Jumat, 22 Maret 2013

Butuh Pengajar Privat?

Untuk adik-adik yang masih sekolah di SD, SMP atau SMA dan tinggal di daerah Tangerang Selatan, Bintaro, Jakarta Selatan dan sekitarnya, sekarang ngga perlu lagi pergi les jauh-jauh. Sekarang kalian bisa belajar di rumah, didampingi oleh tentor yang akan datang langsung ke rumah kamu. Hari dan jam terserah jadwal adik-adik.

Pengajar adalah lulusan Perguruan Tinggi ternama. Masih muda, memiliki kemampuan dan pengalaman mengajar, dan pastinya asik untuk dijadikan pembimbing sekaligus teman belajar adik-adik.
Bisa membantu adik-adik untuk belajar semua mata pelajaran. Ngasih materi, ngebahas soal, bantuin ngerjain PR, dll.

 Info lebih lanjut silakan hubungi 085695696486.
biaya les privat tergantung lokasi, bisa nego. Antara 30rb - 50rb per pertemuan.

Tersedia juga bagi adik-adik yang berdomisili di wilayah Magetan, Jawa Timur dan Cilegon/Serang, Banten.
Ayo... siapkan ujian kamu mulai dari sekarang :)



Senin, 14 Januari 2013

We Were There (CHAPTER 15)



“tidakkah kau ingin tahu……tentang Alvin Jonathan? Dia adalah…….. saudara sedarahku…”

Rio tak bisa menyembunyikan keterkejutan yang serasa menyengat sekujur tubuhnya mendengar kalimat yang diucapkan Patton.

“Sebenarnya aku tidak ingin memberitahumu hal itu. Kenyataan itu tidak membawa keuntungan bagiku. Tapi, rasanya senang sekali melihat wajah kagetmu. Semakin kau tahu yang sebenarnya, semakin menyakitkan bukan?”

Rio masih tertegun menatap Patton. Rasa terkejutnya belum juga hilang. Ia baru tersadar saat Patton berdiri dan hendak berjalan meninggalkannya.

“Tunggu!” cegah Rio seraya mencengkeram kerah Patton dan mendorong badannya ke belakang hingga membentur dinding. Pandangan mereka berdua beradu penuh kebencian.
“Jangan main-main!!!”
Cengkeraman di kerah Patton semakin menguat. Namun sebelum Rio sempat melanjutkan kata-katanya tiba-tiba sebuah pukulan yang sangat keras dilayangkan oleh Patton tepat ke ulu hati Rio. Rio pun jatuh tersungkur menahan sakit di lambungnya. Ia berusaha bangun, tapi langkahnya yang terseok karena menahan sakit tak cukup cepat untuk mengejar Patton yang sudah berlalu dari halaman rumahnya dengan menaiki mobil hitamnya.

Rio berdiri agak membungkuk di ambang pintu. Tangan kirinya masih memegangi perutnya yang terasa perih. Ia memukul keras pintu di sampingnya dengan tangan kanannya hingga menyebabkan buku-buku jarinya memerah. Bayangan wajah Alvin serasa memenuhi pikirannya. Dan, satu wajah lain yang belakangan sudah cukup membuat kepala Rio pusing karena memikirkannya. Ify.

Rio memejamkan matanya mencoba mengatur nafas yang memburu karena bayangan wajah dua orang yang berharga dalam hidupnya itu serasa menyumbat jalur udara di paru-parunya. Hingga tiba-tiba dengung getar ponsel di dalam sakunya menyadarkan Rio dari lamunan.

Ibu jarinya yang hendak menekan tombol answer sontak terdiam. Matanya nanar menatap nama yang terpampang disana.

Alvin….

Rio kembali terngiang akan fakta mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Patton.

---------------------

“Rio tidak mengangkat telfonku,” ucap Alvin lemas sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

Tak berapa lama kemudian Shilla juga melakukan hal yang sama dengan Alvin. Gadis itu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas dengan wajah kecewa. “Zahra juga tidak menjawab. Akhirnya cuma kita berdua yang akan datang mengunjungi makam Gabriel.”

Alvin hanya menanggapi dengan helaan nafas dan kedikkan bahu. Mereka berdua terus berjalan menaiki bukit dimana jasad Gabriel disemayamkan. Hanya berdua, tanpa Rio dan Zahra sebagaimana yang mereka rencanakan sebelumnya.

-----------------------

THIRD-I
Tuesday 19.35

“Pak Joni!!!!”

Pak Joni yang sedang bercakap-cakap dengan Pak Susilo menoleh kaget karena teriakan salah satu polisi penjaga dari arah pintu. Orang itu memberi isyarat agar Pak Joni melihat keluar. Wajahnya tampak panic. Pak Joni pun bergegas mengikuti orang tersebut.

Betapa terkejutnya Pak Joni saat melihat belasan anggota THIRD-I mengacungkan senjata mengepung seseorang. Di tengah-tengah lingkaran yang mereka bentuk tampak wanita berpakaian serba hitam sedang mengangkat kedua tangannya di atas kepala. Di dekat kakinya tergeletak sebuah koper kecil berwarna hitam.

“Maya?!?!?” Pak Susilo yang menyusul di belakang Pak Joni pun tak bisa menyembunyikan kekagetannya.

“Apa yang kau lakukan disini?!?!?” Pak Joni memelotot tajam menatap Maya yang hanya tersenyum meski dikepung oleh belasan pistol.

 “Tenang saja, aku datang untuk membantumu.”

“Apa maksudmu?!?!”

“Ini adalah oleh-oleh dariku,” ujar Maya sambil mengarahkan matanya menunjuk pada koper yang tergeletak di samping kakinya.

Pak Joni memberi isyarat agar salah satu polisi mengambil koper kecil itu. Bergegas salah satu laki-laki berseragam THIRD-I mengambil koper tersebut dan dengan hati-hati membukanya. Betapa kagetnya mereka saat mengetahui bahwa ternyata yang ada di dalam koper tersebut adalah 2 botol kecil Bloody X beserta beberapa botol lain dengan ukuran lebih kecil yang berisi anti virusnya.

“Selain itu, aku juga membawa sebuah informasi penting bagi kalian. Tapi aku punya satu syarat.”

“Apa yang kau inginkan?”

“Aku ingin Falcon ikut mendengar informasi yang akan kukatakan ini.”

.
.
.
.
.

“Akhirnya kau datang.”
Maya sontak tersenyum saat melihat pintu ruang interogasi terbuka dan menampakkan sosok Rio yang datang bersama Pak Joni, setelah hampir 2 jam Maya tak mau bicara apapun selain menanyakan apakah Rio sudah datang. Rio dan Pak Joni segera duduk di hadapan Maya.

 “Apa yang kubawa tadi hanyalah salah satu dari oleh-oleh yang ingin kuberikan pada kalian. Aku membawa satu hadiah lagi, yaitu sebuah informasi penting tentang organisasi teroris kami.”

“Apa yang kau inginkan dari kami hingga kau bersedia membawa Bloody-X dan anti virus itu pada kami?”

“Tentu saja, apalagi kalau bukan uang. Ah, dan satu lagi keinginanku. Setelah aku memberitahu kalian informasi tentang rencana mereka, aku ingin kalian melepaskanku dan membiarkanku kembali pada mereka. Karena aku punya taktik jitu agar kalian bisa dengan mudah menangkap para teroris itu. Dan atas semua informasi yang kuberikan, aku menginginkan uang. Ya, anggap saja kalian menggajiku sebagai mata-mata.”

“Kau gila!” Pak Joni geram dengan ucapan Maya.

“Terserah. Jika tawaranku ditolakpun tidak masalah. Jika kalian tidak memenuhi permintaanku dan tidak melepaskanku, paling-paling kalian yang akan menyesal. Atau mungkin, Rio yang paling menyesal karena akan kehilangan satu lagi temannya.”

Rio meremas jari jemarinya begitu mendengar penuturan Maya. Ia takut bahwa akan terjadi hal buruk lagi. Rio menatap Pak Joni yang masih tampak ragu. Tatapan Rio menyiratkan permohonan. Butuh waktu lama bagi Pak Joni untuk memutuskan. Hingga akhirnya Pak Joni mengiyakan permintaan Maya.

“Tentu saja aku tidak akan memberikan semua informasi itu sekaligus, karena kalian bisa saja tidak akan melepasku dan tidak akan memberiku uang. Maka karena itulah, sekarang aku hanya akan memberikan beberapa informasi penting saja, sisanya, nanti jika kalian sudah melepaskanku.”

“Cepat katakan!” Rio tak sabar dengan basa basi Maya.

“Informasi pertama….” Maya menatap Rio dengan senyum tak lepas dari bibirnya. “Rio, ayahmu telah menculik temanmu, Zahra.”

“Apa?!” Rio kaget mendengar penuturan Maya.

“Zahra, secara kebetulan, menemukan sebuah rahasia penting teroris itu. Tentang seseorang yang menjadi latar belakang dibalik semua ini. “

“Darma Praja?” sahut Pak Joni cepat.

“Kau salah.” Bu Maya menggeleng angkuh. “Dia bukan pemimpin kami.”

“Patton?”Rio ikut menimpali.

Maya tetap menggeleng.

“Jangan main-main! Kau pikir kami akan menghabiskan waktu kami dengan menuruti semua omong kosongmu ini?!?”

“Aku tahu kalian tidak akan semudah itu percaya padaku. Karena itulah, aku membawa sebuah bukti penting. Aku yakin dengan ini kalian tidak akan meragukan lagi kesungguhanku.”

Maya mengambil ponsel dari dalam sakunya dan membuka sebuah file gambar yang ada di dalamnya. Maya menunjukkan layar ponselnya pada Pak Joni dan Rio. Sontak mereka membelalak kaget saat melihat di layar ponsel tersebut terpampang foto Darma Praja tergeletak bersimbah darah dengan luka tembak.

“Aku sudah membunuh kepala teroris itu. Itu oleh-oleh keduaku untuk kalian. Sekarang kalian percaya kan, kalau lelaki tua tak berguna itu bukanlah pemimpin kami yang sesungguhnya?”

“Apa yang sebenarnya ada dalam otakmu?”

“Bukan apa-apa. Mereka merekrutku dengan uang . Tapi sepertinya uang yang diberikan laki-laki tua itu tak cukup untukku bersenang-senang. Karenanya aku lari kesini. Kalian pasti akan menggajiku lebih besar atas informasi penting yang akan kuberikan. Karena dengan informasi ini, kalian akan dengan mudah menangkap mereka.”

“Jadi, siapa pemimpin yang sebenarnya? Cepat katakan!!”

“Ah, kalian belum memberikan jaminan padaku bahwa kalian akan memenuhi semua keinginanku…..”

Butuh waktu cukup lama bagi Pak Joni untuk menyetujui permintaan Maya. Namun setelah berdiskusi dengan Pak Susilo, akhirnya mereka sepakat untuk memenuhi tawaran tersebut. Sebuah surat perjanjian dibuat dengan segera demi informasi penting yang akan dikatakan oleh Maya.

“Kami sudah menyetujui penawaranmu, sekarang cepat katakan siapa orang yang kau maksud!”

Maya tersenyum senang.
“Baiklah……. Orang itu adalah….. saudara dari Patton.”

“Apa maksudmu?!?!?” Pak Joni menatap Bu Maya tak mengerti.

Rio mengerutkan keningnya. Tiba-tiba dia merasakan hal yang sangat tidak mengenakkan dalam hatinya.

“Patton adalah putra kandung dari Darma Praja. Dua tahun lalu, setelah Darma Praja tertangkap, Patton dan saudaranya itulah yang membangun kembali organisasi teroris tersebut. Pemimpin yang berhubungan langsung dengan dunia luar adalah P, tapi sebenarnya bukanlah dia pewaris utama dari organisasi itu.”

Pandangan Maya sontak terarah pada Rio.
“ Rio, tidakkah kau ingin tahu identitas orang itu?”

Rio tak menjawab. Tangannya mengepal kuat.

“Dia, adalah temanmu.”

“Apa?!!?” Pak Joni membelalak kaget menatap Maya. Kemudian ia menoleh pada Rio yang sedang tertunduk. Maya tertawa lirih melihat kebingungan Pak Joni.

“Apakah kau terkejut? Aku dulu juga sama terkejutnya denganmu. Saat aku pertama kali datang ke sekolah mereka, aku sangat kaget saat mengetahui ternyata Rio dan orang itu berteman dengan sangat baik.”
Maya tertawa kecil tanpa mempedulikan tatapan geram Pak Joni.
“Oh iya, dan tentang Zahra, karena ia mengetahui rahasia penting itulah ayahmu ingin menghabisinya.”

Ruang interogasi itu sontak disergap keheningan untuk beberapa saat.

“Tapi tenang saja, aku akan memberitahumu gelombang frekuensi wireless yang diberikan kelompok teroris itu pada mobil ayahmu. Jadi, lacaklah dan tangkaplah ia segera.”

Setelah Maya mengatakan kode gelombang wireless yang dimaksud, Ita segera melacak posisi Pak Tantowi. Dan setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata posisi yang ditunjukkan oleh gelombang tersebut memang sesuai dengan lokasi dari gelombang sinyal ponsel Zahra.

“Jadi, ayah benar-benar melakukannya?”

“Pak Aji, tangkap mereka!!!”
Pak Joni memerintahkan Pak Aji untuk menuju lokasi yang ditunjukkan oleh Ita.  Bu Mia ikut menyusul di belakangnya.

“Kenapa?” Rio mengguman lirih. Tangannya terkepal kuat. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya tega menculik Zahra.

“Apakah kau tahu sesuatu?”
Lamunan Rio dibuyarkan oleh pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan oleh Pak Joni. Ragu-ragu Rio mulai menceritakan tentang kedatangan Patton yang tadi menemuinya dan segala hal yang dikatakan oleh Patton padanya. Termasuk kenyataan mengejutkan tentang fakta bahwa Alvin adalah saudara sedarah Patton.

Pak Joni cukup kaget mendengar cerita Rio.

“Tapi itu belum tentu benar! Tidak mungkin Alvin terlibat dengan semua ini. Apa yang dikatakan Patton bisa saja hanya sebuah tipu daya. Aku tak akan semudah itu percaya. Ini pasti juga termasuk salah satu rencana mereka. Aku juga tidak akan semudah itu percaya pada ucapan Maya. Mereka mencoba untuk membuat kita bingung. Pasti mereka punya tujuan lain dibalik semua ini. Anda juga tidak akan percaya kan?”

Pak Joni tak menjawab. Ia menatap tembok di depannya seolah sedang menerawang ke sebuah masa.
“Aku masih curiga, bagaimana dan kapan Gabriel bisa terinfeksi Bloody-X padahal kalian berada di dalam sekolah dimana hanya ada kalian berlima disana.”

Rio tercengang mendengar penuturan Pak Joni. Ia bisa menangkap jelas raut kecurigaan dari wajah laki-laki itu. Ia bisa mengetahui bahwa orang yang ada di depannya itu sudah benar-benar mencurigai sahabatnya.

“tidak…. Itu tidak mungkin!!!”
Rio menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba tetap berpegang pada keyakinannya pada sahabatnya.

Tanpa mempedulikan teriakan Rio, Pak Joni justru bergegas meninggalkan Rio dan memerintahkan Ita untuk segera melacak semua informasi tentang latar belakang Alvin dan keluarganya.

--------------------------

Tuesday
Pukul 20:47

Rio hanya bisa terdiam saat Pak Joni menunjukkan semua data tentang latar belakang Alvin yang telah ia peroleh. Dan semuanya benar seperti apa yang Maya katakan.

 Ibu Alvin pernah menjadi anggota organisasi teroris yang dikepalai oleh Darma Praja. Mereka adalah suami istri. Namun, ia memutuskan berhenti saat ia mengetahui bahwa dirinya sedang mengandung. Dan anak itu adalah Alvin. Hingga akhirnya, 2 tahun lalu, ibu Alvin bunuh diri tak berapa lama setelah beberapa anggota organisasi tersebut, termasuk Darma Praja, berhasil tertangkap.

“Apa maksud semua ini?” Rio menatap nanar lembaran-lembaran kertas di tangannya.

“Maaf, tapi aku harus mengatakan bahwa Alvin mungkin benar-benar ada hubungannya dengan organisasi tersebut.”

“Alvin tidak mungkin melakukannya!!! Aku akan menanyakan sendiri padanya….”

“Tidak!”
Pak Joni menyela kalimat Rio.
“kita tidak punya waktu untuk menunggu percakapan antar sahabat. Temanmu Zahra sedang dalam bahaya, kita harus bertindak cepat. Alvin sebentar lagi akan sampai. Aku sudah memanggilnya kesini.”

“Apaa?!?!” Rio kaget begitu mengetahui Pak Joni telah mempersiapkan proses interogasi pada sahabatnya itu.

“Kita tidak bisa menunggu lama lagi Rio. Jika Alvin benar-benar saudara dari Patton, dan jika dia benar-benar otak dari semua ini maka kita harus segera bertindak untuk mencegahnya. Aku mengijinkanmu untuk ikut mendengar proses interogasi, tapi aku tidak akan mempedulikan semua pendapat-pendapat subyektif yang kau ucapkan hanya karena kesensitifan sebagai sahabat.”

Rio menatap nanar punggung Pak Joni yang meninggalkannya begitu saja. Ia masih tetap berusaha untuk mempercayai sahabatnya. Namun, melihat lembaran-lembaran di tangannya, perlahan keraguan itu mulai muncul….

--------------------

“Diam!!!”

Teriakan laki-laki berbadan kekar itu membahana di seluruh penjuru ruangan gelap dan berdebu itu. Namun, suara lirih tangis gadis itu tetap masih terdengar. Ify tak bisa menahan isakannya. Rasa sakit di badannya membuatnya tak bisa menahan keluh kesah. Memar-memar di kulitnya terasa memanas.

Entah sudah berapa kali pukulan yang dilayangkan laki-laki itu padanya. Ia terus bertanya pada Ify tentang bagaimana mungkin Falcon bisa mengetahui rencana mereka saat mereka hendak menjalankan misi di 10 tempat berbeda tempo hari. Ia curiga bahwa Ify lah yang membocorkan informasi itu. Tapi tentu saja Ify tak akan membuka mulutnya sedikitpun, apapun yang terjadi.

Ify hanya terus menangis. Bisa dibilang ia sedang berusaha sekuat tenaga di ambang keputusasaannya. Teroris itu menjaganya dengan sangat ketat. Bahkan ikatan di kedua tangan dan kakinya terasa begitu menyakitkan saking kencangnya. Sekarang kalung GPS yang diberikan Rio sudah tak ada lagi bersamanya. Ia tak bisa lagi berharap bahwa seseorang akan menemukannya.

Ia tak punya siapapun. Ia tak punya orang tua, tak ada lagi kakaknya, tak ada lagi siapapun yang bisa ia harapkan. Tapi, di tengah air matanya ia yakin masih ada satu orang di dunia ini yang akan mengkhawatirkannya…

“Kak Rio….”
Ify merintih lirih di sela tangisnya.

Kamis, 23 Februari 2012

Dia


“Bukan….kalau yang nomer tiga itu harusnya pakai rumus yang atas, nah yang nomer 5 itu baru pakai yang bawahnya.”
Yang diajak berbicara langsung menggaruk-garuk kepalanya padahal sebenarnya tidak gatal.
“iya ya? Salah dong punyaku.”

Dua orang mahasiswi itu terus berjalan sambil membicarakan tugas paper Audit Komputer yang harus dikumpulkan siang itu. Salah satu yang bernama Shilla sibuk mencoret-coret salah satu bagian papernya yang ternyata salah memakai rumus. Sementara satu orang lagi yang bernama Ify juga sibuk membolak-balik dan membaca kembali tiap detail papernya.

“Eh…”
Tiba-tiba Shilla menyenggol pundak Ify dan membuat gadis yang sedang berjalan sambil membolak-balik bukunya itu sontak mengangkat wajah.

“Apa sih?”

Dia langsung mengerti maksud Shilla saat matanya mengikuti isyarat petunjuk alis sahabatnya itu dan menemukan sosok yang sedang berjalan berlawanan arah dengan mereka.

Laki-laki itu masih beberapa langkah lagi di depan mereka tapi tatapan matanya sudah tertuju pada Ify sejak tadi. Merekapun akhirnya terus berjalan sambil saling melempar senyum samar-samar.

Barulah ketika mereka bersimpangan, keduanya saling memperlebar senyum sebelum berlalu satu sama lain. Ya, hanya senyum, tanpa sepatah pun kata sapaan. Namun, senyum dalam diam itu cukup menggambarkan perasaan mereka satu sama lain.

“Cieee…”

Ify hanya tersipu malu menanggapi godaan Shilla.

----------------------------

Ify yang sedang berjalan menuju gedung tempat ia harus kuliah siang ini sontak menoleh kaget saat sudut matanya menangkap bayangan seseorang tiba-tiba menyejajari langkahnya.
“Eh…”
Senyum bahagia langsung tersungging dari bibir mungil gadis itu disambut oleh senyum manis dari sosok yang sekarang berjalan di sisinya.

“Kuliah apa?”
Laki-laki itu bertanya dengan nada halus dan tak lupa sunggingan senyum yang selalu bisa mendamaikan hati Ify.

“Etika profesi.”

Laki-laki itu menjawab kembali dengan anggukan.
“Cuma dua jam kan berarti? nanti siang jadi kan?”

“Iya, jadi kok.”

Mereka berdua pun saling tersenyum.

“aku ke kelas dulu ya.”
Laki-laki itu berpamitan.

Ify mengangguk dan sesaat setelah laki-laki itu melempar senyum merekapun berpisah di persimpangan.

---------------------

Seperti yang sudah mereka janjikan, Ify dan pacarnya pun sampai di Senayan City sesuai dengan rencana mereka tempo hari. Siang ini Ify akan ditemani pacarnya untuk membeli kado yang akan ia berikan pada adik perempuannya karena dua hari lagi akan berulang tahun yang ke-19.
Semenjak turun dari mobil sang kekasih tak pernah lepas menggandeng tangan kiri gadis itu. Tangan yang terasa begitu kokoh namun menggenggam tangannya dengan begitu lembut dan hangat itu mampu memberikan perasaan aman dan nyaman bagi Ify ketika berada di sisinya.
Berjalan berputar-putar dari lantai satu sampai lantai 13 pun mungkin tidak akan terasa melelahkan jika Ify bersamanya. Sesibuk apapun dia memilih-milih barang, rasanya sekejap pun tak ingin ia melepaskan tangan hangat itu dari genggamannya. Dan lagipula, sosok di sampingnya itu juga tak sedikitpun merenggangkan genggamannya. Itu tak membuat Ify merasa kesusahan atau kesulitan tapi justru membuatnya semakin berharap bahwa laki-laki di sisinya itu adalah pilihan terakhir dalam hidupnya.
Laki-laki itu adalah satu-satunya dari sekian ribu penghuni kampus yang bisa menarik perhatiannya selama hampir 3 tahun kuliah disana. Bagi mahasiswi semester 5 itu, sosok di sisinya itu adalah sosok paling romantis, paling perhatian, dan paling dewasa yang pernah dekat dengannya.
Cara dia menghargainya sebagai seorang wanita, Caranya menyayanginya sebagai seorang kekasih, caranya memanjakannya sebagai seorang pujaan hati, dan caranya mengisi setiap hari Ify benar-benar berbeda dari laki-laki lain yang ia temui di sepanjang kisah cintanya. Sosok yang cerdas, lucu, menghibur, namun juga hangat dan dewasa. Sosoknya mampu meyakinkan Ify bahwa dia pasti bahagia jika menghabiskan sisa hidup menjadi pendampingnya.
Mata Ify yang sejak tadi menelusur deretan asesoris cantik yang akan menjadi pilihan kado untuk adiknya, tanpa sadar pandangannya yang menelusur etalase-etalase kaca itu teralih ke wajah laki-laki yang sekarang sedang mengamati salah satu perhiasan. Sekian detik Ify mengamati wajah Itu. Memandangnya sambil terus bersyukur karena ia bisa mengenal dan memiliki sosok seperti dia.
Ify baru tersadar saat yang ia pandangi akhirnya menyadari bahwa dirinya sedang diamati. Pandangan mereka pun bertemu. Tak pelak lagi Ify pun mengerjap kaget dan agak sedikit salah tingkah. Laki-laki itu hanya tersenyum dan sejenak kemudian dengan telunjuknya ia menyuruh Ify melihat pada salah satu gelang yang sejak tadi diamatinya.
“yang ini kayaknya cantik banget deh kalau kamu yang pakai.”
“Hehe…”
Ify hanya nyengir kikuk mendengar perkataannya.

“Aku beliin ya.”
“Eh? Jangan…jangan…”
Ify langsung menolak mentah-mentah yang disambut dengan kernyitan dahi oleh pacarnya.

“Jangan boros. Ditabung aja uangnya. Beliinnya……”
Ify terdiam sejenak.
“Nanti aja kalau udah nikah. Hehe….”
Laki-laki itu kembali tersenyum. Ia hanya mengangguk pelan tanpa berkata apapun. Ia hanya kembali tersenyum simpul sambil kembali mengalihkan pandangan pada gelang yang menjadi topik pembicaraan mereka barusan. Satu yang Ify rasakan adalah orang di sisinya itu menggenggam tangannya semakin erat. Ify yang merasakan hal itupun tak bisa menahan senyum bahagia dari bibirnya.
--------------------------
Hari ketiga ujian tengah semester. 10 menit perjalanan dari kosan ke kampus Ify habiskan dengan mengulang-ulang hafalan rumus Audit Komputer yang ada di catatan kecilnya. Sejak dulu memang dia paling tidak suka dengan segala sesuatu yang berbau-bau komputer. Beruntunglah sekarang dia bisa sedikit menyukai mata kuliah itu, walaupun tentu saja karena faktor X.
“Butuh bantuan?”
Suara itu mengagetkan Ify dan membuatnya sontak mengalihkan pandangan dari kertas penuh tulisan itu.
Kerutan-kerutan di dahi Ify sontak meregang begitu melihat faktor X yang membuatnya menyukai komputer sekarang tersenyum manis menyejajari langkahnya.
“iya nih, pusing….kalau langsung menghadap komputer mungkin lumayan. Tapi ini kan kita disuruh nulisin rumus komputer di atas kertas. Apalagi rumusnya panjang-panjang. Apalagi yang ini…”
Ify menunjuk salah satu bagian dari buku bacaannya. Laki-laki itu meminjam buku Ify dan membacanya sebentar.
“Kalau ini, kamu yang penting inget aja kalau…. Bla bla bla bla bla bla…”
Dengan rinci ia menjelaskan tips-tips untuk memahami dan mengingat cara menyelesaikan soal semacam itu. Ify segera mengingat-ingat apa yang dikatakan laki-laki itu barusan. Ia percaya bahwa tips itu pasti berguna. Ia begitu yakin karena laki-laki itu dulunya juga tidak mahir urusan komputer. Tapi karena terus, terus dan terus belajar, jadilah dia seperti sekarang.
“kok bisa sih? Ahhh, dosenku ngga ngajarin trik yang itu. Alhamdulillah….makasih.”
Senyum senang menghiasi wajah cantik Ify. Dan melihat senyum itu tak pelak lagi membuat laki-laki berpenampilan rapi di sisinya juga ikut tersenyum.
Sampai lantai dua gedung tempat Ify ujian, laki-laki itu masih menyejajari langkah Ify. Mulai timbul pertanyaan di benak gadis itu.
“Lho, hari ini di ruang mana?”
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia hanya mengacungkan telunjuknya menunjuk pada sebuah ruangan di depan mereka. Ify mengikuti arah telunjuknya. Begitu melihat ruangan yang dimaksud, Ify pun tersenyum lebar.
Tiba-tiba Ify merasakan bahunya dicolek seseorang. Sontak Ify pun menoleh kaget. Dan pandangannya langsung bertemu dengan seringai jahil Shilla.
“Cie….berangkat bareng…”
Shilla berbisik lirih sambil mengedip jahil sebelum ia berjalan masuk ke ruang kelas mendahului Ify. Selangkah menuju pintu kelas, Shilla terlebih dahulu menoleh pada laki-laki di samping Ify. Gadis itu mengangguk segan.

“Duluan Pak….”
Laki-laki di samping Ify mengangguk membalas sapaan Shilla. Setelahnya Ify pun mendahului masuk ke dalam kelas kemudian disusul oleh laki-laki yang sejak tadi menemaninya.
“Tasnya tolong diletakkan di depan…”
Semua mahasiswa yang ujian di kelas itu pun segera beranjak dari tempat duduk masing-masing dan meletakkan tas mereka ke depan kelas seperti yang diperintahkan oleh kekasih Ify itu.

Ya, itulah dia, Pak Rio. ah, panggil saja Kak Rio, seperti aku biasa memanggilnya. dia terlalu muda untuk dipanggil Pak. Dia adalah salah satu dosen di kampusku. Dosen Komputer Audit, tapi bukan di kelasku. Salah satu alasan kenapa aku sedikit bisa menyukai mata kuliah itu. Aku yang baru 20 tahun ini menjalin hubungan dengan seorang pria dewasa berusia 28 tahun. Sosok muda yang begitu dewasa di mataku.
Dia bukan dosen yang mengajarku sekarang, dia hanya pernah menjadi dosen pengganti saat aku semester 3 dulu. Bayangkan saja bagaimana salah tingkahnya aku dulu saat dipandang dengan tatapan “aneh” oleh dosenku. Dan bayangkan pula betapa shocknya aku saat seorang dosen yang berusia 8 tahun di atasku, yang selama ini kuhormati sebagai seorang pengajar tiba-tiba menyatakan cinta padaku. Benar-benar pengalaman hidup yang sangat tidak biasa, menurutku.
Tapi karena itulah, sekarang aku merasa seperti merasakan cintaku yang sesungguhnya. Bukan cinta monyet. Bukan cinta remaja biasa yang penuh hura-hura. Tapi cinta yang hangat dan mendamaikan. Dari seorang lelaki mapan, dewasa, dan mencintaiku seutuhnya sebagai seorang wanita.
dia masih muda, tak kan kelihatan kalau dia sudah hampir selesai S2. Dan begitu banyak teman-temanku yang iri karena dia adalah salah satu dosen favorit kami dulu. Jarang-jarang ada dosen muda yang ganteng, ramah, dan sangat memahami jiwa muda kami sebagai mahasiswa. Dan dosen favorit itu akhirnya memilihku, sebagai wanita favoritnya, hingga akhir hayat. Semoga…..

Sabtu, 03 Desember 2011

We Were There (CHAPTER 14)


 Mungkin tinggal 3 detik lagi kepala LP itu memberi aba-aba. Akan tetapi apa yang terjadi sontak membuat kerongkongannya tercekat. Kepanikan sontak melanda seisi ruangan….

Salah seorang polisi yang ada di dekat mereka tiba-tiba ambruk dengan hidung mengeluarkan darah. Tak lama kemudian disusul oleh 2 orang penjaga yang berada tak jauh darinya. Sementara itu anggota THIRD-I dan polisi yang lain mulai terbatuk-batuk dan berdiri sempoyongan.

“Apa yang terjadi?!?”
Kepala LP itu melihat ke sekelilingnya panik. Belum sempat ia menyadari senyum puas wanita di depannya, tiba-tiba ia merasakan benda tumpul menghantam tengkuknya. Dan mulailah kegaduhan terjadi disana setelah para teroris itu mengeluarkan senjata tersembunyinya dan mulai menembaki seluruh polisi dan anggota THIRD-I yang ada disana.

Salah satu teroris itu menembak rantai gembok sel Darma Praja dan dalam sekejap mereka bisa masuk dan menemui Pemimpin mereka itu. Maya tersenyum puas karena pada akhirnya dia bisa bertemu langsung dengan sosok pemimpin yang selama ini selalu mereka agung-agungkan.

Darma Praja merogoh kantung celananya. Ia mengeluarkan sebuah pulpen. Laki-laki itu membuka tutupnya lalu mengeluarkan isinya. Dengan sekali teguk ia menelan cairan yang berada di dalamnya.

“Akhirnya anda bisa kembali bersama kami….”
Maya mempersilahkan Darma Praja untuk berjalan keluar. Laki-laki itu hanya tersenyum penuh wibawa pada salah satu bawahannya itu.

Rombongan teroris itupun mengawal Darma Praja keluar dari LP. Tak henti suara tembakan menggaung di sepanjang perjalanan mereka. Tubuh puluhan orang tergeletak karena tembakan yang terus mereka lontarkan hingga mereka bisa masuk dengan aman kedalam mobil.

-------------------------------

Rio, Alvin, Shilla dan Zahra berdiri terpaku menatap 2 orang berseragam isolator itu membungkus jenazah Gabriel dan membawanya pergi. Shilla tak bisa menahan isakannya melihat wajah sahabatnya itu tenggelam dalam kain putih yang menutupnya.

Alvin meraih punggung Shilla dan membiarkannya bersandar di pundaknya.

Rio mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya sendiri mencoba menyadarkan dirinya dari rasa shock yang masih belum juga hilang. Ia mencoba untuk menguatkan dirinya karena jalan yang harus ia tempuh untuk mencapai akhir dari semua ini masih sangatlah panjang.

Rio mengeluarkan pulpen multiwarna dari dalam saku celananya. Dikeluarkannya satu persatu isi pulpen tersebut dan menyodorkannya pada Alvin, Shilla dan Zahra.

“Minumlah….”

Zahra menatap nanar antivirus di tangannya.
“Andaikan Gabriel bisa meminumnya….”

“Kita tidak boleh membiarkan kematian Gabriel menjadi sia-sia. Kita harus sembuh dan kembali berjuang untuk segera menyelesaikan masalah ini.”

Rio meneguk antivirus di tangannya. Tak lama kemudian disusul oleh Alvin. Shilla dan Zahra perlahan mengikuti apa yang dilakukan dua orang itu.

--------------------

Sunday, 10:12

Mereka semua berkumpul mengililingi lelaki berpakaian hitam yang duduk di kursi kulit berwarna hitam itu. Semuanya menatap penuh penghormatan padanya.

“Kalian semua sudah bekerja dengan sangat baik. Aku sangat menghargai itu, P.”
Darma Praja mengalihkan pandangan pada Patton yang berdiri bersandar di dinding tak jauh dari sana. Patton yang sejak tadi menundukkan kepalanya menatap lantai pun perlahan tersenyum membalas tatapan Darma Praja.

“Terima kasih…..ayah….”

Darma Praja berdiri dari singasananya yang nyaman. Satu persatu ia tatap wajah pengikut-pengikutnya yang setia.

“Jangan pernah takut. Aku yang akan menanggung semua akibat dari misi ini. Siapkanlah dengan sebaik mungkin untuk pesta besok.”

-------------------

13:00

Pak Joni memberi isyarat pada Pak Aji untuk bergerak sekarang. Tanpa menunggu lama lagi mereka berduapun berjalan cepat menuju mobil yang sedang berhenti di depan kantor kepolisisan itu.

Pak Andi yang baru saja hendak menyalakan mesin mobilnya tersentak kaget saat dua orang laki-laki berseragam THIRD-I masuk ke dalam mobilnya. Pak Aji duduk dengan santainya di jok samping Pak Andi sementara Pak Joni mengawasi dari jok belakang. Pak Andi menatap mereka berdua kaget.

“Apa-apaan kalian?”

“Apa yang kau rencanakan?”
Pak Aji menatap Pak Andi tajam.

“Apa maksudmu?”

“Aku sudah muak dengan basa basimu!”

Pak Andi melirik ke jok belakang.

“Virus yang tersebar di LP Cipinang dikirim dari sebuah saluran air. Pipa yang ada di wastafel ruang tahanan khusus selama ini dibiarkan tertutup. Namun, Sehari sebelum kejadian itu seseorang sudah membuka pipa wastafel itu. Dan beruntung, kamera pengintai berhasil menangkap bahwa andalah yang melakukannya. Beberapa hari yang lalu anda beralasan hendak melakukan investigasi, tetapi sebenarnya anda ingin mengkondisikan ruang tahanan khusus itu sebaik mungkin untuk disebari virus kan? Dan yang meninggalkan pulpen berisi antivirus itu disana juga anda. Bukankah begitu, Pak Andi?”

Pak Andi meremas stir mobilnya mendengar penuturan panjang lebar Pak Joni.

“AC di LP cipinang sengaja diputus sehingga satu-satunya jalan untuk mengurangi panas adalah dengan menyalakan kipas angin. Dengan demikian bau busuk dari air yang sebenarnya sudah mengandung virus itu bisa tersebar ke seluruh ruangan. Dan yang bisa masuk dengan bebas ke LP untuk melakukan itu bukankah hanya anggota kepolisian saja?”

Pak Andi tertawa lirih mendengar sangkaan mereka. Pak Joni dan Pak Aji tampak jengah melihat senyum sinis laki-laki itu.

Tiba-tiba Pak Andi dengan sigap mencabut pistol dari saku bajunya. Pak Aji dan Pak Joni tersentak kaget melihat tindakan Pak Andi. Secepat mungkin merekapun segera mencabut pistol masing-masing. Namun sayang, belum sempat mereka berbuat apa-apa, Pak Andi sudah terlebih dahulu menarik pelatuknya dan….

DORRRR!!!!!!!!!

.
.
.
.
.
.
.

Pak Aji dan Pak Joni terbelalak menatap tubuh Pak Andi yang tergeletak di jok kemudi dengan pelipis bersimbah darah setelah ia menembak kepalanya sendiri.

-----------------------

Sunday, 19:04

Restoran itu tampak begitu ramai. Sepertinya sedang ada serombongan anak SMA yang merayakan pesta ulang tahun disana.

“Happy birthday to you….happy birthday to you…”
Mereka beramai-ramai menyanyika lagu mengiringi seorang gadis muda yang sudah bersiap meniup lilin.

Perempuan berwajah oriental dan laki-laki bercincin hijau itu melirik pada rombongan remaja yang tertawa gembira itu.

“Hari ini sudah sepantasnya semua orang bersenang-senang.”
Laki-laki bercincin hijau itu tersenyum sinis sambil mengaduk lemon tea nya.

“Tentu saja. Kapan lagi mereka bisa seperti itu. Besok…..semuanya sudah harus berakhir.”
Perempuan berwajah oriental itu mengacungkan gelasnya.

“Tomorrow, the last Monday.”
Laki-laki itu juga mengacungkan gelas di tangannya. Denting gelas yang beradu mengiringi senyum puas mereka berdua.

---------------------

Ia masih berdiri terpaku di depan pintu kayu berukiran yang tertutup rapat itu. Ragu ia hendak memencet bel di depannya. Ia pejamkan matanya mencoba menetapkan hati agar tak lagi bimbang.

Ting tong…..

Akhirnya ia memberanikan diri untuk benar-benar memencet bel itu. Sekarang hatinya semakin resah tak tau harus berekspresi seperti apa.

Tak lama kemudian terdengar sayup-sayup langkah kaki dari dalam terdengar mendekat. Beberapa detik kemudian daun pintu itu mulai bergeser. Menyembullah wajah Rio dari balik pintu. Ia kaget melihat Ify berdiri di depan rumahnya sambil menatapnya ragu.

“Ify?”

Ify menelan ludah demi membasahi kerongkongannya yang terasa kering.
“malam…..kak Rio….”

Sesaat mereka berdua hanya saling pandang. Namun Rio segera mengerjapkan matanya dan tersadar dari ketertegunannya.

“Eh, masuk masuk…”
Rio membuka pintunya lebih lebar dan mempersilahkan Ify masuk. Ragu-ragu Ify melangkah memasuki ruang tamu. Rio mempersilahkannya duduk dan sekarang mereka berdua hanya saling diam. Ify masih terus menunduk mencoba mencari kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan. Sementara Rio dengan sudut matanya sesekali melirik pada wajah Ify. Ia sendiri juga bingung harus memulai dari mana.

“Aku…”
Mereka berdua mengucapkan kata itu bersamaan. Rio menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sementara Ify yang sudah sempat mengangkat wajahnya sekarang tertunduk kembali.

“Kamu dulu….”
Akhirnya Rio mengalah.

Mungkin Rio tak mendengar tarikan nafas dalam Ify sebelum ia mulai bicara.
“Aku turut berduka atas meninggalnya Kak Gabriel.”

Rio mengangguk pelan. Sekarang giliran dia yang menghela nafas dalam.

“Andaikan Gabriel tidak pernah bertemu denganku, dia pasti tidak akan mati seperti ini.”

Ify menatap kakak kelasnya yang tampak begitu merasa bersalah.

“Aku telah menyeret kalian semua kedalam masalah yang sangat rumit ini. Membuat kalian semua dalam bahaya. Membuat hidup kalian terancam. Aku….”

“Karena Kak Rio adalah teman yang berharga untuk Kak Gabriel.”

Rio mengalihkan pandangan menatap Ify.

“Karena itulah dia ingin menolong Kak Rio. Karena itulah dia rela hidupnya terancam demi menyelamatkan Kak Rio. Karena Kak Rio adalah salah satu dari orang-orang yang sangat berharga dalam hidupnya. Dia….tidak akan menyesal bertemu dengan Kak Rio….”

Rio memejamkan matanya. Perkataan Ify terasa meremas ulu hatinya. Seolah membuat seluruh memory tentang Gabriel membuancah dalam ingatannya. Mengundang kembali tumpukan rasa duka yang sempat sejenak teredam.

“Maaf…..maaf….”

“Jangan minta maaf. aku yang seharusnya minta maaf.”

Rio menatap Ify tak mengerti.

“Maaf, karena perkataan kasarku kemarin. Karena aku marah tanpa memikirkan perasaan Kak Rio. Maaf….”

Rio tertegun mendengar penuturan Ify.
“Tidak…tidak apa-apa.”

“Kak Rio pasti punya alasan atas apa yang Kak Rio lakukan. Kakakku…….walaupun aku marah seperti apapun, tetap tidak akan mengembalikan dia ke sisiku. Karenanya, yang terpenting sekarang, aku tidak ingin kehilangan lagi orang-orang yang ku sayang. Kehilangan orang-orang yang berharga dalam hidup, sangat menyakitkan. Seharusnya aku tau bahwa Kak Rio pun merasakannya. Karena itu…..maaf……maaf….”

Mereka berdua saling pandang. Satu sama lain sudah mampu menerima dengan baik maksud hati masing-masing. Dari tatapan mata keduanya tersirat kelegaan karena satu tahap sulit yang harus dilewati akhirnya dapat mereka lalui dengan baik.

“Tapi…bolehkah aku bertanya sesuatu?”

Rio mengangguk pelan.

“Maaf sebelumnya, aku hanya ingin tau, kenapa Kak Rio seolah tiba-tiba masuk ke dalam kehidupanku dan melakukan tindakan-tindakan yang dulu sempat membuatku kesal padahal kita tidak pernah bertemu sebelumnya?”

Rio mengalihkan pandangannya dari ify. Akhirnya pertanyaan semacam itu meluncur juga dari seorang Ify.

“Karena aku……”

Ify menunggu jawaban Rio dengan wajah penasaran.

“merasa bersalah telah membuat kakakmu meninggal.”

Ify menegakkan kembali duduknya yang sempat membungkuk karena menanti jawaban Rio.
“Sudah kuduga….”
Ify berbisik lirih.

“Aku ingin meminta maaf padamu. Tapi….aku terlalu pengecut untuk mengatakan yang sebenarnya. Karenanya, aku hanya ingin melindungimu agar kejadian buruk yang menimpa kakakmu itu tidak akan terulang lagi.”

------------------

 Ify berjalan pelan dengan pikiran yang sedikit melamun. Ia masih terngiang-ngiang percakapannya dengan Rio tadi. Sudah begitu banyak yang mereka lalui. Entah kapan semua ini akan berakhir. Kehilangan orang-orang yang sangat disayangi bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagi jika kita merasa bahwa penyebabnya adalah diri kita sendiri.

Ify menatap lurus trotoar panjang di depannya. Ia membulatkan tekad bahwa dia akan terus membantu Rio hingga semua ini berakhir. Walaupun mungkin ia tidak bisa berbuat sesuatu yang berarti, setidaknya dia bisa mendukung Rio dengan tetap mempercayainya dan memberi semangat dengan tetap di sampingnya.

Ify tersenyum simpul dan berjalan penuh semangat untuk pulang. Tiba-tiba langkah kakinya terhenti. Matanya tertuju pada etalase kaca sebuah toko yang tampak dari tempat ia berdiri sekarang. Ify mendekat memandangi deretan benda yang terpajang di etalase tersebut. Pandangannya menelusuri satu persatu benda yang berjajar disana. Setelah beberapa saat, tatapannya terhenti pada sebuah kalung.

“Wahhh, bagussss…”
Tanpa pikir panjang Ify segera memasuki toko aksesoris tersebut.

-------------------

Jakarta
Sunday, 23:09

Langkah maya yang menyusuri trotoar malam itu terhenti. Di depannya berdiri seorang laki-laki yang sudah menunggunya sejak tadi. Sekarang mereka berdua berdiri berhadapan di tengah lalu lalang manusia yang juga berjalan di sekitar mereka.

“Aku sudah menunggu saat-saat kita bisa bicara berdua seperti ini.”

Maya mengerutkan keningnya tak mengerti.
“Ada apa, P?”

“Aku mendengar dari D bahwa Falcon masih hidup. Padahal dia sudah terinfeksi oleh Bloody x.”

Tatapan Patton terasa begitu dingin menelusup mata Maya.
“Bukankah itu berarti mereka punya antivirus?”

Tampak samar-samar Maya melebarkan bola matanya mendengar penuturan Patton.

“Maya, bukankah kau mengatakan kalau kau sudah mengumpulkan semua antivirusnya? Bagaimana mereka bisa punya?”

Maya terdiam mendengar ucapan Patton. Ia tak menjawab apapun. Lama Patton menunggu, namun Maya masih tetap kukuh dengan senyumannya tanpa ada sepatah katapun yang keluar. Patton pun akhirnya tersenyum.

“Ah, terserah lah……”
Tanpa menunggu jawaban dari Maya, dengan entengnya Patton melangkah pergi meninggalkan Maya yang masih berdiri terpaku menatap punggung lelaki muda yang sudah beberapa langkah meninggalkannya.

Patton meraih ponsel dari saku bajunya dan tampak menghubungi seseorang.
“Halo….D…Aku sudah memperingatkan Maya. Jadi….istirahatlah dengan nyaman…..”

Patton tampak tersenyum setelah menutup komunikasinya dengan orang di seberang. Ia terus berjalan santai menyusuri jalanan kota Jakarta yang masih ramai seperti biasanya.

--------------------

Monday, 06:30

Derap langkah Ify yang menapaki anak tangga dengan terburu-buru menimbulkan bunyi bergema di rumah yang lengang pagi itu. Setelah berlibur akhir pekan yang dipenuhi kejadian-kejadian menyesakkan, akhirnya hari ini dia bisa kembali bertemu dengan teman-teman SMA nya yang selalu bisa membuatnya tersenyum. Tak sabar rasanya ia ingin bertemu dengan mereka.

Ify mencari-cari jam tangan di saku tasnya. Kemarin dia melepaskannya dan memasukkannya ke dalam tas karena hujan yang tiba-tiba mengguyur. Alih-alih menemukan jam tangan, tangannya justru menemukan kalung yang kemaren dia beli. Dia mengeluarkan kalung tanpa bungkusan itu dan memandanginya sambil berjalan menuju pintu keluar. Seulas senyum terukir di wajah cantik itu.

Masih sambil terus memandangi kalung yang menurutnya bagus itu, Ify membuka pintu rumahnya hendak berangkat ke sekolah. Namun, belum sempat ia mengalihkan pandangannya dari kalung itu, tiba-tiba ia merasakan sebuah dorongan keras menghantam badannya dan membuatnya jatuh tersungkur.

Raut ketakutan sontak merayapi wajah Ify begitu ia melihat sosok yang berdiri angkuh di depannya sekarang.

“Bu Maya?”

“Selamat pagi cantik…”
Belum sempat Ify berdiri, Maya langsung mencengkeram lengan Ify dan menariknya dengan paksa.

“Lepas!!! Lepas!!! Tolong!! To…”
Maya membekap mulut Ify dengan kain dan menahannya sesaat. Kain yang sudah dilumuri obat bius itu pun membuat Ify sontak tak sadar dan membuat Maya dengan mudahnya membawa Ify pergi bersamanya.

---------------------------

Ify membuka matanya perlahan. Cahaya yang menelusup masuk ke dalam pupilnya membuat kepala Ify terasa berputar-putar. Butuh beberapa saat sampai ia bisa benar-benar melihat dengan jelas. Begitu matanya bisa menangkap bayangan ruangan itu, sontak dahi ify pun berkerut bingung karena ia merasa berada di tempat yang tak ia kenal.

“Sudah sadar rupanya?”
Maya berjalan angkuh memasuki ruangan tempat Ify berada. Ify tak bisa berbuat apapun. Bahkan bergerak pun sulit karena kedua tangan dan kakinya diikat pada kursi.

“Apa maumu?”

Maya hanya tersenyum mendengar pertanyaan Ify. Dengan santainya wanita itu duduk di kursi sembari menyeruput teh hangat dari cangkirnya.
“Sayang sekali pagi ini kau tidak bisa pergi ke sekolah. Kau pasti merasa kecewa. Bagaimana kalau kau belajar privat saja denganku?”

Ify menatap Maya sinis.

“Hei, bagaimanapun juga aku ini salah satu guru di sekolahmu juga.”
Maya meletakkan cangkir teh hangatnya ke meja yang ada di sebelahnya.
“Alyssa Saufika Umari. Salah satu remaja dengan keahlian hacking yang tidak boleh diremehkan.”

Kalimat Maya tak pelak lagi membuat Ify terbelalak. Selama ini tak ada yang tau bahwa ia adalah seorang Hacker kecuali Rio dan teman-teman Rio, serta anggota THIRD-i.

“Kami punya sebuah tugas kehormatan untukmu.”

“Apa maksudmu?!?”
Nada bicara Ify mulai meninggi.

“Hei! Sopanlah sedikit pada gurumu. Atau kalau tidak aku akan memberimu sedikit hukuman.”
Maya mengacungkan sebuah jarum suntik berisi cairan merah di dalamnya.

“Kurasa Kiki dan Gabriel akan senang bertemu dengan teman lamanya di alam sana.”

Ify terbelalak menatap Maya yang semakin mendekat dengan membawa jarum suntik itu.

“Kurasa kau cukup cerdas untuk bisa mengambil sebuah keputusan yang bijak…..”

Maya mencengkeram lengan Ify dan mengarahkan jarum suntik itu padanya. Ify memejamkan matanya kuat-kuat.

Jarum suntik itu semakin mendekat. Gerak tangan Maya yang sengaja diperlambat membuat jantung Ify semakin berpacu.Dan tepat saat kulit putihnya merasakan dingin menempel dari jarum suntik itu….

“Baiklah!”

Maya menarik perlahan jarum suntiknya.

“Baiklah…..aku bersedia, aku bersedia…..”

Maya tesenyum puas menatap raut ketakutan Ify yang berkeringat dingin menatapnya.

---------------------

Monday, 15:00

Darma Praja berdiri dikelilingi oleh seluruh pengikutnya. Kebanyakan dari mereka membawa tas dan ada beberapa orang yang membawa koper cukup besar. Isinya tentu saja bukan sesuatu yang biasa. Itu adalah bagian dari aksi yang akan mereka luncurkan malam ini.

“Mari kita mulai….”

Semua orang yang ada disana mengangguk. Dan tak lama kemudian satu persatu dari mereka mulai pergi meninggalkan ruangan itu dengan membawa barang mereka masing-masing.

“Cepat kosongkan tempat ini. Bawa gadis itu ke tempat persembunyian selanjutnya.”

“Baik…”

Akhirnya Darma Praja pun ikut meninggalkan tempat itu bersama yang lainnya. Tinggallah satu orang teroris itu dan Ify. Laki-laki itu tampak membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam koper besar. Dia juga menyertakan beberapa botol virus. Barulah beberapa menit kemudian ia menuju tempat Ify disandera dan hendak melepaskan rantai yang mengikat tangan dan kaki Ify.

Ify menarik nafas dalam. Ia sedang mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dan tepat saat semua rantai yang menahan tangan dan kakinya terlepas Ify pun sontak berontak dan mendorong teroris itu hingga jatuh.

Ify mengangkat kursi yang barusan ia duduki dan melemparkannya kearah teroris tersebut. Tindakannya itu cukup membuat teroris itu jatuh tersungkur dan kesulitan untuk bangkit karena kepalanya yang terhantam kursi kayu itu.

Ify berlari meninggalkan ruangan itu. Sejenak ia melihat ke sekeliling. Dan setelah matanya menemukan apa yang ia cari, ia segera menyambarnya dan berlari keluar dari tempat itu. Teroris yang ada di belakangnya sudah bisa bangkit dan sekarang berlari mengejarnya.

Ify berlari sekuat yang ia bisa. Ia hanya memerlukan sedikit jarak dari teroris itu untuk menjalankan rencananya.Dan setidaknya sekarang ia bisa sedikit menjauh dari kejaran teroris itu. Ify berbelok ke sebuah gang sempit di antara deretan gudang yang ada disana. Tempat persembunyian mereka memanglah berada di kawasan pabrik baja sehingga puluhan bangunan yang berfungsi sebagai gudang berjajar rapat di kawasan itu. Ify bersembunyi di antaranya.

Ify mengeluarkan kertas dan pulpen yang tadi disambarnya dari ruangan para teroris itu. Secepat yang ia bisa, Ify menuliskan beberapa kalimat di atasnya. Setelah selesai ia melepas kalung yang ia kenakan lalu bersama dengan kertas itu ia meletakkannya di samping tumpukan kayu yang ada di gang sempit itu.

Setelah memastikan ia melakukan apa yang ia rencanakan, Ify mengintip ke luar gang. Ia menunggu teroris itu muncul. Dan tepat saat teroris itu tampak datang dari kejauhan, Ify berlari keluar dari gang. Seperti yang ia rencanakan, teroris itu melihatnya dan kembali mengejarnya. Ify sengaja memperlambat langkahnya. Dan akhirnya teroris itu berhasil menangkapnya.

Seperti yang Ify duga, begitu ia tertangkap, teroris itu langsung menghujaninya dengan pukulan.

“Berani-beraninya kau mencoba lari!!!!”

Ify mengelus wajahnya yang lebam. Air mata sudah merembes di pipinya karena rasa sakit yang teramat sangat. Tapi Ify sudah memperkirakan akibat yang harus dia terima karena kenekatannya itu. Setelah itu ia pun pasrah diseret oleh teroris itu pergi.

Ify duduk pasrah di jok samping kemudi dengan tangan dan kaki diborgol. Ia tak tahu nasib seperti apa yang akan ia hadapi selanjutnya. Yang pasti, setidaknya ia sudah melakukan yang terbaik.

Ia berharap Alvin mengetahui bahwa dirinya diculik dan segera mencarinya. Ia tahu Rio pasti bisa menemukannya dengan mendeteksi kalung GPS yang dia berikan. Akan tetapi jika THIRD-I sampai menemukan tempatnya dan menggerebek teroris yang menjaganya itu, maka kemungkinan besar musuh akan mengetahui bahwa THIRD-I telah mencium rencananya. Jika sampai itu terjadi, maka mereka akan membatalkan rencananya dan sekali lagi THIRD-I akan gagal menangkap mereka. Dan jika sudah begitu, mereka tidak akan tahu rencana macam apa lagi yang akan mereka lancarkan di kemudian hari.

Oleh karena itulah, satu-satunya jalan adalah membiarkan Rio menemukan GPS nya bersama pesan yang ia tinggalkan untuk Rio. Ia biarkan dirinya tetap berada di bawah tawanan teroris itu agar teroris itu merasa rencana mereka tetap berjalan seperti yang diharapkan.

Salah satu tujuan Ify bersedia menjadi hacker mereka bukanlah karena takut akan ditulari virus. Akan tetapi dia ingin mendapatkan sedikit celah untuk mengetahui rahasia mereka. Selama beberapa saat menjadi hacker bagi teroris ia memang tidak mendapat ijin untuk mengakses komputer inti yang mereka gunakan dimana seluruh data rahasia mereka tersimpan disana. Ia hanya bertugas memudahkan akses ke beberapa tempat yang akan mereka jadikan sasaran. Walaupun ia tahu tempat-tempat mana saja yang akan mereka jadikan sasaran, Ify tetap tidak mungkin memberitahu Alvin karena ia tidak bisa menggunakan ponselnya. Dan untuk menuliskan sekian banyak nama tempat di kertas itu ia tidak memiliki cukup waktu. Karena itulah dia lebih memilih menuliskan 3 baris pesan seperti itu.

------------------

THIRD-I 19:16

pre emptive strike.
BLBRD*walk!”34065-pyton-script
Senin 9 mlm

Rio terus memandangi secarik kertas yang ia temukan di kawasan pabrik itu. Tangan kanannya menggenggam erat kalung GPS yang ia berikan pada Ify. Ia masih terus memutar otak untuk mencoba mengerti apa maksud pesan di kertas itu.

Rio berjalan mondar-mandir di lantai dua kantor THIRD-I itu.

“Bagaimana?”

Pertanyaan Pak Joni hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Rio. Rio mengacak-acak rambutnya sendiri karena tak jua menemukan maksud pesan itu.

“Baiklah, pikirkanlah lagi maksud pesan itu, kami akan terus mencari petunjuk dari markas yang mereka tinggalkan.”

------------------------

Monday, 19:57

Rio terburu-buru menuruni anak tangga menuju ruang kendali utama THIRD-I di lantai dasar. Derap langkahnya membuat Pak Joni sontak menengok kearah Rio keheranan.

“Aku mengerti maksudnya!”
Rio bergegas menuju meja utama di ruangan itu, mengeluarkan laptopnya dan bergegas menyalakannya. Dengan cepat ia mengetikkan sesuatu disana.

“Apa maksudnya?”

Rio memberi penjelasan pada Pak Joni sambil terus mengetik di laptopnya.
 “pre emptive strike adalah istilah di kalangan hacker. Itu adalah salah satu metode distribusi jaringan dimana komputer yang dijadikan anak oleh main computer harus melewati komputer induk terlebih dahulu sebelum memproses data. Dan kode yang dituliskan oleh Ify itu kemungkinan adalah kode akses komputer utama yang digunakan oleh teroris itu.”

Ita dan Pak Joni yang berdiri di samping Rio tampak mengangguk tanda mengerti.

“Dengan kode akses itu kita bisa mengirimkan virus khusus yang akan menelusup ke dalam main processor komputer itu dan menjadikannya komputer anak. Aku akan menjadikan laptop ini sebagai komputer induk. dengan demikian, seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komputer anak akan tampak di laptop ini. Kita bisa mengetahui seluruh rencana mereka.”

Rio menghentikan sejenak gerak jemarinya.
“Sedangkan baris ketiga dalam pesan yang ditulis oleh Ify itu…..kemungkinan para teroris akan melancarkan aksinya malam ini jam 9.”

Mendengar kalimat terakhir Rio, Pak Joni dan Ita sontak bersamaan melihat kearah jam. Sementara Rio kembali mengetik di atas laptopnya.

“Sekarang sudah jam 8.03”
Terdengar nada panik dari Ita.

“Aku mendapatkannya.”
Rio menghubungkan laptopnya dengan layar besar di ruangan itu dan muncullah sebuah peta GPS yang menunjukkan 10 titik merah di daerah yang tersebar di Jakarta.

“Itu adalah target mereka malam ini. Kemungkinan seluruh teroris telah menyebar ke titik-titik itu. Cepat tangkap seluruh titik kecuali point 7.”

Pak Joni yang mendengar penuturan Rio segera mengerahkan anggotanya yang tersebar di Jakarta untuk menuju lokasi-lokasi itu. Rio terus memantau perkembangan mereka dari laptopnya.

“Kenapa dengan point 7?”

“Point 7 adalah pusat control mereka. Jika kita menangkap pusat control maka kemungkinan 9 teroris yang lainnya akan tetap melancarkan aksinya. Masing-masing titik itu melaporkan perkembangannya setiap 30 menit sekali. Jika kita bisa menangkap ke 9 titik itu dalam 30 menit sebelum waktu pelaporan, maka main server tidak akan menyadari bahwa anggotanya telah tertangkap.”

 Sebuah laporan masuk ke komputer Ita.
“Teroris yang mengendarai bus di wilayah Senayan dan teroris yang berada di bandara Soekarno Hatta sudah dilumpuhkan”

“Masih 7 lagi.”
Rio mengepalkan tangannya sambil terus memantau layar laptopnya.
Beberapa menit kemudian laporan selanjutnya masuk.

“Teroris di Senayan City, di rumah sakit Fatmawati, dan di bundaran HI tertangkap.”

Pak Joni melirik kearah jamnya. Pukul 8.18. Mereka terus menunggu perkembangan selanjutnya.

“Teroris di stasiun tanah abang, dan teroris yang mencoba membajak helicopter di kawasan bintaro juga sudah tertangkap.”

“Jam 08:25, masih 2 lagi”
Tampak kegugupan di wajah Pak Joni.

“Teroris di hotel JW Marriot juga sudah dilumpuhkan.”

“tinggal satu lagi”
Rio tersenyum puas, namun senyumnya sontak surut saat menatap layar laptopnya.
“Apa? Sinyal di point 3 menghilang? Itu bukan pusat kontrolnya. Sementara pusat kontrolnya masih menyala.”

“Apa maksudnya?”

Rio sendiri tampak tak mengerti. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat.
“Sekarang tangkap pusat kontrolnya.”

------------------------

Seluruh pasukan yang ditugaskan menggerebek para teroris sudah kembali dengan membawa teroris tangkapan mereka masing-masing beserta virus yang mereka bawa. Namun mereka gagal menemukan teroris di point 3. Sementara pusat control yang mereka kepung ternyata tinggal sebuah mobil dengan laptop di dalamnya.

Sekarang perhatian anggota THIRD-I sedang fokus pada interogasi para teroris yang tertangkap itu.

------------------------

Patton berjalan pelan di antara lalu lalang manusia yang tampak sibuk melangkah di trotoar yang sama dengannya. Raut wajahnya tampak begitu kesal. Di belakangnya mengikuti seorang lelaki muda yang memanggul tas tanpa isi. Laptop yang selama ini ia gunakan sebagai senjata utama untuk mengatur seluruh aksi mereka sudah terdeteksi oleh THIRD-I dan sekarang mungkin sudah berada di tangan mereka.

Patton memencet ponsel yang ada di tangan kanannya.

“Halo, D…..”
Patton diam sejenak.

“maaf, rencana gagal. Rencana kita dirusak oleh Falcon.”

Entah apa yang dikatakan orang di seberang.

“Baik….”

Patton menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya dengan wajah kesal. Ia terus berjalan masih dengan perasaan marah yang teramat sangat.

-------------

Sudah hampir 15 menit Rio duduk dengan tertunduk dalam. Berkali-kali ia memukul-mukulkan kepalan tangannya sendiri ke dahi. Kepala dan dadanya terasa begitu sesak dengan berbagai hal yang terasa begitu melelahkan. Ia masih merasa kecewa karena tidak bisa mendapatkan teroris di salah satu point itu. Dan juga pusat control yang mereka incar ternyata telah kosong.

Namun setidaknya sekarang sudah lewat jam 9 malam. Dan kota Jakarta masih baik-baik saja. Untuk kali ini mereka bisa menggagalkan aksi mereka. Namun, dengan adanya teroris yang masih berkeliaran, Rio masih tak tau kejadian seperti apa yang akan menimpa mereka.

Akan tetapi, di atas semua itu, masih ada satu hal lagi yang membuat Rio serasa ingin memukul-mukulkan kepalanya ke dinding.

Rio menghela nafas dalam. Dipandanginya tangan kanannya yang tergenggam erat. Perlahan dibukanya genggaman tangan tersebut.Tampak benda berkilau itu terdiam kaku di atas telapak tangannya. Kalug GPS yang ia berikan untuk Ify, sekarang ada padanya. Dan tanpa itu, ia tak tau lagi harus mencari Ify dengan cara apa.

Rasanya Rio ingin membanting vas bunga yang ada di atas meja di depannya. Sekarang hatinya benar-benar khawatir. Ia tak bisa membayangkan jika suatu hal buruk terjadi pada Ify.

“Kamu dimana, Fy?”
Rio merintih pelan dengan suara yang menahan amarah sekaligus kekhawatiran….

------------------

Tuesday, 09:40

Suara ketukan sepatu hak tinggi bergema di seluruh penjuru ruangan yang tak banyak berisi barang itu. Hanya ada rak-rak yang menempel di dinding, sebuah meja, dan sebuah kursi dimana sekarang Darma Praja duduk bersandar sambil memejamkan mata menanti Maya.

“Ada apa Pak Darma memanggil saya?”

“Apakah kamu Maya?”
Laki-laki itu masih tetap memejamkan matanya.

“Iya, benar. Saya Maya.”

Sejenak ruangan itu hening.

“begitu banyak yang tertangkap, bagaimana kau bisa selamat?”

”Saya menjalankan instruksi dari anak anda.”

“Apa yang dikatakan olehnya?”

“Pemimpin kedua mengatakan…….ini saatnya untuk membuka Kotak Permata.”

Darma Praja perlahan membuka matanya. Sekarang ia bisa melihat jelas senyum wanita di depannya itu. Laki-laki itu berdiri dari singasananya.

“Kalau begitu… lakukanlah apa yang diperintahkan olehnya. segera persiapkan Kotak Permata itu.”

Senyum Maya tampak semakin melebar.
“Sebelum itu, ada satu hal yang terlebih dulu harus saya lakukan.”

“Apa?”

Darma Praja terbelalak melihat wanita itu mengacungkan pistol kearah kepalanya.
“Apa yang kau…..”

DORRRRRRRR!!!!!

Tubuh itu jatuh terhempas kembali ke kursi dengan dahi bersimbah darah. Maya tersenyum dingin menatap sosok yang sudah tak bernyawa itu. Dengan langkah santai wanita berlipstick tebal itu meninggalkan ruangan dan membiarkan mayat itu tergeletak seorang diri.

----------------------

16:15

Rio berjalan gontai memasuki halaman rumahnya. Begitu banyak pikiran yang menggelayuti otak dan hatinya sekarang. Tentang teroris, dan tentang Ify yang ia sama sekali tak tau harus mencarinya kemana lagi.

Langkah Rio sontak terhenti saat pandangannya tertumpu pada pintu rumahnya yang sedikit terbuka.

“kok? Sepertinya aku menguncinya tadi pagi….”

Bergegas Rio masuk ke dalam. Dan betapa terkejutnya dia saat sosok itu ternyata sudah dengan santainya duduk di sofa ruang tamu sambil meminum secangkir kopi yang mungkin ia buat sendiri dari dapur rumah Rio.

 “Hai, Mario Stevano…”
Seperti biasa senyum lebar senantiasa tampak dari wajahnya yang tampak ceria.

Rio terbelalak menatap wajah orang di depannya itu.
“P?”

“Seperti yang kuperkirakan dari seorang Falcon. Kau selalu bisa menghancurkan rencana kami. Kau sudah berhasil menyelesaikan salah satu soal yang ku berikan. Karena itu, aku datang untuk memberimu hadiah.”

Rio bergegas mengambil ponsel dari saku celananya dan hendak menghubungi bantuan.

“sebelum kau menghubungi THIRD-I, tidakkah kau ingin tahu……tentang Alvin Jonathan?”

Gerak jemari Rio yang hendak menekan tombol ponselnya sontak terhenti saat mendengar nama sahabatnya tiba-tiba disebut.
Dengan penuh emosi Rio berjalan kearah Patton dan dengan kasar menarik kerah laki-laki muda itu.
“Apa yang terjadi pada Alvin?!?!?!?”

Patton tersenyum puas melihat Rio mulai tertarik dengan kalimatnya.

“Dia…”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

“saudara sedarahku…”