“tidakkah
kau ingin tahu……tentang Alvin Jonathan? Dia adalah…….. saudara sedarahku…”
Rio tak
bisa menyembunyikan keterkejutan yang serasa menyengat sekujur tubuhnya
mendengar kalimat yang diucapkan Patton.
“Sebenarnya
aku tidak ingin memberitahumu hal itu. Kenyataan itu tidak membawa keuntungan
bagiku. Tapi, rasanya senang sekali melihat wajah kagetmu. Semakin kau tahu
yang sebenarnya, semakin menyakitkan bukan?”
Rio masih
tertegun menatap Patton. Rasa terkejutnya belum juga hilang. Ia baru tersadar
saat Patton berdiri dan hendak berjalan meninggalkannya.
“Tunggu!”
cegah Rio seraya mencengkeram kerah Patton dan mendorong badannya ke belakang
hingga membentur dinding. Pandangan mereka berdua beradu penuh kebencian.
“Jangan
main-main!!!”
Cengkeraman
di kerah Patton semakin menguat. Namun sebelum Rio sempat melanjutkan
kata-katanya tiba-tiba sebuah pukulan yang sangat keras dilayangkan oleh Patton
tepat ke ulu hati Rio. Rio pun jatuh tersungkur menahan sakit di lambungnya. Ia
berusaha bangun, tapi langkahnya yang terseok karena menahan sakit tak cukup
cepat untuk mengejar Patton yang sudah berlalu dari halaman rumahnya dengan
menaiki mobil hitamnya.
Rio berdiri
agak membungkuk di ambang pintu. Tangan kirinya masih memegangi perutnya yang
terasa perih. Ia memukul keras pintu di sampingnya dengan tangan kanannya
hingga menyebabkan buku-buku jarinya memerah. Bayangan wajah Alvin serasa
memenuhi pikirannya. Dan, satu wajah lain yang belakangan sudah cukup membuat
kepala Rio pusing karena memikirkannya. Ify.
Rio
memejamkan matanya mencoba mengatur nafas yang memburu karena bayangan wajah
dua orang yang berharga dalam hidupnya itu serasa menyumbat jalur udara di
paru-parunya. Hingga tiba-tiba dengung getar ponsel di dalam sakunya
menyadarkan Rio dari lamunan.
Ibu
jarinya yang hendak menekan tombol answer sontak terdiam. Matanya nanar menatap
nama yang terpampang disana.
Alvin….
Rio
kembali terngiang akan fakta mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Patton.
---------------------
“Rio
tidak mengangkat telfonku,” ucap Alvin lemas sambil memasukkan kembali
ponselnya ke dalam saku.
Tak
berapa lama kemudian Shilla juga melakukan hal yang sama dengan Alvin. Gadis
itu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas dengan wajah kecewa. “Zahra juga
tidak menjawab. Akhirnya cuma kita berdua yang akan datang mengunjungi makam
Gabriel.”
Alvin
hanya menanggapi dengan helaan nafas dan kedikkan bahu. Mereka berdua terus
berjalan menaiki bukit dimana jasad Gabriel disemayamkan. Hanya berdua, tanpa Rio dan Zahra sebagaimana yang mereka rencanakan sebelumnya.
-----------------------
THIRD-I
Tuesday 19.35
“Pak
Joni!!!!”
Pak Joni
yang sedang bercakap-cakap dengan Pak Susilo menoleh kaget karena teriakan
salah satu polisi penjaga dari arah pintu. Orang itu memberi isyarat agar Pak
Joni melihat keluar. Wajahnya tampak panic. Pak Joni pun bergegas mengikuti
orang tersebut.
Betapa
terkejutnya Pak Joni saat melihat belasan anggota THIRD-I mengacungkan senjata
mengepung seseorang. Di tengah-tengah lingkaran yang mereka bentuk tampak
wanita berpakaian serba hitam sedang mengangkat kedua tangannya di atas kepala.
Di dekat kakinya tergeletak sebuah koper kecil berwarna hitam.
“Maya?!?!?”
Pak Susilo yang menyusul di belakang Pak Joni pun tak bisa menyembunyikan
kekagetannya.
“Apa yang
kau lakukan disini?!?!?” Pak Joni memelotot tajam menatap Maya yang hanya
tersenyum meski dikepung oleh belasan pistol.
“Tenang saja, aku datang untuk membantumu.”
“Apa
maksudmu?!?!”
“Ini adalah
oleh-oleh dariku,” ujar Maya sambil mengarahkan matanya menunjuk pada koper
yang tergeletak di samping kakinya.
Pak Joni
memberi isyarat agar salah satu polisi mengambil koper kecil itu. Bergegas
salah satu laki-laki berseragam THIRD-I mengambil koper tersebut dan dengan
hati-hati membukanya. Betapa kagetnya mereka saat mengetahui bahwa ternyata
yang ada di dalam koper tersebut adalah 2 botol kecil Bloody X beserta beberapa
botol lain dengan ukuran lebih kecil yang berisi anti virusnya.
“Selain
itu, aku juga membawa sebuah informasi penting bagi kalian. Tapi aku punya satu
syarat.”
“Apa yang
kau inginkan?”
“Aku
ingin Falcon ikut mendengar informasi yang akan kukatakan ini.”
.
.
.
.
.
“Akhirnya
kau datang.”
Maya
sontak tersenyum saat melihat pintu ruang interogasi terbuka dan menampakkan
sosok Rio yang datang bersama Pak Joni, setelah hampir 2 jam Maya tak mau
bicara apapun selain menanyakan apakah Rio sudah datang. Rio dan Pak Joni
segera duduk di hadapan Maya.
“Apa yang kubawa tadi hanyalah salah satu dari
oleh-oleh yang ingin kuberikan pada kalian. Aku membawa satu hadiah lagi, yaitu
sebuah informasi penting tentang organisasi teroris kami.”
“Apa yang
kau inginkan dari kami hingga kau bersedia membawa Bloody-X dan anti virus itu
pada kami?”
“Tentu saja,
apalagi kalau bukan uang. Ah, dan satu lagi keinginanku. Setelah aku
memberitahu kalian informasi tentang rencana mereka, aku ingin kalian
melepaskanku dan membiarkanku kembali pada mereka. Karena aku punya taktik jitu
agar kalian bisa dengan mudah menangkap para teroris itu. Dan atas semua
informasi yang kuberikan, aku menginginkan uang. Ya, anggap saja kalian
menggajiku sebagai mata-mata.”
“Kau
gila!” Pak Joni geram dengan ucapan Maya.
“Terserah.
Jika tawaranku ditolakpun tidak masalah. Jika kalian tidak memenuhi
permintaanku dan tidak melepaskanku, paling-paling kalian yang akan menyesal.
Atau mungkin, Rio yang paling menyesal karena akan kehilangan satu lagi
temannya.”
Rio
meremas jari jemarinya begitu mendengar penuturan Maya. Ia takut bahwa akan
terjadi hal buruk lagi. Rio menatap Pak Joni yang masih tampak ragu. Tatapan
Rio menyiratkan permohonan. Butuh waktu lama bagi Pak Joni untuk memutuskan.
Hingga akhirnya Pak Joni mengiyakan permintaan Maya.
“Tentu
saja aku tidak akan memberikan semua informasi itu sekaligus, karena kalian
bisa saja tidak akan melepasku dan tidak akan memberiku uang. Maka karena
itulah, sekarang aku hanya akan memberikan beberapa informasi penting saja,
sisanya, nanti jika kalian sudah melepaskanku.”
“Cepat
katakan!” Rio tak sabar dengan basa basi Maya.
“Informasi
pertama….” Maya menatap Rio dengan senyum tak lepas dari bibirnya. “Rio, ayahmu
telah menculik temanmu, Zahra.”
“Apa?!”
Rio kaget mendengar penuturan Maya.
“Zahra,
secara kebetulan, menemukan sebuah rahasia penting teroris itu. Tentang
seseorang yang menjadi latar belakang dibalik semua ini. “
“Darma
Praja?” sahut Pak Joni cepat.
“Kau
salah.” Bu Maya menggeleng angkuh. “Dia bukan pemimpin kami.”
“Patton?”Rio
ikut menimpali.
Maya tetap
menggeleng.
“Jangan
main-main! Kau pikir kami akan menghabiskan waktu kami dengan menuruti semua
omong kosongmu ini?!?”
“Aku tahu
kalian tidak akan semudah itu percaya padaku. Karena itulah, aku membawa sebuah
bukti penting. Aku yakin dengan ini kalian tidak akan meragukan lagi
kesungguhanku.”
Maya
mengambil ponsel dari dalam sakunya dan membuka sebuah file gambar yang ada di
dalamnya. Maya menunjukkan layar ponselnya pada Pak Joni dan Rio. Sontak mereka
membelalak kaget saat melihat di layar ponsel tersebut terpampang foto Darma
Praja tergeletak bersimbah darah dengan luka tembak.
“Aku
sudah membunuh kepala teroris itu. Itu oleh-oleh keduaku untuk kalian. Sekarang
kalian percaya kan, kalau lelaki tua tak berguna itu bukanlah pemimpin kami
yang sesungguhnya?”
“Apa yang
sebenarnya ada dalam otakmu?”
“Bukan
apa-apa. Mereka merekrutku dengan uang . Tapi sepertinya uang yang diberikan
laki-laki tua itu tak cukup untukku bersenang-senang. Karenanya aku lari
kesini. Kalian pasti akan menggajiku lebih besar atas informasi penting yang
akan kuberikan. Karena dengan informasi ini, kalian akan dengan mudah menangkap
mereka.”
“Jadi,
siapa pemimpin yang sebenarnya? Cepat katakan!!”
“Ah,
kalian belum memberikan jaminan padaku bahwa kalian akan memenuhi semua keinginanku…..”
Butuh
waktu cukup lama bagi Pak Joni untuk menyetujui permintaan Maya. Namun setelah
berdiskusi dengan Pak Susilo, akhirnya mereka sepakat untuk memenuhi tawaran
tersebut. Sebuah surat perjanjian dibuat dengan segera demi informasi penting
yang akan dikatakan oleh Maya.
“Kami
sudah menyetujui penawaranmu, sekarang cepat katakan siapa orang yang kau
maksud!”
Maya
tersenyum senang.
“Baiklah…….
Orang itu adalah….. saudara dari Patton.”
“Apa
maksudmu?!?!?” Pak Joni menatap Bu Maya tak mengerti.
Rio
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba dia merasakan hal yang sangat tidak
mengenakkan dalam hatinya.
“Patton
adalah putra kandung dari Darma Praja. Dua tahun lalu, setelah Darma Praja
tertangkap, Patton dan saudaranya itulah yang membangun kembali organisasi
teroris tersebut. Pemimpin yang berhubungan langsung dengan dunia luar adalah
P, tapi sebenarnya bukanlah dia pewaris utama dari organisasi itu.”
Pandangan
Maya sontak terarah pada Rio.
“ Rio,
tidakkah kau ingin tahu identitas orang itu?”
Rio tak
menjawab. Tangannya mengepal kuat.
“Dia,
adalah temanmu.”
“Apa?!!?”
Pak Joni membelalak kaget menatap Maya. Kemudian ia menoleh pada Rio yang
sedang tertunduk. Maya tertawa lirih melihat kebingungan Pak Joni.
“Apakah
kau terkejut? Aku dulu juga sama terkejutnya denganmu. Saat aku pertama kali
datang ke sekolah mereka, aku sangat kaget saat mengetahui ternyata Rio dan orang
itu berteman dengan sangat baik.”
Maya
tertawa kecil tanpa mempedulikan tatapan geram Pak Joni.
“Oh iya,
dan tentang Zahra, karena ia mengetahui rahasia penting itulah ayahmu ingin
menghabisinya.”
Ruang
interogasi itu sontak disergap keheningan untuk beberapa saat.
“Tapi
tenang saja, aku akan memberitahumu gelombang frekuensi wireless yang diberikan
kelompok teroris itu pada mobil ayahmu. Jadi, lacaklah dan tangkaplah ia
segera.”
Setelah
Maya mengatakan kode gelombang wireless yang dimaksud, Ita segera melacak
posisi Pak Tantowi. Dan setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata posisi yang
ditunjukkan oleh gelombang tersebut memang sesuai dengan lokasi dari gelombang
sinyal ponsel Zahra.
“Jadi, ayah
benar-benar melakukannya?”
“Pak Aji,
tangkap mereka!!!”
Pak Joni
memerintahkan Pak Aji untuk menuju lokasi yang ditunjukkan oleh Ita. Bu Mia ikut menyusul di belakangnya.
“Kenapa?”
Rio mengguman lirih. Tangannya terkepal kuat. Ia masih belum bisa menerima
kenyataan bahwa ayahnya tega menculik Zahra.
“Apakah
kau tahu sesuatu?”
Lamunan
Rio dibuyarkan oleh pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan oleh Pak Joni.
Ragu-ragu Rio mulai menceritakan tentang kedatangan Patton yang tadi menemuinya
dan segala hal yang dikatakan oleh Patton padanya. Termasuk kenyataan
mengejutkan tentang fakta bahwa Alvin adalah saudara sedarah Patton.
Pak Joni
cukup kaget mendengar cerita Rio.
“Tapi itu
belum tentu benar! Tidak mungkin Alvin terlibat dengan semua ini. Apa yang
dikatakan Patton bisa saja hanya sebuah tipu daya. Aku tak akan semudah itu
percaya. Ini pasti juga termasuk salah satu rencana mereka. Aku juga tidak akan
semudah itu percaya pada ucapan Maya. Mereka mencoba untuk membuat kita
bingung. Pasti mereka punya tujuan lain dibalik semua ini. Anda juga tidak akan
percaya kan?”
Pak Joni
tak menjawab. Ia menatap tembok di depannya seolah sedang menerawang ke sebuah
masa.
“Aku
masih curiga, bagaimana dan kapan Gabriel bisa terinfeksi Bloody-X padahal
kalian berada di dalam sekolah dimana hanya ada kalian berlima disana.”
Rio tercengang
mendengar penuturan Pak Joni. Ia bisa menangkap jelas raut kecurigaan dari
wajah laki-laki itu. Ia bisa mengetahui bahwa orang yang ada di depannya itu sudah
benar-benar mencurigai sahabatnya.
“tidak….
Itu tidak mungkin!!!”
Rio
menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba tetap berpegang pada keyakinannya pada
sahabatnya.
Tanpa
mempedulikan teriakan Rio, Pak Joni justru bergegas meninggalkan Rio dan
memerintahkan Ita untuk segera melacak semua informasi tentang latar belakang
Alvin dan keluarganya.
--------------------------
Tuesday
Pukul
20:47
Rio hanya
bisa terdiam saat Pak Joni menunjukkan semua data tentang latar belakang Alvin
yang telah ia peroleh. Dan semuanya benar seperti apa yang Maya katakan.
Ibu Alvin pernah menjadi anggota organisasi
teroris yang dikepalai oleh Darma Praja. Mereka adalah suami istri. Namun, ia
memutuskan berhenti saat ia mengetahui bahwa dirinya sedang mengandung. Dan
anak itu adalah Alvin. Hingga akhirnya, 2 tahun lalu, ibu Alvin bunuh diri tak
berapa lama setelah beberapa anggota organisasi tersebut, termasuk Darma Praja,
berhasil tertangkap.
“Apa
maksud semua ini?” Rio menatap nanar lembaran-lembaran kertas di tangannya.
“Maaf,
tapi aku harus mengatakan bahwa Alvin mungkin benar-benar ada hubungannya
dengan organisasi tersebut.”
“Alvin
tidak mungkin melakukannya!!! Aku akan menanyakan sendiri padanya….”
“Tidak!”
Pak Joni menyela
kalimat Rio.
“kita
tidak punya waktu untuk menunggu percakapan antar sahabat. Temanmu Zahra sedang
dalam bahaya, kita harus bertindak cepat. Alvin sebentar lagi akan sampai. Aku
sudah memanggilnya kesini.”
“Apaa?!?!”
Rio kaget begitu mengetahui Pak Joni telah mempersiapkan proses interogasi pada
sahabatnya itu.
“Kita
tidak bisa menunggu lama lagi Rio. Jika Alvin benar-benar saudara dari Patton, dan
jika dia benar-benar otak dari semua ini maka kita harus segera bertindak untuk
mencegahnya. Aku mengijinkanmu untuk ikut mendengar proses interogasi, tapi aku
tidak akan mempedulikan semua pendapat-pendapat subyektif yang kau ucapkan
hanya karena kesensitifan sebagai sahabat.”
Rio
menatap nanar punggung Pak Joni yang meninggalkannya begitu saja. Ia masih
tetap berusaha untuk mempercayai sahabatnya. Namun, melihat lembaran-lembaran
di tangannya, perlahan keraguan itu mulai muncul….
--------------------
“Diam!!!”
Teriakan
laki-laki berbadan kekar itu membahana di seluruh penjuru ruangan gelap dan
berdebu itu. Namun, suara lirih tangis gadis itu tetap masih terdengar. Ify tak
bisa menahan isakannya. Rasa sakit di badannya membuatnya tak bisa menahan
keluh kesah. Memar-memar di kulitnya terasa memanas.
Entah
sudah berapa kali pukulan yang dilayangkan laki-laki itu padanya. Ia terus
bertanya pada Ify tentang bagaimana mungkin Falcon bisa mengetahui rencana
mereka saat mereka hendak menjalankan misi di 10 tempat berbeda tempo hari. Ia
curiga bahwa Ify lah yang membocorkan informasi itu. Tapi tentu saja Ify tak
akan membuka mulutnya sedikitpun, apapun yang terjadi.
Ify hanya
terus menangis. Bisa dibilang ia sedang berusaha sekuat tenaga di ambang
keputusasaannya. Teroris itu menjaganya dengan sangat ketat. Bahkan ikatan di
kedua tangan dan kakinya terasa begitu menyakitkan saking kencangnya. Sekarang
kalung GPS yang diberikan Rio sudah tak ada lagi bersamanya. Ia tak bisa lagi
berharap bahwa seseorang akan menemukannya.
Ia tak
punya siapapun. Ia tak punya orang tua, tak ada lagi kakaknya, tak ada lagi
siapapun yang bisa ia harapkan. Tapi, di tengah air matanya ia yakin masih ada
satu orang di dunia ini yang akan mengkhawatirkannya…
“Kak
Rio….”
Ify
merintih lirih di sela tangisnya.
Akhirnyaa..
BalasHapusSetelah sekian lama nunggu :D
Nggak di lnjut ya min?..
BalasHapusgaada niatan buat lanjut ya?
BalasHapusudah kepo maksimal nih. jangan digantung dong.
Lanjut dong kak, kepo nih😢
BalasHapusGaada niat buat ngelanjut yaa? Guee kepoo:'v pliss.. Lanjutin..
BalasHapushuaaaaaaaaa belum ada juga ya lanjutannya
BalasHapusHi!
BalasHapusTiba-tiba tadi kepikiran cerbung rify yang ada falcon-falconnya terus googling dan baru ingat judulnya we were there :" ha so i read it again~
Last, semoga ini ceritanya dilanjut ehehe salam~
Lanjut dong ka, dari taun berapa nunggu kelanjutannya belum dilanjut juga, huhu sedih ��
BalasHapusLanjut dong ka, dari taun berapa nunggu kelanjutannya belum dilanjut juga, huhu sedih ��
BalasHapus