannya benar-benar terjadi, mereka sudah menginfeksi Gabriel dengan Bloody-x.

“Kau! Kenapa kau melibatkan mereka? Bukankah aku target kalian?”

“Itu benar. Tapi sayang, sepertinya kamu sudah tidak efisien lagi bagi kami, jadi aku kehilangn selera. Bagiku kamu tidak punya nilai lagi.”

Rio menatap tajam wajah itu. Senyum laki-laki di layar itu membuatnya merasa begitu jengah dan muak.

Dengan suara yang bergetar karena rasa takut Shilla berbisik pada Rio.
“Berarti…kita juga terinfeksi? Kalau begitu, bukankah orang-orang ini juga bisa tertular?”
Tatapan mata Shilla tertuju pada dua orang yang menodongkan senapan pada mereka.

“Mereka pasti sudah menggunakan antivirus.”
Rio menatap tajam pada dua orang yang sekarang ikut tersenyum meremehkan pada mereka.

“Apa alasanmu membuat Gabriel tersiksa seperti ini? Kenapa kau melakukan hal seperti ini?!?!?”

“hhh…. anggap saja ini adalah sebuah soal. Aku ingin tahu apakah Third-I dan falcon bisa menyelesaikannya. Jika kau memikirkannya dengan baik maka soal ini dapat terselesaikan dengan benar. Selamat berjuang……Falcon…..”

----------------

THIRD-i
Saturday 15:36

Dering telefon mengalihkan perhatian Ita dari layar monitor pemantau yang sejak tadi menjadi focus utamanya.
“kantor THIRD-I disini…ada yang bi….”
Kalimat Ita sontak terhenti seiring raut kekagetan yang tiba-tiba tampak dari wajahnya.

Bergegas Ita memanggil Pak Joni dan menyalakan speaker agar atasannya itu bisa mendengar orang yang menelfon dan meminta untuk bicara dengan Pak Joni itu.

“Halo, Joni disini.”

“Kau sepertinya sangat lelah. Suaramu terdengar suram.”

Pak Joni terbelalak kaget saat ia bisa mengenali suara itu.
“Maya?”

“Setelah Kiki dan Ayu, sekarang ijinkan kami memberi tahu siapa nama korban selanjutnya.”

“Siapa?”

Terdengar tawa lirih dari seberang yang membuat Pak Joni tampak geram.

“Mario…. Stevano….”

Tampak keterkejutan di wajah Pak Joni.
“Jangan berbohong. Kalian menginginkan Rio. Kalian tidak mungkin mencelakainya.”

“Kali ini kami tidak main-main. Oh iya, dan Alvin Jonathan juga ada di antara teman sekelasnya yang sudah kami infeksi Bloody-x. Jika kau merasa ini adalah bohong, buktinya akan segera kami kirim padamu.”

Beberapa detik kemudian computer Ita berbunyi bip yang menandakan ada pesan masuk. Begitu melihat email dengan nama pengirim “nyan nyan” itu Ita pun segera memberi isyarat pada Pak Joni dan dibalas dengan anggukan oleh laki-laki itu.

Ita membuka video yang terlampir di email tersebut kemudian menampilkannya di layar monitor kantor. Semua orang yang ada di ruangan tersebut memandang kaget pada layar itu saat tampak video Rio dan teman-temannya sedang mengelilingi Gabriel yang ditidurkan di lantai dengan hidung yang mengeluarkan darah.

“Saat ini mereka kami tawan. Kami meminta pembebasan pimpinan kami Darma Praja. Setelah kalian memenuhinya kami akan memberi kalian antivirus dan membiarkan mereka bebas. Jika kau tidak bergegas, mereka akan mati. kami adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan mereka. Kami akan mengubungimu lagi beberapa saat nanti. Dan kami harap kau sudah mengambil keputusan yang bijak.”

Tut…tut…tut….

“Halo!!! Halo!!! Sial!!”
Pak Joni memukulkan tinjunya ke meja yang ada di depannya. Teroris itu benar-benar mulai berulah lagi sekarang.

-------------------

Rio tertunduk di hadapan keempat temannya yang lain.
“Semuanya… aku benar-benar minta maaf. Kalian hanya berusaha menolongku tapi kalian terjerumus kedalam hal berbahaya ini.”

Dengan tubuh yang terasa semakin lemah, Gabriel sekuat tenaga mencoba menggerakkan tangannya dan meraih pergelangan tangan Rio.
“Aku tidak peduli pada apa yang sudah terjadi. Abaikanlah itu. apa yang harus kita lakukan sekarang? mari kita pikirkan saja tentang itu.”

Rio tak bisa menahan setetes air mata yang menyembul dari matanya melihat keadaan sahabatnya yang sekarang terbaring lemas. Alvin mengusap pundak sahabatnya itu.
“Dia benar. menolongmu adalah apa yang kami inginkan.”

Tawa salah satu teroris yang menawan mereka sontak mengalihkan pandangan mereka semua.
“Ck ck ck…..persahabatan…..betapa indahnya…. Hahahaha….”

“Kau pikir aku akan membiarkanmu membunuh kami dengan mudah?”

Tawa laki-laki itu berganti dengan pandangan tajam menatap Rio. Laki-laki itu mengambil tas berisi laptop milik Rio yang tergeletak di atas meja dan mengacungkannya pada Rio.
“Falcon…. apa kau ingin mencobanya? Kami sudah merusak kemampuan wireless computer dan ponsel di gedung ini….”

Dengan geram Rio merebut tas berisi laptopnya dari tangan laki-laki itu. Rio duduk di lantai kelas dan bergegas menyalakan laptopnya untuk berusaha mencari koneksi walaupun kalimat yang diucapkan laki-laki itu barusan cukup membuat Rio sedikit kehilangan harapan.

Hampir 20 menit Rio terus berkutat mengutak-atik laptopnya namun hasilnya nol. Tak dapat ia pungkiri bahwa rasa putus asa mulai menggelayuti hatinya. Melihat Rio yang tampak frustasi menatap layar laptopnya Alvin pun mendekati sahabatnya itu.
“Bagaimana?”

“Tidak ada gunanya. Seluruh wireless akses poin sudar benar-benar terputus.”

Kalimat Rio itu ternyata mampu didengar oleh salah satu penjaga yang ada di dekat mereka. Penjaga itupun tertawa keras seolah merasa menang.
“Sudah kubilang kan kau tidak akan bisa melakukannya. Dan lagipula, jika kalian melarikan diri, kalian akan menulari orang luar dengan virus.”

Penjaga itu berjalan kearah jendela dan memandang ke halaman depan sekolah itu. Tampak 3 teroris bersiaga di depan pintu masuk. Mereka hanya ditugasi untuk menjaga sekolah itu dari penyusup yang hendak menyelamatkan tawanan.

“Tapi, coba saja kalau kalian bisa keluar dari sini dengan selamat.”
Tawa keangkuhan kembali bergema di ruangan kelas itu.

Rio yang menatap geram pada laki-laki itu disadarkan oleh bunyi bip dari laptopnya.
“Sial, bahkan baterainya pun sudah hampir habis….”
Rio menatap kesal pada layar laptopnya. Namun, tiba-tiba sesuatu terlintas di pikirannya. Ia melirik pada penjaga yang sedang asyik mengunyah camilan tak jauh dari mereka.

Rio mengambil charger dari dalam tasnya dan segera menghubungkannya dengan laptop kemudian menancapkannya pada stopkontak yang melekat di dinding tak jauh dari tempatnya duduk. Rio duduk bersandar di dinding dan mulai kembali mengutak-atik laptopnya untuk menemukan celah agar ia bisa berhubungan dengan dunia luar.

-------------------

Saturday 19:10

Pak Susilo berdiri di belakang Menteri pertahanan di kediaman pribadinya. Menteri itu tampak berdiri menatapi halaman rumahnya yang dijaga ketat oleh petugas militer.

“Pak menteri. Cucu anda berada di antara 5 siswa yang mereka jadikan tawanan sebagai syarat atas pembebasan Darma Praja. Tapi kami mohon anda tidak perlu khawatir, keselamatan para tawanan adalah prioritas utama. Kami akan berusaha keras demi menyelamatkan mereka.”

Laki-laki berusia 62 tahun itu hanya tersenyum simpul mendengar kalimat Pak Susilo.
“Menangkap teroris dan menjaga keamanan seluruh negara adalah kewajiban kalian. begitu juga denganku. Walaupun Alvin ada disana, anda tidak perlu memberi perlakuan khusus untuk kasus ini. Mengerti?”

Pak Susilo tampak tergagap mendengar penuturan atasannya tersebut.
“Baik Pak.”

Pak Susilo mohon undur diri dan segera meninggalkan kediaman Pak Menteri setelah memberikan detail laporannya. Pak Menteri memandang kepergian laki-laki itu dengan wajah dihiasi senyum simpul seperti biasanya.

Pak Menteri masih memandangi Pak Susilo menghilang ke dalam mobilnya yang tak lama kemudian berjalan menjauh meninggalkan kediamannya. Senyum di bibir laki-laki itupun perlahan surut.

“Darma….. praja…..”

-----------------------

Tok tok tok….

Ify berjalan gontai menghampiri pintu depan yang diketuk orang. Ify tampak sedikit kaget saat pintu terbuka ia melihat seorang laki-laki paruh baya berseragam THIRD-I berdiri di hadapannya.

“Pak Aji?”

“Apa kamu sendirian?”

Ify mengangguk pelan. Ia mempersilahkan Pak Aji masuk dan kembali menutup pintu setelah sejenak ia sempat memandang 2 orang polisi yang berjaga di halaman rumahnya.

Pak Aji kaget saat Ify yang berjalan di depannya menuju ruang tengah tiba-tiba berhenti dan tampak limbung. Beruntung Pak Aji sempat menangkap badan gadis itu sebelum ia jatuh menghantam lantai.
“Hei! apa kamu baik-baik saja? Apa kamu merasa sakit?”

Ify mengusap-usap kepalanya yang terasa pusing. Pak Aji membantunya berdiri dan memapahnya berjalan menuju sofa ruang tengah. Pak Aji mendudukkan Ify disana. Ia memandangi Ify yang duduk dengan wajah lemas dan pucat.

“Kenapa dia melakukannya?”

Pak Aji menatap Ify bingung. Ia tak mengerti maksud pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan Ify barusan. Ify pun menceritakan semua apa yang ia dengar dari polisi bernama Luthfi itu.

Pak Aji yang mendengar cerita Ify hanya bisa menghela nafas dalam. Ia sudah mengetahui hal itu saat pertama kali tahu identitas Ify. Ia tahu bahwa Ify adalah adik dari Hacker muda yang meninggal saat dikejar oleh polisi karena tertangkap basah membobol data militer nasional. Dan ia tahu bahwa Rio adalah orang yang telah membuat aksi laki-laki itu terhambat dan terdeteksi oleh aparat kepolisian. Kejadian itu adalah salah satu file rahasia di THIRD-i.

“Dia pasti punya alasan kenapa tidak memberitahumu.”

Ify menatap kosong ke depan. Ia tak mengucapkan apapun.

“Percayalah pada Rio……Aku percaya padanya…..”

Perlahan Ify mengalihkan pandangan pada laki-laki di sampingnya. Setetes air mata jatuh merayap dari sudut mata sayu gadis itu.

---------------

Saturday 22:32

Ita terperanjat saat melihat sebuah email yang masuk di layar komputernya. Bergegas ia memanggil Pak Joni.

“Ada apa?”

“Ada email dari Falcon Pak.”

“Apa? Bukankah wireless akses di gedung itu sudah diputus?”

“Tampaknya koneksi ini berasal dari electrical wires. dia menggunakan jaringan listrik sekolah untuk terhubung ke internet. Namun, Jaringan listrik menggunakan frekuensi rendah sekitar 50 Hz. Karena internet membutuhkan frekuensi yang lebih besar, mungkin falcon menggunakan electrical outlets di sekitar sekolah sebagai input dan terhubung ke internet.”

Pak Joni tampak mengerti dengan penjelasan Ita. Tak lama kemudian Ita membuka email singkat yang dikirim oleh Rio itu.

“Satu orang temanku dalam keadaan kritis. Cepat selamatkan kami.”

Pak Joni memejamkan mata mencoba meredam pening di kepalanya karena masalah yang begitu rumit ini semakin terasa menjengahkan.

Namun beberapa saat kemudian Pak Joni tiba-tiba membuka matanya. Sebuah ide terlintas di pikirannya. Laki-laki itu mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia yakin segala bencana ini pasti akan menemui titik terang.

Tiba-tiba dering telefon menyadarkan mereka dari ketertegunan. Pak Joni sendiri langsung mengangkat telfon tersebut.

“Halo.”

“Bagaimana? Apakah rencana sudah ditetapkan?”
Suara Maya menggema di telinga Pak Joni.

“Kami tidak punya pilihan lain, kami akan membebaskan Darma Praja.”

Semua orang yang ada di ruangan itu tampak kaget mendengar ucapan Pak Joni. Laki-laki itu tidak mendiskusikan apapun dengan mereka dan tiba-tiba mengambil keputusan yang berbahaya itu.

“Tapi ada satu masalah. Yang kami butuhkan sekarang tinggal persetujuan dari menteri pertahanan. Tapi sebelum kami melakukannya kami akan mengecek apakah 5 orang murid itu benar-benar terinfeksi.”

“Apa kau tidak melihat video yang kami kirimkan?”

“Kami tidak bisa percaya hanya dengan itu. itu bisa saja hanyalah trik yang sudah kalian rancang sedemikian rupa.”

Suara di seberang terdengar sunyi untuk beberapa saat.

“Baiklah, kami hanya mengijinkan 2 orang utnuk memeriksa mereka. Dan jika kalian berani berbuat macam-macam, kami tidak akan segan-segan untuk menghabisi 5 orang anak ingusan itu.

Tut..tut…tut….

Tampak segurat senyum tersungging dari bibir Pak Joni. Pandangan mata laki-laki itu tertuju pada sosok Bu Hesti yang baru saja keluar dari ruang interogasi.

------------

“Bertahanlah iel…”
Shilla terus mengusap-usap punggung tangan Gabriel yang semakin berkeringat dingin.”

Alvin terkejut saat melihat ekspresi wajah Rio menyiratkan sedikit kelegaan menatap layar laptopnya. Perlahan Alvin mendekat pada Rio dan menatap sahabatnya itu dengan pandangan yang menunjukkan rasa penasaran.

Rio memberi isyarat pada Alvin agar melihat ke layar laptopnya. Begitu melihat apa yang tertulis disana wajah Alvin pun perlahan melukiskan sedikit harapan. Namun sebisa mungkin ia menyembunyikan ekspresi kelegaannya itu agar tidak mengundang kecurigaan teroris yang menjaga mereka. Alvin kembali mendekat pada ketiga temannya yang lain dan dengan suara yang sangat-sangat pelan ia memberi tahu apa yang tertulis di laptop Rio.

Rio menatap kembali layar laptopnya yang masih memampangkan sebuah email yang dikirim oleh THIRD-I beberapa saat yang lalu.

“ strategi pulpen. Akan datang sebentar lagi.”

-------------

Bu hesti dan Bu Mia berjalan memasuki halaman sekolah yang dijaga tiga orang teroris itu. Di tangan kanannya Bu Hesti membawa sebuah kotak yang berisi peralatan yang akan ia gunakan untuk memeriksa Rio dan kawan-kawan. Dan disana pulalah tersimpan antivirus yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh Bu Hesti.

Dari satu botol antivirus yang berhasil disembunyikan oleh Rio, Bu Hesti bisa membuat cukup antivirus untuk 5 orang. Ia memisahkannya ke dalam 5 dosis dan memasukkannya ke dalam pulpen multiwarna seolah-olah antivirus itu adalah cairan tinta pulpen. Dan jika cairan itu ditelan maka akan merusak seluruh bloody-x yang ada dalam tubuh.

Bu Hesti dan Bu Mia melangkah berdua menaiki lantai tiga dimana Rio dan yang lainnya ditawan. Kedatangan mereka disambut oleh salah satu teroris yang langsung menodongkan senapannya pada mereka berdua.

Saat melihat dua orang utusan THIRD-I itu datang Rio merasa jantungnya berdebar semakin kencang. Bagitu pula dengan 4 temannya yang lain tampak menunjukkan ekspresi kekhawatiran. Tentu saja mereka berharap rencana ini akan berhasil menyelamatkan mereka.

Bu Hesti perlahan mulai mendekat pada mereka dan mulai memeriksa satu-persatu tawanan itu. Ia memeriksa mulai dari kondisi lidah, pupil mata, dan lain-lain. Bu hesti bergerak hendak mengambil sesuatu dari dalam tasnya namun tiba-tiba teroris itu menempelkan pistol ke kepalanya.

“Jangan berbuat hal yang mencurigakan.”

“Aku hanya akan mengambil alat penyedot darah.”

Teroris itupun membiarkan Bu Hesti kembali melanjutkan tugasnya dan hanya mengawasi masih dengan senapan yang teracung. Bu Hesti mengeluarkan sebuah buku penelitian dan sebuah pulpen multiwarna. Bu Hesti terlihat menuliskan hasil pemeriksaan di buku itu lalu kemudian meletakkan buku dan pulpennya di atas meja yang berada tak jauh dari sana.

Bu Hesti kembali melanjutkan mengumpulkan sedikit sampel darah.

“Apakah kami benar-benar terinfeksi?”
Zahra bertanya dengan nada ketakutan pada Bu Hesti.

“Apakah Gabriel akan selamat? Dia bisa selamat kan?”
Shilla menyusul dengan pertanyaannya.

Bu Hesti mengangguk perlahan. Tatapannya beradu dengan mata Shilla yang menatapnya penuh harap.
“Jangan khawatir. Kami tidak akan mengabaikan kalian.”

Bu Hesti tampaknya sudah selesai memeriksa mereka semua. Ia memasukkan kembali semua peralatannya ke dalam tas. Ia mengambil buku penelitiannya dari atas meja namun membiarkan pulpennya tertinggal disana.

Bu Hesti berdiri dan berjalan menjauh diikuti oleh teroris yang sejak tadi tak sedikitpun menurunkan senjatanya. Dua orang teroris itu mengantar Bu Hesti dan Bu Mia keluar dan membiarkan Rio dan yang lainnya tetap tinggal disana tanpa penjagaan.

Melihat penjaga itu melangkah pergi, Zahra yang sejak tadi duduk di dekat meja dimana pulpen berisi antivirus itu diletakkan, segera hendak berdiri untuk kembali ke dekat teman-temannya yang lain. Namun sayang, tanpa sengaja pundanknya menyenggol meja yang ada di dekatnya dan meyebabkan meja tersebut terguncang dan pulpen yang ada di atasnya pun menggelinding hingga ke tepian meja.

Rio, Alvin, Shilla, Gabriel dan bahkan Zahra sendiri menahan nafas saat melihat pulpen itu berada di ambang tepian meja dan hampir saja jatuh. Nmun naas, akhirnya pulpen itupun jatuh ke lantai dan menimbulkan bunyi yang menarik 2 orang teroris yang baru beberapa langkah meninggalkan mereka.

Salah satu teroris itu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap sumber suara. Pandangannya tertuju pada pulpen yang tergeletak di lantai. Laki-laki itu berjalan kembali dan mengambil pulpen itu kemudian menyerahkannya pada Bu Hesti.

“kau melupakan ini.”

Jantung Bu Hesti seolah berhenti berdetak saat melihat pulpen yang sengaja ia tinggalkan itu sekarang justru teracung di hadapannya. Ragu-ragu wanita itu meraih pulpen tersebut.

“Ayo cepat jalan!”

Bu Hesti masih tertegun mencoba menenangkan debar jantungnya.

“Cepat!!!”
Teroris itupun mendorong Bu Hesti dan Bu Mia untuk melanjutkan berjalan.

Rio dan yang lainnya saling pandang begitu dua orang penyelamat mereka itu pergi. Zahra tidak bisa menahan air matanya. Rio menjambak-jambak rambutnya sendiri menyadari bahwa kesempatan langka itu baru saja melayang.

Bu Hesti dan Bu Mia terus berjalan dengan satu orang teroris di belakang mereka, sementara teroris yang lain kembali berjaga di depan ruangan tempat Alvin dan yang lainnya ditawan. Bu Mia mengepalkan tangannya. Ia tidak mungkin pergi tanpa menbawa hasil. Hingga akhirnya dengan segenap kekuatannya tiba-tiba Bu Mia berbalik dan melayangkan tinjunya pada teroris yang mengawal mereka.

Baku hantam pun terjadi di antara Bu Mia dan satu orang teroris itu. Bu Hesti segera menjauh dari mereka. Pandangannya tertuju pada tumpukan Koran di rak yang ada di bawah papan pengumuman. Bu Hesti menyelipkan pulpen multiwarnanya dalam salah satu Koran tersebut.

Tampaknya Bu Mia tetap tidak bisa melawan teroris bersenjata itu. Perlawanan Bu Mia berakhir dengan senapan tertuju ke punggungnya.

“Kalau kau berbuat macam-macam aku akan menembak!!!”
Bu Mia dan Bu Hesti tak punya pilihan lain selain menuruti perkataan teroris itu dan segera meninggalkan sekolah.

----------------------
Sunday 03:13

Telfon di kantor THIRD-I kembali berdering. Dan itu otomatis membuat perhatian semua orang menjadi tertuju pada Pak Joni yang bergegas mengangkatnya.

“sudahkah kalian memastikan kondisi mereka? Cukup parah kan?”

Pak Joni hanya terdiam menunggu ocehan Maya selanjutnya. Tangan laki-laki itu terkepal kuat menahan amarah.

“Kami akan datang ke ruang tahanan untuk menjemput Pak Darma. Dan saat itulah kami akan membawa antivirusnya untuk kalian.

-------------------------

Sunday 1:45
Ruang tahanan khusus LP Cipinang.

Para petugas kepolisian dan beberapa anggota THIRD-I sudah bersiaga disana. Mereka semua bersiaga karena sudah ada perintah rahasia untuk menangkap rombongan teroris yang akan menjemput Darma Praja.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh lampu yang tiba-tiba mati. Salah seorang petugas segera menuju ruang instalasi listrik untuk menge cek apa yang sedang terjadi.

Hampir 30 menit listrik di ruang tahanan itu mati. Para petugas itu tetap bertahan bersiaga dalam penerangan secukupnya dari generator. Namun, kesiagaan mereka kembali terusik saat ada bau tidak sedap yang tiba-tiba memenuhi udara di seluruh ruangan.

“bau apa ini?”

“Iya bau apa ini?”

“Hei lihat!”
Salah satu petugas yang berjaga tak jauh dari sana melambaikan tangan pada temannya yang lain agar melihat ke dalam kamar mandi.

Ternyata wastafel di kamar mandi ruang tahanan khusus itu mengeluarkan cairan seperti limbah berwarna hitam kehijauan dan menimbulkan bau yang sangat tidak enak. Cairan itu semakin banyak menyembur hingga menggenangi lantai di bawahnya dan membuat bau yang tidak sedap itu semakin menyengat.

----------------------

Sunday 02:35

Semuanya semakin panik saat melihat tangan dan wajah Gabriel mulai muncul benjolan-benjolan merah. Batuknya pun juga semakin parah.

Rio masih menunggu balasan dari Ita. Dan tak lama kemudian apa yang ia tunggu pun datang. Terburu-buru ia membuka email yang dikirimkan oleh THIRD-i.

“antivirus ada di antara tumpukan Koran di bawah papan pengumuman.”

“Kita masih bisa selamat.”
Alvin tersenyum lega melihat kiriman email itu.

“Hei!!! Apa yang kalian sembunyikan? Kalian tidak berhubungan dengan dunia luar kan?”
Teroris yang memergoki mereka berkumpul memandang laptop pun bergegas hendak menghampiri mereka. Secepat kilat Rio menutup koneksi internetnya.

Dengan kasar laptop yang ada di pangkuan Rio disambar oleh teroris itu. Dengan wajah marah teroris itu melihat apa yang terpampang di layar laptop. Namun ia segera mengalihkan pandangannya pada Rio setelah apa yang dia lihat di layar laptop ternyata hanyalah sebuah game.

“Disaat situasi seperti ini apakah aku bahkan tidak diijinkan untuk menenangkan diriku?”

Teroris yang mendengar penuturan Rio pun akhirnya hanya bisa menatap sinis lalu kemudian ia kembali berjaga-jaga di pintu setelah tak lupa ia menjauhkan laptop itu dari Rio.

Gabriel kembali terbatuk-batuk. Darah segar keluar dari sudut bibirnya. Keringat di dahinya semakin membanjir.

“Iel…”
Zahra mengelapi keringat yang membanjiri wajah grabriel perlahan.

“Selimut, aku akan mengambil selimut.”
Shilla segera berdiri dan bergegas hendak keluar. Namun, tentu saja tak semudah itu dia bisa meninggalkan ruangan kelas karena sebelum Shilla sempat melangkah keluar teroris yang berjaga di pintu pun segera menodongkan senapan padanya.

“Hanya mengambil selimut saja tidak apa-apa kan? Aku hanya akan mengambilnya dari ruang kesehatan.”

Teroris itu melirik pada Gabriel yang masih terbatuk-batuk. Ia menyalakan HT nya dan menghubungi temannya yang satu lagi yang sejak tadi belum juga kembali dari mengantar Bu Hesti dan Bu Mia.

“Hei, kapan kau akan kembali? cepat kesini dan awasi mereka?”

“iya, sebentar lagi.”

Komunikasi pun diputus. Teroris itu kembali melirik pada Gabriel yang semakin menggigil.
“Jangan berani-beraninya kalian melarikan diri, atau kepala teman cantik kalian ini akan tertembus peluru senapanku.”

Teroris itu pun mendorong Shilla agar bergegas dan terus mengikutinya menuju ruang kesehatan tentu saja dengan senjata teracung.

Alvin dan Rio saling pandang.
“Sekarang adalah kesempatan bagus. Alvin, Zahra kalian tetap disini.”

Alvin dan Zahra mengangguk pasti.

Secepat mungkin Rio berlari ke lantai dua dimana rak Koran yang dimaksud oleh Bu Ita ada disana. Bergegas ia mengobrak-abrik tumpukan Koran yang ada disana demi menemukan pulpen yang berisi antivirus itu.

Hampir 2 menit Rio membolak-balik belasan Koran yang ada disana tapi hasilnya nol. Dia juga sudah mencari di bawah rak siapa tahu pulpen itu jatuh tapi tetap ia tak menemukan apapun. Kening Rio sudah basah dengan keringat sebesar biji jagung. Namun, demi teman-temannya ia tak akan putus asa. Sekali lagi ia membolak-balik tumpukan Koran itu.

“ apa yang kau lakukan disini?!?!?”

Rio tersentak kaget saat suara itu muncul dari belakangnya. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat ia menoleh ke belakang dan mendapati ujung senapan terarah ke wajahnya.

“Aku……. hanya ingin pergi ke toilet.”

“Pembohong!!!! Kau datang untuk mencari ini kan?”

Tubuh Rio terasa lemah lunglai saat melihat apa yang dia cari ternyata ada di tangan teroris itu.
“Hhhh,,,kau pikir bisa dengan semudah itu mengelabui kami Hah?!?!”

Teroris itu mencengkeram lengan Rio dan menyeretnya kembali ke lantai 3. Rio hanya bisa pasrah tak berdaya membiarkan tubuh lemasnya ditarik paksa oleh laki-laki itu.

Bersamaan dengan teroris yang membawa Rio itu sampai di ruang kelas ternyata teroris yang satu lagi juga kembali bersama Shilla dari ruang kesehatan.

“Apa yang terjadi?”

“Anak ingusan ini mencoba untuk berbuat bodoh.”
Badan Rio dilempar begitu saja hingga jatuh ke lantai menghantam salah satu meja yang ada disana. Shilla pun juga didorong kembali ke samping Gabriel. Secepat mungkin ia menutupkan selimut ke badan Gabriel yang sudah semakin dingin.

“Apa yang kau rencanakan? Apa ini?”
Teroris itu mengacungkan pulpen multiwarna ke hadapan Rio.

“Pulpen.”

Mendengar jawaban Rio yang tampak begitu menantang teroris itupun menghantamkan senapannya dan tepat mengenai tulang pipi Rio hingga ia pun jatuh tersungkur menghantam meja. Alvin yang melihat hal itupun segera berdiri hendak menolong sahabatnya.

“Hei!!!”
Langkah Alvin terhenti saat teroris satunya mengacungkan pistol padanya. Ia menyurutkan langkahnya untuk menolong Rio.

“Jangan bohong kau!!!”
Rio berusaha bangkit sementara wajahnya lebam dan darah segar merembes dari sudut bibirnya. Kepalanya yang menghantam kaki meja terasa berputar-putar.

“Alvin?”
Zahra menatap Alvin panik.

Semua orang pun menujukan pandangan pada Alvin. Alvin sendiri sontak merasa ada yang aneh dan reflek mengusap hidung dengan punggung tangannya. Tepat seperti yang ia duga, darah segar terpampang jelas di punggung tangannya.

Dua teroris itupun sontak tertawa senang melihat Alvin mimisan. Mereka melupakan interogasinya pada Rio.

“kau pun bahkan dibuang oleh kakekmu. Kalau saja menteri pertahanan membebaskan raja kami, kalian semua pasti bebas sekarang.”

Alvin kaget mendengar kalimat teroris itu.
“Kalian? Jadi tujuan kalian adalah menjadikanku tawanan agar kakekku mau memenuhi permintaan kalian?”

Alvin bergerak maju hendak memukul teroris itu namun senapan teroris itu sudah terlebih dulu menghantam pelipis Alvin. Sekarang giliran Alvin yang jatuh tersungkur. Rio segera menolong Alvin yang mengalami nasib sama dengannya.

“Kau baru saja sadar hah?”

Tawa kedua teroris itu hanya dibalas tatapan tajam oleh Alvin. Ia tak lagi merasakan sakit akibat pukulan itu. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah rasa benci yang membuatnya ingin segera menghabisi seluruh orang-orang tak berperikemanusiaan itu.

----------------

Sunday 04:30

2 buah mobil BMW hitam berhenti di depan LP cipinang. 8 orang berpakaian serba hitam turun dari kendaraan mewah itu. Maya berjalan paling depan diikuti seorang wanita berwajah oriental yang membawa kotak berisi botol-botol kecil yang tampaknya adalah antivirus.

Di depan pintu masuk mereka dihadang oleh beberapa petugas yang salah satunya membawa detector metal. Maya memberi isyarat agar rombongannya berhenti sejenak.

“Serahkan senjatamu dan kami minta kalian tidak membawa masuk benda yang bisa meledak maupun virus.”
Petugas itu bersiap mendeteksi Maya dengan detector metalnya. Namun baru saja petugas itu hendak mendekatkan detector metalnya, maya menahan tangan laki-laki itu dan tersenyum manis padanya.

“Kami tidak akan melakukan hal seperti itu. Bagaimana jika raja kami terluka? Dan lagi, kami harap kalian tidak memperlakukan kami dengan tidak mengenakkan seperti itu. Ingat….kami memegang kendali dari semua peristiwa ini.”

Pimpinan para penjaga itu memberi isyarat agar mereka membiarkan Maya dan rombongannya masuk. Maya melenggang dengan santainya menuju ruang tahanan khusus.

---------------------

Rio, Shilla, Alvin dan Rio masih terus mencoba menguatkan Gabriel yang sekarang bahkan begitu sulit untuk membuka mata. Keputusasaan seolah sudah merenggut seluruh harapan dari wajah mereka.

Zahra mengamati dua orang teroris yang ada di depan mereka. Salah satunya sedang asyik mengunyah makanan sementara yang lain duduk santai sambil mengacung-acungkan pulpen berisi antivirus yang sejak tadi berada di tangannya.

Rio, Shilla dan Alvin terkejut saat tiba-tiba Zahra berdiri dan berlari menubruk teroris yang membawa pulpen berisi antivirus itu. Teroris itupun jatuh dari atas meja tempat ia duduk tadi. Melihat hal itu Alvin pun sontak berlari mengambil pistol yang terjatuh. Begitu pula dengan Rio segera menubruk teroris yang satu lagi.

“Hei! Lepaskan!”
Teroris itu meronta dari cengkeraman Rio di lehernya. Akhirnya mereka diam pasrah saat Alvin mengacungkan pistol pada mereka.

“Shilla ambil pistolnya!”

Shilla segera meraih pistol yang jatuh di lantai dan mengarahkan pada teroris yang ditahan oleh Rio. Akhirnya dua teroris itupun berhasil mereka buat bertekuk lutut. Zahra segera mengambil pulpen berisi antivirus yang tergeletak di lantai.

 Rio melepaskan cengkeramannya dari si teroris dan segera berlari kea rah Gabriel. Ia menarik Gabriel ke punggungnya dan bergegas menggendongnya.

“Cepat lari!”
Rio berlari keluar sambil menggendong Gabriel diikuti oleh Shilla dan Zahra di belakangnya. Alvin berlari paling belakang dan dengan segenap keberaniannya ia menembaki kaki dua teroris itu hingga mereka jatuh tersungkur.

Mereka berlari turun ke lantai dua.

“Gabriel, bertahanlah.”
Rio berbisik pada Gabriel yang ada di punggungnya.

“Te…..rima….. ka…..sih….”
Rio bisa mendengar bisikan Gabriel yang terbata-bata.

Rio membawa Gabriel ke ruang gelap yang mereka gunakan untuk bersembunyi kemarin. Shilla, Zahra dan Alvin mengikuti di belakangnya.

Rio membaringkan Gabriel di atas meja panjang yang ada di tengah ruangan.
Bergegas Rio meminta antivirus yang ada di tangan Zahra. Terburu-buru ia mengeluarkan isi pulpen tersebut. Rio mendekatkan antivirus itu ke bibir Gabriel dan hendak meminumkannya.

Namun gerak Rio sontak terhenti saat jarinya menyentuh wajah Gabriel. Rasa dingin menusuk tulang-tulang tangannya saat ia menyentuh wajah Gabriel yang kebiruan.

“Iel…”

Rio menggerak-gerakkan badan sahabatnya itu. Tubuh itu tak bergeming.

Rio menuangkan antivirus di tangannya ke dalam mulut Gabriel. Namun tak tampak usaha untuk menelan dari sosok yang terbaring di depannya itu.

“Iel….. Iel ini obatnya, cepat telanlah. Ini akan menyelamatkanmu. Iel….buka matamu katakan sesuatu”
Air mata Rio jatuh membasahi pipi Gabriel yang dingin membiru.

“Iel, jawab kami. Jawab iel!!!”
Shilla ikut mengguncang-guncangkan badan Gabriel.

“Jangan mati!! jangan mati! Jangan mati! Iel!!!”
Sekuat apapun Rio berusaha membangunkannya, tubuh itu tetap tak bergeming menyisakan gema teriakannya di ruangan pengap itu.

“iiieeeeellll!!!!!”
Rio jatuh terduduk menjambak rambutnya sendiri. Shilla terisak menggenggam tangan pucat Gabriel. Alvin terbelalak menatap Gabriel yang sudah tidak bergerak sementara Zahra sudah terisak bersandar di dinding.

----------------------

Sunday 06:03

Seorang lelaki berambut putih berdiri di depan sel Darma Praja menyambut kedatangan Maya dan rombongannya. Dia adalah kepala LP yang ditugaskan khusus untuk memimpin misi menangkap teroris kali ini. Raut wajahnya yang tenang mampu menutupi kesiagaannya untuk memberi aba-aba. Senyumnya pun tampak tersungging samar begitu wanita yang mengenakan rok hitam di atas lutut itu berjalan pelan mendekatinya.

“Selamat datang….. perlihatkan pada kami antivirusnya.”

Bibir berlapiskan lipstick merah tebal itu tersenyum lebar sembari menyodorkan kotak berisi botol-botol kecil antivirus.

Pasukan yang ada di luar LP Cipinang mulai mengeratkan genggaman senjatanya. Mereka bersiaga menanti komando dari pimpinan mereka yang ada di dalam.

Laki-laki berambut putih itu menatap antivirus yang ada di depannya. Samar-samar ia mengambil nafas dalam bersiap memberi komando. Ia rasakan benar detak jantungnya seolah detak jantungnya itu adalah stopwatch yang sedang menghitung mundur menuju saat penangkapan.

Namun….

Mungkin tinggal 3 detik lagi kepala LP itu memberi aba-aba. Akan tetapi apa yang terjadi sontak membuat kerongkongannya tercekat. Kepanikan sontak melanda seisi ruangan….