Jumat, 28 Oktober 2011

We Were There (CHAPTER 12)


Ify segera beranjak dari samping Shilla yang sedang mengedit layout album kenangan di depan komputer saat ponsel yang ia letakkan di atas meja tiba-tiba berbunyi.

Bergegas dia meraih ponselnya dan setelah mengetahui nama yang tertulis disana segera ia memencet tombol answer.

“Halo….Kak Rio?”
Mendengar Ify menyebut nama Rio, sontak Alvin, Shilla, Gabriel dan Zahra bersamaan menoleh padanya.

Terlihat Ify begitu serius mendengarkan suara di seberang. Sesekali ia mengerutkan kening dan sesekali mengiyakan apa yang dikatakannya. Sesaat kemudian Ify tampak memandangi layar ponsel yang menunjukkan bahwa panggilan itu baru saja diputus.

“Ada apa?”
Alvin bergegas bertanya setelah Ify tampak meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. Ia berjalan pelan kembali ke ruang tengah tempat mereka berkumpul. Masih tampak gurat-gurat kekagetan di wajah cantiknya.

“Kak Rio bilang dia akan kesini bersama THIRD-i. katanya ada suatu hal penting yang ingin mereka lakukan.”

Mereka saling berpandangan heran. Masing-masing tenggelam dalam keheningan dan rasa penasaran.

“Apakah....itu…. berhubungan dengan teroris?”
Semua yang ada disana perlahan mengalihkan pandangan menatap Gabriel. Tampak jelas raut ketakutan dari wajahnya. Belum ada yang menjawab pertanyaan itu. Mereka masih terdiam saling pandang.

Keheningan di ruangan itu sontak pecah saat tanpa menunggu jawaban atas pertanyaannya, Gabriel tiba-tiba berdiri dan meraih tasnya.
“Aku mau pulang saja. Aku…akan menyelesaikan bagianku di rumah.”

“Gabriel!”
Shilla bergerak meraih tangan sahabatnya itu. Namun bergegas dihempaskan dengan kasar oleh Gabriel. Ia tertunduk tak memandang wajah teman-temannya yang menatap dirinya dengan dahi berkerut.

“Ini pasti ada hubungannya dengan teroris. Jika kita terlibat terlalu jauh, kita…..tidak akan tahu apa yang bisa menimpa kita.”
Gabriel mulai melangkah menuju pintu.

“Kau pengecut!”
Shilla hendak beranjak menyusul Gabriel namun langkahnya dihalangi oleh Alvin.

“udah Shill.”
Shilla menatap Alvin tak mengerti. Ia masih belum bisa terima dengan sikap Gabriel. Akhirnya Shilla pun tertunduk pasrah membiarkan Gabriel melangkah meninggalkan mereka. Belum sempat mereka menenangkan diri tiba-tiba Zahra pun meraih tasnya.

“Aku juga mau pulang.”
Zahra tak berani membalas tatapan Shilla yang memandangnya tajam. Sementara Alvin tampak bisa memahami perasaan gadis itu. Ify hanya bisa menatap mereka dalam diam.

“Maaf.”
Keheningan mengiringi langkah Zahra yang bergegas menyusul Gabriel meninggalkan rumah Alvin. Hanya tatapan mereka bertiga yang bersisa di ruangan itu.

----------------

Pak Susilo menutup pintu agak kasar saking terburu-burunya ingin segera menemui tamu yang sudah menunggunya di ruang utama. Dua orang yang duduk di sofa hitam yang ada di tengah ruangan itu bergegas berdiri begitu melihat orang yang mereka cari sudah ada disana.

“Selamat malam Pak.”

“Selamat malam. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Tanpa basa-basi Pak Susilo segera menuju inti pembicaraan yang sejak tadi membuatnya penasaran setengah mati.

“Penjaga dari tahanan khusus yang kami interogasi sudah mau mengatakan beberapa hal.”

Pak Susilo menanti lanjutan kalimat petugas kepolisisan itu dengan dahi berkerut.

“Dia mengatakan bahwa yang menyuruhnya membunuh rekannya adalah Darma Praja,tahanan khusus yang mereka jaga.”

“Kenapa dia dengan mudahnya menuruti perintah orang itu?”

“Kami masih belum tahu secara pasti. Namun berdasarkan yang dikatakan oleh tersangka, Darma Praja sudah membunuh seseorang yang berselingkuh dengan istri tersangka sesuai permintaan si tersangka itu sendiri.”

“Apa? Bagaimana mungkin itu terjadi? Bukankah tahanan khusus itu anda bilang tidak pernah berhubungan dengan dunia luar sama sekali? Lalu bagaimana mungkin dia bisa membunuh seseorang yang berada di luar?”

Salah satu polisi itu menghela nafas dalam. Sepertinya pertanyaan yang sama juga menggelayuti pikirannya.
“Itulah yang masih belum kami ketahui. Penjaga itu sudah seperti orang gila. Dia terus bertingkah aneh dan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal. Dia mengatakan bahwa Darma Praja punya kekuatan untuk membunuh orang. Awalnya penjaga itu juga tidak percaya, namun kemudian dia menunjukkan foto laki-laki yang berselingkuh dengan istrinya. Ia hanya mencoba mengetes kebenaran ucapan laki-laki itu. Dan ternyata dia benar-benar mati. Darma Praja menyuruhnya membunuh temannya atau kalau tidak dialah yang selanjutnya akan mati.”

Pak Susilo terbelalak kaget mendengar penuturan petugas kepolisisan itu.

“Tapi ada satu hal lagi yang membuat kami memutuskan untuk menghubungi THIRD-i. Penjaga itu mengatakan bahwa sebelumnya Darma Praja pernah mengatakan padanya nama seseorang yang dia bilang akan mati. Dan beberapa hari kemudian orang yang dimaksud itu benar-benar meninggal. Namanya adalah…… Rizky P. Egeten.”

Tak pelak lagi nama itu membuat sekujur tubuh Pak Susilo merinding.

“Mungkinkah, Darma Praja ada kaitannya dengan kasus terorisme yang sekarang sedang terjadi?”

“Ita, hubungkan dengan data kepolisian. Cari tahu tentang Darma Praja.”
Ita mengangguk cepat dan segera berkutat dengan computer di depannya. Beberapa saat kemudian sebuah data muncul di layar yang ada di dinding ruangan. Foto seorang laki-laki yang tak lain adalah Darma Praja terpampang beserta riwayat hidupnya.

“Darma Praja adalah pimpinan kelompok teroris yang terkait dengan kasus terorisme dua tahun lalu. Aksi mereka berhasil digagalkan dan Darma Praja pun berhasil ditahan hingga saat ini. Darma Praja masuk ke ruang tahanan khusus dan diawasi selama 24 jam penuh. Semenjak itu kelompok teroris itu sudah tidak terdengar lagi keberadaannya. Darma Praja punya 10 orang anak. Salah satunya sudah meninggal. Sementara sisanya juga diawasi selama 24 jam. Semuanya tidak ada yang mencurigakan.”

Ita membacakan data analisis yang berhasil ia dapat.

“Tapi bagaimana mungkin dia bisa berhubungan dengan teroris yang sekarang sementara dia sama sekali tidak pernah menerima paket, panggilan maupun kunjungan.”
Tampak Pak Susilo berpikir keras.

“Ita, coba hubungkan dengan kamera pengawas di ruang tahanan khusus. Mungkin kita bisa menemukan petunjuk dari sana.”

Bersamaan dengan gerak tangan Ita yang menekan tombol enter muncullah video CCTV ruang tahanan khusus di layar.
Seluruh anggota yang saat itu sedang berada disana sontak memfokuskan pandangan pada sosok laki-laki yang sedang berdiri di balik jeruji dengan tatapan yang tampak kosong.

“Dia bertelanjang kaki?”
Pandangan Pak Joni tertuju pada kaki laki-laki itu yang memang tidak mengenakan alas. Semua orang pun segera memandang kearah yang sama. Mereka semakin bingung melihat sosok itu karena dia benar-benar tidak menunjukkan gerak yang mencurigakan sejak tadi, bahkan dia sama sekali tak bergerak sedikitpun.

“Tunggu.”
Ucapan Pak Joni membuat semua orang tersadar dari ketertegunannya.
“Perbesar tangannya.”

Ita pun menge zoom video itu di bagian tangan. Mereka pun akhirnya menyadari keanehan disana.

“Kenapa dia menggerakkan jari-jarinya seperti itu?”

Tahanan itu memang tak bergerak sama sekali. Jika tidak dilihat dengan teliti maka gerak jarinya pun tidak akan terlihat. Ia menggerakkan jari-jarinya sedikit dengan irama tertentu.
Pak Joni mengetuk-ngetukkan perpaduan jari telunjuk dan jari tengahnya ke meja menirukan irama gerakan tahanan itu. Beberapa menit ia terus melakukan hal itu sampai akhirnya ia pun tersentak menyadari hal besar yang baru saja ia sadari.

“Sinyal morse?”

“Apa?”

“Ita, analisis gelombang suara di sekitar sana.”

Ita segera melakukan seperti yang diperintahkan oleh Pak Joni. Dan beberapa saat kemudian dia sendiri pun tersentak saat sebuah suara aneh terdeteksi di layar komputernya.
“Suara seperti getaran gelombang frekuensi rendah terdeteksi dari sana. Saya akan mengekstrak dan mengconvertnya.”

Dan akhirnya suara itu bisa terdengar jelas. Getaran terputus-putus dengan panjang yang berubah-ubah.
“Tidak diragukan lagi ini sinyal morse.”

Pak Joni mengepalkan tangannya.
“Karena dia bertelanjang kaki dia bisa mengirim sinyal langsung melalui tanah. Kemungkinan ada sebuah benda yang terletak di sekitar sana berfungsi menerima getar yang dikirimkan melalui gerak jarinya. Dan jika alat itu terhubung dengan seseorang di luar sana maka merekapun bisa saling berkomunikasi. Akan tetapi kemungkinan Darma hanya bisa memberi sinyal tanpa bisa menerima karena dia tidak mungkin bisa merasakan getaran frekuensi rendah.”

Ita mencoba memutar kembali suara tersebut dari awal dan mencoba menangkap makna dari ejaan morse tersebut.

“Ren…ca…na… Bu…nuh….Riz….ky…..E….ge….ten. Tidak salah lagi dialah yang memberikan perintah dalam kasus ini.”

“Sial! Mereka benar-benar berhubungan. Segera menuju ke lokasi tahanan!! Cari benda-benda mencurigakan yang mungkin digunakan untuk menerima sinyal!!”

Pak Zaky segera memimpin komando bersama beberapa orang menuju LP Cipinang untuk melaksanakan instruksi Pak Joni.

------------------

Rombongan berseragam serba hitam itu terburu-buru memasuki rumah Alvin. Shilla dan Alvin hanya bisa berdiri termangu di depan pintu. Sementara Rio segera menghampiri Ify diikuti oleh anggota Third-I di belakangnya. Ify yang didekati oleh Rio hanya bisa terpaku dengan wajah sedikit menyiratkan ketakutan.

“Kak….”

“Fy, bisa aku minta laptop yang kupinjamkan padamu?”
Tanpa mempedulikan raut wajah Ify yang penuh kekhawatiran Rio langsung meminta laptop yang dibawa oleh Ify selama beberapa hari belakangan. Tanpa menunggu lama, melihat raut wajah Rio yang tampak terburu-buru, Ify pun segera mengambil laptop yang dimaksud di dalam tasnya dan menyerahkannya pada Rio.

Tanpa basa-basi Rio segera melihat bagian belakang laptop. Sebuah barcode tertempel disana. Di dekatnya terdapat deretan angka yang merupakan nomor seri laptop tersebut.

“nomor serialnya tepat seperti yang ada di file pak Bagus.”

“Jadi Pak Bagus benar-benar mempercayakannya pada Ayahmu?”

Ify masih memandang Rio bingung berharap ia akan menjelaskan sesuatu padanya. Namun tampaknya harapan itu takkan terwujud saat Rio meninggalkannya begitu saja dan bergegas berjalan menuju ruang tamu kemudian meletakkan laptop tersebut di meja dan mulai menyalakannya.

Akhirnya Ify hanya bisa ikut mendekat melihat apa yang mereka lakukan tanpa berani berkata sesuatu apapun. Demikian pula Alvin dan Shilla.

Rio langsung mencari di antara ratusan file yang ada disana. Butuh waktu cukup lama untuk bisa menemukan sesuatu yang bisa dicurigai. Hingga akhirnya pandangan Rio terhenti pada sebuah file.

“File ini memiliki nama yang sama dengan nomor serial yang ada di dokumen Pak Bagus. Aku akan mencoba membukanya. “
Rio membuka file yang ternyata berformat JPG tersebut. Semua orang mengerutkan kening begitu melihat apa yang muncul di layar.

Tampak gambar sebuah rumah yang berada di daerah pegunungan.

“Apa itu?”
Pak Aji mendekatkan kepalanya agar bisa melihat gambar itu lebih jelas.

Rio sendiri terpaku menatap gambar yang ada di hadapannya. Ia tidak menyangka bahwa gambar itu yang akan muncul.
“Ini villa kami yang ada di Bogor. Saat aku kecil kami sekeluarga sering pergi kesana. Tapi setelah ibu meninggal kami tidak pernah lagi mengunjunginya. Karena itulah ayah meminjamkannya pada Pak Bagus.”

“Jadi…… antivirus itu ada disana?”
Pertanyaan Bu Mia membuat semua orang yang ada disana saling berpandangan.

----------------

Mobil berisi 4 orang itu meluncur menembus jalanan basah yang baru saja terguyur hujan. 220 km lagi mereka akan sampai di bogor . Mereka baru bisa meluncur kesana setelah Pak Joni memberikan persetujuan. Dan setelah beberapa saat menunggu instruksi dari Pak Joni akhirnya Pak Aji, Bu Mia, Bu Hesti dan Rio pun menuju lokasi antivirus tepat saat waktu menunjukkan pukul 2 malam.

Semua yang ada di dalam mobil hanya diam menatap lalu lalang lampu jalanan. Mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Tampak raut kelelahan di wajah mereka. Namun itu tak kan menyurutkan niat mereka untuk segera mengakhiri bencana ini.

----------------------

 “Mereka bergerak…..”

Laki-laki yang sedang duduk santai di sofa itu tersenyum puas mendengar penuturan orang yang ada di dekatnya.
“Dia menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Dengan begini kita bisa dengan mudah mengetahui kemanapun mereka pergi. Benar-benar mata-mata yang memuaskan.”

Laki-laki itu menyalakan wireless yang sudah terpasang di telinganya.
“Baiklah semuanya, kali ini aku tidak akan memaafkan kesalahan sedikitpun. Aku akan melaporkan semuanya pada D. Dia pun tidak ingin rencana kita kali ini gagal, atau dia akan menjatuhkan hukuman pada kalian. Karena itu……berusahalah….”

Setelah mengakhiri kalimatnya, P mematikan wireless phone nya dan kembali meneguk melon soda yang ada di gelasnya. Ia bergumam pada dirinya sendiri.
“Semua berjalan sesuai skenario. Waktunya telah tiba. Sebentar lagi kekuasaan akan ada di tangan kita. Jadi, kembalilah kapanpun kau mau….. D.”

-------------------

Kedatangan Rio, Bu Mia, Pak Aji dan Bu Hesti disambut dengan hawa sejuk pegunungan bercampur hangatnya sinar matahari yang baru saja terbit. Tanpa menunggu lebih lama Rio pun mendahului berjalan memasuki villa yang sudah lama tampak tidak dikunjungi itu.

Mereka mencari di lantai dasar namun nampaknya tak ada sesuatu mencurigakan yang mereka temukan. Rio pun menuju lantai atas dan mulai membuka satu persatu dari 3 ruangan yang ada disana. Tepat di ruangan ketiga Rio terpaku di depan pintu. Pak Aji yang melihat Rio terdiam bergegas menyusul melihat ke dalam ruangan tersebut.

“Ini?”

Mereka semua masuk ke dalam ruangan berisi rak-rak penuh bahan-bahan kimia itu. Tumpukan buku-buku tebal berserakan di atas meja.

“Pak bagus bahkan melakukan penelitiannya disini.”

Mereka berpencar melihat-lihat seisi ruangan.

“Lihat!”
Kalimat Bu Hesti mengejutkan mereka semua. Mereka bergegas mendekat pada Bu Hesti yang berdiri terpaku di depan sebuah almari yang tampaknya baru saja ia buka sambil memegang sebuah kotak di tangannya.

“Apakah itu….”
Tatapan mereka semua pun tertuju pada kotak yang di dalamnya terdapat botol-botol kecil berisi cairan bening.

“Tidak diragukan lagi. Ini antivirusnya. Ini cukup untuk 100 orang.”
Penuturan Bu Hesti seolah membawa angin segar di tengah kepenatan yang mereka rasakan. Akhirnya mereka bisa menemukan senjata pusaka yang sangat-sangat mereka butuhkan sekarang.

Ketakjuban mereka memandangi botol-botol kecil itu sontak terusik oleh Pak Aji yang tiba-tiba berjalan terburu-buru kearah jendela. Ia tampak memandangi halaman villa itu.

“Sial….”

Bu Mia, Bu Hesti dan Rio ikut mendekat dan memandang kearah halaman. Betapa terkejutnya mereka saat pandangan mereka menangkap belasan orang berpakaian hitam keluar dari beberapa mobil dan mengepung villa mereka sambil membawa senapan laras panjang di tangan masing-masing. Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah sosok yang mereka lihat turun dari mobil terakhir kali.

“Maya?”
Pak Aji mengepalkan tangannya menahan emosi melihat wajah wanita itu.

Pak Aji meraih ponselnya dan bergegas menghubungi Pak Joni untuk meminta bantuan. Namun tampaknya mereka harus sedikit bersabar karena bantuan baru bisa datang 20 menit lagi.

Bu Mia dan Pak Aji membimbing mereka turun ke lantai dasar dan bersembunyi di balik tembok yang membatasi antara ruang tengah dengan ruang tamu.Mereka berdua bersiaga dengan pistol di tangan. Bu Hesti mendekap erat kotak antivirusnya. Rio menyembulkan kepalanya sedikit dan mengintip orang-orang yang ada di luar. Samar-samar ia mengamati deretan orang-orang yang bersiaga mengepung mereka itu.

Sesaat kemudian Rio bergegas mengeluarkan laptopnya dan segera menancapkan flashdisk untuk memulai hacking.

“Bagaimana mungkin mereka menemukan tempat ini?”

Bu Mia menatap Pak Aji dengan tatapan penuh tanda Tanya. Pertanyaan yang sama juga melintas di pikirannya.

------------------

“P, kami akan masuk sekarang.”

“Baiklah, aku percayakan semuanya padamu, Maya.”

Maya memberi isyarat dengan tangannya agar pasukannya bersiap menerobos masuk. Mereka pun mulai bergerak mendekat. Senapan mereka sudah berada dalam kondisi siap digunakan.

“Tunggu!”
Suara dari wireless phone yang terpasang di telinga seluruh pasukan termasuk Maya sontak menghentikan langkah mereka. Mereka pun menyurutkan langkahnya.

“Keadaan berubah, bersiagalah. Aku mengulang. Bersiagalah. Jangan masuk ke dalam.”

“Siaga?”
Maya tampak bingung mendengar perintah P yang begitu kontras dengan apa yang ia perintahkan barusan.

“Kemungkinan musuh punya jebakan. Tetaplah bersiaga sampai aku memberi perintah selanjutnya.menjauh dari villa, jangan bergerak apapun yang terjadi.”

Mendengar apa yang dikatakan P, mereka pun menurunkan senapan dan kembali mundur ke posisi semula.

---------------------

“Mereka menurunkan senapannya.”
Bu Mia menatap heran orang-orang di luar itu melalui jendela kecil yang ada disana.

“Apa yang mereka ragukan?”

“Yes.”

Suara Rio sontak membuat Bu Mia, Pak Aji, dan Bu Hesti menoleh padanya.

“Apa yang kau lakukan di saat seperti ini?”
Bu Hesti bingung menatap Rio yang tampak terfokus pada layar laptopnya.

“Aku membajak sistem komunikasi mereka. Jika mereka menggunakan analog wireless radio mungkin aku tidak akan bisa melakukannya. Tapi mereka menggunakan cordless Bluetooth headset sehingga aku bisa dengan mudah mengirim informasi palsu pada mereka. Aku merekam suara perintah yang dikirimkan oleh pemimpin mereka kemudian mengambil sampel suaranya, dan dengan suara tiruan aku memberi mereka perintah palsu. Ini akan memberi kita cukup waktu.”

---------------------

Cukup lama Maya bersiaga menunggu perintah dari P yang tak juga datang.
“P…… P……”

“jangan bergerak dulu. Bersiagalah.”

“P…...”

Tak ada jawaban lagi dari seberang. Maya tampak berpikir keras. Nampaknya ia merasa ada sesuatu yang janggal. Akhirnya tanpa pikir panjang ia pun memberi isyarat agar pasukannya menerobos masuk. Dan mulailah orang-orang itu menembaki villa itu dan membuat Rio dan semua orang yang ada di dalam panik.

“Sembunyi!”
Pak Aji berteriak lantang sembari melayangkan tembakan pada orang-orang yang mulai mendekat.

“Bu Hesti….”
Rio berlari mendekat ke persembunyian Bu Hesti.

Baku tembak pun tak bisa dihindarkan. Namun tampaknya kali ini posisi Pak Aji dan kawan-kawan benar-benar terpojok. Mereka sudah terkepung.

Dan akhirnya sekeras apapun mereka mencoba melawan. Maya dan gerombolannya berhasil mengepung mereka. Maya pun memasuki villa itu dan berjalan dengan angkuhnya kearah mereka.

“Kalian benar-benar berusaha cukup keras.”
Maya berjalan mendekati Bu Hesti dan merebut kotak antivirus yang ada di tangannya.
“Apakah hanya ini?”

Bu Hesti mengangguk takut. Senyum puas tersungging di bibir Maya begitu melihat antivirus yang sekarang jatuh ke tangannya. Namun sontak senyum wanita itu surut. Tatapan matanya tiba-tiba tajam tertuju pada Rio. Wanita cantik itu mengacungkan pistolnya ke kepala Rio.

Mengerti apa maksud Maya, tanpa berkata apapun akhirnya Rio pun mengeluarkan 2 botol antivirus yang coba ia sembunyikan di dalam saku celananya dan menyerahkannya pada Maya.

“Kau benar-benar anak yang licik.”
Maya memasukkan 2 botol antivirus itu ke dalam kotak.

“Oh, iya. Bu Hesti, terima kasih atas kerjasamanya.”

“Eh?”

Pak Aji, Bu Mia dan Rio sontak memandang kaget pada Bu Hesti yang tampak juga tak mengerti dengan maksud perkataan Maya.

 Tiba-tiba salah satu anak buah yang ada di belakang Maya memberi isyarat bahwa THIRD-I tampak mendekat. Akhirnya Maya memberi perintah agar seluruh rombongannya lari melalui pintu belakang.

Anggota THIRD-I yang baru saja tiba bergegas berlari mengejar teroris yang melarikan diri itu. Mereka berhasil menangkap beberapa orang. Namun sayang tampaknya Maya sudah melarikan diri terlalu jauh sehingga luput dari kejaran.

---------

Maya menghadap P dengan kotak antivirus di tangannya. Dengan bangga ia menyerahkan kotak itu ke hadapan P. Laki-laki itu tersenyum puas atas hasil kerja anak buahnya.

“Aku harus memberitahu D bahwa kita sudah mendapatkan apa yang kita cari.”

P menimang-nimang kotak yang ada di tangannya. Ia berdiri dan berjalan ke tengah ruangan.
“Hei semuanya…..Sebentar lagi Raja kita akan bebas. Dengan antivirus ini kita akan menjalankan rencana pembebasannya.”

Semua orang yang ada disana tampak begitu senang mendengar kalimat P. Mereka semua terlihat tersenyum bahagia seolah mendapat kepastian bahwa hari kemenangan sudah di depan mata.

---------------

THIRD-I
Saturday, 10 July 2011
09.00 am

Bu Hesti meremas jemarinya menahan perasaan takut yang mendera karena sekarang ia berada di ruang interogasi karena dugaan bersekongkol dengan teroris. Tak lama kemudian masuklah Pak Aji ke dalam ruangan itu. Ia meletakkan sebuah flashdisk di meja yang ada di hadapan Bu Hesti.

“Kami sudah menelitinya. Tidak ada data di dalamnya. Flashdisk itu hanya sebuah transmitter yang membuat orang lain bisa melacak keberadaan kita. Anda mengatakan bahwa anda tidak tau mengenai teroris itu. Lalu bagaimana anda bisa medapatkan flashdisk tersebut?”

Bu Hesti memberanikan diri menatap laki-laki yang ada di depannya.
“Seseorang memberikannya padaku.”

“Siapa?”

“Seorang mahasiswa jurusan matematika. Namanya…… Patton Otlivio…”

Tanpa menunggu lama Pak Aji segera menghubungi Ita dan memerintahkan agar mencari orang dengan nama yang baru saja disebut oleh Bu Hesti.

Sementara itu Bu Mia sedang menghadap Pak Joni.
“Maaf Pak, antivirus yang kita temukan…. semuanya….”

“Tunggu…”
Tiba-tiba Rio masuk ke dalam ruangan Pak Joni dimana Bu Mia melaporkan semua kejadian saat di villa.

Pak Joni dan Bu Mia menatap Rio heran.
Rio menyodorkan sesuatu pada mereka berdua. Bu Mia kaget melihat sebuah botol kecil di tangan Rio.

“Ini antivirusnya Pak. Rio, bagaimana mungkin kamu….”

“Aku memasukkannya ke dalam mulut.”

Bu Mia dan Pak Joni saling berpandangan. Seulas senyum tak percaya tersungging di bibir mereka menatap Rio yang menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

.
.
.

Rio meninggalkan kantor THIRD-I dengan perasaan yang sedikit lebih lega. Setidaknya ia bisa mendapatkan antivirus yang menurut keterangan Bu Hesti bisa digunakan untuk 5 orang jika dikembangkan di laboratorium.

Sekarang Rio menuju rumah Ify. Ia menyadari kemarin dia meninggalkan Ify begitu saja tanpa menjelaskan sepatah katapun. Dan sekarang ia akan menceritakan semuanya pada Ify.

Rio memasuki halaman rumah Ify. Baru saja ia hendak mengetuk pintu tiba-tiba pintu di depannya dibuka dari dalam. Rio terkejut saat seorang laki-laki paruh baya keluar dari rumah Ify. Pandangan Rio tertuju pada lambang kepolisian pada seragam laki-laki itu. Sebuah bordiran nama bertuliskan “Luthfi” terpampang di dada kirinya. Laki-laki itu tersenyum sinis saat melihat Rio. Rio memandang laki-laki yang berlalu itu dengan tatapan bingung. Ia merasa ada sesuatu yang tidak mengenakkan. Bergegas iapun masuk ke dalam rumah Ify.

“Ify!”
Rio mencari Ify di dalam. Ia sontak berhenti berteriak memanggil saat ia melihat Ify duduk termenung membelakanginya di kursi ruang tengah.

Rio berjalan mendekati Ify.
“Ify….”

Perlahan Ify menengok pada Rio. Dan betapa terkejutnya Rio saat Ify memandangnya tajam dengan mata basah penuh air mata.

“Kenapa kak Rio tidak pernah bilang?”
Terdengar jelas getar suara gadis itu. Sekarang Ify berdiri tegap menghadap Alvin. Tampak jelas raut amarah di wajahnya.

“Apa?”
Rio tak mengerti arah pembicaraan Ify.

“Kenapa kak Rio tidak pernah bilang kalau yang membuat kakakku ditangkap polisi beberapa tahun yang lalu adalah kak Rio?!?!?!”

Rio terbelalak kaget mendengar bentakan Ify. Rahasia yang sampai sekarang belum siap ia katakan ternyata sudah terlebih dulu diketahui oleh Ify.

“Siapa yang mengatakan padamu?”

“Polisi itu….”

Rio mengepalkan tangannya. Bayangan polisi yang baru saja ia temui di pintu masuk berkelebat dalam ingatannya. Tanpa menunggu lama Rio bergegas berlari keluar. Seperti yang Rio duga polisi itu baru berjalan menuju mobilnya. Laki-laki itu berjalan dengan santainya sambil merokok. Tanpa ragu lagi Rio menarik punggung laki-laki itu.

“Kenapa anda mengatakan hal seperti itu pada Ify?!?!?”

Laki-laki yang ada dihadapannya seolah tak menggubris bentakan Rio. Dengan angkuhnya ia meniupkan asap rokok tepat di wajah Rio.

“Aku hanya melakukan investigasi. Kau adalah anak muda yang patut dicurigai. Aku hanya bertanya sedikit tentangmu pada gadis itu. Aku hanya menanyakan apa hubungan gadis itu denganmu yang sudah membunuh kakaknya. Hhh…. Ternyata dia tidak tahu.”

“Seharusnya anda tidak perlu bicara yang tidak-tidak pada Ify!!!”

“Hei anak muda. Aku tidak peduli dengan perasaan gadis ingusan itu. Yang ku butuhkan hanyalah informasi. Dan aku bisa melakukan apa saja demi mendapatkannya.”

“Kau!!!”
Rio meraih kerah laki-laki itu namun dengan sigap laki-laki itu menghempaskan tubuh Rio hingga tersungkur ke tanah.

“Aku akan datang lagi untuk mendengar cerita dari teman cantikmu itu lain kali.”
Dengan santainya polisi itu berjalan meninggalkan Rio yang masih berusaha bangkit. Rio hanya bisa menatap tajam punggung laki-laki yang menghilang ke dalam mobil itu.

Teringat pada Ify, Rio pun bergegas berlari kembali masuk ke dalam rumah Ify. Baru saja ia hendak masuk tiba-tiba Ify berjalan dari dalam dan hendak menutup pintu.

“Ify!”

“Pergi!!!”
Sekuat tenaga Ify mendorong pintu yang berusaha diganjal oleh Rio.

“Ify! Aku tidak bermaksud untuk berbohong!”

“Jangan datang lagi!!! Aku tidak mau bertemu denganmu! Aku tidak percaya lagi padamu!!!”
Dan dengan sekali hempasan akhirnya Ify berhasil menutup pintu rumahnya dan menguncinya dari dalam. Rio berdiri terpaku di hadapan pintu yang sudah tak bergeming. Tangannya terkepal kuat menahan amarah.

Ify jatuh terduduk di balik pintu. Perasaan benci itu tiba-tiba mengguyur hatinya dan menghanyutkan segala perasaan yang selama ini ada untuk Rio. Bayangan kematian kakaknya seolah kembali terputar di otaknya. Dan air matanya tak mampu terhenti saat akhirnya dia menyadari bahwa peristiwa menyakitkan itu disebabkan oleh seseorang yang justru ia harap bisa mengobati rasa sakit hatinya.

-------------

Ruang tahanan khusus LP Cipinang
11.30 am

Laki-laki itu berjalan melewati lorong-lorong gelap menuju ruang tahanan khusus. Kedatangannya disambut oleh seorang penjaga yang langsung memberi hormat pada polisi tersebut.

“Saya Andi dari kepolisian. Saya akan melakukan interogasi pada Darma Praja terkait kasus pembunuhan penjaga ruang tahanan ini.”

“Baik Pak, tapi, bukankah seharusnya anda datang bersama pak Luthfi?”

Wajah Pak Andi sontak berubah murung.

“Ya, seharusnya dia mendampingi saya dalam interogasi kali ini. Tapi, beberapa menit yang lalu, beliau tewas dibunuh.”

Tampak jelas raut kekagetan di wajah si penjaga. Dan tanpa bertanya lebih lanjut penjaga itu segera membukakan pintu sel sehingga Pak Andi bisa masuk untuk menginterogasi Darma Praja.

Pak Andi berdiri di hadapan Darma Praja yang menatapnya tajam.
“Saya Andi dari kepolisian. Saya datang untuk menginvestigasi.”

Pak Andi mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dan sebuah pulpen. Ia tampak menulis sesuatu di atas buku agendanya. Pandangan mata Darma Praja tertuju pada pulpen yang dipegang oleh Pak Andi.

------------------------

Rio berjalan pulang setelah tak berhasil meminta Ify membukakan pintu untuknya. Sekian lama ia menunggu di depan rumahnya namun Ify tetap tak bergeming. Rio melangkah cepat. Tampak jelas raut kebingungan di wajahnya. Tiba-tiba ia merasakan ponselnya bergetar. Masih dengan pikiran campur aduk Rio mengangkat telfon yang ternyata dari Pak Joni.

“Rio kamu dimana?”

“Eh?”

“Dengar! Beberapa saat yang lalu, seorang polisi bernama Luthfi terbunuh.”

Rio sontak menghentikan langkahnya. Bayangan laki-laki yang ia temui di rumah Ify sontak berkelebat di pikirannya. Ia masih bisa mengingat bahwa nama polisi itu adalah Luthfi.

“Lalu apa hubungannya denganku?”

“Ada saksi yang mengatakan bahwa beberapa saat sebelum waktu kematian dia beradu mulut dengan seseorang. Dan itu kamu. Sekarang polisi mencarimu sebagai tersangka. Aku percaya kamu tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Karena itu cepatlah sembunyi sementara kami akan mencoba mencari solusinya.”

“Ba….baik.”
Tanpa menunggu lagi Rio bergegas menutup telefonnya. Ia menengok ke sekeliling. Matanya menangkap bayangan patroli polisi di kejauhan. Mereka tampak mencari seseorang. Rio pun bergegas berlari memasuki sebuah gang pertokoan yang ada di dekat tempat ia berada. Setiap kali ada polisi yang mendekat secepat mungkin ia akan berlari mencari arah lain.

--------------

Ify memandang halaman rumahnya melalui tirai jendela yang ia sibakkan sedikit. Tampak beberapa orang polisi berjaga-jaga di depan rumahnya. Baru saja mereka selesai menanyakan banyak hal padanya. Dan sekarang ia akan berada di bawah pengawasan polisi selama 24 jam karena polisi bernama Luthfi yang meninggal itu beberapa saat sebelum kematiannya datang ke rumah Ify.

Ify menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Ia merasakan mata itu kembali menghangat. Sekuat tenaga ditahannya rembesan bening yang mencoba mengintip dari balik kelopak matanya. Pikirannya terasa begitu penat karena tak jua bisa menerima kenyataan tentang Rio.

Ia tak menyangka bahwa anak laki-laki itulah yang telah merenggut satu-satunya saudaranya yang tertinggal. Setaiap kali Ia terbayang wajah Rio maka ia akan merasa dadanya begitu sakit dan kerongkongannya perih menahan getar kekesalan dan penyesalan yang terasa sangat menyakitkan.

Ify membuka matanya. Ia tertunduk menekuri lantai. Membiarkan buliran bening itu menghantam bumi. Sejenak ia bisa menahan, namun tak lama kemudian ia tak sanggup lagi untuk tidak terisak.

------------------

Rio terus berlari melalui gang-gang kecil menghindari polisi yang mulai banyak bertebaran di jalanan. Ia merasakan getar dari ponselnya. Zahra memanggil.

“Halo.”

“Rio kamu dimana? Ada banyak polisi di depan rumahmu. Sepertinya keadaan semakin memburuk.”

Belum sempat Rio menjawab pertanyaan Zahra, tiba-tiba Shilla yang saat itu sedang bersama Zahra sontak merebut ponsel dari Zahra.

“Rio! Kamu mungkin dijebak, seperti apa yang terjadi pada ayahmu. Kami akan melindungimu. Kamu dimana? Zahra menyarankan tempat yang aman untuk bersembunyi.”

“Aku di….”
Kalimat Rio terhenti saat ia merasakan punggungnya ditarik dari belakang. Rio menoleh kaget pada sosok di belakangnya.

.
.
.
.
.
.

“Alvin?!?!”

Alvin merebut ponsel Rio.
“Ini Alvin, aku sudah menemukan Rio. Aku akan membawanya kesana.”

Setelah menutup telfon dan menyerahkan kembali ponsel Rio. Alvin segera mengajak Rio menuju tempat persembunyian yang sudah mereka rencanakan.

---------------------------

Rio tampak kebingungan saat mengetahui bahwa ternyata tempat yang mereka tuju adalah sekolah. Hari sabtu sekolah memang kosong. Alvin terus berjalan mendahului masuk ke dalam sekolah.

Mereka berjalan menyusuri lorong di lantai dua.

“Rio!”
Teriakan dari arah samping sontak menghentikan langkah mereka. Tampak Shilla berdiri di depan sebuah ruangan di pojokan gedung sambil melambai-lambaikan tangan pada mereka berdua. Di belakangnya tampak Zahra juga menunggu.

Rio dan Alvin bergegas menuju kearah Shilla. Mereka memasuki ruangan kecil itu. Begitu banyak barang-barang yang berserakan di sana. Udaranya pun terasa begitu berdebu. Selama mereka bersekolah disini mereka belum pernah masuk ke ruangan itu. Selama ini mereka pikir itu adalah gudang.

Alvin yang masuk setelah Rio kaget saat melihat Gabriel pun ikut datang. Ia hanya tau bahwa Shilla dan Zahra lah yang merencanakan semua ini.

“Ruangan apa ini?”
Rio memandangi seisi ruangan yang tampak begitu berantakan.

“Ini ruang gelap. Gabriel membuatnya saat masih ada di kelas X.”

Gabrielpun melanjutkan penjelasan Zahra.
“Dulu aku sudah mendaftar ke klub Koran sekolah. Aku berfikir bahwa mungkin kita akan membutuhkan sebuah ruang gelap untuk mencetak foto-foto. Aku mendengar ada sebuah ruangan yang tidak terpakai. aku meminta ijin pada kepala sekolah untuk menggunakannya. Tapi, pada akhirnya kita sampai di era kamera digital ini. Jadi, tidak ada gunanya lagi. Karena itulah ruangan ini jadi terbengkalai begini.”

“Sebenarnya Gabriel lah yang punya ide untuk membawa Rio kesini. Dia sangat ingin membantu Rio ke tempat yang aman.”
Zahra menimpali.

Mendengar semua itu Rio justru tertunduk.
“Tapi, aku tidak bisa melibatkan kalian semua dalam masalah ini.”

Melihat Rio yang seperti itu Gabriel berjalan mendekatinya dan menepuk pundaknya.
“Kita adalah teman kan? Aku tidak akan lari lagi. Aku akan ikut berjuang bersamamu.”

Kalimat Gabriel itu disusul anggukan oleh Alvin, Shilla dan Zahra. Rio menatap haru sahabat-sahabatnya itu.

Tiba-tiba Shilla menepukkan tangannya memecah suasana kaku di antara mereka.
“Baiklah….. sekarang mari kita beres-beres.”

Tanpa menunggu lama lagi mereka semua pun mulai merapikan barang-barang yang berserakan disana. Mereka mencoba mebuat tempat itu menjadi sedikit nyaman untuk ditempati karena sepertinya mereka akan singgah disana untuk waktu yang tidak sebentar. Rio dan Alvin saling membantu mangangkat meja yang ada di pojokan ruangan. Shilla dan Zahra merapikan buku-buku yang tadinya berserakan dilantai. Sementara Gabriel memindahkan box-box yang ada di atas kursi ke rak-rak yang bersandar di dinding.

Di tengah kegiatannya tiba-tiba bayangan Ify melintas di fikiran Rio. Walaupun sekarang dia sudah berada di tempat yang aman, tapi ia tidak tau seperti apa keadaan Ify sekarang. Perasaan bersalah sekaligus khawatir sontak menyeruak di batin Rio. Ia hanya bisa menghela nafas dalam untuk sedikit meredakan kesesakan yang menghimpit dadanya karena teringat betapa tadi Ify tampak sangat membencinya dan ia belum sempat mengatakan apapun pada gadis itu hingga sekarang.

“Gabriel?”

Rio, Shilla dan Alvin pun sontak mengarahkan pandangan pada Gabriel yang juga sontak menghentikan kegiatan beres-beresnya saat Zahra dengan panik menyebut namanya dan membuat pandangan semua orang tertuju pada dirinya.

Mereka terbelalak menatap wajah Gabriel.
Gabriel yang merasa ada yang aneh di wajahnya, menggerakkan tangannya dan mengusapkan punggung tangannya ke hidung. Dan betapa terkejutnya dia saat ia melihat bercak merah itu tergambar jelas di punggung tangannya. Sejenak kemudian Gabriel merasa perutnya begitu mual. Ia mulai terbatuk-batuk merasakan rasa yang aneh menyeruak dari dalam kerongkongannya.

“Iel kamu ngga apa apa??”
Baru saja Shilla hendak mendekat pada Gabriel tiba-tiba Gabriel memuntahkan darah segar dari mulutnya. Shilla sontak menyurutkan langkahnya melihat Gabriel berlari ke wastafel yang ada di pojok ruangan.

Untuk beberapa saat Gabriel terus memuntahkan darah segar. Mimisan di hidungnya juga belum berhenti.

Rio terbelalak menatap keadaan sahabatnya yang terasa begitu aneh. Sebuah pikiran buruk sontak melintas di kepalanya.
“Gabriel!”