Sabtu, 03 Desember 2011

We Were There (CHAPTER 14)


 Mungkin tinggal 3 detik lagi kepala LP itu memberi aba-aba. Akan tetapi apa yang terjadi sontak membuat kerongkongannya tercekat. Kepanikan sontak melanda seisi ruangan….

Salah seorang polisi yang ada di dekat mereka tiba-tiba ambruk dengan hidung mengeluarkan darah. Tak lama kemudian disusul oleh 2 orang penjaga yang berada tak jauh darinya. Sementara itu anggota THIRD-I dan polisi yang lain mulai terbatuk-batuk dan berdiri sempoyongan.

“Apa yang terjadi?!?”
Kepala LP itu melihat ke sekelilingnya panik. Belum sempat ia menyadari senyum puas wanita di depannya, tiba-tiba ia merasakan benda tumpul menghantam tengkuknya. Dan mulailah kegaduhan terjadi disana setelah para teroris itu mengeluarkan senjata tersembunyinya dan mulai menembaki seluruh polisi dan anggota THIRD-I yang ada disana.

Salah satu teroris itu menembak rantai gembok sel Darma Praja dan dalam sekejap mereka bisa masuk dan menemui Pemimpin mereka itu. Maya tersenyum puas karena pada akhirnya dia bisa bertemu langsung dengan sosok pemimpin yang selama ini selalu mereka agung-agungkan.

Darma Praja merogoh kantung celananya. Ia mengeluarkan sebuah pulpen. Laki-laki itu membuka tutupnya lalu mengeluarkan isinya. Dengan sekali teguk ia menelan cairan yang berada di dalamnya.

“Akhirnya anda bisa kembali bersama kami….”
Maya mempersilahkan Darma Praja untuk berjalan keluar. Laki-laki itu hanya tersenyum penuh wibawa pada salah satu bawahannya itu.

Rombongan teroris itupun mengawal Darma Praja keluar dari LP. Tak henti suara tembakan menggaung di sepanjang perjalanan mereka. Tubuh puluhan orang tergeletak karena tembakan yang terus mereka lontarkan hingga mereka bisa masuk dengan aman kedalam mobil.

-------------------------------

Rio, Alvin, Shilla dan Zahra berdiri terpaku menatap 2 orang berseragam isolator itu membungkus jenazah Gabriel dan membawanya pergi. Shilla tak bisa menahan isakannya melihat wajah sahabatnya itu tenggelam dalam kain putih yang menutupnya.

Alvin meraih punggung Shilla dan membiarkannya bersandar di pundaknya.

Rio mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya sendiri mencoba menyadarkan dirinya dari rasa shock yang masih belum juga hilang. Ia mencoba untuk menguatkan dirinya karena jalan yang harus ia tempuh untuk mencapai akhir dari semua ini masih sangatlah panjang.

Rio mengeluarkan pulpen multiwarna dari dalam saku celananya. Dikeluarkannya satu persatu isi pulpen tersebut dan menyodorkannya pada Alvin, Shilla dan Zahra.

“Minumlah….”

Zahra menatap nanar antivirus di tangannya.
“Andaikan Gabriel bisa meminumnya….”

“Kita tidak boleh membiarkan kematian Gabriel menjadi sia-sia. Kita harus sembuh dan kembali berjuang untuk segera menyelesaikan masalah ini.”

Rio meneguk antivirus di tangannya. Tak lama kemudian disusul oleh Alvin. Shilla dan Zahra perlahan mengikuti apa yang dilakukan dua orang itu.

--------------------

Sunday, 10:12

Mereka semua berkumpul mengililingi lelaki berpakaian hitam yang duduk di kursi kulit berwarna hitam itu. Semuanya menatap penuh penghormatan padanya.

“Kalian semua sudah bekerja dengan sangat baik. Aku sangat menghargai itu, P.”
Darma Praja mengalihkan pandangan pada Patton yang berdiri bersandar di dinding tak jauh dari sana. Patton yang sejak tadi menundukkan kepalanya menatap lantai pun perlahan tersenyum membalas tatapan Darma Praja.

“Terima kasih…..ayah….”

Darma Praja berdiri dari singasananya yang nyaman. Satu persatu ia tatap wajah pengikut-pengikutnya yang setia.

“Jangan pernah takut. Aku yang akan menanggung semua akibat dari misi ini. Siapkanlah dengan sebaik mungkin untuk pesta besok.”

-------------------

13:00

Pak Joni memberi isyarat pada Pak Aji untuk bergerak sekarang. Tanpa menunggu lama lagi mereka berduapun berjalan cepat menuju mobil yang sedang berhenti di depan kantor kepolisisan itu.

Pak Andi yang baru saja hendak menyalakan mesin mobilnya tersentak kaget saat dua orang laki-laki berseragam THIRD-I masuk ke dalam mobilnya. Pak Aji duduk dengan santainya di jok samping Pak Andi sementara Pak Joni mengawasi dari jok belakang. Pak Andi menatap mereka berdua kaget.

“Apa-apaan kalian?”

“Apa yang kau rencanakan?”
Pak Aji menatap Pak Andi tajam.

“Apa maksudmu?”

“Aku sudah muak dengan basa basimu!”

Pak Andi melirik ke jok belakang.

“Virus yang tersebar di LP Cipinang dikirim dari sebuah saluran air. Pipa yang ada di wastafel ruang tahanan khusus selama ini dibiarkan tertutup. Namun, Sehari sebelum kejadian itu seseorang sudah membuka pipa wastafel itu. Dan beruntung, kamera pengintai berhasil menangkap bahwa andalah yang melakukannya. Beberapa hari yang lalu anda beralasan hendak melakukan investigasi, tetapi sebenarnya anda ingin mengkondisikan ruang tahanan khusus itu sebaik mungkin untuk disebari virus kan? Dan yang meninggalkan pulpen berisi antivirus itu disana juga anda. Bukankah begitu, Pak Andi?”

Pak Andi meremas stir mobilnya mendengar penuturan panjang lebar Pak Joni.

“AC di LP cipinang sengaja diputus sehingga satu-satunya jalan untuk mengurangi panas adalah dengan menyalakan kipas angin. Dengan demikian bau busuk dari air yang sebenarnya sudah mengandung virus itu bisa tersebar ke seluruh ruangan. Dan yang bisa masuk dengan bebas ke LP untuk melakukan itu bukankah hanya anggota kepolisian saja?”

Pak Andi tertawa lirih mendengar sangkaan mereka. Pak Joni dan Pak Aji tampak jengah melihat senyum sinis laki-laki itu.

Tiba-tiba Pak Andi dengan sigap mencabut pistol dari saku bajunya. Pak Aji dan Pak Joni tersentak kaget melihat tindakan Pak Andi. Secepat mungkin merekapun segera mencabut pistol masing-masing. Namun sayang, belum sempat mereka berbuat apa-apa, Pak Andi sudah terlebih dahulu menarik pelatuknya dan….

DORRRR!!!!!!!!!

.
.
.
.
.
.
.

Pak Aji dan Pak Joni terbelalak menatap tubuh Pak Andi yang tergeletak di jok kemudi dengan pelipis bersimbah darah setelah ia menembak kepalanya sendiri.

-----------------------

Sunday, 19:04

Restoran itu tampak begitu ramai. Sepertinya sedang ada serombongan anak SMA yang merayakan pesta ulang tahun disana.

“Happy birthday to you….happy birthday to you…”
Mereka beramai-ramai menyanyika lagu mengiringi seorang gadis muda yang sudah bersiap meniup lilin.

Perempuan berwajah oriental dan laki-laki bercincin hijau itu melirik pada rombongan remaja yang tertawa gembira itu.

“Hari ini sudah sepantasnya semua orang bersenang-senang.”
Laki-laki bercincin hijau itu tersenyum sinis sambil mengaduk lemon tea nya.

“Tentu saja. Kapan lagi mereka bisa seperti itu. Besok…..semuanya sudah harus berakhir.”
Perempuan berwajah oriental itu mengacungkan gelasnya.

“Tomorrow, the last Monday.”
Laki-laki itu juga mengacungkan gelas di tangannya. Denting gelas yang beradu mengiringi senyum puas mereka berdua.

---------------------

Ia masih berdiri terpaku di depan pintu kayu berukiran yang tertutup rapat itu. Ragu ia hendak memencet bel di depannya. Ia pejamkan matanya mencoba menetapkan hati agar tak lagi bimbang.

Ting tong…..

Akhirnya ia memberanikan diri untuk benar-benar memencet bel itu. Sekarang hatinya semakin resah tak tau harus berekspresi seperti apa.

Tak lama kemudian terdengar sayup-sayup langkah kaki dari dalam terdengar mendekat. Beberapa detik kemudian daun pintu itu mulai bergeser. Menyembullah wajah Rio dari balik pintu. Ia kaget melihat Ify berdiri di depan rumahnya sambil menatapnya ragu.

“Ify?”

Ify menelan ludah demi membasahi kerongkongannya yang terasa kering.
“malam…..kak Rio….”

Sesaat mereka berdua hanya saling pandang. Namun Rio segera mengerjapkan matanya dan tersadar dari ketertegunannya.

“Eh, masuk masuk…”
Rio membuka pintunya lebih lebar dan mempersilahkan Ify masuk. Ragu-ragu Ify melangkah memasuki ruang tamu. Rio mempersilahkannya duduk dan sekarang mereka berdua hanya saling diam. Ify masih terus menunduk mencoba mencari kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan. Sementara Rio dengan sudut matanya sesekali melirik pada wajah Ify. Ia sendiri juga bingung harus memulai dari mana.

“Aku…”
Mereka berdua mengucapkan kata itu bersamaan. Rio menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sementara Ify yang sudah sempat mengangkat wajahnya sekarang tertunduk kembali.

“Kamu dulu….”
Akhirnya Rio mengalah.

Mungkin Rio tak mendengar tarikan nafas dalam Ify sebelum ia mulai bicara.
“Aku turut berduka atas meninggalnya Kak Gabriel.”

Rio mengangguk pelan. Sekarang giliran dia yang menghela nafas dalam.

“Andaikan Gabriel tidak pernah bertemu denganku, dia pasti tidak akan mati seperti ini.”

Ify menatap kakak kelasnya yang tampak begitu merasa bersalah.

“Aku telah menyeret kalian semua kedalam masalah yang sangat rumit ini. Membuat kalian semua dalam bahaya. Membuat hidup kalian terancam. Aku….”

“Karena Kak Rio adalah teman yang berharga untuk Kak Gabriel.”

Rio mengalihkan pandangan menatap Ify.

“Karena itulah dia ingin menolong Kak Rio. Karena itulah dia rela hidupnya terancam demi menyelamatkan Kak Rio. Karena Kak Rio adalah salah satu dari orang-orang yang sangat berharga dalam hidupnya. Dia….tidak akan menyesal bertemu dengan Kak Rio….”

Rio memejamkan matanya. Perkataan Ify terasa meremas ulu hatinya. Seolah membuat seluruh memory tentang Gabriel membuancah dalam ingatannya. Mengundang kembali tumpukan rasa duka yang sempat sejenak teredam.

“Maaf…..maaf….”

“Jangan minta maaf. aku yang seharusnya minta maaf.”

Rio menatap Ify tak mengerti.

“Maaf, karena perkataan kasarku kemarin. Karena aku marah tanpa memikirkan perasaan Kak Rio. Maaf….”

Rio tertegun mendengar penuturan Ify.
“Tidak…tidak apa-apa.”

“Kak Rio pasti punya alasan atas apa yang Kak Rio lakukan. Kakakku…….walaupun aku marah seperti apapun, tetap tidak akan mengembalikan dia ke sisiku. Karenanya, yang terpenting sekarang, aku tidak ingin kehilangan lagi orang-orang yang ku sayang. Kehilangan orang-orang yang berharga dalam hidup, sangat menyakitkan. Seharusnya aku tau bahwa Kak Rio pun merasakannya. Karena itu…..maaf……maaf….”

Mereka berdua saling pandang. Satu sama lain sudah mampu menerima dengan baik maksud hati masing-masing. Dari tatapan mata keduanya tersirat kelegaan karena satu tahap sulit yang harus dilewati akhirnya dapat mereka lalui dengan baik.

“Tapi…bolehkah aku bertanya sesuatu?”

Rio mengangguk pelan.

“Maaf sebelumnya, aku hanya ingin tau, kenapa Kak Rio seolah tiba-tiba masuk ke dalam kehidupanku dan melakukan tindakan-tindakan yang dulu sempat membuatku kesal padahal kita tidak pernah bertemu sebelumnya?”

Rio mengalihkan pandangannya dari ify. Akhirnya pertanyaan semacam itu meluncur juga dari seorang Ify.

“Karena aku……”

Ify menunggu jawaban Rio dengan wajah penasaran.

“merasa bersalah telah membuat kakakmu meninggal.”

Ify menegakkan kembali duduknya yang sempat membungkuk karena menanti jawaban Rio.
“Sudah kuduga….”
Ify berbisik lirih.

“Aku ingin meminta maaf padamu. Tapi….aku terlalu pengecut untuk mengatakan yang sebenarnya. Karenanya, aku hanya ingin melindungimu agar kejadian buruk yang menimpa kakakmu itu tidak akan terulang lagi.”

------------------

 Ify berjalan pelan dengan pikiran yang sedikit melamun. Ia masih terngiang-ngiang percakapannya dengan Rio tadi. Sudah begitu banyak yang mereka lalui. Entah kapan semua ini akan berakhir. Kehilangan orang-orang yang sangat disayangi bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagi jika kita merasa bahwa penyebabnya adalah diri kita sendiri.

Ify menatap lurus trotoar panjang di depannya. Ia membulatkan tekad bahwa dia akan terus membantu Rio hingga semua ini berakhir. Walaupun mungkin ia tidak bisa berbuat sesuatu yang berarti, setidaknya dia bisa mendukung Rio dengan tetap mempercayainya dan memberi semangat dengan tetap di sampingnya.

Ify tersenyum simpul dan berjalan penuh semangat untuk pulang. Tiba-tiba langkah kakinya terhenti. Matanya tertuju pada etalase kaca sebuah toko yang tampak dari tempat ia berdiri sekarang. Ify mendekat memandangi deretan benda yang terpajang di etalase tersebut. Pandangannya menelusuri satu persatu benda yang berjajar disana. Setelah beberapa saat, tatapannya terhenti pada sebuah kalung.

“Wahhh, bagussss…”
Tanpa pikir panjang Ify segera memasuki toko aksesoris tersebut.

-------------------

Jakarta
Sunday, 23:09

Langkah maya yang menyusuri trotoar malam itu terhenti. Di depannya berdiri seorang laki-laki yang sudah menunggunya sejak tadi. Sekarang mereka berdua berdiri berhadapan di tengah lalu lalang manusia yang juga berjalan di sekitar mereka.

“Aku sudah menunggu saat-saat kita bisa bicara berdua seperti ini.”

Maya mengerutkan keningnya tak mengerti.
“Ada apa, P?”

“Aku mendengar dari D bahwa Falcon masih hidup. Padahal dia sudah terinfeksi oleh Bloody x.”

Tatapan Patton terasa begitu dingin menelusup mata Maya.
“Bukankah itu berarti mereka punya antivirus?”

Tampak samar-samar Maya melebarkan bola matanya mendengar penuturan Patton.

“Maya, bukankah kau mengatakan kalau kau sudah mengumpulkan semua antivirusnya? Bagaimana mereka bisa punya?”

Maya terdiam mendengar ucapan Patton. Ia tak menjawab apapun. Lama Patton menunggu, namun Maya masih tetap kukuh dengan senyumannya tanpa ada sepatah katapun yang keluar. Patton pun akhirnya tersenyum.

“Ah, terserah lah……”
Tanpa menunggu jawaban dari Maya, dengan entengnya Patton melangkah pergi meninggalkan Maya yang masih berdiri terpaku menatap punggung lelaki muda yang sudah beberapa langkah meninggalkannya.

Patton meraih ponsel dari saku bajunya dan tampak menghubungi seseorang.
“Halo….D…Aku sudah memperingatkan Maya. Jadi….istirahatlah dengan nyaman…..”

Patton tampak tersenyum setelah menutup komunikasinya dengan orang di seberang. Ia terus berjalan santai menyusuri jalanan kota Jakarta yang masih ramai seperti biasanya.

--------------------

Monday, 06:30

Derap langkah Ify yang menapaki anak tangga dengan terburu-buru menimbulkan bunyi bergema di rumah yang lengang pagi itu. Setelah berlibur akhir pekan yang dipenuhi kejadian-kejadian menyesakkan, akhirnya hari ini dia bisa kembali bertemu dengan teman-teman SMA nya yang selalu bisa membuatnya tersenyum. Tak sabar rasanya ia ingin bertemu dengan mereka.

Ify mencari-cari jam tangan di saku tasnya. Kemarin dia melepaskannya dan memasukkannya ke dalam tas karena hujan yang tiba-tiba mengguyur. Alih-alih menemukan jam tangan, tangannya justru menemukan kalung yang kemaren dia beli. Dia mengeluarkan kalung tanpa bungkusan itu dan memandanginya sambil berjalan menuju pintu keluar. Seulas senyum terukir di wajah cantik itu.

Masih sambil terus memandangi kalung yang menurutnya bagus itu, Ify membuka pintu rumahnya hendak berangkat ke sekolah. Namun, belum sempat ia mengalihkan pandangannya dari kalung itu, tiba-tiba ia merasakan sebuah dorongan keras menghantam badannya dan membuatnya jatuh tersungkur.

Raut ketakutan sontak merayapi wajah Ify begitu ia melihat sosok yang berdiri angkuh di depannya sekarang.

“Bu Maya?”

“Selamat pagi cantik…”
Belum sempat Ify berdiri, Maya langsung mencengkeram lengan Ify dan menariknya dengan paksa.

“Lepas!!! Lepas!!! Tolong!! To…”
Maya membekap mulut Ify dengan kain dan menahannya sesaat. Kain yang sudah dilumuri obat bius itu pun membuat Ify sontak tak sadar dan membuat Maya dengan mudahnya membawa Ify pergi bersamanya.

---------------------------

Ify membuka matanya perlahan. Cahaya yang menelusup masuk ke dalam pupilnya membuat kepala Ify terasa berputar-putar. Butuh beberapa saat sampai ia bisa benar-benar melihat dengan jelas. Begitu matanya bisa menangkap bayangan ruangan itu, sontak dahi ify pun berkerut bingung karena ia merasa berada di tempat yang tak ia kenal.

“Sudah sadar rupanya?”
Maya berjalan angkuh memasuki ruangan tempat Ify berada. Ify tak bisa berbuat apapun. Bahkan bergerak pun sulit karena kedua tangan dan kakinya diikat pada kursi.

“Apa maumu?”

Maya hanya tersenyum mendengar pertanyaan Ify. Dengan santainya wanita itu duduk di kursi sembari menyeruput teh hangat dari cangkirnya.
“Sayang sekali pagi ini kau tidak bisa pergi ke sekolah. Kau pasti merasa kecewa. Bagaimana kalau kau belajar privat saja denganku?”

Ify menatap Maya sinis.

“Hei, bagaimanapun juga aku ini salah satu guru di sekolahmu juga.”
Maya meletakkan cangkir teh hangatnya ke meja yang ada di sebelahnya.
“Alyssa Saufika Umari. Salah satu remaja dengan keahlian hacking yang tidak boleh diremehkan.”

Kalimat Maya tak pelak lagi membuat Ify terbelalak. Selama ini tak ada yang tau bahwa ia adalah seorang Hacker kecuali Rio dan teman-teman Rio, serta anggota THIRD-i.

“Kami punya sebuah tugas kehormatan untukmu.”

“Apa maksudmu?!?”
Nada bicara Ify mulai meninggi.

“Hei! Sopanlah sedikit pada gurumu. Atau kalau tidak aku akan memberimu sedikit hukuman.”
Maya mengacungkan sebuah jarum suntik berisi cairan merah di dalamnya.

“Kurasa Kiki dan Gabriel akan senang bertemu dengan teman lamanya di alam sana.”

Ify terbelalak menatap Maya yang semakin mendekat dengan membawa jarum suntik itu.

“Kurasa kau cukup cerdas untuk bisa mengambil sebuah keputusan yang bijak…..”

Maya mencengkeram lengan Ify dan mengarahkan jarum suntik itu padanya. Ify memejamkan matanya kuat-kuat.

Jarum suntik itu semakin mendekat. Gerak tangan Maya yang sengaja diperlambat membuat jantung Ify semakin berpacu.Dan tepat saat kulit putihnya merasakan dingin menempel dari jarum suntik itu….

“Baiklah!”

Maya menarik perlahan jarum suntiknya.

“Baiklah…..aku bersedia, aku bersedia…..”

Maya tesenyum puas menatap raut ketakutan Ify yang berkeringat dingin menatapnya.

---------------------

Monday, 15:00

Darma Praja berdiri dikelilingi oleh seluruh pengikutnya. Kebanyakan dari mereka membawa tas dan ada beberapa orang yang membawa koper cukup besar. Isinya tentu saja bukan sesuatu yang biasa. Itu adalah bagian dari aksi yang akan mereka luncurkan malam ini.

“Mari kita mulai….”

Semua orang yang ada disana mengangguk. Dan tak lama kemudian satu persatu dari mereka mulai pergi meninggalkan ruangan itu dengan membawa barang mereka masing-masing.

“Cepat kosongkan tempat ini. Bawa gadis itu ke tempat persembunyian selanjutnya.”

“Baik…”

Akhirnya Darma Praja pun ikut meninggalkan tempat itu bersama yang lainnya. Tinggallah satu orang teroris itu dan Ify. Laki-laki itu tampak membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam koper besar. Dia juga menyertakan beberapa botol virus. Barulah beberapa menit kemudian ia menuju tempat Ify disandera dan hendak melepaskan rantai yang mengikat tangan dan kaki Ify.

Ify menarik nafas dalam. Ia sedang mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dan tepat saat semua rantai yang menahan tangan dan kakinya terlepas Ify pun sontak berontak dan mendorong teroris itu hingga jatuh.

Ify mengangkat kursi yang barusan ia duduki dan melemparkannya kearah teroris tersebut. Tindakannya itu cukup membuat teroris itu jatuh tersungkur dan kesulitan untuk bangkit karena kepalanya yang terhantam kursi kayu itu.

Ify berlari meninggalkan ruangan itu. Sejenak ia melihat ke sekeliling. Dan setelah matanya menemukan apa yang ia cari, ia segera menyambarnya dan berlari keluar dari tempat itu. Teroris yang ada di belakangnya sudah bisa bangkit dan sekarang berlari mengejarnya.

Ify berlari sekuat yang ia bisa. Ia hanya memerlukan sedikit jarak dari teroris itu untuk menjalankan rencananya.Dan setidaknya sekarang ia bisa sedikit menjauh dari kejaran teroris itu. Ify berbelok ke sebuah gang sempit di antara deretan gudang yang ada disana. Tempat persembunyian mereka memanglah berada di kawasan pabrik baja sehingga puluhan bangunan yang berfungsi sebagai gudang berjajar rapat di kawasan itu. Ify bersembunyi di antaranya.

Ify mengeluarkan kertas dan pulpen yang tadi disambarnya dari ruangan para teroris itu. Secepat yang ia bisa, Ify menuliskan beberapa kalimat di atasnya. Setelah selesai ia melepas kalung yang ia kenakan lalu bersama dengan kertas itu ia meletakkannya di samping tumpukan kayu yang ada di gang sempit itu.

Setelah memastikan ia melakukan apa yang ia rencanakan, Ify mengintip ke luar gang. Ia menunggu teroris itu muncul. Dan tepat saat teroris itu tampak datang dari kejauhan, Ify berlari keluar dari gang. Seperti yang ia rencanakan, teroris itu melihatnya dan kembali mengejarnya. Ify sengaja memperlambat langkahnya. Dan akhirnya teroris itu berhasil menangkapnya.

Seperti yang Ify duga, begitu ia tertangkap, teroris itu langsung menghujaninya dengan pukulan.

“Berani-beraninya kau mencoba lari!!!!”

Ify mengelus wajahnya yang lebam. Air mata sudah merembes di pipinya karena rasa sakit yang teramat sangat. Tapi Ify sudah memperkirakan akibat yang harus dia terima karena kenekatannya itu. Setelah itu ia pun pasrah diseret oleh teroris itu pergi.

Ify duduk pasrah di jok samping kemudi dengan tangan dan kaki diborgol. Ia tak tahu nasib seperti apa yang akan ia hadapi selanjutnya. Yang pasti, setidaknya ia sudah melakukan yang terbaik.

Ia berharap Alvin mengetahui bahwa dirinya diculik dan segera mencarinya. Ia tahu Rio pasti bisa menemukannya dengan mendeteksi kalung GPS yang dia berikan. Akan tetapi jika THIRD-I sampai menemukan tempatnya dan menggerebek teroris yang menjaganya itu, maka kemungkinan besar musuh akan mengetahui bahwa THIRD-I telah mencium rencananya. Jika sampai itu terjadi, maka mereka akan membatalkan rencananya dan sekali lagi THIRD-I akan gagal menangkap mereka. Dan jika sudah begitu, mereka tidak akan tahu rencana macam apa lagi yang akan mereka lancarkan di kemudian hari.

Oleh karena itulah, satu-satunya jalan adalah membiarkan Rio menemukan GPS nya bersama pesan yang ia tinggalkan untuk Rio. Ia biarkan dirinya tetap berada di bawah tawanan teroris itu agar teroris itu merasa rencana mereka tetap berjalan seperti yang diharapkan.

Salah satu tujuan Ify bersedia menjadi hacker mereka bukanlah karena takut akan ditulari virus. Akan tetapi dia ingin mendapatkan sedikit celah untuk mengetahui rahasia mereka. Selama beberapa saat menjadi hacker bagi teroris ia memang tidak mendapat ijin untuk mengakses komputer inti yang mereka gunakan dimana seluruh data rahasia mereka tersimpan disana. Ia hanya bertugas memudahkan akses ke beberapa tempat yang akan mereka jadikan sasaran. Walaupun ia tahu tempat-tempat mana saja yang akan mereka jadikan sasaran, Ify tetap tidak mungkin memberitahu Alvin karena ia tidak bisa menggunakan ponselnya. Dan untuk menuliskan sekian banyak nama tempat di kertas itu ia tidak memiliki cukup waktu. Karena itulah dia lebih memilih menuliskan 3 baris pesan seperti itu.

------------------

THIRD-I 19:16

pre emptive strike.
BLBRD*walk!”34065-pyton-script
Senin 9 mlm

Rio terus memandangi secarik kertas yang ia temukan di kawasan pabrik itu. Tangan kanannya menggenggam erat kalung GPS yang ia berikan pada Ify. Ia masih terus memutar otak untuk mencoba mengerti apa maksud pesan di kertas itu.

Rio berjalan mondar-mandir di lantai dua kantor THIRD-I itu.

“Bagaimana?”

Pertanyaan Pak Joni hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Rio. Rio mengacak-acak rambutnya sendiri karena tak jua menemukan maksud pesan itu.

“Baiklah, pikirkanlah lagi maksud pesan itu, kami akan terus mencari petunjuk dari markas yang mereka tinggalkan.”

------------------------

Monday, 19:57

Rio terburu-buru menuruni anak tangga menuju ruang kendali utama THIRD-I di lantai dasar. Derap langkahnya membuat Pak Joni sontak menengok kearah Rio keheranan.

“Aku mengerti maksudnya!”
Rio bergegas menuju meja utama di ruangan itu, mengeluarkan laptopnya dan bergegas menyalakannya. Dengan cepat ia mengetikkan sesuatu disana.

“Apa maksudnya?”

Rio memberi penjelasan pada Pak Joni sambil terus mengetik di laptopnya.
 “pre emptive strike adalah istilah di kalangan hacker. Itu adalah salah satu metode distribusi jaringan dimana komputer yang dijadikan anak oleh main computer harus melewati komputer induk terlebih dahulu sebelum memproses data. Dan kode yang dituliskan oleh Ify itu kemungkinan adalah kode akses komputer utama yang digunakan oleh teroris itu.”

Ita dan Pak Joni yang berdiri di samping Rio tampak mengangguk tanda mengerti.

“Dengan kode akses itu kita bisa mengirimkan virus khusus yang akan menelusup ke dalam main processor komputer itu dan menjadikannya komputer anak. Aku akan menjadikan laptop ini sebagai komputer induk. dengan demikian, seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komputer anak akan tampak di laptop ini. Kita bisa mengetahui seluruh rencana mereka.”

Rio menghentikan sejenak gerak jemarinya.
“Sedangkan baris ketiga dalam pesan yang ditulis oleh Ify itu…..kemungkinan para teroris akan melancarkan aksinya malam ini jam 9.”

Mendengar kalimat terakhir Rio, Pak Joni dan Ita sontak bersamaan melihat kearah jam. Sementara Rio kembali mengetik di atas laptopnya.

“Sekarang sudah jam 8.03”
Terdengar nada panik dari Ita.

“Aku mendapatkannya.”
Rio menghubungkan laptopnya dengan layar besar di ruangan itu dan muncullah sebuah peta GPS yang menunjukkan 10 titik merah di daerah yang tersebar di Jakarta.

“Itu adalah target mereka malam ini. Kemungkinan seluruh teroris telah menyebar ke titik-titik itu. Cepat tangkap seluruh titik kecuali point 7.”

Pak Joni yang mendengar penuturan Rio segera mengerahkan anggotanya yang tersebar di Jakarta untuk menuju lokasi-lokasi itu. Rio terus memantau perkembangan mereka dari laptopnya.

“Kenapa dengan point 7?”

“Point 7 adalah pusat control mereka. Jika kita menangkap pusat control maka kemungkinan 9 teroris yang lainnya akan tetap melancarkan aksinya. Masing-masing titik itu melaporkan perkembangannya setiap 30 menit sekali. Jika kita bisa menangkap ke 9 titik itu dalam 30 menit sebelum waktu pelaporan, maka main server tidak akan menyadari bahwa anggotanya telah tertangkap.”

 Sebuah laporan masuk ke komputer Ita.
“Teroris yang mengendarai bus di wilayah Senayan dan teroris yang berada di bandara Soekarno Hatta sudah dilumpuhkan”

“Masih 7 lagi.”
Rio mengepalkan tangannya sambil terus memantau layar laptopnya.
Beberapa menit kemudian laporan selanjutnya masuk.

“Teroris di Senayan City, di rumah sakit Fatmawati, dan di bundaran HI tertangkap.”

Pak Joni melirik kearah jamnya. Pukul 8.18. Mereka terus menunggu perkembangan selanjutnya.

“Teroris di stasiun tanah abang, dan teroris yang mencoba membajak helicopter di kawasan bintaro juga sudah tertangkap.”

“Jam 08:25, masih 2 lagi”
Tampak kegugupan di wajah Pak Joni.

“Teroris di hotel JW Marriot juga sudah dilumpuhkan.”

“tinggal satu lagi”
Rio tersenyum puas, namun senyumnya sontak surut saat menatap layar laptopnya.
“Apa? Sinyal di point 3 menghilang? Itu bukan pusat kontrolnya. Sementara pusat kontrolnya masih menyala.”

“Apa maksudnya?”

Rio sendiri tampak tak mengerti. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat.
“Sekarang tangkap pusat kontrolnya.”

------------------------

Seluruh pasukan yang ditugaskan menggerebek para teroris sudah kembali dengan membawa teroris tangkapan mereka masing-masing beserta virus yang mereka bawa. Namun mereka gagal menemukan teroris di point 3. Sementara pusat control yang mereka kepung ternyata tinggal sebuah mobil dengan laptop di dalamnya.

Sekarang perhatian anggota THIRD-I sedang fokus pada interogasi para teroris yang tertangkap itu.

------------------------

Patton berjalan pelan di antara lalu lalang manusia yang tampak sibuk melangkah di trotoar yang sama dengannya. Raut wajahnya tampak begitu kesal. Di belakangnya mengikuti seorang lelaki muda yang memanggul tas tanpa isi. Laptop yang selama ini ia gunakan sebagai senjata utama untuk mengatur seluruh aksi mereka sudah terdeteksi oleh THIRD-I dan sekarang mungkin sudah berada di tangan mereka.

Patton memencet ponsel yang ada di tangan kanannya.

“Halo, D…..”
Patton diam sejenak.

“maaf, rencana gagal. Rencana kita dirusak oleh Falcon.”

Entah apa yang dikatakan orang di seberang.

“Baik….”

Patton menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya dengan wajah kesal. Ia terus berjalan masih dengan perasaan marah yang teramat sangat.

-------------

Sudah hampir 15 menit Rio duduk dengan tertunduk dalam. Berkali-kali ia memukul-mukulkan kepalan tangannya sendiri ke dahi. Kepala dan dadanya terasa begitu sesak dengan berbagai hal yang terasa begitu melelahkan. Ia masih merasa kecewa karena tidak bisa mendapatkan teroris di salah satu point itu. Dan juga pusat control yang mereka incar ternyata telah kosong.

Namun setidaknya sekarang sudah lewat jam 9 malam. Dan kota Jakarta masih baik-baik saja. Untuk kali ini mereka bisa menggagalkan aksi mereka. Namun, dengan adanya teroris yang masih berkeliaran, Rio masih tak tau kejadian seperti apa yang akan menimpa mereka.

Akan tetapi, di atas semua itu, masih ada satu hal lagi yang membuat Rio serasa ingin memukul-mukulkan kepalanya ke dinding.

Rio menghela nafas dalam. Dipandanginya tangan kanannya yang tergenggam erat. Perlahan dibukanya genggaman tangan tersebut.Tampak benda berkilau itu terdiam kaku di atas telapak tangannya. Kalug GPS yang ia berikan untuk Ify, sekarang ada padanya. Dan tanpa itu, ia tak tau lagi harus mencari Ify dengan cara apa.

Rasanya Rio ingin membanting vas bunga yang ada di atas meja di depannya. Sekarang hatinya benar-benar khawatir. Ia tak bisa membayangkan jika suatu hal buruk terjadi pada Ify.

“Kamu dimana, Fy?”
Rio merintih pelan dengan suara yang menahan amarah sekaligus kekhawatiran….

------------------

Tuesday, 09:40

Suara ketukan sepatu hak tinggi bergema di seluruh penjuru ruangan yang tak banyak berisi barang itu. Hanya ada rak-rak yang menempel di dinding, sebuah meja, dan sebuah kursi dimana sekarang Darma Praja duduk bersandar sambil memejamkan mata menanti Maya.

“Ada apa Pak Darma memanggil saya?”

“Apakah kamu Maya?”
Laki-laki itu masih tetap memejamkan matanya.

“Iya, benar. Saya Maya.”

Sejenak ruangan itu hening.

“begitu banyak yang tertangkap, bagaimana kau bisa selamat?”

”Saya menjalankan instruksi dari anak anda.”

“Apa yang dikatakan olehnya?”

“Pemimpin kedua mengatakan…….ini saatnya untuk membuka Kotak Permata.”

Darma Praja perlahan membuka matanya. Sekarang ia bisa melihat jelas senyum wanita di depannya itu. Laki-laki itu berdiri dari singasananya.

“Kalau begitu… lakukanlah apa yang diperintahkan olehnya. segera persiapkan Kotak Permata itu.”

Senyum Maya tampak semakin melebar.
“Sebelum itu, ada satu hal yang terlebih dulu harus saya lakukan.”

“Apa?”

Darma Praja terbelalak melihat wanita itu mengacungkan pistol kearah kepalanya.
“Apa yang kau…..”

DORRRRRRRR!!!!!

Tubuh itu jatuh terhempas kembali ke kursi dengan dahi bersimbah darah. Maya tersenyum dingin menatap sosok yang sudah tak bernyawa itu. Dengan langkah santai wanita berlipstick tebal itu meninggalkan ruangan dan membiarkan mayat itu tergeletak seorang diri.

----------------------

16:15

Rio berjalan gontai memasuki halaman rumahnya. Begitu banyak pikiran yang menggelayuti otak dan hatinya sekarang. Tentang teroris, dan tentang Ify yang ia sama sekali tak tau harus mencarinya kemana lagi.

Langkah Rio sontak terhenti saat pandangannya tertumpu pada pintu rumahnya yang sedikit terbuka.

“kok? Sepertinya aku menguncinya tadi pagi….”

Bergegas Rio masuk ke dalam. Dan betapa terkejutnya dia saat sosok itu ternyata sudah dengan santainya duduk di sofa ruang tamu sambil meminum secangkir kopi yang mungkin ia buat sendiri dari dapur rumah Rio.

 “Hai, Mario Stevano…”
Seperti biasa senyum lebar senantiasa tampak dari wajahnya yang tampak ceria.

Rio terbelalak menatap wajah orang di depannya itu.
“P?”

“Seperti yang kuperkirakan dari seorang Falcon. Kau selalu bisa menghancurkan rencana kami. Kau sudah berhasil menyelesaikan salah satu soal yang ku berikan. Karena itu, aku datang untuk memberimu hadiah.”

Rio bergegas mengambil ponsel dari saku celananya dan hendak menghubungi bantuan.

“sebelum kau menghubungi THIRD-I, tidakkah kau ingin tahu……tentang Alvin Jonathan?”

Gerak jemari Rio yang hendak menekan tombol ponselnya sontak terhenti saat mendengar nama sahabatnya tiba-tiba disebut.
Dengan penuh emosi Rio berjalan kearah Patton dan dengan kasar menarik kerah laki-laki muda itu.
“Apa yang terjadi pada Alvin?!?!?!?”

Patton tersenyum puas melihat Rio mulai tertarik dengan kalimatnya.

“Dia…”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

“saudara sedarahku…”