Senin, 14 Januari 2013

We Were There (CHAPTER 15)



“tidakkah kau ingin tahu……tentang Alvin Jonathan? Dia adalah…….. saudara sedarahku…”

Rio tak bisa menyembunyikan keterkejutan yang serasa menyengat sekujur tubuhnya mendengar kalimat yang diucapkan Patton.

“Sebenarnya aku tidak ingin memberitahumu hal itu. Kenyataan itu tidak membawa keuntungan bagiku. Tapi, rasanya senang sekali melihat wajah kagetmu. Semakin kau tahu yang sebenarnya, semakin menyakitkan bukan?”

Rio masih tertegun menatap Patton. Rasa terkejutnya belum juga hilang. Ia baru tersadar saat Patton berdiri dan hendak berjalan meninggalkannya.

“Tunggu!” cegah Rio seraya mencengkeram kerah Patton dan mendorong badannya ke belakang hingga membentur dinding. Pandangan mereka berdua beradu penuh kebencian.
“Jangan main-main!!!”
Cengkeraman di kerah Patton semakin menguat. Namun sebelum Rio sempat melanjutkan kata-katanya tiba-tiba sebuah pukulan yang sangat keras dilayangkan oleh Patton tepat ke ulu hati Rio. Rio pun jatuh tersungkur menahan sakit di lambungnya. Ia berusaha bangun, tapi langkahnya yang terseok karena menahan sakit tak cukup cepat untuk mengejar Patton yang sudah berlalu dari halaman rumahnya dengan menaiki mobil hitamnya.

Rio berdiri agak membungkuk di ambang pintu. Tangan kirinya masih memegangi perutnya yang terasa perih. Ia memukul keras pintu di sampingnya dengan tangan kanannya hingga menyebabkan buku-buku jarinya memerah. Bayangan wajah Alvin serasa memenuhi pikirannya. Dan, satu wajah lain yang belakangan sudah cukup membuat kepala Rio pusing karena memikirkannya. Ify.

Rio memejamkan matanya mencoba mengatur nafas yang memburu karena bayangan wajah dua orang yang berharga dalam hidupnya itu serasa menyumbat jalur udara di paru-parunya. Hingga tiba-tiba dengung getar ponsel di dalam sakunya menyadarkan Rio dari lamunan.

Ibu jarinya yang hendak menekan tombol answer sontak terdiam. Matanya nanar menatap nama yang terpampang disana.

Alvin….

Rio kembali terngiang akan fakta mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Patton.

---------------------

“Rio tidak mengangkat telfonku,” ucap Alvin lemas sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

Tak berapa lama kemudian Shilla juga melakukan hal yang sama dengan Alvin. Gadis itu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas dengan wajah kecewa. “Zahra juga tidak menjawab. Akhirnya cuma kita berdua yang akan datang mengunjungi makam Gabriel.”

Alvin hanya menanggapi dengan helaan nafas dan kedikkan bahu. Mereka berdua terus berjalan menaiki bukit dimana jasad Gabriel disemayamkan. Hanya berdua, tanpa Rio dan Zahra sebagaimana yang mereka rencanakan sebelumnya.

-----------------------

THIRD-I
Tuesday 19.35

“Pak Joni!!!!”

Pak Joni yang sedang bercakap-cakap dengan Pak Susilo menoleh kaget karena teriakan salah satu polisi penjaga dari arah pintu. Orang itu memberi isyarat agar Pak Joni melihat keluar. Wajahnya tampak panic. Pak Joni pun bergegas mengikuti orang tersebut.

Betapa terkejutnya Pak Joni saat melihat belasan anggota THIRD-I mengacungkan senjata mengepung seseorang. Di tengah-tengah lingkaran yang mereka bentuk tampak wanita berpakaian serba hitam sedang mengangkat kedua tangannya di atas kepala. Di dekat kakinya tergeletak sebuah koper kecil berwarna hitam.

“Maya?!?!?” Pak Susilo yang menyusul di belakang Pak Joni pun tak bisa menyembunyikan kekagetannya.

“Apa yang kau lakukan disini?!?!?” Pak Joni memelotot tajam menatap Maya yang hanya tersenyum meski dikepung oleh belasan pistol.

 “Tenang saja, aku datang untuk membantumu.”

“Apa maksudmu?!?!”

“Ini adalah oleh-oleh dariku,” ujar Maya sambil mengarahkan matanya menunjuk pada koper yang tergeletak di samping kakinya.

Pak Joni memberi isyarat agar salah satu polisi mengambil koper kecil itu. Bergegas salah satu laki-laki berseragam THIRD-I mengambil koper tersebut dan dengan hati-hati membukanya. Betapa kagetnya mereka saat mengetahui bahwa ternyata yang ada di dalam koper tersebut adalah 2 botol kecil Bloody X beserta beberapa botol lain dengan ukuran lebih kecil yang berisi anti virusnya.

“Selain itu, aku juga membawa sebuah informasi penting bagi kalian. Tapi aku punya satu syarat.”

“Apa yang kau inginkan?”

“Aku ingin Falcon ikut mendengar informasi yang akan kukatakan ini.”

.
.
.
.
.

“Akhirnya kau datang.”
Maya sontak tersenyum saat melihat pintu ruang interogasi terbuka dan menampakkan sosok Rio yang datang bersama Pak Joni, setelah hampir 2 jam Maya tak mau bicara apapun selain menanyakan apakah Rio sudah datang. Rio dan Pak Joni segera duduk di hadapan Maya.

 “Apa yang kubawa tadi hanyalah salah satu dari oleh-oleh yang ingin kuberikan pada kalian. Aku membawa satu hadiah lagi, yaitu sebuah informasi penting tentang organisasi teroris kami.”

“Apa yang kau inginkan dari kami hingga kau bersedia membawa Bloody-X dan anti virus itu pada kami?”

“Tentu saja, apalagi kalau bukan uang. Ah, dan satu lagi keinginanku. Setelah aku memberitahu kalian informasi tentang rencana mereka, aku ingin kalian melepaskanku dan membiarkanku kembali pada mereka. Karena aku punya taktik jitu agar kalian bisa dengan mudah menangkap para teroris itu. Dan atas semua informasi yang kuberikan, aku menginginkan uang. Ya, anggap saja kalian menggajiku sebagai mata-mata.”

“Kau gila!” Pak Joni geram dengan ucapan Maya.

“Terserah. Jika tawaranku ditolakpun tidak masalah. Jika kalian tidak memenuhi permintaanku dan tidak melepaskanku, paling-paling kalian yang akan menyesal. Atau mungkin, Rio yang paling menyesal karena akan kehilangan satu lagi temannya.”

Rio meremas jari jemarinya begitu mendengar penuturan Maya. Ia takut bahwa akan terjadi hal buruk lagi. Rio menatap Pak Joni yang masih tampak ragu. Tatapan Rio menyiratkan permohonan. Butuh waktu lama bagi Pak Joni untuk memutuskan. Hingga akhirnya Pak Joni mengiyakan permintaan Maya.

“Tentu saja aku tidak akan memberikan semua informasi itu sekaligus, karena kalian bisa saja tidak akan melepasku dan tidak akan memberiku uang. Maka karena itulah, sekarang aku hanya akan memberikan beberapa informasi penting saja, sisanya, nanti jika kalian sudah melepaskanku.”

“Cepat katakan!” Rio tak sabar dengan basa basi Maya.

“Informasi pertama….” Maya menatap Rio dengan senyum tak lepas dari bibirnya. “Rio, ayahmu telah menculik temanmu, Zahra.”

“Apa?!” Rio kaget mendengar penuturan Maya.

“Zahra, secara kebetulan, menemukan sebuah rahasia penting teroris itu. Tentang seseorang yang menjadi latar belakang dibalik semua ini. “

“Darma Praja?” sahut Pak Joni cepat.

“Kau salah.” Bu Maya menggeleng angkuh. “Dia bukan pemimpin kami.”

“Patton?”Rio ikut menimpali.

Maya tetap menggeleng.

“Jangan main-main! Kau pikir kami akan menghabiskan waktu kami dengan menuruti semua omong kosongmu ini?!?”

“Aku tahu kalian tidak akan semudah itu percaya padaku. Karena itulah, aku membawa sebuah bukti penting. Aku yakin dengan ini kalian tidak akan meragukan lagi kesungguhanku.”

Maya mengambil ponsel dari dalam sakunya dan membuka sebuah file gambar yang ada di dalamnya. Maya menunjukkan layar ponselnya pada Pak Joni dan Rio. Sontak mereka membelalak kaget saat melihat di layar ponsel tersebut terpampang foto Darma Praja tergeletak bersimbah darah dengan luka tembak.

“Aku sudah membunuh kepala teroris itu. Itu oleh-oleh keduaku untuk kalian. Sekarang kalian percaya kan, kalau lelaki tua tak berguna itu bukanlah pemimpin kami yang sesungguhnya?”

“Apa yang sebenarnya ada dalam otakmu?”

“Bukan apa-apa. Mereka merekrutku dengan uang . Tapi sepertinya uang yang diberikan laki-laki tua itu tak cukup untukku bersenang-senang. Karenanya aku lari kesini. Kalian pasti akan menggajiku lebih besar atas informasi penting yang akan kuberikan. Karena dengan informasi ini, kalian akan dengan mudah menangkap mereka.”

“Jadi, siapa pemimpin yang sebenarnya? Cepat katakan!!”

“Ah, kalian belum memberikan jaminan padaku bahwa kalian akan memenuhi semua keinginanku…..”

Butuh waktu cukup lama bagi Pak Joni untuk menyetujui permintaan Maya. Namun setelah berdiskusi dengan Pak Susilo, akhirnya mereka sepakat untuk memenuhi tawaran tersebut. Sebuah surat perjanjian dibuat dengan segera demi informasi penting yang akan dikatakan oleh Maya.

“Kami sudah menyetujui penawaranmu, sekarang cepat katakan siapa orang yang kau maksud!”

Maya tersenyum senang.
“Baiklah……. Orang itu adalah….. saudara dari Patton.”

“Apa maksudmu?!?!?” Pak Joni menatap Bu Maya tak mengerti.

Rio mengerutkan keningnya. Tiba-tiba dia merasakan hal yang sangat tidak mengenakkan dalam hatinya.

“Patton adalah putra kandung dari Darma Praja. Dua tahun lalu, setelah Darma Praja tertangkap, Patton dan saudaranya itulah yang membangun kembali organisasi teroris tersebut. Pemimpin yang berhubungan langsung dengan dunia luar adalah P, tapi sebenarnya bukanlah dia pewaris utama dari organisasi itu.”

Pandangan Maya sontak terarah pada Rio.
“ Rio, tidakkah kau ingin tahu identitas orang itu?”

Rio tak menjawab. Tangannya mengepal kuat.

“Dia, adalah temanmu.”

“Apa?!!?” Pak Joni membelalak kaget menatap Maya. Kemudian ia menoleh pada Rio yang sedang tertunduk. Maya tertawa lirih melihat kebingungan Pak Joni.

“Apakah kau terkejut? Aku dulu juga sama terkejutnya denganmu. Saat aku pertama kali datang ke sekolah mereka, aku sangat kaget saat mengetahui ternyata Rio dan orang itu berteman dengan sangat baik.”
Maya tertawa kecil tanpa mempedulikan tatapan geram Pak Joni.
“Oh iya, dan tentang Zahra, karena ia mengetahui rahasia penting itulah ayahmu ingin menghabisinya.”

Ruang interogasi itu sontak disergap keheningan untuk beberapa saat.

“Tapi tenang saja, aku akan memberitahumu gelombang frekuensi wireless yang diberikan kelompok teroris itu pada mobil ayahmu. Jadi, lacaklah dan tangkaplah ia segera.”

Setelah Maya mengatakan kode gelombang wireless yang dimaksud, Ita segera melacak posisi Pak Tantowi. Dan setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata posisi yang ditunjukkan oleh gelombang tersebut memang sesuai dengan lokasi dari gelombang sinyal ponsel Zahra.

“Jadi, ayah benar-benar melakukannya?”

“Pak Aji, tangkap mereka!!!”
Pak Joni memerintahkan Pak Aji untuk menuju lokasi yang ditunjukkan oleh Ita.  Bu Mia ikut menyusul di belakangnya.

“Kenapa?” Rio mengguman lirih. Tangannya terkepal kuat. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya tega menculik Zahra.

“Apakah kau tahu sesuatu?”
Lamunan Rio dibuyarkan oleh pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan oleh Pak Joni. Ragu-ragu Rio mulai menceritakan tentang kedatangan Patton yang tadi menemuinya dan segala hal yang dikatakan oleh Patton padanya. Termasuk kenyataan mengejutkan tentang fakta bahwa Alvin adalah saudara sedarah Patton.

Pak Joni cukup kaget mendengar cerita Rio.

“Tapi itu belum tentu benar! Tidak mungkin Alvin terlibat dengan semua ini. Apa yang dikatakan Patton bisa saja hanya sebuah tipu daya. Aku tak akan semudah itu percaya. Ini pasti juga termasuk salah satu rencana mereka. Aku juga tidak akan semudah itu percaya pada ucapan Maya. Mereka mencoba untuk membuat kita bingung. Pasti mereka punya tujuan lain dibalik semua ini. Anda juga tidak akan percaya kan?”

Pak Joni tak menjawab. Ia menatap tembok di depannya seolah sedang menerawang ke sebuah masa.
“Aku masih curiga, bagaimana dan kapan Gabriel bisa terinfeksi Bloody-X padahal kalian berada di dalam sekolah dimana hanya ada kalian berlima disana.”

Rio tercengang mendengar penuturan Pak Joni. Ia bisa menangkap jelas raut kecurigaan dari wajah laki-laki itu. Ia bisa mengetahui bahwa orang yang ada di depannya itu sudah benar-benar mencurigai sahabatnya.

“tidak…. Itu tidak mungkin!!!”
Rio menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba tetap berpegang pada keyakinannya pada sahabatnya.

Tanpa mempedulikan teriakan Rio, Pak Joni justru bergegas meninggalkan Rio dan memerintahkan Ita untuk segera melacak semua informasi tentang latar belakang Alvin dan keluarganya.

--------------------------

Tuesday
Pukul 20:47

Rio hanya bisa terdiam saat Pak Joni menunjukkan semua data tentang latar belakang Alvin yang telah ia peroleh. Dan semuanya benar seperti apa yang Maya katakan.

 Ibu Alvin pernah menjadi anggota organisasi teroris yang dikepalai oleh Darma Praja. Mereka adalah suami istri. Namun, ia memutuskan berhenti saat ia mengetahui bahwa dirinya sedang mengandung. Dan anak itu adalah Alvin. Hingga akhirnya, 2 tahun lalu, ibu Alvin bunuh diri tak berapa lama setelah beberapa anggota organisasi tersebut, termasuk Darma Praja, berhasil tertangkap.

“Apa maksud semua ini?” Rio menatap nanar lembaran-lembaran kertas di tangannya.

“Maaf, tapi aku harus mengatakan bahwa Alvin mungkin benar-benar ada hubungannya dengan organisasi tersebut.”

“Alvin tidak mungkin melakukannya!!! Aku akan menanyakan sendiri padanya….”

“Tidak!”
Pak Joni menyela kalimat Rio.
“kita tidak punya waktu untuk menunggu percakapan antar sahabat. Temanmu Zahra sedang dalam bahaya, kita harus bertindak cepat. Alvin sebentar lagi akan sampai. Aku sudah memanggilnya kesini.”

“Apaa?!?!” Rio kaget begitu mengetahui Pak Joni telah mempersiapkan proses interogasi pada sahabatnya itu.

“Kita tidak bisa menunggu lama lagi Rio. Jika Alvin benar-benar saudara dari Patton, dan jika dia benar-benar otak dari semua ini maka kita harus segera bertindak untuk mencegahnya. Aku mengijinkanmu untuk ikut mendengar proses interogasi, tapi aku tidak akan mempedulikan semua pendapat-pendapat subyektif yang kau ucapkan hanya karena kesensitifan sebagai sahabat.”

Rio menatap nanar punggung Pak Joni yang meninggalkannya begitu saja. Ia masih tetap berusaha untuk mempercayai sahabatnya. Namun, melihat lembaran-lembaran di tangannya, perlahan keraguan itu mulai muncul….

--------------------

“Diam!!!”

Teriakan laki-laki berbadan kekar itu membahana di seluruh penjuru ruangan gelap dan berdebu itu. Namun, suara lirih tangis gadis itu tetap masih terdengar. Ify tak bisa menahan isakannya. Rasa sakit di badannya membuatnya tak bisa menahan keluh kesah. Memar-memar di kulitnya terasa memanas.

Entah sudah berapa kali pukulan yang dilayangkan laki-laki itu padanya. Ia terus bertanya pada Ify tentang bagaimana mungkin Falcon bisa mengetahui rencana mereka saat mereka hendak menjalankan misi di 10 tempat berbeda tempo hari. Ia curiga bahwa Ify lah yang membocorkan informasi itu. Tapi tentu saja Ify tak akan membuka mulutnya sedikitpun, apapun yang terjadi.

Ify hanya terus menangis. Bisa dibilang ia sedang berusaha sekuat tenaga di ambang keputusasaannya. Teroris itu menjaganya dengan sangat ketat. Bahkan ikatan di kedua tangan dan kakinya terasa begitu menyakitkan saking kencangnya. Sekarang kalung GPS yang diberikan Rio sudah tak ada lagi bersamanya. Ia tak bisa lagi berharap bahwa seseorang akan menemukannya.

Ia tak punya siapapun. Ia tak punya orang tua, tak ada lagi kakaknya, tak ada lagi siapapun yang bisa ia harapkan. Tapi, di tengah air matanya ia yakin masih ada satu orang di dunia ini yang akan mengkhawatirkannya…

“Kak Rio….”
Ify merintih lirih di sela tangisnya.

9 komentar:

  1. Akhirnyaa..
    Setelah sekian lama nunggu :D

    BalasHapus
  2. Nggak di lnjut ya min?..

    BalasHapus
  3. gaada niatan buat lanjut ya?
    udah kepo maksimal nih. jangan digantung dong.

    BalasHapus
  4. Gaada niat buat ngelanjut yaa? Guee kepoo:'v pliss.. Lanjutin..

    BalasHapus
  5. huaaaaaaaaa belum ada juga ya lanjutannya

    BalasHapus
  6. Hi!
    Tiba-tiba tadi kepikiran cerbung rify yang ada falcon-falconnya terus googling dan baru ingat judulnya we were there :" ha so i read it again~
    Last, semoga ini ceritanya dilanjut ehehe salam~

    BalasHapus
  7. Lanjut dong ka, dari taun berapa nunggu kelanjutannya belum dilanjut juga, huhu sedih ��

    BalasHapus
  8. Lanjut dong ka, dari taun berapa nunggu kelanjutannya belum dilanjut juga, huhu sedih ��

    BalasHapus