Sabtu, 03 Desember 2011

We Were There (CHAPTER 14)


 Mungkin tinggal 3 detik lagi kepala LP itu memberi aba-aba. Akan tetapi apa yang terjadi sontak membuat kerongkongannya tercekat. Kepanikan sontak melanda seisi ruangan….

Salah seorang polisi yang ada di dekat mereka tiba-tiba ambruk dengan hidung mengeluarkan darah. Tak lama kemudian disusul oleh 2 orang penjaga yang berada tak jauh darinya. Sementara itu anggota THIRD-I dan polisi yang lain mulai terbatuk-batuk dan berdiri sempoyongan.

“Apa yang terjadi?!?”
Kepala LP itu melihat ke sekelilingnya panik. Belum sempat ia menyadari senyum puas wanita di depannya, tiba-tiba ia merasakan benda tumpul menghantam tengkuknya. Dan mulailah kegaduhan terjadi disana setelah para teroris itu mengeluarkan senjata tersembunyinya dan mulai menembaki seluruh polisi dan anggota THIRD-I yang ada disana.

Salah satu teroris itu menembak rantai gembok sel Darma Praja dan dalam sekejap mereka bisa masuk dan menemui Pemimpin mereka itu. Maya tersenyum puas karena pada akhirnya dia bisa bertemu langsung dengan sosok pemimpin yang selama ini selalu mereka agung-agungkan.

Darma Praja merogoh kantung celananya. Ia mengeluarkan sebuah pulpen. Laki-laki itu membuka tutupnya lalu mengeluarkan isinya. Dengan sekali teguk ia menelan cairan yang berada di dalamnya.

“Akhirnya anda bisa kembali bersama kami….”
Maya mempersilahkan Darma Praja untuk berjalan keluar. Laki-laki itu hanya tersenyum penuh wibawa pada salah satu bawahannya itu.

Rombongan teroris itupun mengawal Darma Praja keluar dari LP. Tak henti suara tembakan menggaung di sepanjang perjalanan mereka. Tubuh puluhan orang tergeletak karena tembakan yang terus mereka lontarkan hingga mereka bisa masuk dengan aman kedalam mobil.

-------------------------------

Rio, Alvin, Shilla dan Zahra berdiri terpaku menatap 2 orang berseragam isolator itu membungkus jenazah Gabriel dan membawanya pergi. Shilla tak bisa menahan isakannya melihat wajah sahabatnya itu tenggelam dalam kain putih yang menutupnya.

Alvin meraih punggung Shilla dan membiarkannya bersandar di pundaknya.

Rio mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya sendiri mencoba menyadarkan dirinya dari rasa shock yang masih belum juga hilang. Ia mencoba untuk menguatkan dirinya karena jalan yang harus ia tempuh untuk mencapai akhir dari semua ini masih sangatlah panjang.

Rio mengeluarkan pulpen multiwarna dari dalam saku celananya. Dikeluarkannya satu persatu isi pulpen tersebut dan menyodorkannya pada Alvin, Shilla dan Zahra.

“Minumlah….”

Zahra menatap nanar antivirus di tangannya.
“Andaikan Gabriel bisa meminumnya….”

“Kita tidak boleh membiarkan kematian Gabriel menjadi sia-sia. Kita harus sembuh dan kembali berjuang untuk segera menyelesaikan masalah ini.”

Rio meneguk antivirus di tangannya. Tak lama kemudian disusul oleh Alvin. Shilla dan Zahra perlahan mengikuti apa yang dilakukan dua orang itu.

--------------------

Sunday, 10:12

Mereka semua berkumpul mengililingi lelaki berpakaian hitam yang duduk di kursi kulit berwarna hitam itu. Semuanya menatap penuh penghormatan padanya.

“Kalian semua sudah bekerja dengan sangat baik. Aku sangat menghargai itu, P.”
Darma Praja mengalihkan pandangan pada Patton yang berdiri bersandar di dinding tak jauh dari sana. Patton yang sejak tadi menundukkan kepalanya menatap lantai pun perlahan tersenyum membalas tatapan Darma Praja.

“Terima kasih…..ayah….”

Darma Praja berdiri dari singasananya yang nyaman. Satu persatu ia tatap wajah pengikut-pengikutnya yang setia.

“Jangan pernah takut. Aku yang akan menanggung semua akibat dari misi ini. Siapkanlah dengan sebaik mungkin untuk pesta besok.”

-------------------

13:00

Pak Joni memberi isyarat pada Pak Aji untuk bergerak sekarang. Tanpa menunggu lama lagi mereka berduapun berjalan cepat menuju mobil yang sedang berhenti di depan kantor kepolisisan itu.

Pak Andi yang baru saja hendak menyalakan mesin mobilnya tersentak kaget saat dua orang laki-laki berseragam THIRD-I masuk ke dalam mobilnya. Pak Aji duduk dengan santainya di jok samping Pak Andi sementara Pak Joni mengawasi dari jok belakang. Pak Andi menatap mereka berdua kaget.

“Apa-apaan kalian?”

“Apa yang kau rencanakan?”
Pak Aji menatap Pak Andi tajam.

“Apa maksudmu?”

“Aku sudah muak dengan basa basimu!”

Pak Andi melirik ke jok belakang.

“Virus yang tersebar di LP Cipinang dikirim dari sebuah saluran air. Pipa yang ada di wastafel ruang tahanan khusus selama ini dibiarkan tertutup. Namun, Sehari sebelum kejadian itu seseorang sudah membuka pipa wastafel itu. Dan beruntung, kamera pengintai berhasil menangkap bahwa andalah yang melakukannya. Beberapa hari yang lalu anda beralasan hendak melakukan investigasi, tetapi sebenarnya anda ingin mengkondisikan ruang tahanan khusus itu sebaik mungkin untuk disebari virus kan? Dan yang meninggalkan pulpen berisi antivirus itu disana juga anda. Bukankah begitu, Pak Andi?”

Pak Andi meremas stir mobilnya mendengar penuturan panjang lebar Pak Joni.

“AC di LP cipinang sengaja diputus sehingga satu-satunya jalan untuk mengurangi panas adalah dengan menyalakan kipas angin. Dengan demikian bau busuk dari air yang sebenarnya sudah mengandung virus itu bisa tersebar ke seluruh ruangan. Dan yang bisa masuk dengan bebas ke LP untuk melakukan itu bukankah hanya anggota kepolisian saja?”

Pak Andi tertawa lirih mendengar sangkaan mereka. Pak Joni dan Pak Aji tampak jengah melihat senyum sinis laki-laki itu.

Tiba-tiba Pak Andi dengan sigap mencabut pistol dari saku bajunya. Pak Aji dan Pak Joni tersentak kaget melihat tindakan Pak Andi. Secepat mungkin merekapun segera mencabut pistol masing-masing. Namun sayang, belum sempat mereka berbuat apa-apa, Pak Andi sudah terlebih dahulu menarik pelatuknya dan….

DORRRR!!!!!!!!!

.
.
.
.
.
.
.

Pak Aji dan Pak Joni terbelalak menatap tubuh Pak Andi yang tergeletak di jok kemudi dengan pelipis bersimbah darah setelah ia menembak kepalanya sendiri.

-----------------------

Sunday, 19:04

Restoran itu tampak begitu ramai. Sepertinya sedang ada serombongan anak SMA yang merayakan pesta ulang tahun disana.

“Happy birthday to you….happy birthday to you…”
Mereka beramai-ramai menyanyika lagu mengiringi seorang gadis muda yang sudah bersiap meniup lilin.

Perempuan berwajah oriental dan laki-laki bercincin hijau itu melirik pada rombongan remaja yang tertawa gembira itu.

“Hari ini sudah sepantasnya semua orang bersenang-senang.”
Laki-laki bercincin hijau itu tersenyum sinis sambil mengaduk lemon tea nya.

“Tentu saja. Kapan lagi mereka bisa seperti itu. Besok…..semuanya sudah harus berakhir.”
Perempuan berwajah oriental itu mengacungkan gelasnya.

“Tomorrow, the last Monday.”
Laki-laki itu juga mengacungkan gelas di tangannya. Denting gelas yang beradu mengiringi senyum puas mereka berdua.

---------------------

Ia masih berdiri terpaku di depan pintu kayu berukiran yang tertutup rapat itu. Ragu ia hendak memencet bel di depannya. Ia pejamkan matanya mencoba menetapkan hati agar tak lagi bimbang.

Ting tong…..

Akhirnya ia memberanikan diri untuk benar-benar memencet bel itu. Sekarang hatinya semakin resah tak tau harus berekspresi seperti apa.

Tak lama kemudian terdengar sayup-sayup langkah kaki dari dalam terdengar mendekat. Beberapa detik kemudian daun pintu itu mulai bergeser. Menyembullah wajah Rio dari balik pintu. Ia kaget melihat Ify berdiri di depan rumahnya sambil menatapnya ragu.

“Ify?”

Ify menelan ludah demi membasahi kerongkongannya yang terasa kering.
“malam…..kak Rio….”

Sesaat mereka berdua hanya saling pandang. Namun Rio segera mengerjapkan matanya dan tersadar dari ketertegunannya.

“Eh, masuk masuk…”
Rio membuka pintunya lebih lebar dan mempersilahkan Ify masuk. Ragu-ragu Ify melangkah memasuki ruang tamu. Rio mempersilahkannya duduk dan sekarang mereka berdua hanya saling diam. Ify masih terus menunduk mencoba mencari kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan. Sementara Rio dengan sudut matanya sesekali melirik pada wajah Ify. Ia sendiri juga bingung harus memulai dari mana.

“Aku…”
Mereka berdua mengucapkan kata itu bersamaan. Rio menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sementara Ify yang sudah sempat mengangkat wajahnya sekarang tertunduk kembali.

“Kamu dulu….”
Akhirnya Rio mengalah.

Mungkin Rio tak mendengar tarikan nafas dalam Ify sebelum ia mulai bicara.
“Aku turut berduka atas meninggalnya Kak Gabriel.”

Rio mengangguk pelan. Sekarang giliran dia yang menghela nafas dalam.

“Andaikan Gabriel tidak pernah bertemu denganku, dia pasti tidak akan mati seperti ini.”

Ify menatap kakak kelasnya yang tampak begitu merasa bersalah.

“Aku telah menyeret kalian semua kedalam masalah yang sangat rumit ini. Membuat kalian semua dalam bahaya. Membuat hidup kalian terancam. Aku….”

“Karena Kak Rio adalah teman yang berharga untuk Kak Gabriel.”

Rio mengalihkan pandangan menatap Ify.

“Karena itulah dia ingin menolong Kak Rio. Karena itulah dia rela hidupnya terancam demi menyelamatkan Kak Rio. Karena Kak Rio adalah salah satu dari orang-orang yang sangat berharga dalam hidupnya. Dia….tidak akan menyesal bertemu dengan Kak Rio….”

Rio memejamkan matanya. Perkataan Ify terasa meremas ulu hatinya. Seolah membuat seluruh memory tentang Gabriel membuancah dalam ingatannya. Mengundang kembali tumpukan rasa duka yang sempat sejenak teredam.

“Maaf…..maaf….”

“Jangan minta maaf. aku yang seharusnya minta maaf.”

Rio menatap Ify tak mengerti.

“Maaf, karena perkataan kasarku kemarin. Karena aku marah tanpa memikirkan perasaan Kak Rio. Maaf….”

Rio tertegun mendengar penuturan Ify.
“Tidak…tidak apa-apa.”

“Kak Rio pasti punya alasan atas apa yang Kak Rio lakukan. Kakakku…….walaupun aku marah seperti apapun, tetap tidak akan mengembalikan dia ke sisiku. Karenanya, yang terpenting sekarang, aku tidak ingin kehilangan lagi orang-orang yang ku sayang. Kehilangan orang-orang yang berharga dalam hidup, sangat menyakitkan. Seharusnya aku tau bahwa Kak Rio pun merasakannya. Karena itu…..maaf……maaf….”

Mereka berdua saling pandang. Satu sama lain sudah mampu menerima dengan baik maksud hati masing-masing. Dari tatapan mata keduanya tersirat kelegaan karena satu tahap sulit yang harus dilewati akhirnya dapat mereka lalui dengan baik.

“Tapi…bolehkah aku bertanya sesuatu?”

Rio mengangguk pelan.

“Maaf sebelumnya, aku hanya ingin tau, kenapa Kak Rio seolah tiba-tiba masuk ke dalam kehidupanku dan melakukan tindakan-tindakan yang dulu sempat membuatku kesal padahal kita tidak pernah bertemu sebelumnya?”

Rio mengalihkan pandangannya dari ify. Akhirnya pertanyaan semacam itu meluncur juga dari seorang Ify.

“Karena aku……”

Ify menunggu jawaban Rio dengan wajah penasaran.

“merasa bersalah telah membuat kakakmu meninggal.”

Ify menegakkan kembali duduknya yang sempat membungkuk karena menanti jawaban Rio.
“Sudah kuduga….”
Ify berbisik lirih.

“Aku ingin meminta maaf padamu. Tapi….aku terlalu pengecut untuk mengatakan yang sebenarnya. Karenanya, aku hanya ingin melindungimu agar kejadian buruk yang menimpa kakakmu itu tidak akan terulang lagi.”

------------------

 Ify berjalan pelan dengan pikiran yang sedikit melamun. Ia masih terngiang-ngiang percakapannya dengan Rio tadi. Sudah begitu banyak yang mereka lalui. Entah kapan semua ini akan berakhir. Kehilangan orang-orang yang sangat disayangi bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagi jika kita merasa bahwa penyebabnya adalah diri kita sendiri.

Ify menatap lurus trotoar panjang di depannya. Ia membulatkan tekad bahwa dia akan terus membantu Rio hingga semua ini berakhir. Walaupun mungkin ia tidak bisa berbuat sesuatu yang berarti, setidaknya dia bisa mendukung Rio dengan tetap mempercayainya dan memberi semangat dengan tetap di sampingnya.

Ify tersenyum simpul dan berjalan penuh semangat untuk pulang. Tiba-tiba langkah kakinya terhenti. Matanya tertuju pada etalase kaca sebuah toko yang tampak dari tempat ia berdiri sekarang. Ify mendekat memandangi deretan benda yang terpajang di etalase tersebut. Pandangannya menelusuri satu persatu benda yang berjajar disana. Setelah beberapa saat, tatapannya terhenti pada sebuah kalung.

“Wahhh, bagussss…”
Tanpa pikir panjang Ify segera memasuki toko aksesoris tersebut.

-------------------

Jakarta
Sunday, 23:09

Langkah maya yang menyusuri trotoar malam itu terhenti. Di depannya berdiri seorang laki-laki yang sudah menunggunya sejak tadi. Sekarang mereka berdua berdiri berhadapan di tengah lalu lalang manusia yang juga berjalan di sekitar mereka.

“Aku sudah menunggu saat-saat kita bisa bicara berdua seperti ini.”

Maya mengerutkan keningnya tak mengerti.
“Ada apa, P?”

“Aku mendengar dari D bahwa Falcon masih hidup. Padahal dia sudah terinfeksi oleh Bloody x.”

Tatapan Patton terasa begitu dingin menelusup mata Maya.
“Bukankah itu berarti mereka punya antivirus?”

Tampak samar-samar Maya melebarkan bola matanya mendengar penuturan Patton.

“Maya, bukankah kau mengatakan kalau kau sudah mengumpulkan semua antivirusnya? Bagaimana mereka bisa punya?”

Maya terdiam mendengar ucapan Patton. Ia tak menjawab apapun. Lama Patton menunggu, namun Maya masih tetap kukuh dengan senyumannya tanpa ada sepatah katapun yang keluar. Patton pun akhirnya tersenyum.

“Ah, terserah lah……”
Tanpa menunggu jawaban dari Maya, dengan entengnya Patton melangkah pergi meninggalkan Maya yang masih berdiri terpaku menatap punggung lelaki muda yang sudah beberapa langkah meninggalkannya.

Patton meraih ponsel dari saku bajunya dan tampak menghubungi seseorang.
“Halo….D…Aku sudah memperingatkan Maya. Jadi….istirahatlah dengan nyaman…..”

Patton tampak tersenyum setelah menutup komunikasinya dengan orang di seberang. Ia terus berjalan santai menyusuri jalanan kota Jakarta yang masih ramai seperti biasanya.

--------------------

Monday, 06:30

Derap langkah Ify yang menapaki anak tangga dengan terburu-buru menimbulkan bunyi bergema di rumah yang lengang pagi itu. Setelah berlibur akhir pekan yang dipenuhi kejadian-kejadian menyesakkan, akhirnya hari ini dia bisa kembali bertemu dengan teman-teman SMA nya yang selalu bisa membuatnya tersenyum. Tak sabar rasanya ia ingin bertemu dengan mereka.

Ify mencari-cari jam tangan di saku tasnya. Kemarin dia melepaskannya dan memasukkannya ke dalam tas karena hujan yang tiba-tiba mengguyur. Alih-alih menemukan jam tangan, tangannya justru menemukan kalung yang kemaren dia beli. Dia mengeluarkan kalung tanpa bungkusan itu dan memandanginya sambil berjalan menuju pintu keluar. Seulas senyum terukir di wajah cantik itu.

Masih sambil terus memandangi kalung yang menurutnya bagus itu, Ify membuka pintu rumahnya hendak berangkat ke sekolah. Namun, belum sempat ia mengalihkan pandangannya dari kalung itu, tiba-tiba ia merasakan sebuah dorongan keras menghantam badannya dan membuatnya jatuh tersungkur.

Raut ketakutan sontak merayapi wajah Ify begitu ia melihat sosok yang berdiri angkuh di depannya sekarang.

“Bu Maya?”

“Selamat pagi cantik…”
Belum sempat Ify berdiri, Maya langsung mencengkeram lengan Ify dan menariknya dengan paksa.

“Lepas!!! Lepas!!! Tolong!! To…”
Maya membekap mulut Ify dengan kain dan menahannya sesaat. Kain yang sudah dilumuri obat bius itu pun membuat Ify sontak tak sadar dan membuat Maya dengan mudahnya membawa Ify pergi bersamanya.

---------------------------

Ify membuka matanya perlahan. Cahaya yang menelusup masuk ke dalam pupilnya membuat kepala Ify terasa berputar-putar. Butuh beberapa saat sampai ia bisa benar-benar melihat dengan jelas. Begitu matanya bisa menangkap bayangan ruangan itu, sontak dahi ify pun berkerut bingung karena ia merasa berada di tempat yang tak ia kenal.

“Sudah sadar rupanya?”
Maya berjalan angkuh memasuki ruangan tempat Ify berada. Ify tak bisa berbuat apapun. Bahkan bergerak pun sulit karena kedua tangan dan kakinya diikat pada kursi.

“Apa maumu?”

Maya hanya tersenyum mendengar pertanyaan Ify. Dengan santainya wanita itu duduk di kursi sembari menyeruput teh hangat dari cangkirnya.
“Sayang sekali pagi ini kau tidak bisa pergi ke sekolah. Kau pasti merasa kecewa. Bagaimana kalau kau belajar privat saja denganku?”

Ify menatap Maya sinis.

“Hei, bagaimanapun juga aku ini salah satu guru di sekolahmu juga.”
Maya meletakkan cangkir teh hangatnya ke meja yang ada di sebelahnya.
“Alyssa Saufika Umari. Salah satu remaja dengan keahlian hacking yang tidak boleh diremehkan.”

Kalimat Maya tak pelak lagi membuat Ify terbelalak. Selama ini tak ada yang tau bahwa ia adalah seorang Hacker kecuali Rio dan teman-teman Rio, serta anggota THIRD-i.

“Kami punya sebuah tugas kehormatan untukmu.”

“Apa maksudmu?!?”
Nada bicara Ify mulai meninggi.

“Hei! Sopanlah sedikit pada gurumu. Atau kalau tidak aku akan memberimu sedikit hukuman.”
Maya mengacungkan sebuah jarum suntik berisi cairan merah di dalamnya.

“Kurasa Kiki dan Gabriel akan senang bertemu dengan teman lamanya di alam sana.”

Ify terbelalak menatap Maya yang semakin mendekat dengan membawa jarum suntik itu.

“Kurasa kau cukup cerdas untuk bisa mengambil sebuah keputusan yang bijak…..”

Maya mencengkeram lengan Ify dan mengarahkan jarum suntik itu padanya. Ify memejamkan matanya kuat-kuat.

Jarum suntik itu semakin mendekat. Gerak tangan Maya yang sengaja diperlambat membuat jantung Ify semakin berpacu.Dan tepat saat kulit putihnya merasakan dingin menempel dari jarum suntik itu….

“Baiklah!”

Maya menarik perlahan jarum suntiknya.

“Baiklah…..aku bersedia, aku bersedia…..”

Maya tesenyum puas menatap raut ketakutan Ify yang berkeringat dingin menatapnya.

---------------------

Monday, 15:00

Darma Praja berdiri dikelilingi oleh seluruh pengikutnya. Kebanyakan dari mereka membawa tas dan ada beberapa orang yang membawa koper cukup besar. Isinya tentu saja bukan sesuatu yang biasa. Itu adalah bagian dari aksi yang akan mereka luncurkan malam ini.

“Mari kita mulai….”

Semua orang yang ada disana mengangguk. Dan tak lama kemudian satu persatu dari mereka mulai pergi meninggalkan ruangan itu dengan membawa barang mereka masing-masing.

“Cepat kosongkan tempat ini. Bawa gadis itu ke tempat persembunyian selanjutnya.”

“Baik…”

Akhirnya Darma Praja pun ikut meninggalkan tempat itu bersama yang lainnya. Tinggallah satu orang teroris itu dan Ify. Laki-laki itu tampak membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam koper besar. Dia juga menyertakan beberapa botol virus. Barulah beberapa menit kemudian ia menuju tempat Ify disandera dan hendak melepaskan rantai yang mengikat tangan dan kaki Ify.

Ify menarik nafas dalam. Ia sedang mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dan tepat saat semua rantai yang menahan tangan dan kakinya terlepas Ify pun sontak berontak dan mendorong teroris itu hingga jatuh.

Ify mengangkat kursi yang barusan ia duduki dan melemparkannya kearah teroris tersebut. Tindakannya itu cukup membuat teroris itu jatuh tersungkur dan kesulitan untuk bangkit karena kepalanya yang terhantam kursi kayu itu.

Ify berlari meninggalkan ruangan itu. Sejenak ia melihat ke sekeliling. Dan setelah matanya menemukan apa yang ia cari, ia segera menyambarnya dan berlari keluar dari tempat itu. Teroris yang ada di belakangnya sudah bisa bangkit dan sekarang berlari mengejarnya.

Ify berlari sekuat yang ia bisa. Ia hanya memerlukan sedikit jarak dari teroris itu untuk menjalankan rencananya.Dan setidaknya sekarang ia bisa sedikit menjauh dari kejaran teroris itu. Ify berbelok ke sebuah gang sempit di antara deretan gudang yang ada disana. Tempat persembunyian mereka memanglah berada di kawasan pabrik baja sehingga puluhan bangunan yang berfungsi sebagai gudang berjajar rapat di kawasan itu. Ify bersembunyi di antaranya.

Ify mengeluarkan kertas dan pulpen yang tadi disambarnya dari ruangan para teroris itu. Secepat yang ia bisa, Ify menuliskan beberapa kalimat di atasnya. Setelah selesai ia melepas kalung yang ia kenakan lalu bersama dengan kertas itu ia meletakkannya di samping tumpukan kayu yang ada di gang sempit itu.

Setelah memastikan ia melakukan apa yang ia rencanakan, Ify mengintip ke luar gang. Ia menunggu teroris itu muncul. Dan tepat saat teroris itu tampak datang dari kejauhan, Ify berlari keluar dari gang. Seperti yang ia rencanakan, teroris itu melihatnya dan kembali mengejarnya. Ify sengaja memperlambat langkahnya. Dan akhirnya teroris itu berhasil menangkapnya.

Seperti yang Ify duga, begitu ia tertangkap, teroris itu langsung menghujaninya dengan pukulan.

“Berani-beraninya kau mencoba lari!!!!”

Ify mengelus wajahnya yang lebam. Air mata sudah merembes di pipinya karena rasa sakit yang teramat sangat. Tapi Ify sudah memperkirakan akibat yang harus dia terima karena kenekatannya itu. Setelah itu ia pun pasrah diseret oleh teroris itu pergi.

Ify duduk pasrah di jok samping kemudi dengan tangan dan kaki diborgol. Ia tak tahu nasib seperti apa yang akan ia hadapi selanjutnya. Yang pasti, setidaknya ia sudah melakukan yang terbaik.

Ia berharap Alvin mengetahui bahwa dirinya diculik dan segera mencarinya. Ia tahu Rio pasti bisa menemukannya dengan mendeteksi kalung GPS yang dia berikan. Akan tetapi jika THIRD-I sampai menemukan tempatnya dan menggerebek teroris yang menjaganya itu, maka kemungkinan besar musuh akan mengetahui bahwa THIRD-I telah mencium rencananya. Jika sampai itu terjadi, maka mereka akan membatalkan rencananya dan sekali lagi THIRD-I akan gagal menangkap mereka. Dan jika sudah begitu, mereka tidak akan tahu rencana macam apa lagi yang akan mereka lancarkan di kemudian hari.

Oleh karena itulah, satu-satunya jalan adalah membiarkan Rio menemukan GPS nya bersama pesan yang ia tinggalkan untuk Rio. Ia biarkan dirinya tetap berada di bawah tawanan teroris itu agar teroris itu merasa rencana mereka tetap berjalan seperti yang diharapkan.

Salah satu tujuan Ify bersedia menjadi hacker mereka bukanlah karena takut akan ditulari virus. Akan tetapi dia ingin mendapatkan sedikit celah untuk mengetahui rahasia mereka. Selama beberapa saat menjadi hacker bagi teroris ia memang tidak mendapat ijin untuk mengakses komputer inti yang mereka gunakan dimana seluruh data rahasia mereka tersimpan disana. Ia hanya bertugas memudahkan akses ke beberapa tempat yang akan mereka jadikan sasaran. Walaupun ia tahu tempat-tempat mana saja yang akan mereka jadikan sasaran, Ify tetap tidak mungkin memberitahu Alvin karena ia tidak bisa menggunakan ponselnya. Dan untuk menuliskan sekian banyak nama tempat di kertas itu ia tidak memiliki cukup waktu. Karena itulah dia lebih memilih menuliskan 3 baris pesan seperti itu.

------------------

THIRD-I 19:16

pre emptive strike.
BLBRD*walk!”34065-pyton-script
Senin 9 mlm

Rio terus memandangi secarik kertas yang ia temukan di kawasan pabrik itu. Tangan kanannya menggenggam erat kalung GPS yang ia berikan pada Ify. Ia masih terus memutar otak untuk mencoba mengerti apa maksud pesan di kertas itu.

Rio berjalan mondar-mandir di lantai dua kantor THIRD-I itu.

“Bagaimana?”

Pertanyaan Pak Joni hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Rio. Rio mengacak-acak rambutnya sendiri karena tak jua menemukan maksud pesan itu.

“Baiklah, pikirkanlah lagi maksud pesan itu, kami akan terus mencari petunjuk dari markas yang mereka tinggalkan.”

------------------------

Monday, 19:57

Rio terburu-buru menuruni anak tangga menuju ruang kendali utama THIRD-I di lantai dasar. Derap langkahnya membuat Pak Joni sontak menengok kearah Rio keheranan.

“Aku mengerti maksudnya!”
Rio bergegas menuju meja utama di ruangan itu, mengeluarkan laptopnya dan bergegas menyalakannya. Dengan cepat ia mengetikkan sesuatu disana.

“Apa maksudnya?”

Rio memberi penjelasan pada Pak Joni sambil terus mengetik di laptopnya.
 “pre emptive strike adalah istilah di kalangan hacker. Itu adalah salah satu metode distribusi jaringan dimana komputer yang dijadikan anak oleh main computer harus melewati komputer induk terlebih dahulu sebelum memproses data. Dan kode yang dituliskan oleh Ify itu kemungkinan adalah kode akses komputer utama yang digunakan oleh teroris itu.”

Ita dan Pak Joni yang berdiri di samping Rio tampak mengangguk tanda mengerti.

“Dengan kode akses itu kita bisa mengirimkan virus khusus yang akan menelusup ke dalam main processor komputer itu dan menjadikannya komputer anak. Aku akan menjadikan laptop ini sebagai komputer induk. dengan demikian, seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komputer anak akan tampak di laptop ini. Kita bisa mengetahui seluruh rencana mereka.”

Rio menghentikan sejenak gerak jemarinya.
“Sedangkan baris ketiga dalam pesan yang ditulis oleh Ify itu…..kemungkinan para teroris akan melancarkan aksinya malam ini jam 9.”

Mendengar kalimat terakhir Rio, Pak Joni dan Ita sontak bersamaan melihat kearah jam. Sementara Rio kembali mengetik di atas laptopnya.

“Sekarang sudah jam 8.03”
Terdengar nada panik dari Ita.

“Aku mendapatkannya.”
Rio menghubungkan laptopnya dengan layar besar di ruangan itu dan muncullah sebuah peta GPS yang menunjukkan 10 titik merah di daerah yang tersebar di Jakarta.

“Itu adalah target mereka malam ini. Kemungkinan seluruh teroris telah menyebar ke titik-titik itu. Cepat tangkap seluruh titik kecuali point 7.”

Pak Joni yang mendengar penuturan Rio segera mengerahkan anggotanya yang tersebar di Jakarta untuk menuju lokasi-lokasi itu. Rio terus memantau perkembangan mereka dari laptopnya.

“Kenapa dengan point 7?”

“Point 7 adalah pusat control mereka. Jika kita menangkap pusat control maka kemungkinan 9 teroris yang lainnya akan tetap melancarkan aksinya. Masing-masing titik itu melaporkan perkembangannya setiap 30 menit sekali. Jika kita bisa menangkap ke 9 titik itu dalam 30 menit sebelum waktu pelaporan, maka main server tidak akan menyadari bahwa anggotanya telah tertangkap.”

 Sebuah laporan masuk ke komputer Ita.
“Teroris yang mengendarai bus di wilayah Senayan dan teroris yang berada di bandara Soekarno Hatta sudah dilumpuhkan”

“Masih 7 lagi.”
Rio mengepalkan tangannya sambil terus memantau layar laptopnya.
Beberapa menit kemudian laporan selanjutnya masuk.

“Teroris di Senayan City, di rumah sakit Fatmawati, dan di bundaran HI tertangkap.”

Pak Joni melirik kearah jamnya. Pukul 8.18. Mereka terus menunggu perkembangan selanjutnya.

“Teroris di stasiun tanah abang, dan teroris yang mencoba membajak helicopter di kawasan bintaro juga sudah tertangkap.”

“Jam 08:25, masih 2 lagi”
Tampak kegugupan di wajah Pak Joni.

“Teroris di hotel JW Marriot juga sudah dilumpuhkan.”

“tinggal satu lagi”
Rio tersenyum puas, namun senyumnya sontak surut saat menatap layar laptopnya.
“Apa? Sinyal di point 3 menghilang? Itu bukan pusat kontrolnya. Sementara pusat kontrolnya masih menyala.”

“Apa maksudnya?”

Rio sendiri tampak tak mengerti. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat.
“Sekarang tangkap pusat kontrolnya.”

------------------------

Seluruh pasukan yang ditugaskan menggerebek para teroris sudah kembali dengan membawa teroris tangkapan mereka masing-masing beserta virus yang mereka bawa. Namun mereka gagal menemukan teroris di point 3. Sementara pusat control yang mereka kepung ternyata tinggal sebuah mobil dengan laptop di dalamnya.

Sekarang perhatian anggota THIRD-I sedang fokus pada interogasi para teroris yang tertangkap itu.

------------------------

Patton berjalan pelan di antara lalu lalang manusia yang tampak sibuk melangkah di trotoar yang sama dengannya. Raut wajahnya tampak begitu kesal. Di belakangnya mengikuti seorang lelaki muda yang memanggul tas tanpa isi. Laptop yang selama ini ia gunakan sebagai senjata utama untuk mengatur seluruh aksi mereka sudah terdeteksi oleh THIRD-I dan sekarang mungkin sudah berada di tangan mereka.

Patton memencet ponsel yang ada di tangan kanannya.

“Halo, D…..”
Patton diam sejenak.

“maaf, rencana gagal. Rencana kita dirusak oleh Falcon.”

Entah apa yang dikatakan orang di seberang.

“Baik….”

Patton menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya dengan wajah kesal. Ia terus berjalan masih dengan perasaan marah yang teramat sangat.

-------------

Sudah hampir 15 menit Rio duduk dengan tertunduk dalam. Berkali-kali ia memukul-mukulkan kepalan tangannya sendiri ke dahi. Kepala dan dadanya terasa begitu sesak dengan berbagai hal yang terasa begitu melelahkan. Ia masih merasa kecewa karena tidak bisa mendapatkan teroris di salah satu point itu. Dan juga pusat control yang mereka incar ternyata telah kosong.

Namun setidaknya sekarang sudah lewat jam 9 malam. Dan kota Jakarta masih baik-baik saja. Untuk kali ini mereka bisa menggagalkan aksi mereka. Namun, dengan adanya teroris yang masih berkeliaran, Rio masih tak tau kejadian seperti apa yang akan menimpa mereka.

Akan tetapi, di atas semua itu, masih ada satu hal lagi yang membuat Rio serasa ingin memukul-mukulkan kepalanya ke dinding.

Rio menghela nafas dalam. Dipandanginya tangan kanannya yang tergenggam erat. Perlahan dibukanya genggaman tangan tersebut.Tampak benda berkilau itu terdiam kaku di atas telapak tangannya. Kalug GPS yang ia berikan untuk Ify, sekarang ada padanya. Dan tanpa itu, ia tak tau lagi harus mencari Ify dengan cara apa.

Rasanya Rio ingin membanting vas bunga yang ada di atas meja di depannya. Sekarang hatinya benar-benar khawatir. Ia tak bisa membayangkan jika suatu hal buruk terjadi pada Ify.

“Kamu dimana, Fy?”
Rio merintih pelan dengan suara yang menahan amarah sekaligus kekhawatiran….

------------------

Tuesday, 09:40

Suara ketukan sepatu hak tinggi bergema di seluruh penjuru ruangan yang tak banyak berisi barang itu. Hanya ada rak-rak yang menempel di dinding, sebuah meja, dan sebuah kursi dimana sekarang Darma Praja duduk bersandar sambil memejamkan mata menanti Maya.

“Ada apa Pak Darma memanggil saya?”

“Apakah kamu Maya?”
Laki-laki itu masih tetap memejamkan matanya.

“Iya, benar. Saya Maya.”

Sejenak ruangan itu hening.

“begitu banyak yang tertangkap, bagaimana kau bisa selamat?”

”Saya menjalankan instruksi dari anak anda.”

“Apa yang dikatakan olehnya?”

“Pemimpin kedua mengatakan…….ini saatnya untuk membuka Kotak Permata.”

Darma Praja perlahan membuka matanya. Sekarang ia bisa melihat jelas senyum wanita di depannya itu. Laki-laki itu berdiri dari singasananya.

“Kalau begitu… lakukanlah apa yang diperintahkan olehnya. segera persiapkan Kotak Permata itu.”

Senyum Maya tampak semakin melebar.
“Sebelum itu, ada satu hal yang terlebih dulu harus saya lakukan.”

“Apa?”

Darma Praja terbelalak melihat wanita itu mengacungkan pistol kearah kepalanya.
“Apa yang kau…..”

DORRRRRRRR!!!!!

Tubuh itu jatuh terhempas kembali ke kursi dengan dahi bersimbah darah. Maya tersenyum dingin menatap sosok yang sudah tak bernyawa itu. Dengan langkah santai wanita berlipstick tebal itu meninggalkan ruangan dan membiarkan mayat itu tergeletak seorang diri.

----------------------

16:15

Rio berjalan gontai memasuki halaman rumahnya. Begitu banyak pikiran yang menggelayuti otak dan hatinya sekarang. Tentang teroris, dan tentang Ify yang ia sama sekali tak tau harus mencarinya kemana lagi.

Langkah Rio sontak terhenti saat pandangannya tertumpu pada pintu rumahnya yang sedikit terbuka.

“kok? Sepertinya aku menguncinya tadi pagi….”

Bergegas Rio masuk ke dalam. Dan betapa terkejutnya dia saat sosok itu ternyata sudah dengan santainya duduk di sofa ruang tamu sambil meminum secangkir kopi yang mungkin ia buat sendiri dari dapur rumah Rio.

 “Hai, Mario Stevano…”
Seperti biasa senyum lebar senantiasa tampak dari wajahnya yang tampak ceria.

Rio terbelalak menatap wajah orang di depannya itu.
“P?”

“Seperti yang kuperkirakan dari seorang Falcon. Kau selalu bisa menghancurkan rencana kami. Kau sudah berhasil menyelesaikan salah satu soal yang ku berikan. Karena itu, aku datang untuk memberimu hadiah.”

Rio bergegas mengambil ponsel dari saku celananya dan hendak menghubungi bantuan.

“sebelum kau menghubungi THIRD-I, tidakkah kau ingin tahu……tentang Alvin Jonathan?”

Gerak jemari Rio yang hendak menekan tombol ponselnya sontak terhenti saat mendengar nama sahabatnya tiba-tiba disebut.
Dengan penuh emosi Rio berjalan kearah Patton dan dengan kasar menarik kerah laki-laki muda itu.
“Apa yang terjadi pada Alvin?!?!?!?”

Patton tersenyum puas melihat Rio mulai tertarik dengan kalimatnya.

“Dia…”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

“saudara sedarahku…”

Selasa, 29 November 2011

We Were There (CHAPTER 13)



“Gabriel!”
Rio yang bergegas mendekat pada Gabriel pun semakin terkejut saat ia melihat begitu banyak genangan darah merah pekat di wastafel itu.

“Apa kamu baik-baik saja?”

Gabriel meraih tisu yang disodorkan Shilla dan mengusap bibirnya yang terdapat bekas-bekas darah. Sejenak kemudian Gabriel memandang Rio dengan tatapan penuh ketakutan.
“Rio…….apa……. yang terjadi padaku?”

Rio tak menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan prasangka buruk yang sejak tadi menggelayuti pikirannya. Ia masih tertegun membalas tatapan Gabriel yang masih menunggu jawabannya.

Shilla seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran Rio tentang dugaan virus itu. Shilla pun segera meraih pundak Gabriel.
“Ayo kita ke rumah sakit.”
Shilla menuntun Gabriel menuju pintu keluar.

Rio yang menyadari kemungkinan inveksi virus pun segera berlari hendak menghadang.
“Tunggu! Tunggu sebentar!”

Belum sempat kalimatnya membuat Shilla dan Gabriel berhenti, tiba-tiba pintu yang ada di depan mereka didobrak dengan keras hingga terbanting menghantam dinding. Jeritan ketakutanpun terlontar dari bibir Shilla dan Zahra saat 2 orang bersenapan laras panjang memasuki tempat mereka dan mengacungkan senapannya pada 5 pemuda itu.

“Lama tidak bertemu………… Falcon……”

Rio terbelalak saat ingatannya berhasil menemukan rekaman wajah orang yang menyapanya tersebut. Dia adalah badut yang menyebarkan virus palsu dalam insiden Senayan City.

Tanpa menunggu lama dua orang teroris itu menyuruh mereka berjalan keluar sembari terus menodongkan senapan yang tampak mengerikan itu. Mereka dibawa ke sebuah ruang kelas di lantai tiga.

Dengan kasarnya dua orang teroris itu menghempaskan tubuh mereka ke lantai kelas. Selanjutnya salah satu di antara mereka berjalan ke meja guru dimana di atasnya sudah ada satu buah laptop. Rio dan yang lainnya hanya bisa pasrah menunggu apa yang akan selanjutnya terjadi.

Laki-laki itu menyalakan laptop tersebut. Sebentar ia mengutak-atiknya dan tiba-tiba….

“Baaa…”
Wajah seorang laki-laki muda memenuhi layar laptop tersebut dengan senyum terkembang yang menampakkan raut sangat ceria.

“P?”

“Eh?”
Shilla memandang Rio tak mengerti.

“Dia adalah P, pemimpin teroris yang menyebarkan virus ini.”

Tak pelak lagi kalimat Rio itu membuat Alvin, Shilla, Zahra dan Gabriel menatap wajah itu dengan penuh ketakutan sekaligus kebencian.

“Yang pertama, aku ucapkan selamat pada Gabriel, kamu yang pertama mendapatkan hadiah besar dari kami.”

Mereka semua sontak memandang Gabriel yang semakin parah terbatuk-batuk. Rio mengepalkan tangannya kuat-kuat. Nampaknya dugaannya benar-benar terjadi, mereka sudah menginfeksi Gabriel dengan Bloody-x.

“Kau! Kenapa kau melibatkan mereka? Bukankah aku target kalian?”

“Itu benar. Tapi sayang, sepertinya kamu sudah tidak efisien lagi bagi kami, jadi aku kehilangn selera. Bagiku kamu tidak punya nilai lagi.”

Rio menatap tajam wajah itu. Senyum laki-laki di layar itu membuatnya merasa begitu jengah dan muak.

Dengan suara yang bergetar karena rasa takut Shilla berbisik pada Rio.
“Berarti…kita juga terinfeksi? Kalau begitu, bukankah orang-orang ini juga bisa tertular?”
Tatapan mata Shilla tertuju pada dua orang yang menodongkan senapan pada mereka.

“Mereka pasti sudah menggunakan antivirus.”
Rio menatap tajam pada dua orang yang sekarang ikut tersenyum meremehkan pada mereka.

“Apa alasanmu membuat Gabriel tersiksa seperti ini? Kenapa kau melakukan hal seperti ini?!?!?”

“hhh…. anggap saja ini adalah sebuah soal. Aku ingin tahu apakah Third-I dan falcon bisa menyelesaikannya. Jika kau memikirkannya dengan baik maka soal ini dapat terselesaikan dengan benar. Selamat berjuang……Falcon…..”

----------------

THIRD-i
Saturday 15:36

Dering telefon mengalihkan perhatian Ita dari layar monitor pemantau yang sejak tadi menjadi focus utamanya.
“kantor THIRD-I disini…ada yang bi….”
Kalimat Ita sontak terhenti seiring raut kekagetan yang tiba-tiba tampak dari wajahnya.

Bergegas Ita memanggil Pak Joni dan menyalakan speaker agar atasannya itu bisa mendengar orang yang menelfon dan meminta untuk bicara dengan Pak Joni itu.

“Halo, Joni disini.”

“Kau sepertinya sangat lelah. Suaramu terdengar suram.”

Pak Joni terbelalak kaget saat ia bisa mengenali suara itu.
“Maya?”

“Setelah Kiki dan Ayu, sekarang ijinkan kami memberi tahu siapa nama korban selanjutnya.”

“Siapa?”

Terdengar tawa lirih dari seberang yang membuat Pak Joni tampak geram.

“Mario…. Stevano….”

Tampak keterkejutan di wajah Pak Joni.
“Jangan berbohong. Kalian menginginkan Rio. Kalian tidak mungkin mencelakainya.”

“Kali ini kami tidak main-main. Oh iya, dan Alvin Jonathan juga ada di antara teman sekelasnya yang sudah kami infeksi Bloody-x. Jika kau merasa ini adalah bohong, buktinya akan segera kami kirim padamu.”

Beberapa detik kemudian computer Ita berbunyi bip yang menandakan ada pesan masuk. Begitu melihat email dengan nama pengirim “nyan nyan” itu Ita pun segera memberi isyarat pada Pak Joni dan dibalas dengan anggukan oleh laki-laki itu.

Ita membuka video yang terlampir di email tersebut kemudian menampilkannya di layar monitor kantor. Semua orang yang ada di ruangan tersebut memandang kaget pada layar itu saat tampak video Rio dan teman-temannya sedang mengelilingi Gabriel yang ditidurkan di lantai dengan hidung yang mengeluarkan darah.

“Saat ini mereka kami tawan. Kami meminta pembebasan pimpinan kami Darma Praja. Setelah kalian memenuhinya kami akan memberi kalian antivirus dan membiarkan mereka bebas. Jika kau tidak bergegas, mereka akan mati. kami adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan mereka. Kami akan mengubungimu lagi beberapa saat nanti. Dan kami harap kau sudah mengambil keputusan yang bijak.”

Tut…tut…tut….

“Halo!!! Halo!!! Sial!!”
Pak Joni memukulkan tinjunya ke meja yang ada di depannya. Teroris itu benar-benar mulai berulah lagi sekarang.

-------------------

Rio tertunduk di hadapan keempat temannya yang lain.
“Semuanya… aku benar-benar minta maaf. Kalian hanya berusaha menolongku tapi kalian terjerumus kedalam hal berbahaya ini.”

Dengan tubuh yang terasa semakin lemah, Gabriel sekuat tenaga mencoba menggerakkan tangannya dan meraih pergelangan tangan Rio.
“Aku tidak peduli pada apa yang sudah terjadi. Abaikanlah itu. apa yang harus kita lakukan sekarang? mari kita pikirkan saja tentang itu.”

Rio tak bisa menahan setetes air mata yang menyembul dari matanya melihat keadaan sahabatnya yang sekarang terbaring lemas. Alvin mengusap pundak sahabatnya itu.
“Dia benar. menolongmu adalah apa yang kami inginkan.”

Tawa salah satu teroris yang menawan mereka sontak mengalihkan pandangan mereka semua.
“Ck ck ck…..persahabatan…..betapa indahnya…. Hahahaha….”

“Kau pikir aku akan membiarkanmu membunuh kami dengan mudah?”

Tawa laki-laki itu berganti dengan pandangan tajam menatap Rio. Laki-laki itu mengambil tas berisi laptop milik Rio yang tergeletak di atas meja dan mengacungkannya pada Rio.
“Falcon…. apa kau ingin mencobanya? Kami sudah merusak kemampuan wireless computer dan ponsel di gedung ini….”

Dengan geram Rio merebut tas berisi laptopnya dari tangan laki-laki itu. Rio duduk di lantai kelas dan bergegas menyalakan laptopnya untuk berusaha mencari koneksi walaupun kalimat yang diucapkan laki-laki itu barusan cukup membuat Rio sedikit kehilangan harapan.

Hampir 20 menit Rio terus berkutat mengutak-atik laptopnya namun hasilnya nol. Tak dapat ia pungkiri bahwa rasa putus asa mulai menggelayuti hatinya. Melihat Rio yang tampak frustasi menatap layar laptopnya Alvin pun mendekati sahabatnya itu.
“Bagaimana?”

“Tidak ada gunanya. Seluruh wireless akses poin sudar benar-benar terputus.”

Kalimat Rio itu ternyata mampu didengar oleh salah satu penjaga yang ada di dekat mereka. Penjaga itupun tertawa keras seolah merasa menang.
“Sudah kubilang kan kau tidak akan bisa melakukannya. Dan lagipula, jika kalian melarikan diri, kalian akan menulari orang luar dengan virus.”

Penjaga itu berjalan kearah jendela dan memandang ke halaman depan sekolah itu. Tampak 3 teroris bersiaga di depan pintu masuk. Mereka hanya ditugasi untuk menjaga sekolah itu dari penyusup yang hendak menyelamatkan tawanan.

“Tapi, coba saja kalau kalian bisa keluar dari sini dengan selamat.”
Tawa keangkuhan kembali bergema di ruangan kelas itu.

Rio yang menatap geram pada laki-laki itu disadarkan oleh bunyi bip dari laptopnya.
“Sial, bahkan baterainya pun sudah hampir habis….”
Rio menatap kesal pada layar laptopnya. Namun, tiba-tiba sesuatu terlintas di pikirannya. Ia melirik pada penjaga yang sedang asyik mengunyah camilan tak jauh dari mereka.

Rio mengambil charger dari dalam tasnya dan segera menghubungkannya dengan laptop kemudian menancapkannya pada stopkontak yang melekat di dinding tak jauh dari tempatnya duduk. Rio duduk bersandar di dinding dan mulai kembali mengutak-atik laptopnya untuk menemukan celah agar ia bisa berhubungan dengan dunia luar.

-------------------

Saturday 19:10

Pak Susilo berdiri di belakang Menteri pertahanan di kediaman pribadinya. Menteri itu tampak berdiri menatapi halaman rumahnya yang dijaga ketat oleh petugas militer.

“Pak menteri. Cucu anda berada di antara 5 siswa yang mereka jadikan tawanan sebagai syarat atas pembebasan Darma Praja. Tapi kami mohon anda tidak perlu khawatir, keselamatan para tawanan adalah prioritas utama. Kami akan berusaha keras demi menyelamatkan mereka.”

Laki-laki berusia 62 tahun itu hanya tersenyum simpul mendengar kalimat Pak Susilo.
“Menangkap teroris dan menjaga keamanan seluruh negara adalah kewajiban kalian. begitu juga denganku. Walaupun Alvin ada disana, anda tidak perlu memberi perlakuan khusus untuk kasus ini. Mengerti?”

Pak Susilo tampak tergagap mendengar penuturan atasannya tersebut.
“Baik Pak.”

Pak Susilo mohon undur diri dan segera meninggalkan kediaman Pak Menteri setelah memberikan detail laporannya. Pak Menteri memandang kepergian laki-laki itu dengan wajah dihiasi senyum simpul seperti biasanya.

Pak Menteri masih memandangi Pak Susilo menghilang ke dalam mobilnya yang tak lama kemudian berjalan menjauh meninggalkan kediamannya. Senyum di bibir laki-laki itupun perlahan surut.

“Darma….. praja…..”

-----------------------

Tok tok tok….

Ify berjalan gontai menghampiri pintu depan yang diketuk orang. Ify tampak sedikit kaget saat pintu terbuka ia melihat seorang laki-laki paruh baya berseragam THIRD-I berdiri di hadapannya.

“Pak Aji?”

“Apa kamu sendirian?”

Ify mengangguk pelan. Ia mempersilahkan Pak Aji masuk dan kembali menutup pintu setelah sejenak ia sempat memandang 2 orang polisi yang berjaga di halaman rumahnya.

Pak Aji kaget saat Ify yang berjalan di depannya menuju ruang tengah tiba-tiba berhenti dan tampak limbung. Beruntung Pak Aji sempat menangkap badan gadis itu sebelum ia jatuh menghantam lantai.
“Hei! apa kamu baik-baik saja? Apa kamu merasa sakit?”

Ify mengusap-usap kepalanya yang terasa pusing. Pak Aji membantunya berdiri dan memapahnya berjalan menuju sofa ruang tengah. Pak Aji mendudukkan Ify disana. Ia memandangi Ify yang duduk dengan wajah lemas dan pucat.

“Kenapa dia melakukannya?”

Pak Aji menatap Ify bingung. Ia tak mengerti maksud pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan Ify barusan. Ify pun menceritakan semua apa yang ia dengar dari polisi bernama Luthfi itu.

Pak Aji yang mendengar cerita Ify hanya bisa menghela nafas dalam. Ia sudah mengetahui hal itu saat pertama kali tahu identitas Ify. Ia tahu bahwa Ify adalah adik dari Hacker muda yang meninggal saat dikejar oleh polisi karena tertangkap basah membobol data militer nasional. Dan ia tahu bahwa Rio adalah orang yang telah membuat aksi laki-laki itu terhambat dan terdeteksi oleh aparat kepolisian. Kejadian itu adalah salah satu file rahasia di THIRD-i.

“Dia pasti punya alasan kenapa tidak memberitahumu.”

Ify menatap kosong ke depan. Ia tak mengucapkan apapun.

“Percayalah pada Rio……Aku percaya padanya…..”

Perlahan Ify mengalihkan pandangan pada laki-laki di sampingnya. Setetes air mata jatuh merayap dari sudut mata sayu gadis itu.

---------------

Saturday 22:32

Ita terperanjat saat melihat sebuah email yang masuk di layar komputernya. Bergegas ia memanggil Pak Joni.

“Ada apa?”

“Ada email dari Falcon Pak.”

“Apa? Bukankah wireless akses di gedung itu sudah diputus?”

“Tampaknya koneksi ini berasal dari electrical wires. dia menggunakan jaringan listrik sekolah untuk terhubung ke internet. Namun, Jaringan listrik menggunakan frekuensi rendah sekitar 50 Hz. Karena internet membutuhkan frekuensi yang lebih besar, mungkin falcon menggunakan electrical outlets di sekitar sekolah sebagai input dan terhubung ke internet.”

Pak Joni tampak mengerti dengan penjelasan Ita. Tak lama kemudian Ita membuka email singkat yang dikirim oleh Rio itu.

“Satu orang temanku dalam keadaan kritis. Cepat selamatkan kami.”

Pak Joni memejamkan mata mencoba meredam pening di kepalanya karena masalah yang begitu rumit ini semakin terasa menjengahkan.

Namun beberapa saat kemudian Pak Joni tiba-tiba membuka matanya. Sebuah ide terlintas di pikirannya. Laki-laki itu mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia yakin segala bencana ini pasti akan menemui titik terang.

Tiba-tiba dering telefon menyadarkan mereka dari ketertegunan. Pak Joni sendiri langsung mengangkat telfon tersebut.

“Halo.”

“Bagaimana? Apakah rencana sudah ditetapkan?”
Suara Maya menggema di telinga Pak Joni.

“Kami tidak punya pilihan lain, kami akan membebaskan Darma Praja.”

Semua orang yang ada di ruangan itu tampak kaget mendengar ucapan Pak Joni. Laki-laki itu tidak mendiskusikan apapun dengan mereka dan tiba-tiba mengambil keputusan yang berbahaya itu.

“Tapi ada satu masalah. Yang kami butuhkan sekarang tinggal persetujuan dari menteri pertahanan. Tapi sebelum kami melakukannya kami akan mengecek apakah 5 orang murid itu benar-benar terinfeksi.”

“Apa kau tidak melihat video yang kami kirimkan?”

“Kami tidak bisa percaya hanya dengan itu. itu bisa saja hanyalah trik yang sudah kalian rancang sedemikian rupa.”

Suara di seberang terdengar sunyi untuk beberapa saat.

“Baiklah, kami hanya mengijinkan 2 orang utnuk memeriksa mereka. Dan jika kalian berani berbuat macam-macam, kami tidak akan segan-segan untuk menghabisi 5 orang anak ingusan itu.

Tut..tut…tut….

Tampak segurat senyum tersungging dari bibir Pak Joni. Pandangan mata laki-laki itu tertuju pada sosok Bu Hesti yang baru saja keluar dari ruang interogasi.

------------

“Bertahanlah iel…”
Shilla terus mengusap-usap punggung tangan Gabriel yang semakin berkeringat dingin.”

Alvin terkejut saat melihat ekspresi wajah Rio menyiratkan sedikit kelegaan menatap layar laptopnya. Perlahan Alvin mendekat pada Rio dan menatap sahabatnya itu dengan pandangan yang menunjukkan rasa penasaran.

Rio memberi isyarat pada Alvin agar melihat ke layar laptopnya. Begitu melihat apa yang tertulis disana wajah Alvin pun perlahan melukiskan sedikit harapan. Namun sebisa mungkin ia menyembunyikan ekspresi kelegaannya itu agar tidak mengundang kecurigaan teroris yang menjaga mereka. Alvin kembali mendekat pada ketiga temannya yang lain dan dengan suara yang sangat-sangat pelan ia memberi tahu apa yang tertulis di laptop Rio.

Rio menatap kembali layar laptopnya yang masih memampangkan sebuah email yang dikirim oleh THIRD-I beberapa saat yang lalu.

“ strategi pulpen. Akan datang sebentar lagi.”

-------------

Bu hesti dan Bu Mia berjalan memasuki halaman sekolah yang dijaga tiga orang teroris itu. Di tangan kanannya Bu Hesti membawa sebuah kotak yang berisi peralatan yang akan ia gunakan untuk memeriksa Rio dan kawan-kawan. Dan disana pulalah tersimpan antivirus yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh Bu Hesti.

Dari satu botol antivirus yang berhasil disembunyikan oleh Rio, Bu Hesti bisa membuat cukup antivirus untuk 5 orang. Ia memisahkannya ke dalam 5 dosis dan memasukkannya ke dalam pulpen multiwarna seolah-olah antivirus itu adalah cairan tinta pulpen. Dan jika cairan itu ditelan maka akan merusak seluruh bloody-x yang ada dalam tubuh.

Bu Hesti dan Bu Mia melangkah berdua menaiki lantai tiga dimana Rio dan yang lainnya ditawan. Kedatangan mereka disambut oleh salah satu teroris yang langsung menodongkan senapannya pada mereka berdua.

Saat melihat dua orang utusan THIRD-I itu datang Rio merasa jantungnya berdebar semakin kencang. Bagitu pula dengan 4 temannya yang lain tampak menunjukkan ekspresi kekhawatiran. Tentu saja mereka berharap rencana ini akan berhasil menyelamatkan mereka.

Bu Hesti perlahan mulai mendekat pada mereka dan mulai memeriksa satu-persatu tawanan itu. Ia memeriksa mulai dari kondisi lidah, pupil mata, dan lain-lain. Bu hesti bergerak hendak mengambil sesuatu dari dalam tasnya namun tiba-tiba teroris itu menempelkan pistol ke kepalanya.

“Jangan berbuat hal yang mencurigakan.”

“Aku hanya akan mengambil alat penyedot darah.”

Teroris itupun membiarkan Bu Hesti kembali melanjutkan tugasnya dan hanya mengawasi masih dengan senapan yang teracung. Bu Hesti mengeluarkan sebuah buku penelitian dan sebuah pulpen multiwarna. Bu Hesti terlihat menuliskan hasil pemeriksaan di buku itu lalu kemudian meletakkan buku dan pulpennya di atas meja yang berada tak jauh dari sana.

Bu Hesti kembali melanjutkan mengumpulkan sedikit sampel darah.

“Apakah kami benar-benar terinfeksi?”
Zahra bertanya dengan nada ketakutan pada Bu Hesti.

“Apakah Gabriel akan selamat? Dia bisa selamat kan?”
Shilla menyusul dengan pertanyaannya.

Bu Hesti mengangguk perlahan. Tatapannya beradu dengan mata Shilla yang menatapnya penuh harap.
“Jangan khawatir. Kami tidak akan mengabaikan kalian.”

Bu Hesti tampaknya sudah selesai memeriksa mereka semua. Ia memasukkan kembali semua peralatannya ke dalam tas. Ia mengambil buku penelitiannya dari atas meja namun membiarkan pulpennya tertinggal disana.

Bu Hesti berdiri dan berjalan menjauh diikuti oleh teroris yang sejak tadi tak sedikitpun menurunkan senjatanya. Dua orang teroris itu mengantar Bu Hesti dan Bu Mia keluar dan membiarkan Rio dan yang lainnya tetap tinggal disana tanpa penjagaan.

Melihat penjaga itu melangkah pergi, Zahra yang sejak tadi duduk di dekat meja dimana pulpen berisi antivirus itu diletakkan, segera hendak berdiri untuk kembali ke dekat teman-temannya yang lain. Namun sayang, tanpa sengaja pundanknya menyenggol meja yang ada di dekatnya dan meyebabkan meja tersebut terguncang dan pulpen yang ada di atasnya pun menggelinding hingga ke tepian meja.

Rio, Alvin, Shilla, Gabriel dan bahkan Zahra sendiri menahan nafas saat melihat pulpen itu berada di ambang tepian meja dan hampir saja jatuh. Nmun naas, akhirnya pulpen itupun jatuh ke lantai dan menimbulkan bunyi yang menarik 2 orang teroris yang baru beberapa langkah meninggalkan mereka.

Salah satu teroris itu menghentikan langkahnya dan berbalik menatap sumber suara. Pandangannya tertuju pada pulpen yang tergeletak di lantai. Laki-laki itu berjalan kembali dan mengambil pulpen itu kemudian menyerahkannya pada Bu Hesti.

“kau melupakan ini.”

Jantung Bu Hesti seolah berhenti berdetak saat melihat pulpen yang sengaja ia tinggalkan itu sekarang justru teracung di hadapannya. Ragu-ragu wanita itu meraih pulpen tersebut.

“Ayo cepat jalan!”

Bu Hesti masih tertegun mencoba menenangkan debar jantungnya.

“Cepat!!!”
Teroris itupun mendorong Bu Hesti dan Bu Mia untuk melanjutkan berjalan.

Rio dan yang lainnya saling pandang begitu dua orang penyelamat mereka itu pergi. Zahra tidak bisa menahan air matanya. Rio menjambak-jambak rambutnya sendiri menyadari bahwa kesempatan langka itu baru saja melayang.

Bu Hesti dan Bu Mia terus berjalan dengan satu orang teroris di belakang mereka, sementara teroris yang lain kembali berjaga di depan ruangan tempat Alvin dan yang lainnya ditawan. Bu Mia mengepalkan tangannya. Ia tidak mungkin pergi tanpa menbawa hasil. Hingga akhirnya dengan segenap kekuatannya tiba-tiba Bu Mia berbalik dan melayangkan tinjunya pada teroris yang mengawal mereka.

Baku hantam pun terjadi di antara Bu Mia dan satu orang teroris itu. Bu Hesti segera menjauh dari mereka. Pandangannya tertuju pada tumpukan Koran di rak yang ada di bawah papan pengumuman. Bu Hesti menyelipkan pulpen multiwarnanya dalam salah satu Koran tersebut.

Tampaknya Bu Mia tetap tidak bisa melawan teroris bersenjata itu. Perlawanan Bu Mia berakhir dengan senapan tertuju ke punggungnya.

“Kalau kau berbuat macam-macam aku akan menembak!!!”
Bu Mia dan Bu Hesti tak punya pilihan lain selain menuruti perkataan teroris itu dan segera meninggalkan sekolah.

----------------------
Sunday 03:13

Telfon di kantor THIRD-I kembali berdering. Dan itu otomatis membuat perhatian semua orang menjadi tertuju pada Pak Joni yang bergegas mengangkatnya.

“sudahkah kalian memastikan kondisi mereka? Cukup parah kan?”

Pak Joni hanya terdiam menunggu ocehan Maya selanjutnya. Tangan laki-laki itu terkepal kuat menahan amarah.

“Kami akan datang ke ruang tahanan untuk menjemput Pak Darma. Dan saat itulah kami akan membawa antivirusnya untuk kalian.

-------------------------

Sunday 1:45
Ruang tahanan khusus LP Cipinang.

Para petugas kepolisian dan beberapa anggota THIRD-I sudah bersiaga disana. Mereka semua bersiaga karena sudah ada perintah rahasia untuk menangkap rombongan teroris yang akan menjemput Darma Praja.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh lampu yang tiba-tiba mati. Salah seorang petugas segera menuju ruang instalasi listrik untuk menge cek apa yang sedang terjadi.

Hampir 30 menit listrik di ruang tahanan itu mati. Para petugas itu tetap bertahan bersiaga dalam penerangan secukupnya dari generator. Namun, kesiagaan mereka kembali terusik saat ada bau tidak sedap yang tiba-tiba memenuhi udara di seluruh ruangan.

“bau apa ini?”

“Iya bau apa ini?”

“Hei lihat!”
Salah satu petugas yang berjaga tak jauh dari sana melambaikan tangan pada temannya yang lain agar melihat ke dalam kamar mandi.

Ternyata wastafel di kamar mandi ruang tahanan khusus itu mengeluarkan cairan seperti limbah berwarna hitam kehijauan dan menimbulkan bau yang sangat tidak enak. Cairan itu semakin banyak menyembur hingga menggenangi lantai di bawahnya dan membuat bau yang tidak sedap itu semakin menyengat.

----------------------

Sunday 02:35

Semuanya semakin panik saat melihat tangan dan wajah Gabriel mulai muncul benjolan-benjolan merah. Batuknya pun juga semakin parah.

Rio masih menunggu balasan dari Ita. Dan tak lama kemudian apa yang ia tunggu pun datang. Terburu-buru ia membuka email yang dikirimkan oleh THIRD-i.

“antivirus ada di antara tumpukan Koran di bawah papan pengumuman.”

“Kita masih bisa selamat.”
Alvin tersenyum lega melihat kiriman email itu.

“Hei!!! Apa yang kalian sembunyikan? Kalian tidak berhubungan dengan dunia luar kan?”
Teroris yang memergoki mereka berkumpul memandang laptop pun bergegas hendak menghampiri mereka. Secepat kilat Rio menutup koneksi internetnya.

Dengan kasar laptop yang ada di pangkuan Rio disambar oleh teroris itu. Dengan wajah marah teroris itu melihat apa yang terpampang di layar laptop. Namun ia segera mengalihkan pandangannya pada Rio setelah apa yang dia lihat di layar laptop ternyata hanyalah sebuah game.

“Disaat situasi seperti ini apakah aku bahkan tidak diijinkan untuk menenangkan diriku?”

Teroris yang mendengar penuturan Rio pun akhirnya hanya bisa menatap sinis lalu kemudian ia kembali berjaga-jaga di pintu setelah tak lupa ia menjauhkan laptop itu dari Rio.

Gabriel kembali terbatuk-batuk. Darah segar keluar dari sudut bibirnya. Keringat di dahinya semakin membanjir.

“Iel…”
Zahra mengelapi keringat yang membanjiri wajah grabriel perlahan.

“Selimut, aku akan mengambil selimut.”
Shilla segera berdiri dan bergegas hendak keluar. Namun, tentu saja tak semudah itu dia bisa meninggalkan ruangan kelas karena sebelum Shilla sempat melangkah keluar teroris yang berjaga di pintu pun segera menodongkan senapan padanya.

“Hanya mengambil selimut saja tidak apa-apa kan? Aku hanya akan mengambilnya dari ruang kesehatan.”

Teroris itu melirik pada Gabriel yang masih terbatuk-batuk. Ia menyalakan HT nya dan menghubungi temannya yang satu lagi yang sejak tadi belum juga kembali dari mengantar Bu Hesti dan Bu Mia.

“Hei, kapan kau akan kembali? cepat kesini dan awasi mereka?”

“iya, sebentar lagi.”

Komunikasi pun diputus. Teroris itu kembali melirik pada Gabriel yang semakin menggigil.
“Jangan berani-beraninya kalian melarikan diri, atau kepala teman cantik kalian ini akan tertembus peluru senapanku.”

Teroris itu pun mendorong Shilla agar bergegas dan terus mengikutinya menuju ruang kesehatan tentu saja dengan senjata teracung.

Alvin dan Rio saling pandang.
“Sekarang adalah kesempatan bagus. Alvin, Zahra kalian tetap disini.”

Alvin dan Zahra mengangguk pasti.

Secepat mungkin Rio berlari ke lantai dua dimana rak Koran yang dimaksud oleh Bu Ita ada disana. Bergegas ia mengobrak-abrik tumpukan Koran yang ada disana demi menemukan pulpen yang berisi antivirus itu.

Hampir 2 menit Rio membolak-balik belasan Koran yang ada disana tapi hasilnya nol. Dia juga sudah mencari di bawah rak siapa tahu pulpen itu jatuh tapi tetap ia tak menemukan apapun. Kening Rio sudah basah dengan keringat sebesar biji jagung. Namun, demi teman-temannya ia tak akan putus asa. Sekali lagi ia membolak-balik tumpukan Koran itu.

“ apa yang kau lakukan disini?!?!?”

Rio tersentak kaget saat suara itu muncul dari belakangnya. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat ia menoleh ke belakang dan mendapati ujung senapan terarah ke wajahnya.

“Aku……. hanya ingin pergi ke toilet.”

“Pembohong!!!! Kau datang untuk mencari ini kan?”

Tubuh Rio terasa lemah lunglai saat melihat apa yang dia cari ternyata ada di tangan teroris itu.
“Hhhh,,,kau pikir bisa dengan semudah itu mengelabui kami Hah?!?!”

Teroris itu mencengkeram lengan Rio dan menyeretnya kembali ke lantai 3. Rio hanya bisa pasrah tak berdaya membiarkan tubuh lemasnya ditarik paksa oleh laki-laki itu.

Bersamaan dengan teroris yang membawa Rio itu sampai di ruang kelas ternyata teroris yang satu lagi juga kembali bersama Shilla dari ruang kesehatan.

“Apa yang terjadi?”

“Anak ingusan ini mencoba untuk berbuat bodoh.”
Badan Rio dilempar begitu saja hingga jatuh ke lantai menghantam salah satu meja yang ada disana. Shilla pun juga didorong kembali ke samping Gabriel. Secepat mungkin ia menutupkan selimut ke badan Gabriel yang sudah semakin dingin.

“Apa yang kau rencanakan? Apa ini?”
Teroris itu mengacungkan pulpen multiwarna ke hadapan Rio.

“Pulpen.”

Mendengar jawaban Rio yang tampak begitu menantang teroris itupun menghantamkan senapannya dan tepat mengenai tulang pipi Rio hingga ia pun jatuh tersungkur menghantam meja. Alvin yang melihat hal itupun segera berdiri hendak menolong sahabatnya.

“Hei!!!”
Langkah Alvin terhenti saat teroris satunya mengacungkan pistol padanya. Ia menyurutkan langkahnya untuk menolong Rio.

“Jangan bohong kau!!!”
Rio berusaha bangkit sementara wajahnya lebam dan darah segar merembes dari sudut bibirnya. Kepalanya yang menghantam kaki meja terasa berputar-putar.

“Alvin?”
Zahra menatap Alvin panik.

Semua orang pun menujukan pandangan pada Alvin. Alvin sendiri sontak merasa ada yang aneh dan reflek mengusap hidung dengan punggung tangannya. Tepat seperti yang ia duga, darah segar terpampang jelas di punggung tangannya.

Dua teroris itupun sontak tertawa senang melihat Alvin mimisan. Mereka melupakan interogasinya pada Rio.

“kau pun bahkan dibuang oleh kakekmu. Kalau saja menteri pertahanan membebaskan raja kami, kalian semua pasti bebas sekarang.”

Alvin kaget mendengar kalimat teroris itu.
“Kalian? Jadi tujuan kalian adalah menjadikanku tawanan agar kakekku mau memenuhi permintaan kalian?”

Alvin bergerak maju hendak memukul teroris itu namun senapan teroris itu sudah terlebih dulu menghantam pelipis Alvin. Sekarang giliran Alvin yang jatuh tersungkur. Rio segera menolong Alvin yang mengalami nasib sama dengannya.

“Kau baru saja sadar hah?”

Tawa kedua teroris itu hanya dibalas tatapan tajam oleh Alvin. Ia tak lagi merasakan sakit akibat pukulan itu. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah rasa benci yang membuatnya ingin segera menghabisi seluruh orang-orang tak berperikemanusiaan itu.

----------------

Sunday 04:30

2 buah mobil BMW hitam berhenti di depan LP cipinang. 8 orang berpakaian serba hitam turun dari kendaraan mewah itu. Maya berjalan paling depan diikuti seorang wanita berwajah oriental yang membawa kotak berisi botol-botol kecil yang tampaknya adalah antivirus.

Di depan pintu masuk mereka dihadang oleh beberapa petugas yang salah satunya membawa detector metal. Maya memberi isyarat agar rombongannya berhenti sejenak.

“Serahkan senjatamu dan kami minta kalian tidak membawa masuk benda yang bisa meledak maupun virus.”
Petugas itu bersiap mendeteksi Maya dengan detector metalnya. Namun baru saja petugas itu hendak mendekatkan detector metalnya, maya menahan tangan laki-laki itu dan tersenyum manis padanya.

“Kami tidak akan melakukan hal seperti itu. Bagaimana jika raja kami terluka? Dan lagi, kami harap kalian tidak memperlakukan kami dengan tidak mengenakkan seperti itu. Ingat….kami memegang kendali dari semua peristiwa ini.”

Pimpinan para penjaga itu memberi isyarat agar mereka membiarkan Maya dan rombongannya masuk. Maya melenggang dengan santainya menuju ruang tahanan khusus.

---------------------

Rio, Shilla, Alvin dan Rio masih terus mencoba menguatkan Gabriel yang sekarang bahkan begitu sulit untuk membuka mata. Keputusasaan seolah sudah merenggut seluruh harapan dari wajah mereka.

Zahra mengamati dua orang teroris yang ada di depan mereka. Salah satunya sedang asyik mengunyah makanan sementara yang lain duduk santai sambil mengacung-acungkan pulpen berisi antivirus yang sejak tadi berada di tangannya.

Rio, Shilla dan Alvin terkejut saat tiba-tiba Zahra berdiri dan berlari menubruk teroris yang membawa pulpen berisi antivirus itu. Teroris itupun jatuh dari atas meja tempat ia duduk tadi. Melihat hal itu Alvin pun sontak berlari mengambil pistol yang terjatuh. Begitu pula dengan Rio segera menubruk teroris yang satu lagi.

“Hei! Lepaskan!”
Teroris itu meronta dari cengkeraman Rio di lehernya. Akhirnya mereka diam pasrah saat Alvin mengacungkan pistol pada mereka.

“Shilla ambil pistolnya!”

Shilla segera meraih pistol yang jatuh di lantai dan mengarahkan pada teroris yang ditahan oleh Rio. Akhirnya dua teroris itupun berhasil mereka buat bertekuk lutut. Zahra segera mengambil pulpen berisi antivirus yang tergeletak di lantai.

 Rio melepaskan cengkeramannya dari si teroris dan segera berlari kea rah Gabriel. Ia menarik Gabriel ke punggungnya dan bergegas menggendongnya.

“Cepat lari!”
Rio berlari keluar sambil menggendong Gabriel diikuti oleh Shilla dan Zahra di belakangnya. Alvin berlari paling belakang dan dengan segenap keberaniannya ia menembaki kaki dua teroris itu hingga mereka jatuh tersungkur.

Mereka berlari turun ke lantai dua.

“Gabriel, bertahanlah.”
Rio berbisik pada Gabriel yang ada di punggungnya.

“Te…..rima….. ka…..sih….”
Rio bisa mendengar bisikan Gabriel yang terbata-bata.

Rio membawa Gabriel ke ruang gelap yang mereka gunakan untuk bersembunyi kemarin. Shilla, Zahra dan Alvin mengikuti di belakangnya.

Rio membaringkan Gabriel di atas meja panjang yang ada di tengah ruangan.
Bergegas Rio meminta antivirus yang ada di tangan Zahra. Terburu-buru ia mengeluarkan isi pulpen tersebut. Rio mendekatkan antivirus itu ke bibir Gabriel dan hendak meminumkannya.

Namun gerak Rio sontak terhenti saat jarinya menyentuh wajah Gabriel. Rasa dingin menusuk tulang-tulang tangannya saat ia menyentuh wajah Gabriel yang kebiruan.

“Iel…”

Rio menggerak-gerakkan badan sahabatnya itu. Tubuh itu tak bergeming.

Rio menuangkan antivirus di tangannya ke dalam mulut Gabriel. Namun tak tampak usaha untuk menelan dari sosok yang terbaring di depannya itu.

“Iel….. Iel ini obatnya, cepat telanlah. Ini akan menyelamatkanmu. Iel….buka matamu katakan sesuatu”
Air mata Rio jatuh membasahi pipi Gabriel yang dingin membiru.

“Iel, jawab kami. Jawab iel!!!”
Shilla ikut mengguncang-guncangkan badan Gabriel.

“Jangan mati!! jangan mati! Jangan mati! Iel!!!”
Sekuat apapun Rio berusaha membangunkannya, tubuh itu tetap tak bergeming menyisakan gema teriakannya di ruangan pengap itu.

“iiieeeeellll!!!!!”
Rio jatuh terduduk menjambak rambutnya sendiri. Shilla terisak menggenggam tangan pucat Gabriel. Alvin terbelalak menatap Gabriel yang sudah tidak bergerak sementara Zahra sudah terisak bersandar di dinding.

----------------------

Sunday 06:03

Seorang lelaki berambut putih berdiri di depan sel Darma Praja menyambut kedatangan Maya dan rombongannya. Dia adalah kepala LP yang ditugaskan khusus untuk memimpin misi menangkap teroris kali ini. Raut wajahnya yang tenang mampu menutupi kesiagaannya untuk memberi aba-aba. Senyumnya pun tampak tersungging samar begitu wanita yang mengenakan rok hitam di atas lutut itu berjalan pelan mendekatinya.

“Selamat datang….. perlihatkan pada kami antivirusnya.”

Bibir berlapiskan lipstick merah tebal itu tersenyum lebar sembari menyodorkan kotak berisi botol-botol kecil antivirus.

Pasukan yang ada di luar LP Cipinang mulai mengeratkan genggaman senjatanya. Mereka bersiaga menanti komando dari pimpinan mereka yang ada di dalam.

Laki-laki berambut putih itu menatap antivirus yang ada di depannya. Samar-samar ia mengambil nafas dalam bersiap memberi komando. Ia rasakan benar detak jantungnya seolah detak jantungnya itu adalah stopwatch yang sedang menghitung mundur menuju saat penangkapan.

Namun….

Mungkin tinggal 3 detik lagi kepala LP itu memberi aba-aba. Akan tetapi apa yang terjadi sontak membuat kerongkongannya tercekat. Kepanikan sontak melanda seisi ruangan….