Kamis, 14 Juli 2011

Pernahkah Kau Merasa

2 Juni 2010 06.00

Ting…ting…ting….
Ting…ting…

                          Ujung jarinya mulai terasa panas. Sudah belasan lagu mungkin yang ia lantunkan sambil memukul-mukulkan jari telunjuknya pelan pada pagar besi rumahnya. Kakinya mulai pegal setelah berdiri sekian lama di tepi jalan yang mulai menghangat. Sinar matahari pagi merangkak perlahan kearah dirinya seiring semakin lama waktu berjalan.

                         Untuk kesekian kalinya ia maju beberapa langkah ke tepi jalan dan melongok ke kejauhan. Tak ada bayangan siapapun yang mendekat. Hanya bayangan samar-samar tukang becak di kejauhan yang berangsur-angsur mendekat kearah komplek rumahnya.

                       Gadis itu menghela nafas sekali lagi. Wajahnya mulai kusut setelah menunggu hampir setengah jam.

                       “oke,15 menit lagi. Awas aja kalau ngga datang juga.”
                      Gadis itu bergumam pelan sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku tasnya. Ditatapnya sebentar layar ponselnya. Sama sekali tak ada pesan maupun telfon masuk. Akhirnya dengan wajah dongkol gadis itu kembali mengetik pesan untuk yang kelima kalinya.

"Km lg ngapain sih? Lm amat?"

Message sent.

                         Ia masih menatap layar ponselnya. 5 detik, 10 detik…..

                         “Ahhhhh, kenapa ngga kekirim sih????”
                        Gadis itu mengepalkan tangannya dan kembali melongok ke kejauhan dengan bibir manyun. Tak ada apapun. Hanya tukang becak yang tadi ia lihat sekarang sudah berhenti di depan rumah salah satu tetangganya. Jalanan di kejauhan kembali lengang. Akhirnya gadis itu kembali bersandar di pagar rumahnya, dan untuk kesekian kalinya ia memulai kembali sebuah bait lagu sambil mengetuk-ngetukkan ujung jarinya ke pagar besi bercat hijau tua itu.

                         Sesaat kemudian ia berhenti bernyanyi untuk sejenak melirik detikan jam di pergelangan tangannya. 10 menit berlalu sejak pesan tak terkirim yang ia tulis tadi. Dia kembali mengetuk-ngetukkan jarinya. Kali ini ketukannya tak bernada. Ketukannya berubah menjadi cepat tak berirama mewakili hatinya yang mulai kesal.

                        Pintu rumah tak jauh di belakangnya perlahan terbuka.

                       “Sivia!”
                       Teriakan di belakangnya sontak membuat Sivia menghentikan ketukannya dan menoleh kearah pintu rumahnya yang tak begitu jauh dari pagar. Tampak mamanya berdiri keheranan masih dengan mengenakan celemek dapur.

                       “Kok kamu belum berangkat juga? Sekarang jam berapa?”
                         Terdengar nada khawatir dari suara wanita paruh baya itu.

                      “Nungguin temen, Ma. dia janji mau bareng sama Via.”
                       Sivia menjawab dengan wajah ditekuk tujuh.

                      “Terus temenmu mana? Nanti kamu telat kalau ngga cepet berangkat.”

                     Sekarang Sivia benar-benar tampak sangat kesal. Ia berkacak pinggang menatap ke kejauhan. Sejenak ia berpikir sambil memelototi jalanan lengang di depannya.
                     “Yaudah deh Ma, Via berangkat sendiri aja. Nanti kalau ada yang nyariin Via bilang aja  udah berangkat.”

                    Tanpa menunggu jawaban mamanya, Sivia langsung melangkah menjauh dari pagar rumahnya dengan tampang dongkol. mamanya hanya menggeleng-gelengkan kepala menatap putri satu-satunya itu berjalan sendirian dengan langkah gontai dan muka kesal.

                    Via berjalan sambil menimang-nimang ponselnya. Akhirnya gadis itu berdecak kesal dan mulai berlari kecil kearah jalan besar yang tinggal beberapa meter di depannya. Dengan sisa-sisa semangat gadis itu berlari menghampiri bis yang sedang berhenti menanti penumpang.
____________________

                Tok tok tok….

                Keheningan di dalam kelas sontak terpecahkan oleh suara ketukan pintu. Pintu kelas tersebut terbuka sedikit. Tampak kepala Sivia menyembul dari luar. Semua siswa menatapnya begitupun Bu Mia, guru bahasa Jepangnya yang sedang menulis deretan huruf kanji di papan tulis.

                “Maaf Bu, saya terlambat.”
                Dengan hati-hati Sivia menutup pintu kelas. Dengan langkah ragu ia melangkah masuk dan mendekat pada Bu Mia disertai ekspresi penuh rasa bersalah.

              “Tumben sekali kamu terlambat, Via?”
              Bu Mia menghentikan sejenak kegiatan menulisnya demi melihat murid kesayangannya yang tak pernah terlambat kali ini telat mengikuti pelajarannya.

              “Maaf Bu, tadi…... nunggu bisnya lama.”
               Sivia menggigit bibirnya pelan. Wajahnya masih tertunduk.

                    Bu Mia hanya mengangguk walaupun ia sempat mengangkat alisnya karena melihat ekspresi mencurigakan Sivia yang memang paling tak berbakat dalam urusan berbohong. Bu Mia mempersilakan Sivia untuk duduk karena mungkin Bu Mia pikir toh ini baru pertama kalinya Sivia terlambat.

                    Masih dengan wajah kesal Sivia melangkah ke tempat duduknya yang berada di pojok belakang.
                    Baru saja ia menghempaskan badannya ke kursi, Zahra, teman sebangkunya langsung menatapnya dengan tatapan curiga.

                    “Kamu bohong ya? Kelihatan tau.”
                   Zahra berbisik pelan. Sivia hanya membalasnya dengan bibir manyun. Ia langsung mengeluarkan buku tulisnya dan menyalin apa yang ditulis Bu Mia tanpa mempedulikan wajah sahabatnya yang masih penasaran menunggu jawabannya.

                        “Ck….”
                         Zahra hanya berdecak pelan lalu kembali melanjutkan kegiatannya menulis deretan huruf kanji yang tertera di papan tulis.

-----------------

2 Juni 2010 17.00

                        Sivia memencet nomor telfon yang ada di barisan teratas History call nya.
                        Ia mempersiapkan kalimat omelannya sambil menunggu panggilannya di angkat.

                       “Halo…”
                         Terdengar suara di seberang sana.

                         “Hm.”
                           Sivia hanya menggumam ketus. Ia bersiap-siap mengambil nada dasar sebelum meluncurkan rentetan omelannya.

                          “Hehe Via….”
                           Suara di seberang justru terdengar cengengesan tanpa beban.

                           “Alviiinnnn!!!!!! Kamu tu kemana aja???? Tadi pagi aku nungguin ampe jamuran tau!!! Hape juga ngga aktif kenapa sih???? Kalau ngga bisa datang bilang dong, biar aku ngga nungguin. Kan aku jadinya telat nyampe sekolahnya!!! Dasar….Janjinya mau nganterin tapi malah ngga nepatin janji.Huhh”
                           Sivia mengambil nafas dalam setelah memberondong orang di seberang dengan rentetan kalimat tanpa jeda.

                          “Aduh….maaf….maaf banget….. Aku tadi ketiduran dan hpku ternyata mati soalnya baterainya habis. Aku aja bangunnya juga kesiangan dan jadinya tadi telat juga nyampe di kampus. Terus udah gitu nyampe kampus tugas numpuk seabrek jadi ngga sempet ngecharge hp. Baru aja ni hape bisa ku nyalain, aku mau sms kamu, eh kamunya udah duluan nelfon. Maaf….maaf banget……maaf ya?”
                         Terdengar nada memohon di seberang.

                       Sivia menghela nafas. Selalu saja begini. Dia paling tidak bisa marah pada orang satu itu. Entah kenapa, semarah atau sekesal apapun dia, jika sudah mendengar suaranya ataupun melihat wajahnya, rasa marah itu akan menguap entah kemana.

                        “Hmmmm.”
                        Akhirnya Sivia hanya bisa menjawab dengan gumaman. Sususan naskah omelan yang sedari tadi ia siapkan, tiba-tiba luntur begitu saja.

                          “Maaf ya Via. Lain kali aku ngga akan ingkar janji lagi. Jangan sedih ya….”

                          “Sedih? Aku tu ngga sedih, aku tu marah tau!”

                         “Oh bukan sedih ya? Habisnya kamu selalu sedih kalau ngga ketemu aku.”
                         Suara di seberang dengan PD nya membalas kalimat kesal Via dengan suara khas yang selalu bisa membuat Sivia gemas.

                        “Ihhhh….”

                         Akhirnya telfon yang diawali dengan kemarahan tadi pun berubah menjadi obrolan panjang yang penuh canda. Alvin selalu bisa membuat Sivia tertawa.

--------------------

8 Juli 2010 13.45

                     Bel pulang baru saja berbunyi beberapa detik yang lalu. Pak Dani pun masih sibuk membereskan bukunya di atas meja dan belum keluar dari kelas, tapi Sivia dengan penuh semangat dan senyum terkembang sudah duduk manis memeluk tasnya yang sudah rapi. Ia menatap Pak Dani yang bersiap keluar kelas.

                    “Buset dah, tumben amat semangat banget mau pulang.”
                     Zahra mengerutkan dahi menatap Sivia yang masih tersenyum lebar sambil bersiap melangkah begitu Pak Dani melewati pintu. Tangan Zahra masih sibuk merapikan kotak pensilnya sementara matanya tak bisa beralih dari wajah sahabatnya yang tampak cerah seharian ini.
                       Tepat begitu Pak Dani menghilang di balik pintu, Via menoleh cepat pada Zahra dan menyunggingkan senyum termanisnya.

                      “Ada deh…”
                        Hanya dua kata itu yang diucapkan Via sebelum akhirnya berlari meninggalkan Zahra yang tertegun melihat Sivia berlalu dari hadapannya.

                         “Heeeehhhhh????”
                         Begitu tersadar dari ketertegunannya, Zahra sontak bergegas membereskan peralatannya dan kemudian berlari menyusul Sivia.

                         Zahra melihat Via berjalan cepat menuju gerbang sekolah. Mata Zahra dengan cermat mengamati sahabatnya itu. Zahra sontak menghentikan langkahnya saat Via juga berhenti sejenak di pintu gerbang. Lalu lalang siswa yang berseliweran di hadapannya membuat tubuh Sivia timbul tenggelam dalam pandangannya. Dahi Zahra tampak berkerut saat melihat Sivia seperti tersenyum pada seseorang.

                         “Dia janjian sama orang?”
                         Sialnya Zahra benar-benar tak bisa melihat dengan siapa Sivia bertemu. Gerbang sekolah itu benar-benar padat. Baru saja ia hendak melangkah mendekat, tapi, ternyata ia terlambat, tubuh Sivia dan “dia yang tak diketahui siapa” itu sudah menghilang ke dalam bis umum yang baru saja lewat.

                       “Ahhhhh….”
                         Zahra sama sekali tak punya petunjuk kali ini.  Ia bahkan tak bisa melihat sedikitpun bentuk dan rupa orang yang ditemui Sivia tadi.

                         “Ahhhhh, sialllll. Sivia punya pacar baru ngga cerita-cerita.”
                         Zahra meninju pelan udara di depannya. Putus asa karena tidak punya petunjuk sama sekali akhirnya dia memutuskan untuk pulang dengan tangan hampa.

---------------------

                         Sivia lebih dulu turun dari bis.
                         Senyumnya langsung terkembang begitu melihat pemandangan yang terhampar di hadapannya. Bis yang ia tumpangi sudah berlalu.

                        “Ah, akhirnya kita kesini lagi. Makasih ya, kamu mau nemenin aku kesini lagi.”
                         Sivia menoleh dan tersenyum lebar pada Alvin yang berdiri di belakangnya. Alvin hanya mengangguk dengan ekspresi yang tak jauh berbeda dengan Sivia. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Senyum yang selalu bisa membuat Sivia merasakan kenyamanan saat bersamanya.

                          “Yuk…”
                            Sivia langsung menggandeng tangan Alvin dan menariknya menapaki jalan setapak yang terbuat dari kayu dimana di kiri kanannya adalah hamparan hijau rerumputan segar diselingi bunga berwarna-warni.

                             Mereka berjalan hampir 10 menit, hingga akhirnya sampai di sebuah tempat yang agak lebih tinggi dari tempat di sekelilingnya. Tempat yang menyerupai sebuah bukit kecil yang dihiasi bunga-bunga berwarna-warni yang tumbuh liar. Dari sana mereka bisa melihat pemandangan di kejauhan yang tampak seperti permadani hijau yang tergelar di atas bumi ciptaan sang Maha Kuasa. Pepohonan tinggi yang tumbuh merapat membuat udara disana terasa sejuk.

                          Sivia tersenyum menatap Alvin yang merentangkan tangannya sambil memejamkan mata. Alvin menghirup udara segar itu dalam-dalam. Ia tampak menikmati suasana itu.
                           Begitu membuka mata ia langsung menggaruk-garuk kepalanya begitu tau Sivia memandanginya dari tadi. Merekapun sontak tertawa saat pandangan mereka bertemu.

                              Sivia duduk beralaskan rumput sambil memandang langit luas di atas mereka. Disusul oleh Alvin yang langsung berbaring dengan wajah menantang langit. Mereka berdua hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Sejenak kesunyian merambati padang hijau itu.

                               “Di tempat ini…..Pertama kali kita bertemu, dan di tempat ini juga, kau menyatakan perasaanmu padaku.”
                           Alvin hanya tersenyum mendengar kalimat lirih yang diucapkan Sivia. Ia masih menatap langit yang tampak biru siang ini. Sinar matahari yang menerobos celah-celah tudung dedaunan merembetkan perasaan hangat dalam hati mereka. Sejenak kemudian ia mulai memejamkan mata sambil terus tersenyum mnikmati udara segar sore itu dan mendengarkan untaian kalimat Sivia.

                           “Kau tau? Aku sama sekali tak menyangka bahwa aku akan bertemu dengan seseorang sepertimu. Seseorang yang bisa membuatku tertawa lepas bahkan disaat aku menangis. Seseorang yang bisa membuatku merasa begitu hangat bahkan dibawah hujan lebat sekalipun. Seseorang yang membuat duniaku terasa begitu terang bahkan disaat kupejamkan mata.”
                             Sivia kembali tersenyum melihat wajah orang di sampingnya.
                            Alvin masih terus memejamkan matanya. Senyum itu, tak pernah hilang dari wajahnya. Ia membiarkan Sivia lama memandangi wajahnya. Membiarkannya merasakan ketenangan dan sedikit kebahagiaan.

------------------------------------

17 Oktober 2010

                         Sivia menggenggam erat tangan Alvin yang juga berjalan di sisinya. Udara pagi itu terasa begitu dingin namun cukup diimbangi dengan hangat sinar matahari pagi yang mulai menyembul di antara birunya langit.
                         Sudah sekitar 15 menit mereka bergandengan tangan menyusuri jalanan di taman kota yang begitu ramai di hari minggu pagi. Begitu banyak yang menghabiskan waktu disana. Dan kebanyakan mereka bersama pasangan mereka masing-masing. Dan tentu saja Sivia merasa sangat senang karena iapun bisa bersama Alvin menghabiskan waktu pagi itu disana.

                           Mereka hanya terdiam. Entah kenapa, hanya dengan saling menggenggam tangan dan merambatkan rasa hangat dari perasaan mereka masing-masing sudah cukup membuat mereka merasa begitu dekat. Alvin menatap rerumputan yang ada di kiri kanan jalan. Sesekali ia memalingkan wajah dan menatap Sivia yang masih tersenyum sepanjang jalan. Genggaman tangannya terasa semakin erat.

                          Sivia menoleh pada Alvin karena merasakan orang di sampingnya menggenggam tangannya semakin erat. Mereka hanya tersenyum saat pandangan mereka bertemu. Dan lagi-lagi mereka melanjutkan perjalanan dalam diam. Hanya senyum yang tersungging di bibir masing-masing yang mewakili apa yang mereka rasakan saat ini.

                     “Ah, Zahra!!!!”
                     Sivia tiba-tiba melambaikan tangannya pada Zahra yang jogging seorang diri di kejauhan. Zahra sontak menghentikan langkahnya dan balas melambaikan tangan pada Sivia tanpa mengucapkan apapun. Hanya senyum lebar yang bisa ia tunjukkan karena jarak mereka memang cukup jauh.

                       Sivia memberi isyarat pada Zahra yang kira-kira mengatakan “Duluan ya.” Dan tak lama kemudian ia kembali melangkah kearah lain bersama Alvin.

                      “Itu Zahra, temen sekelas sekaligus temen mainku kalau di rumah. Rumahnya yang cat hijau itu lho. Yang dulu kamu bilang kayak rumah jaman belanda.”

                      “Oh…”
                     Alvin hanya ber oh ria.

                           “Eh, tau ngga sih, dia tuh paling gencar kalau urusan cari jodoh. Tapi, sayangnya dia susah banget ngilangin sifat tomboynya, jadinya cowok-cowok pada takut gitu kalau ngedeketin dia. “

                           “Oh ya?”
                          Alvin tertawa mendengar kalimat Sivia. Merekapun melanjutkan langkah mereka sambil masih terus tertawa kecil membicarakan Zahra.

                           Sementara Zahra di kejauhan terus menatapnya dengan dahi berkerut.

-------------------------------------

1 Januari 2011 23:45

                              Sivia melawan dinginnya angin malam dengan menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya satu sama lain. Sesekali ia meniupkan nafas hangat ke kearah telapak tangannya tersebut untuk sedikit mengurangi rasa dingin. Pukul 23.45, Sivia masih tetap duduk di bangku kecil dari semen di tepi lapangan badminton kompleknya yang tampak lengang malam itu.

                       Malam tahun baru, komplek tempat tinggalnya tampak sepi karena semua orang berduyun-duyun merayakan pergantian tahun di pusat kota. Begitupun dengan Sivia dulu. Dia dan teman-temannya, juga Alvin, akan menanti detik-detik dimulainya tahun yang baru bersama ribuan orang yang lain menatap jam besar di gedung pusat kota. Dan jika tepat pukul 00.00 maka sontak suasana akan menjadi begitu terang benderang karena riuh rendah nyala kembang api.

                     Akan tetapi tahun ini berbeda. Kali ini Sivia akan merayakan tahun barunya hanya berdua bersama Alvin. Mereka berjanji akan bertemu disini, di lapangan badminton yang tak terlalu jauh dari rumah Sivia. Untuk pertama kalinya mereka akan menikmati malam itu hanya berdua.

                       Sivia menatap tumpukan warna-warni bungkusan kembang api yang ada di hadapannya. Tinggal 10 menit menuju pergantian tahun, selalu saja begini, Alvin selalu terlambat. Belakangan ini Alvin seringkali membiarkannya menunggu hingga berjam-jam bahkan tak datang sama sekali tanpa pemberitahuan. Sivia pun mulai berkali-kali menatap layar hpnya menunggu kabar dari orang yang ditunggu. Sedari tadi dia sudah berusaha menghubunginya tapi entah kienapa di saat-saat penting seperti ini ponsel Alvin selalu tidak aktif.

                      Sivia membenamkan wajahnya pada kedua tangan yang ia silangkan sambil memeluk lutut. Kalau sampai kali ini Alvin tidak datang dia benar-benar akan menangis sekarang.

                         5 menit menuju tengah malam. Mata Sivia mulai terasa menghangat. Untuk kesekian kalinya ia menatap layar handphonenya. Tetap tak ada kabar.
Air matanya pasti sudah jatuh kalau saja beberapa detik kemudian ia tak mendengar langkah kaki Alvin yang berlari terburu-buru ke arahnya. Sontak Sivia pun berdiri dan menatap Alvin yang terengah-engah di hadapannya.

                       “Maaf….”
                        Tampak titik-titik air kecil di wajah Alvin. Sivia pun segera melepas syal yang ia pakai. Tak peduli hawa dingin yang menerpa lehernya sekarang. Sivia mengusapkan syalnya ke wajah Alvin yang basah karena keringat. Sivia pun tersenyum. Sedikit terlambat, tapi kedatangannya cukup untuk membuat Sivia senang. Lagipula toh sekarang belum pergantian tahun.

                        “masih 3 menit lagi.,…”

                         “Ahhh!!!”
                         Sontak Alvin meraih satu bungkusan kembang api yang sedari tadi teronggok di paving lapangan.

                         “Korek…korek mana korek….”

                         Sivia tak kalah bergegasnya mencari korek yang tadi ia masukkan ke dalam saku. Alvin meraih korek itu dari tangan Sivia.

                       “Via, liat jam!”
                         Alvin bersiap menyalakan kembang api ditangannya, sementara Sivia menatap detikan jam di pergelangan tangannya dengan serius.

                         “Sepuluh….”
                         Sivia mulai menghitung mundur. Alvin semakin mendekatkan korek gas yang sudah menyala di tangan kanannya. Sementara tangan kirinya mengarahkan kembang api ke langit yang penuh bintang malam itu. Merekapun menghitung mundur bersama.

                            “Sembilan, delapan, tujuh, enam, lima…..”
                             Korek di tangan Alvin semakin mendekat. Entah kenapa jantung mereka selalu berdebar jika menghitung mundur waktu seperti ini.

                            “empat, tiga, dua….”
                            Alvin pun mengarahkan korek kearah sumbu kembang api, dan sumbu kembang api itu mulai terbakar.

                          “SATU!!!!”
                           Bertepatan dengan itu kembang api di tangan Alvin meluncurkan bunga-bunga indah yang melaju kencang ke udara dan membiaskan warna-warna yang indah begitu mencapai langit.  Suara berisik ledakan kembang api mulai memecah kesunyian malam di komplek itu.

                         5 menit sudah tahun 2011 berjalan. Sivia dan Alvin masih terus menyalakan belasan bungkus kembang api yang sudah Sivia beli. Sivia tampak tenggelam dalam kebahagiaannya malam itu. Tawanya membahana seiring gemerlap warna-warni cahaya yang meluncur dari tiap bungkus kembang api yang mereka nyalakan.

                          Ia begitu bahagia malam itu, ternyata, menghabiskan waktu berdua bersama orang yang ia cinta membuatnya bisa begitu bahagia. Ia terus, terus dan terus tertawa malam itu.

                       Mama dan papa Sivia mengintip dari jendela rumah mereka di kejauhan. Mereka hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mereka tidak akan melarang apapun yang ingin dilakukan oleh Sivia, asalkan itu bisa membuatnya ceria kembali.

---------------------------

15 Februari 2011

                           Sivia masih sibuk membolak-balik halaman buku Fisika yang sudah lusuh karena terus ia bawa kemanapun ia pergi selama 2 hari ini. Akhirnya tiba juga ujian Fisika yang akan dilaksanakan 10 menit lagi. Fisika memang pelajaran yang paling menakutkan bagi Sivia dari sekian banyak pelajaran di ujian semester kali ini. Ia memang paling lemah dalam hal Fisika. Sekeras apapun ia berusaha, selama ini nilai yang ia dapat selalu saja pas-pasan. Ia memang tak berharap banyak akan mendapat nilai memuaskan. Ia hanya perlu tetap bertahan agar nilainya tidak berada di bawah standar. Dengan bisa lulus ujian saja menurutnya sudah benar-benar melegakan.

                        “Tasnya tolong diletakkan di depan ya…”
                         Pengawas ujian tampak mulai membuka amplop yang berisi lembaran soal ujian semester. Semua anak mulai berdiri satu persatu dan beranjak ke depan kelas untuk meletakkan tas mereka masing-masing.

                        Sivia menatap layar ponselnya. Ia menatap wallpaper fotonya dan Alvin dengan pandangan penuh harap. Ia menggigit bibirnya pelan mencoba menahan perasaan takut dan berdebar yang sekarang terasa begitu menyesakkan. Dia butuh semangat.
                       Dan tepat saat ia hendak menutup ponselnya, tiba-tiba ia merasakan getaran di tangannya. Sontak ia membuka kembali layar ponselnya. Dan benar saja, apa yang ia tunggu benar-benar datang. Sebuah pesan dari Alvin.

“Semangat. Kamu sudah berusaha keras. Semoga hasilnya sesuai dengan yang kamu harapkan. Ganbatte!!!!”

                       Sivia menemukan apa yang ia cari. Sivia menemukan semangatnya.

                      “Yooosssshhh!!!!!!”
                        Sivia mengepalkan tangannya dan ia yakin kali ini ia pasti bisa.

-----------------------

12 April 2011

                         “Pergi dulu ya Ma!!!”

                        Mama Sivia langsung meninggalkan ayam bakarnya begitu saja saat mendengar teriakan Sivia yang berlari keluar rumah.

                        “Via!!! Jangan lupa nanti malem!!!!”
                          Mau tak mau mama Sivia pun harus berteriak dari depan pintu karena Sivia sudah keluar dari pagar.

                         “Okee!!!!”
                         Teriakan Sivia sayup-sayup terdengar. Mama Sivia hanya menggelengkan kepala karena tingkah laku putri satu-satunya itu. Begitu Sivia menghilang dari pandangannya, mama Sivia sontak teringat dengan ayam bakarnya dan bergegas berlari kembali ke dapur. Sore ini ia memasak masakan kesukaan putrinya itu dan mereka berjanji akan makan malam bersama untuk merayakan ulang tahun Sivia.

                            Sivia terus berlari menuju jalanan besar tempat bisnya menunggu. Dengan penuh semangat ia menaiki bis yang akan membawanya ke taman yang tak jauh dari komplek rumahnya.

                             Ia membaca kembali sms yang tadi siang dikirimkan Alvin.

Aku tunggu di bukit jam 5 sore. Jangan terlambat. Kita rayakan ulang tahunmu bersama disana. Aku menyiapkan kue yang sangat besar untukmu.

                              Sivia kembali tersenyum membaca sms dari Alvin. Ia menatap jalanan yang berlalu cepat di sepanjang rute yang ditempuh bis yang ia tumpangi. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan orang yang dicintainya itu.

                            Bis yang ia tumpangi telah berlalu, Sivia pun bergegas menyusuri jalan setapak yang akan membawanya ke bukit kecil yang tak jauh dari tepi jalan. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Sepanjang perjalanan ia tak henti-hentinya mendendangkan pelan lagu yang diciptakan Alvin untuknya. Matanya semakin berbinar saat bukit kecil yang ia tuju mulai tampak dalam pandangannya. Bergegas ia mempercepat langkahnya.

                        Ia duduk beralaskan rerumputan. Hamparan taman bunga di kejauhan memberikan perasaan nyaman setiap kali Sivia memandangnya. Ia menghirup nafas dalam-dalam masih dengan senym terkembang. Dengan semangat diraihnya ponsel dan headset dari dalam tasnya. Ia menyetting MP3 playernya menjadi “repeat one” dan mulai menikmati segarnya udara sore itu sambil mendengarkan lagu ciptaan Alvin yang menjadi daftar teratas playlistnya sekarang.

                        Sivia melepas headset dari telinganya dan menengok jam tangannya. Mulai terdengar decak bosan dari bibir gadis cantik itu. Tanpa sadar ternyata sudah 20 menit terlewat dari waktu yang dijanjikan. Sivia menghela nafas dalam kemudian memutuskan untuk memasang kembali headsetnya. Ia kembali menunggu.

                          Kali ini ia benar-benar beranjak dari duduknya dan melongokkan pandangan ke jalan setapak di kejauhan. Remang-remang matahari senja semakin memburamkan lukisan alam di depannya. Seberapa keraspun ia berusaha menajamkan pandangan, sosok yang ia tunggu tetap tak tampak datang.

                         Sivia bergegas memencet nomor Alvin yang sudah sejak tadi memenuhi history callnya. Untuk kesekian kali Sivia dibuat manyun karena suara operator telepon seluler yang sejak tadi terus menerus mengatakan bahwa orang yang ditunggunya sedang berada di luar jangkauan.

                        “Ya ya ya….”
                         Sivia melangkah pasrah menuruni bukit kecil tempat ia duduk sedari tadi. Masih dengan perasaan dongkol ia melangkah menuju tepi jalan dan segera menaiki bis umum yang akan membawanya ke rumah Alvin.

----------------------------

                          Rumah itu tampak sepi. Gerbangnya yang sudah agak berkarat menimbulkan bunyi berderit pelan saat Sivia membukanya. Sivia melangkah menapaki paving halaman rumah itu. Pandangannya menatap sekeliling berharap ada seseorang yang bisa ia tanyai tentang keberadaan Alvin.

                     Sivia menatap jam tangannya sebelum memutuskan untuk mengetuk pintu. Pukul 18.45. Sivia menggigit bibirnya pelan. Dia sudah terlambat 15 menit dari waktu yang ia janjikan pada mama papanya kemaren. Seperti yang ia duga, saat ia baru saja akan memencet bel rumah itu tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

 “Via, semuanya udah ngumpul. Kamu dimana?”

                     Sivia menghela nafas dalam saat membaca sms dari Zahra. Dia sudah berjanji malam ini akan makan bersama mama papanya dan juga Zahra, tapi sekarang apa yang dia lakukan, ia malah berdiri seperti orang bodoh di depan rumah Alvin.

                      Sivia mengetik balasan dengan cepat.

Bentar. Aku mau nemuin Alvin bentar aja. Udah terlanjur nyampe di rumahnya nih.”

                      Message sent. Sivia memasukkan hp nya ke dalam tas lalu mulai memencet bel rumah di depannya.

Ting tong.

                    “Permisi…..”
                     Sivia mengintip ke dalam melalui tirai jendela yang tersingkap sedikit. Tak ada tanda-tanda orang melangkah mendekat ke pintu. Sivia pun mengulangi memencet bel sampai dua kali. Tetap tak ada balasan.

                         Sivia menghempaskan tubuhnya dan duduk di teras rumah itu. Dipandanginya deretan bunga mawar kuning yang tertata rapi di antara rerumputan hijau taman rumah itu. Sorot lampu teras membuat warna-warni tanaman disana menjadi lebih indah.

                           Sivia mengusap lelehan hangat yang jatuh menelusuri pipinya. Rasa kesal di hatinya sudah membaur dengan kesedihan dan rasa takut. Benar memang apa yang dikatakan Alvin, ia selalu bersedih kalau tak berada di sisi Alvin.

                         Sivia menenggelamkan wajahnya dalam telapak tangannya. Ia biarkan isakannya teredam oleh bekapan tangannya yang mulai terasa dingin karena udara malam. Ia tak tau harus bagaimana sekarang. Mungkin dia berlebihan, tapi memang yang ia rasakan sekarang terasa begitu berat. Bahkan kakinya pun terasa terlalu lemah untuk melangkah pulang.

                          Sivia masih terus terisak hingga suara deru mobil di depan rumah itu membuat Sivia mengangkat wajahnya. Sebuah senyum penuh harap mendorong Sivia berlari kecil menuju depan rumah.

                         Senyum Sivia langsung surut saat ia menyadari bahwa yang datang bukanlah orang yang dia harapkan.

                        “Via…..”
                       Sosok yang baru turun dari mobil itu sontak memeluk Sivia yang tertegun di depan pagar.

                       “Via, pulang yuk….”
                       Orang yang tadi memeluknya sekarang sudah melepaskan pelukannya. Sekarang orang itu menggandeng tangannya dan menariknya kearah mobil.

                     “Zahra?”
                        Sivia menatap heran Zahra yang masih menggandeng tangannya erat.

                         “Via, kamu ngapain disini?”
                       Terdengar nada khawatir dari suara Zahra.

                      “Eh? Aku, nungguin Alvin. Tadi….”

                         “Alvin udah meninggal Via…”

                      “Eh?”
                      Tanpa bisa dibendung lagi air mata hangat itu merembes dari mata indah Sivia.

                      “Alvin udah meninggal.” Zahra mengulang kembali kalimatnya.

                        Sivia menarik tangannya dari genggaman Zahra. Tubuhnya reflek melangkah mundur menjauhi Zahra yang menatapnya khawatir.

                      “Ngga. Ngga, Ra….Alvin ngga meninggal. Kenapa sih kamu bohong? Alvin ngga….”
                      Sivia menghentikan kalimatnya dan sontak berlari kembali ke teras rumah Alvin. Zahra bergegas mengikuti. Sivia meraih tasnya yang ia geletakkan begitu saja di lantai teras. Ia mengeluarkan ponselnya dan bergegas membukanya.

                        Sivia tampak memencet-mencet tombol ponselnya dengan terburu-buru.

                       “Liat! Alvin baru aja sms….”
                      Bergegas Sivia menunjukkan daftar inboxnya.

                       Zahra mendekat dan menajamkan matanya memandang layar ponsel Sivia. Belum sempat dia membaca apa yang tertulis disana Sivia sudah terlebih dulu menariknya kembali dan lagi-lagi memencet tombol-tombolnya dengan cepat.

                     “Liat! Liat yang ini juga.”
                    Sivia kembali menunjukkan ponselnya sekejap dan menariknya kembali.

                      “Yang ini juga.”

                      “Terus yang ini. Terus…”
                         Saat Sivia akan menariknya untuk kesekian kali Zahra dengan cepat merebut handphone tersebut dari tangan Sivia. Dibukanya inbox yang tadi ditunjukkan Sivia. Tatapan mata Zahra tampak melebar. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Inbox Sivia penuh dengan nama Alvin.

                        Zahra melangkah mendekat kearah Sivia dan….

                       Plaakkk!!!

                       Sivia tertegun menatap sahabatnya.

                       “Liat Via!!!!! Liat!!!”
                     Zahra mengacungkan ponsel Sivia kearah wajah sahabatnya itu.

                       “Liat!!! Ini sms Alvin setahun yang lalu Via!!! Liat!!”

                      Zahra menarik kembali ponsel itu dan menunjukkan sms yang lain.

                       “Yang ini juga!!! Liat!!! Ini juga sms nya berbulan-bulan yang lalu. Sadar Via!!! Sampai kapan kamu kayak gini???”

                        Sivia menggeleng-gelengkan kepalanya. Air mata semakin deras membanjiri pipinya.
                       “Tapi,, dia….dia menelfonku…”

                      Zahra membuka history call ponsel Sivia. Dipandangnya sejenak apa yang tertulis disana lalu menyodorkannya kembali pada Sivia.

                       “Liat Via! Ini panggilan setahun yang lalu. Via sadar!!!!”
                       Zahra menarik tangan Sivia.

                      “Ngga!!! Nggaaa!!!”
                      Sivia meronta-ronta dari genggaman tangan Zahra. Ia menjambak rambutnya sendiri.

                     “Mau kamu nunggu sampai kapanpun disini dia tetap ngga akan datang Via! Dia dan keluarganya meninggal karena kecelakaan pesawat setahun yang lalu!”
                       Sivia jatuh terduduk di hadapan Zahra.

                        “Dia meninggal setahun yang lalu Via. Tepat di tanggal ini. Di hari ulang tahunmu. Dan sms ini….”
                        Zahra membuka sms terakhir dari Alvin.

Aku tunggu di bukit jam 5 sore. Jangan terlambat. Kita rayakan ulang tahunmu bersama disana. Aku menyiapkan kue yang sangat besar untukmu.”

                           “Ini smsnya saat ia ada di bandara. Waktu itu dia ada di Jepang dan mengirim sms ini saat ia akan pulang. Dan saat itulah kecelakaan itu terjadi Via….”
Zahra tak bisa membendung air matanya sendiri saat bayangan kejadian setahun yang lalu terlintas kembali dalam ingatannya. Ingatan saat sahabatnya menangis meronta di hadapan jenazah orang yang dicintainya tepat di hari ulang tahunnya.

                           “Dan sms ini.”
Zahra menunjukkan satu persatu pesan yang belum terhapus dari inbox Sivia.

                             “Ini saat kalian janjian untuk merayakan tahun baru setahun yang lalu. Dan yang ini, ini juga pesan saat kita akan ujian Fisika setahun yang lalu Sivia. Semua ini sudah terjadi berbulan-bulan yang lalu sebelum dia meninggal.”

                           “Nggaaa!!!!”
                            Sivia terus menangis sambil menjambak rambutnya sendiri.
                             “Bohong!!! Aku bicara dengannya!!! Dia menemaniku ke bukit!! Dia menemaniku ke taman kota!!! Kami bercanda di telfon!! Dia masih hidup!!! Kamu bohong!!!”

                        Zahra menarik kasar tubuh Sivia dan menyeretnya berdiri.

                      “Dia ngga pernah melakukan itu lagi Via!!!Nomornya pun udah ngga aktif lagi Via. Itu semua hanya hayalanmu!!! Itu semua hanya ada dalam bayanganmu!!! Dia udah ngga ada Via!!! Dia udah pergi!!! ”
Zahra mengguncang-guncangkan tubuh Sivia yang masih menatap tanah di bawahnya dengan tatapan tak percaya.

                         “BOHOOOOOOONGGGGG!!!!!!!!!!!”

******************************
Dia yang kau cinta
Tak kan pernah terasa jauh dimanapun ia berada
Namun, jika ia benar-benar tiada
Akankah kau merelakannya?

Akankah kau membiarkannya pergi
Dan menjadi seberkas kenangan
Ataukan membiarkannya tetap hidup
Dan menjadi bagian dari harimu
Selamanya?

Pernahkah kau merasakannya?
Merasakan orang yang tak kan pernah mampu kau gapai
Berada di sisimu
Dan menjadi pelipur dukamu?

Pernahkah kau merasakannya?
Merasakan orang yang begitu jauh dan tak terjangkau
Berada di sampingmu
Dan memberimu senyuman terindahnya?

Sehingga kau merasa kalian begitu dekat
Sehingga kau merasa ia begitu nyata
Hingga kau merasa ia benar-benar ada?
Pernahkah kau merasa?

Jumat, 01 Juli 2011

We Were There (CHAPTER 4)

Jejak yang ditinggalkan pena itu mulai tak berbentuk. Tinta hitam yang semula menuliskan deretan huruf-huruf kini sudah berganti dengan garis-garis tak beraturan menyerupai sandi rumput yang bahkan semakin lama semakin mendekati bentuk garis lurus.



Ify tersentak kaget saat matanya menatap kertas yang ada di hadapannya.

“Ahhh!!!”



Dipandanginya kertas berharga yang sedari tadi dengan sekuat tenaga coba ia isi di tengah ribuan hal yang sedang menghimpit pikirannya. Kejadian yang tadi siang ia alami masih menyisakan rasa penasaran tanpa ada seorangpun yang bisa membantunya menemukan jawaban atas apa yang ia pertanyakan.



Namun disisi lain, ada tugas yang tak kalah penting yang tak boleh ia lupakan. Sebenarnya di tengah-tengah ia memikirkan kejadian tadi siang, selalu saja ada satu kalimat yang menelusup pikirannya, yaitu “Aku tak mengenalnya dan itu bukan urusanku.” Akan tetapi ia tetap tak bisa membendung rasa penasarannya. Walhasil ia tenggelam dalam lamunan panjang sementara tangannya terus menggoreskan pena di atas kertas yang ia kerjakan.



Dengan desah putus asa Ify meremas kertas yang ada di tangannya. Sekarang ia sudah terlalu lelah untuk melanjutkan tugas papernya. Memikirkan kejadian tadi siang cukup membuat tubuhnya kehilangan banyak enargi dan sekarang yang tersisa tinggallah lemas yang menggelayuti tiap organ tubuhnya. Tugas paper tulis tangan itu harus ia serahkan besok sebagai syarat utama untuk masuk ke klub koran sekolah. Di tahun pertamanya sebagai murid SMA ia ingin setidaknya mengikuti satu ekskul saja. Dan klub Koran sekolah adalah yang ia pilih. Tapi, gara-gara lelaki bodoh itu sekarang ia kehilangan semangat untuk mengerjakan tugas prasyarat klub tersebut.



Dengan kesal Ify beranjak dari meja belajarnya dan melangkah gontai mengambil tas jinjing yang tadi ia geletakkan begitu saja di atas kasur. Dikeluarkannya laptop kesayangannya dari dalam tasnya itu. Ify memandangi laptopnya yang sudah tak berfungsi lagi.



“Aaahhh!!!!”

Ify menenggelamkan wajah ke kasurnya yang empuk masih sambil memeluk laptopnya. Namun, tiba-tiba bayangan wajah anak itu kembali melintas dalam pikirannya dan membuat Ify tersentak lalu buru-buru mengangkat wajahnya. Ia teringat kalimat yang diteriakkan anak itu sebelum ia pergi.



“Apa yang sebenarnya diinginkan anak itu? Kenapa dia begitu bersikeras melarangku melakukannya?”

Ify mengguman pelan. Sunyi. Pertanyaannya mengambang begitu saja. Pandangan matanya kembali tertumpu pada laptop rusaknya yang terdiam kaku di pangkuannya. Akhirnya sekali lagi Ify menenggelamkan wajah di kasur empuknya dan meluapkan kekesalannya dengan berteriak sekuat-kuatnya karena dengan demikian suara teriakannya tak kan terlalu terdengar.

______________



“Lepaskan!!! Arrrggghh!!!”

Rio terus berteriak meronta saat dua orang bertubuh kekar yang tadi membawanya sekarang menariknya keluar dari mobil dan menyeretnya memasuki sebuah gedung. Sekuat tenaga Rio mencoba melepaskan diri tapi tenaganya tak cukup untuk membuat dua orang itu meloloskannya. Mereka terus membawa Rio menyusuri lorong-lorong yang tampak remang-remang karena penerangan yang seadanya. Setiap orang yang mereka lalui menatap mereka dengan tatapan aneh.



Dua orang itu membawa Rio ke sebuah ruangan kecil yang dikelilingi oleh kaca-kaca hitam. Ruangan itu hanya berisi 2 buah kursi yang dipisahkan oleh meja kecil yang terbuat dari baja yang merembetkan hawa dingin ketika kulit menyentuhnya. Sebuah ruangan dengan penerangan yang sangat minim sehingga menimbulkan kesan suram dan dingin bagi orang yang memasukinya. Mereka menghempaskan tubuh Rio dengan kasar ke sebuah kursi disana. Mereka terus menahan tubuh Rio disana sampai akhirnya seorang laki-laki berambut putih memasuki ruangan itu dan membuat dua orang yang sedari tadi berlaku kasar padanya mengangguk hormat pada orang tersebut.



Lelaki tersebut duduk di kursi yang berhadapan dengan Rio. Mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja kecil.



“Lama tak bertemu, Rio. 4 minggu?”

Lelaki itu tersenyum pada Rio yang langsung memalingkan mukanya dari tatapan Kepala Kantor THIRD-I tersebut.



“3 minggu.”

Rio mengoreksi dengan ketus apa yang diucapkan Pak Susilo.



“Oh, 3 minggu ya? Hh, kau benar-benar menghitungnya dengan baik. Apa kau masih kesal karena kami memergoki ulahmu?”

Pak Susilo tertawa kecil di hadapan Rio yang masih menahan rasa kesal karena penangkapan dirinya kali ini.



“aku tidak melakukan apapun belakangan ini. Kenapa kalian membawaku kesini lagi?”



“Hmmmm. Mario Stevano. Kamu adalah seorang hacker yang jenius. Kode namamu adalah Falcon. Dan saat kami mengetahui bahwa kamu hanyalah seorang murid kelas 2 SMA kami benar-benar terkejut. Apalagi, saat kami tau kamu adalah anak dari Pak Tantowi.”

Pak Tantowi yang melihat percakapan mereka dari balik kaca mengepalkan tangannya mendengar apa yang diucapkan kepala kantornya. Jika bisa menolak, tentu saja ia tak akan membiarkan anaknya terlibat dalam masalah besar ini.



“Kami ingin Falcon membantu kami. Jakarta……akan musnah. Sebuah kota di Rusia telah menghilang. Sebentar lagi, mereka akan mencoba melakukan hal yang sama pada Jakarta.”



“Aku tau”

Jawaban ketus Rio membuat Pak Susilo tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, lalu sejenak kemudian ia tertawa kecil.



“Hhh, sudah kuduga dari seorang Falcon. Kamu tidak mungkin menyerah begitu saja hanya karena kami menangkapmu kan? Jadi, kamu juga sudah melihat video itu?”

Rio tak menjawab. Sekali lagi Pak Susilo tertawa kecil. Ternyata bocah di depannya bisa luput dari pengawasannya.



“ternyata ada bocah yang mencuri video berharga dari data kami. Kau memang anak nakal.”

Rio semakin menampakkan raut wajah jengah dengan orang tua di depannya yang tak juga mengatakan apa alasan ia ditahan.



“ Baiklah kalau kamu sudah melihat video itu, kami tidak perlu menjelaskan panjang lebar lagi tentang duduk permasalahannya. Kami membawamu kesini karena kami ingin kamu mencari tau apa yang telah terjadi disana. Tidak mudah untuk meminta informasi tentang terorisme itu langsung dari pemerintah Rusia. Mereka belum mau menerima negosiasi kami tentang informasi rahasia mereka itu. Di kota ini ada instalasi militer Rusia, Dan kami……….. ingin kamu untuk menge-hack komputer mereka. Aku rasa kamu bisa melakukannya.”



Kalimat itu sontak membuat Rio beranjak dari kediamannya.

“Anda menyuruh saya melakukan tindakan kriminal?”



“Jika kamu berpikir begitu, berarti kamu juga sudah melakukan tindakan kriminal 3 minggu yang lalu, dan juga mencuri data rahasia kepolisian itu adalah tindak kriminal tentunya.Bukankah begitu?”



Rio tercekat mendengar perkataan yang benar-benar telak baginya.



“Karena kemampuanmu bisa menyelamatkan orang lain, kenapa kamu tidak menggunakannya?”



“Aku menolak.”

Rio menjawab singkat. Pak Susilo menghela nafas, ia mendekatkan wajahnya ke hadapan Rio.



“Dengar, Falcon. Kau, teman-temanmu, keluargamu, semuanya akan musnah, Jakarta akan musnah. Jika kau bisa menyelamatkan mereka, apa kau akan diam saja?”

Pandangan dua orang itu bertemu. Tak ada sepatah katapun yang bisa diucapkan Rio. Untuk beberapa saat kemudian mereka hanya saling melempar pandangan tajam satu sama lain.



--------------------



Rio berjalan gontai menuju kamarnya. DI dalam pikirannya sekarang masih berseliweran kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Pak Susilo. Tanpa menunggu persetujuan darinya mereka dengan seenaknya memberinya batas waktu sampai 3 hari untuk mendapatkan data dari militer Rusia tersebut. Mereka bahkan memberinya laptop khusus untuk tugas yang mereka berikan tersebut.



Di tengah kebimbangannya menentukan pilihan, tiba-tiba langkahnya terhenti saat pandangannya tanpa sengaja tertumpu pada sebuah foto yang terpampang di meja depan. Foto keluarga mereka. Ayah, Ibu, dia dan adik perempuannya saat mereka semua masih bisa tertawa bersama. Ibunya sudah meninggal karena kecelakaan. Sementara adiknya harus meninggal di usia muda karena gagal ginjal yang dideritanya. Dan ayahnya……



Begitu pandangannya sampai pada wajah ayahnya, sontak Rio mengerjapkan matanya dan segera berlalu dari sana. Entah kenapa setiap kali ia mengingat ayahnya ia akan merasa begitu kesal. Sudah hamper 2 minggu ayahnya tak pernah sekalipun pulang ke rumah. Alasan pertama ayahnya adalah bahwa ia harus menuntaskan terorisme yang sedang melanda Jakarta. Oleh karena itulah Rio mencuri data rahasia THIRD-I untuk mencari tau apa yang terjadi. Awalnya ia bisa memaklumi keputusan ayahnya, akan tetap setelah hampir dua minggu ia sama sekali tak melihat wajah ayahnya hatinya mulai berontak. Bahkan saat siang tadi ia ditangkap oleh THIRD-I pun ayahnya sama sekali tak mau menampakkan batang hidungnya. Padahal ia adalah commander di THIRD-I yang seharusnya ikut berbicara padanya mengenai hal tadi. Saat ini ia benar-benar merasa sendiri di tengah beban pikiran yang sekarang harus dipikulnya.



Rio membanting pintu kamarnya hingga menimbulkan suara bergema di rumahnya yang sepi itu. Rasa kesal pada ayahnya benar-benar telah hampir sampai pada puncaknya.



***Domain: we were there. Password:chapter 4***



Rabu, 29 Juni 2011



Ify menarik nafas dalam-dalam sebelum membuka handel pintu di hadapannya. Kali ini dia benar-benar nekat. Dia datang ke ruangan itu tanpa membawa apapun.



Perlahan Ify membuka daun pintu dan melongokkan wajahnya melihat keadaan di dalam. Pandangannya langsung disambut oleh tatapan 6 orang di ruangan tersebut. Mereka semua langsung menoleh kearah Ify saat pintu ruangan itu berderit pelan menampakkan wajah Ify yang mengintip ke dalam.



“Ify ya?”

Seorang perempuan berambut panjang menyapa Ify sambil mendekat ke arahnya. Ify hanya mengangguk pelan.



“Masuk masuk….”

Seorang laki-laki dengan kamera SLR tergantung di lehernya mempersilahkan Ify masuk. Ragu-ragu Ify mendekat pada mereka. Sekuat tenaga ia mengatur nafasnya agar tak tampak tersengal karena perasaan berdebar yang sekarang semakin melanda dirinya. Apapun yang terjadi, ia harus siap dengan konsekuensi atas kenekatannya menantang mereka.



“Selamat datang di Klub Koran sekolah. Tugasnya?”



Seperti yang Ify duga, itu adalah hal pertama yang mereka tanyakan. Ify menggigit bibirnya pelan. Inilah saatnya ia menerima segala resiko atas kebodohannya.



“Anu kak……… maaf……….. saya………… belum bikin.”

Begitu kalimat Ify yang terbata-bata itu berakhir, raut wajah 4 orang di hadapannya langsung berubah. Sementara 2 orang yang lain masih berkutat menulis sesuatu. Sepertinya dua orang itu adalah anak magang seperti dirinya.



“Kenapa belum buat?”

Satu lagi anak laki-laki dengan rambut agak berantakan beranjak dari duduknya dan langsung memasang wajah galak di hadapan Ify. Melihat wajah orang di depannya sekarang membuat Ify menggigit bibirnya pelan.



“Jawab dong jangan diem aja.”



Ify menelan ludahnya sebelum akhirnya ia berani mengeluarkan suara.

“Maaf kak, saya….”



Suara Ify sontak terhenti begitu terdengar suara pintu terbuka. Semua orang pun langsung mengalihkan pandangannya pada daun pintu yang perlahan menampakkan seseorang yang membawa sebuah kardus cukup besar di tangannya.



“Eh? Ify?”

Semua orang langsung mengerutkan kening saat orang yang baru masuk tersebut langsung melihat ke arah Ify dengan senyum terkembang. Berbeda dengan Ify yang tersentak dan tanpa sadar melangkah mundur saat melihat wajah orang itu telah tampak sepenuhnya dari balik daun pintu.



“Kamu?!?!?”

Ify tak bisa menyembunyikan ekspresi shock dari wajahnya.



“Kamu kenal ,Yo?”

Anak laki-laki berambut berantakan yang sedari tadi memasang wajah menyeramkan sontak berubah ekspresi melihat Rio yang tampak akrab dengan anak perempuan di depannya.



“Ah, iya. Dia Ify. Aku mengenalnya.”



Ify masih belum bisa mengatakan apa-apa. Matanya masih melotot menatap anak laki-laki itu.



“Dia tidak mengerjakan paper yang kita minta.”

Perempuan berambut panjang tadi langsung mengadukan kebandelan Ify.



“Oh, iya, maaf maaf, kemaren dia membantuku melakukan sesuatu dan sepertinya dia kelelahan. Dia sudah meminta ijin padaku untuk minta waktu tambahan satu hari lagi.”

Dengan santainya anak laki-laki itu melangkah melewati mereka dan menuju rak besar di pojok ruangan sambil mengucapkan kalimat itu dengan santai tanpa mempedulikan Ify yang semakin ternganga di tempatnya.



“Melakukan apa?”

Tampak ekspresi tidak percaya dari wajah anak laki-laki dengan kamera di lehernya.



“Suatu hal yang penting.”

Rio tak memalingkan wajah pada mereka sedikitpun. Dia masih sibuk merapikan tumpukan kertas-kertas dari kardus yang tadi ia bawa.



“Tapi kan…”



“Langsung aja kita mulai yuk. Keburu sore nih.”

Rio memotong kalimat teman perempuannya begitu saja dan langsung duduk di salah satu kursi yang mengelilingi satu meja panjang di ruangan itu. Empat orang lainnya langsung mengikuti walaupun dengan ekspresi wajah yang masih sedikit penasaran. Dua orang anak magang lainnya yang sudah duduk sedari tadi sekarang menghentikan kegiatan menulisnya dan duduk diam menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.



Sementara itu, dengan bodohnya Ify masih berdiri tercengang sambil menatap Rio. Semua orang yang menyadari tingkah Ify sontak menatap Ify dengan dahi berkerut.



“Ify ayo duduk.”

Perempuan berambut panjang tadi melambaikan tangannya pada Ify. Ify mengerjapkan kedua matanya dan dengan langkah ragu ia mendekati kursi yang berada di sebelah dua orang anak magang yang lain. Matanya masih menatap Rio yang sekarang sedang sibuk membolak balik buku agendanya.



“Oke, selamat siang semuanya…”



“Siang.”

Dua orang anak magang itu menjawab dengan penuh antusias. Sementara 4 orang lainnya menjawab ala kadarnya. Dan Ify, ia masih terdiam terpaku mencoba menenangkan gejolak dalam hatinya.



“Terima kasih atas kedatangan kalian semua di gathering kita yang pertama siang ini. Agenda siang ini adalah penyambutan adik-adik magang yang akan bergabung dengan klub Koran sekolah sampai satu tahun ke depan. Setelah melalui proses seleksi akhirnya kami memilih kalian bertiga sebagai siswa magang untuk kepengurusan tahun ini. Sebelumnya saya minta maaf karena mungkin saya belum sempat bertemu langsung dengan kalian selama seleksi kemarin karena ada hal lain yang harus saya kerjakan. Langsung saja berhubung sudah sore juga, kita mulai saja dengan perkenalan. Mulai dari samping kiri saya ada Alvin, kelas 2D, Koordinator lapangan klub Koran sekolah.”

Rio menunjuk anak laki-laki berambut berantakan yang tadi memasang wajah menyeramkan pada Ify. Anak laki-laki bernama Alvin itupun tersenyum pada ketiga anak magang yang ada disana. Seketika wajah menyeramkan yang ia pasang tadi langsung hilang dan berganti dengan wajah ramah yang membuatnya terlihat lebih baik.



“Kemudian ada Shilla kelas 2D juga, sekretaris. Dan ada Zahra kelas 2B, bendahara.”

Rio menunjuk perempuan berambut panjang yang tadi menyambut Ify, lalu kemudian satu perempuan lagi yang sedari tadi tampak diam. Perempuan yang bernama Zahra tersenyum ramah pada anak-anak magang. Wajah cantiknya semakin tampak lucu dengan rambut yang dikuncir cepol dan kacamata berframe pink yang ia kenakan.



“Yang ini Gabriel, kelas 2H, Koordinator rubrik.”

Rio menunjuk anak laki-laki yang sesekali mengambil foto mereka dengan kamera yang tergantung di lehernya.



“Oke, dan saya sendiri, Rio, kelas 2D, ketua klub Koran sekolah. Selamat datang dan selamat bergabung di klub ini.”

Di akhir kalimat Rio melirik dan tersenyum pada Ify. Dan itu membuat Ify langsung menundukkan wajahnya. Ify masih tak habis pikir, apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah kemarin Rio dibawa oleh orang-orang berbadan kekar? Lalu sedang apa dia disini? Di sekolah ini? Duduk satu ruangan dengannya dengan senyum menyebalkan yang membuat Ify serasa ingin melempar sepatu ke wajah anak itu? Apalagi Rio yang ia lihat sekarang sungguh berbeda dari yang ia temui sebelumnya. Rio yang berada di hadapannya sekarang tampak lebih ceria, tak seperti Rio yang Ify temui sebelumnya yang benar-benar menyebalkan, menyeramkan, penuh misteri, dan cenderung sedikit gila.



Agenda selanjutnya adalah giliran perkenalan anak magang, kemudian dilanjutkan dengan perkenalan program kerja klub Koran sekolah dan ditutup dengan foto bersama. Ify menjalani acara siang itu benar-benar dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Pikirannya sudah melayang kemana-mana. Di sepanjang acara sore itu ia lebih banyak diam dengan pandangan yang sesekali melirik pada Rio. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Rasa penasaran, kesal, marah, bingung, takut, semua campur aduk menjadi satu. Akhirnya ia sadar kenapa beberapa saat yang lalu ia merasa seperti pernah mengenal anak itu. Ternyata ia pernah melihatnya sekilas di foto pengurus klub Koran sekolah yang terpajang di pamflet open recruitment saat penerimaan siswa baru.



Ify tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya dan kegilaan-kegilaan apa lagi yang akan menimpa dirinya setelah pertemuannya dengan hacker sialan itu siang ini. Ia benar-benar harus menemukan jawaban atas rasa penasarannya itu secepat mungkin atau kalau tidak dia mungkin bisa mati penasaran karena memikirkannya.



***Domain: we were there. Password:chapter 4***



Kamis, 30 Juni 2011



Sudah 15 menit dari bel masuk tetapi guru pengajar mereka belum juga tampak memasuki kelas. Sementara itu Rio masih menatap langit di luar jendela kelas dengan tatapan kosong. Pagi ini pikirannya kembali melayang pada kalimat-kalimat yang diucapkan Pak Susilo.



“Teman-temanku akan musnah, keluargaku akan musnah, semua orang akan musnah.”

Rio mengguman pelan masih dalam lamunannya.



Beberapa detik kemudian sontak dia tersadar dan langsung meraih tas yang sedari tadi ada di hadapannya. Bergegas ia mengeluarkan laptopnya dan secepat mungkin menyalakannya. Rio memandangi laptop dengan logo THIRD-I yang ada di hadapannya. Masih ada sedikit keraguan dalam hatinya. Akan tetapi tak lama kemudian ia meraih flashdisk yang tergantung di lehernya dan menancapkannya pada slot laptopnya. Begitu flashdisk hitam dengan tulisan SAVE THE DATA itu tertancap, muncullah lambang burung yang langsung mendominasi layar laptopnya dengan warna merah. Sesaat kemudian warna merah itu hilang dan berganti dengan box command prompt. mulailah Rio meregangkan jari-jarinya sebelum akhirnya berkutat dengan tuts-tuts keyboard. Akhirnya Rio sudah mengambil keputusan.



falcon@ws2 # nasm sc3.asm

falcon@ws2 # python –I atk3.py web25.boucka.ru 2323 –f sc3

Getting ebp offset

Saved ebp: 8xbf97ced8 ret to: 8xbf97cd84



Rio terus bergumam sementara jari-jemarinya mengetik dengan cepat. Ia mencari cara agar bisa masuk ke database militer Rusia.



“Target adalah instalasi militer Rusia. Tapi, jika aku masuk dari depan, maka kemungkinanku untuk bisa lolos adalah mustahil.”



Press enter to connect again

Recv: 31 c8 5a eb 8c e8 f9 ff ff ff 2f 62 69 6e 2f 73 68 5b 52 8d 4b 88 88 41 ff 89 19 8d 51 84 89 82 84 8b cd 88 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41 41

Id

Vid=8(root) gid=8(root) groups=8(root)

Cd /var/www

Ls –la



“Tujuan utama adalah titik terlemah dari security system. Kemudian mencuri passwordnya dan menjadi administrator, lalu kemudian memasuki security system level selanjutnya.”



Total 16

Drwxr –xr-x 2 root root 4896 Sep 2 19:42

Drwxr –xr-x 16 root root 4896 Aug 25 02:38 passwd index.html

Password found 4e6ayw6pa

Test:46zdVar.TqDQQ

>>>



“Jika aku melakukan ini berulang-ulang, aku bisa semakin dekat pada target.”



falcon@ws2 # nasm sc3.asm

falcon@ws2 # python –I atk3.py web25.boucka.ru 2323 –f sc3

Getting ebp offset

Saved ebp: 8xbf97ced8 ret to: 8xbf97cd84



Jemari Rio terus mengetik deretan kode-kode yang akan membawanya semakin dekat pada tempat penyimpanan data. Sekarang ia sudah memasuki level keempat dari security system. Namun, tiba-tiba…



“Sial…..gerakku terdeteksi.”



Secepat mungkin Rio mengetik deretan huruf untuk meloloskan diri sebelum seluruh gerbang host tertutup. Surveillance system instalasi militer Rusia tersebut baru saja menangkap gerak geriknya yang mencurigakan. Jika ia tidak bisa mengejar waktu maka ia akan tertangkap dan itu akan menjadi masalah besar untuknya.



Kill -9 $$

Connection closed.

>>>connkill ()

Stopping../succesfull.



Rio menghempaskan punggungnya ke sandaran kursinya. Nafasnya cukup memburu setelah berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan diri.



“Hampir saja.” Rio menggumam lega.



Baru saja ia mencoba mengatur ritme nafasnya, tiba-tiba masuklah Kepala sekolah ke kelas mereka. Kedatangan kepala sekolah kali ini mengundang reaksi yang berbeda dari siswa yang ada disana. Seisi ruangan mulai gaduh begitu melihat orang yang mengikuti di belakang Kepala sekolah.



“Selamat pagi anak-anak. Berhubung Pak Heru sedang ada dinas ke luar kota untuk beberapa minggu ke depan, maka pagi ini saya akan memperkenalkan seorang guru baru yang akan menggantikan Pak Heru untuk sementara.”



Kelas semakin gaduh begitu mengetahui bahwa orang di samping kepala sekolah tersebut adalah guru yang akan mengajar mereka sampai beberapa minggu ke depan.



“Ini adalah Bu Maya. Beliau lulusan dari sebuah universitas di Jepang. Beliau ahli dalam bidang botany. Dan untuk itu beliau akan menggantikan Pak Heru untuk mengajar Biologi di kelas ini.”



Beberapa murid mulai mengamati guru baru itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Seorang perempuan muda dengan bentuk tubuh seksi dan penampilan yang tampak begitu anggun. Menggunakan kemeja putih dipadukan dengan rok sekitar 3 cm di atas lutut yang menampakkan kaki putih mulusnya yang tinggi semampai membuat para siswa terutama siswa lelaki mulai tersenyum-senyum bahagia. Tak terkecuali Rio. Perlahan senyum mulai tersungging di bibirnya setelah beberapa detik sempat terpana dengan guru baru yang berdiri di depan kelas tersebut.



“Kalian semua sungguh beruntung karena seorang guru yang sangat menakjubkan seperti beliau datang ke sekolah ini.”

Kalimat bapak kepala sekolah hanya disambut senyuman oleh Bu Maya, dan itu membuat semua siswa semakin terpana dengan wanita tersebut. Senyum di bibir Rio pun tampak semakin lebar. Dan tanpa disangka-sangka tiba-tiba pandangan Bu Maya tertuju pada Rio. Rio pun sontak menyurutkan senyumnya dan langsung menundukkan wajahnya karena merasa salah tingkah. Dan sepertinya Bu Maya juga sudah mengalihkan pandangannya kearah lain.



“Baiklah, silahkan Bu Maya melanjutkan perkenalan dengan anak-anak, saya tinggal dulu ya Bu.”

Bu Maya kembali tersenyum mengantar kepala sekolah yang keluar dari kelas. Sekarang tinggallah Bu Maya sendiri yang berdiri di depan.



“Saya rasa pertanyaan ini cepat atau lambat pasti akan muncul, jadi saya akan menjawabnya sekarang. Mmmm, saat ini saya sedang tidak punya pendamping. Tipe laki-laki yang saya sukai adalah seseorang yang menyukai tanaman atau bunga.”



“Aku aku…”

Suara seorang anak lelaki dari pojok ruangan sontak mengundang tawa kecil dari Bu Maya.



“Dan mungkin juga…..laki-laki yang kaya…”

Bu Maya hanya menyunggingkan senyum di akhir kalimatnya.



“Apa-apaan dia ini.”

Shilla menggumam pelan dengan ekspresi wajah yang sedikit jengah. Walaupun sebenarnya tak dipungkiri dia juga sempat kagum dengan kecantikan guru baru mereka.



“Baiklah, kalian sudah menyelesaikan bab 2 kan? Jadi, hari ini kita akan masuk ke bab 3.”



Semua murid bergegas membuka bukunya masing-masing. Namun, Rio masih tertegun memandang Bu Maya yang mulai menuliskan judul bab 3 di papan tulis. Shilla yang duduk di belakang Rio menyadari teman di depannya yang masih bengong. Sontak ia pun mengambil buku dan tanpa basi basi…



Plakkk!!!!!

Shilla memukul kepala Rio dari belakang yang otomatis membuat Rio tersadar dari lamunannya.



“Awww!!”

Rio pun berteriak cukup kencang dan mengundang perhatian anak-anak lain termasuk Bu Maya.



“Apa yang kalian ributkan?”

Bu Maya mendekat ke bangku Rio. Rio yang melihat Bu Maya mendekat bergegas menutup laptop yang ada di mejanya.



“mmmmm, tidak ada apa-apa, Bu.”



Bu Maya membuka buku absen yang ada di tangannya. Ia tampak mencari-cari di antara deretan nama.



“Mmmm, Mario Stevano…..” Bu Maya mengeja nama Rio.

Pandangan Bu Maya tertuju pada laptop yang berada di atas meja.



“Ini, perlihatkan pada saya.”

Bu Maya menunjuk laptop di meja Rio.



Rio pun tersentak.

“Mmmm, anu…. Ini….”



“Lebih baik ibu tidak melihatnya, paling isinya cuma game atau gambar-gambar cewe cantik.”

Kalimat usil Shilla tersebut langsung ditanggapi dengan pelototan Rio.



Bu Maya mengamati siswa yang ada di depannya itu. Wajah cantiknya sempat menampakkan ekspresi dingin saat menatap Rio yang menundukkan kepalanya. Namun, sesaat kemudian senyum kembali tersungging dari bibirnya.

“Oke, Rio….setelah pelajaran nanti temui saya di lab biologi.”

Setelah mengucapkan kalimat itu Bu Maya langsung beranjak kembali ke depan kelas.



Rio masih tertegun mendengar perintah Bu Maya barusan. Tapi sejenak kemudian sebuah senyum berangsur-angsur tersungging dari bibirnya. Alvin yang duduk tak jauh dari Rio melihat ekspresi Rio dan berbisik pelan padanya.



“Lucky…”



Rio hanya tersenyum pada Alvin. Sementara Shilla yang melihat dua orang teman laki-lakinya itu hanya memanyunkan bibir sambil membuka kembali halaman yang diperintahkan Bu Maya.



_____________



Ify masih berdiri di trotoar seberang rumahnya. Suasana malam di jalan itu semakin terasa sunyi karena jalanan yang mulai sepi. Pandangannya kosong menatap lalu lalang kendaraan di depannya. Padahal rumahnya ada di seberang jalan, tetapi entah kenapa ketika hendak menyeberang ia kembali teringat pada hacker sialan itu dan mau tak mau kembali menenggelamkan Ify dalam lamunan panjang karena rasa penasaran yang tak kunjung mendapat jawaban.



Beruntung hari ini tak ada kumpul klub Koran sekolah sehingga ia tak perlu melihat wajah memuakkan hacker sialan itu. Dan beruntung pula saat ia ke basecamp klub Koran sekolah untuk menyerahkan papernya tadi siang, tak ada anak laki-laki itu disana. Dia merasa belum siap untuk bertemu kembali dengan orang itu. Rasa marah dan kesal masih belum bisa ia kendalikan setiap kali melihat wajah menyebalkannya.



Perlahan Ify meraba saku tasnya. Ia mengeluarkan sebuah lipatan kertas A4 dari dalamnya. Ditatapnya deretan huruf hasil print outnya barusan.



Name : Mario Stevano

Birth : Jakarta, 24 Oktober 1994

Father : Tantowi Jonathan (THIRD-I public safety police division , commander 2007-present)

Mother : Muthia Elena (Passed away)

Siblings : Nadia Elena (Passed away)

Address : Jl. M.H. Thamrin No 24, JAKARTA 10350

Telp. : (021) 324308

Fax. : (021) 325460

Phone : 085645381158

Blood type : B

Data from police department : Ditahan 6 Juni 2011 atas tindakan hacking terhadap data server THIRD-i.

Data from public department : Registered 093060016422



Hanya data-data itu yang bisa ia dapat setelah 30 menit duduk di warnet dan menjelajah data server Badan Pusat Statistik dan data dari kepolisian. Rasa penasaran terhadap sosok Falcon mengundang keingin tahuan Ify untuk mencari data-data tentangnya. Sedikit memang yang dia dapat, tapi, satu hal yang menjadi perhatian Ify sejak pertama kali melihat data-data tersebut.



“Jadi ayahnya bekerja di THIRD-i? Ditahan karena hacking terhadap data server THIRD-i?”

Dua kalimat itu semakin mengundang rasa penasaran bagi Ify. Dan sekarang laptopnya belum bisa berfungsi. Ia harus mengumpulkan cukup uang sebelum bisa mengirimnya ke service center. Dan karena itulah, untuk sementara ia harus jauh dari aktivitas hacking yang merupakan kegiatan favoritnya selama ini. Ify kembali menghela nafas mencoba menahan kemarahan yang mulai muncul perlahan.



Ify melipat kembali kertas tersebut dan menggenggamnya erat. Ia menengok ke kanan kiri dan mulai melangkah menyeberang jalan.



Ify meraba-raba saku tasnya mencari kunci rumah sambil berjalan menaiki tangga halaman depan rumahnya. Baru saja Ify akan menancapkan kunci ke pintu rumahnya, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sesuatu yang tergeletak di depan pintu.



Ify mengamati benda tersebut. Sebuah kardus terbungkus kertas coklat. Di atasnya tertulis nama dan alamat rumahnya. Sebuah paket untuk Ify.

Ify meraih kardus tersebut dan bergegas membuka kunci rumahnya kemudian buru-buru masuk ke dalam. Ia menghempaskan tubuhnya begitu saja ke kursi ruang tamunya. Tak sabar ia membuka bungkusan yang membalut kardus tersebut.



Satu persatu kertas yang membungkus kardus tersebut mulai tanggal. Perlahan Ify membuka kardus tersebut dan betapa terkejutnya Ify saat melihat apa isinya.



Story from: Bloody Monday