Senin, 27 Juni 2011

We Were There (CHAPTER 3)


Jack says             : “Indonesia sekarang semakin menjadi Negara yang aneh.”
Anonym says    : “Semua orang harus mati.”
Yuki says            : quote “Jack says Indonesia sekarang semakin menjadi Negara yang aneh.”
                                  “Ya, Indonesia Negara yang aneh sekarang. Terlalu banyak orang idiot yang memuakkan.”
A2 Says              :“Negara seperti ini lebih baik dimusnahkan”

Anak laki-laki itu perlahan menyuapkan mie instant di tangannya tanpa mengalihkan pandangan mata sedikitpun dari layar komputer di hadapannya. Sesekali ia tersenyum melihat barisan ocehan orang-orang yang tak henti-hentinya mencerca negaranya sendiri.

Mata anak-laki-laki itu melirik sejenak ke layar computer lain yang ada di sebelahnya. Ada 3 komputer di ruangannya itu. Masing-masing menampakkan gambar yang berbeda. Satu yang ada di hadapannya terus menampilkan umpatan-umpatan orang di luar sana yang merasa Negara ini sudah terlalu terpuruk. Komputer lain di sebelah kanannya menampilkan command prompt yang berada dalam kondisi standby. Sementara itu satu computer lagi yang ada di sebelah kirinya yang sekarang ia lirik dengan sudut matanya menampilkan sebuah video yang semenjak tadi entah sudah berapa kali ia repeat.

Sudut matanya menatap tajam video itu. Sebuah video yang menampilkan orang-orang di sebuah gedung perkantoran Rusia. Orang-orang itu berlarian kesana kemari melangkahi orang-orang lain yang telah terkapar di lantai. Mereka berlari terseok-seok sambil menutupi hidungnya yang tak henti-hentinya mengeluarkan darah. Orang-orang itu mencoba mendobrak pintu yang terkunci dengan sisa-sisa kesadaran yang sedikit demi sedikit mulai hilang ditelan rasa sakit yang mereka rasakan. Seorang lelaki paruh baya tampak menggapai-gapai kamera yang menjadi saksi bisu peristiwa itu. Laki-laki itu menggapai-gapai sambil terus mendesah lirih memohon pertolongan sebelum akhirnya ia jatuh terkapar di hadapan si pembawa kamera. Video itu terus berlanjut merekam setiap teriakan panik yang ada disana hingga akhirnya kamera itupun turut jatuh seiring kematian si pembawanya.

Anak laki-laki itu kembali mendesah dalam. Sudah berulang kali ia menyaksikan video itu. Dan setiap kali menyaksikannya pula, ia akan merasakan rasa takut yang mulai menyergap perlahan. Ia pun kembali mengalihkan pandangannya kearah komputer yang sedang menampilkan sebuah chatbox suatu situs jejaring sosial. Baru beberapa saat ia tak menatapnya, sekarang umpatan-umpatan itu sudah bertambah puluhan baris. Semua orang mencerca Negara ini. Semua orang mencoba melontarkan suatu solusi yang konyol, yaitu menghancurkannya.

Anak laki-laki itu melatakkan cup mie instant yang sedari tadi menghangatkan telapak tangannya. Ia mematikan komputer di hadapannya dan mulai beranjak pergi. Sebuah gumaman mengiringi langkahnya keluar dari pintu.

“Sepertinya keinginan kalian sebentar lagi akan terwujud.”

--------------------------

PUBLIC SAFETY SPECIAL UNIT-TERRORISM POLICE UNIT
THIRD-I Senin, 27 Juni 2011 pukul 14.00

“Apakah kita sudah menerima daftar teroris Rusia?”
Seorang lelaki paruh baya bernama Tantowi tampak memandangi layar LCD yang terpampang di dinding kantornya tersebut.

“Belum Pak. Kita masih membutuhkan komfirmasi dari pemerintah Rusia.”
Seorang perempuan di belakangnya tampak berkutat dengan keyboard computer yang ada di depannya. Wanita itu mencoba menampilkan peta sebuah wilayah di Rusia dan kemudian menampilkannya di layar besar yang sekarang sedang dipandangi atasannya tersebut. Ia adalah Teknisi Komputer Third-I, Ita.

Di layar LCD yang sedang dipandangi oleh Pak Tantowi sekarang muncul peta sebuah wilayah di Rusia yang belakangan ini menjadi fokus utama penyelidikan yang mereka lakukan.
“ini gambar yang diambil berdasarkan foto satelit pak. Pihak Rusia sudah mengkonfirmasi bahwa kota ini benar menjadi target teroris tersebut.

Pak Tantowi memandang tajam peta tersebut. Tak ada sesuatu yang berbeda dari daerah tersebut. Sama seperti peta-peta lain yang pernah ia lihat.

Seorang laki-laki berambut putih bergegas mendekat saat melihat peta yang terpampang.
“Ini…..kota yang menjadi sasaran teroris itu?”
Pak Tantowi menoleh kaget saat Kepala kantornya itu tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.

“Benar Pak. Kota ini……menghilang.”

“Menghilang?!?!?!”
Semua orang sontak menghentikan pekerjaannya demi mendengar pembicaraan dua orang itu. Sekarang semua orang turut menatap layar LCD itu. Mereka tak kalah kagetnya dengan Pak Susilo, Kepala kantor, yang sekarang menatap Pak Tantowi dengan pandangan heran.

“Benar pak. Kota ini menghilang. Seluruh warga kota ini…..tewas mendadak.”

Semua orang di ruangan itu terperangah mendengar penuturan Pak Tantowi.

“Jadi, hal seperti itukah yang akan mereka lakukan pada Jakarta?”

Pak Tantowi hanya mengangguk pelan.

“Apa yang sebenarnya terjadi disana?”
Tak ada seorangpun yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Itulah yang selama ini mereka cari tau. Teror teroris itu terus menghantui mereka tanpa mereka tau apa yang sebenarnya direncanakan oleh orang-orang itu untuk menghancurkan Negara ini.

“Apakah sudah ada kabar dari mata-mata kita di Rusia?”

“Belum Pak.”
Pak Tantowi menghela nafas dalam. Rasa penat yang melanda setelah berhari-hari tenaganya diforsir untuk memikirkan masalah ini membuat tubuhnya terasa lelah. Namun, hal itu tak berarti apa-apa bila dibanding nyawa jutaan penduduk yang berada dalam bahaya.

Semua orang sudah kembali pada pekerjaannya. Akan tetapi telinga mereka tak pernah lepas dari pembicaraan dua orang tersebut.

Tiba-tiba Pak Susilo bergumam pelan.
“Anak laki-laki itu……..mungkin bisa melakukannya…..”

Pak Tantowi sontak menatap heran pada kepala kantornya tersebut.

“Hacker jenius yang tertangkap karena insiden beberapa minggu yang lalu.”

“Maksud Bapak…….Falcon?”
Kening Pak Tantowi tampak semakin berkerut.

Semua orang yang mendengar nama Falcon disebut sontak melayangkan ingatannya ke beberapa minggu yang lalu saat seorang hacker yang baru kelas 2 SMA tertangkap saat menerobos masuk ke sistem pertahanan nasional. Pikiran semua orang yang ada disana tertuju padanya………Falcon.

***Domain:  We Were There. Password: chapter 3***

Matahari pagi menelusup di antara celah-celah gorden kamar. Sinarnya yang menyilaukan memaksa Ify untuk membuka mata. Kepalanya terasa pening. Ketika ia sudah sepenuhnya terbangun, barulah ia sadar bahwa semalaman ia tidur dalam keadaan duduk dan kepala tertelungkup di meja belajar. Diusapnya kedua matanya dengan punggung tangan. Matanya terasa pedas. Menangis cukup lama hingga akhirnya tertidur membuat matanya bersemu merah pagi ini.

Ify menatap jam di dinding belakangnya. Pukul 09.30. Dengan langkah gontai ia berjalan ke tempat tidur. Badannya terasa ngilu karena posisi tidurnya semalam. Ify menghempaskan tubuhnya ke kasur. Dengan malas ditariknya selimut dan ia tutupkan beitu saja ke kakinya yang kedinginan. Hari sudah terlalu siang untuk siap-siap ke sekolah. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak masuk sekalian.

Ia memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. Ia ingin memejamkan mata sebentar saja dengan posisi tidur yang benar. Tapi, semakin ia coba memejamkan mata, pusing di kepalanya makin terasa menyiksa.

“Arrgghh!!!”
Akhirnya Ify bangun dan langsung meraih handuk lalu kemudian bergegas menuju kamar mandi.

------------------------

Ify masih menelungkupkan kepalanya di atas meja kasir. Kepalanya masih terasa berputar-putar. Beruntung hari ini tak banyak pelanggan yang datang, jadi, Ify bisa sedikit bersantai.

“Oi, kalau kamu datang lebih awal hanya untuk tidur, lebih baik kau pulang lagi saja sana.”
Kiki, rekannya yang sudah lebih dulu bekerja di minimarket selama 4 tahun itu mengacak-acak rambut Ify yang belum juga mau mengangkat kepala.

“Ahhhh, aku pusing…..”
Perlahan Ify mulai mengangkat wajahnya. Kiki bisa melihat wajah Ify yang bersemu merah. Sontak ia pun menempelkan punggung tangannya ke dahi Ify.

“Kau sakit?”

“Mmmm…”
Ify hanya menggeleng pelan.

“Hei, istirahatlah dulu. Sepertinya kau terlalu banyak pikiran. Atau jalan-jalan sana menghirup udara segar. Sepertinya kau ini jarang terkena sinar matahari karena terus menerus mengurung diri di kamar.”
Kiki terus bicara seperti tetua yang memberi petuah pada muridnya.

“Ya ya ya….”
Dengan malas Ify berdiri dan mengenakan jaketnya.
“Kalau begitu aku akan jalan-jalan sebentar. Menghirup udara segar. Berarti kau yang harus menggantikan pekerjaanku.”
Ify mencibir pada Kiki.

“Iya iya tenang aja.”

Ify pun berjalan keluar minimarket. Ia melangkah kearah taman yang tak jauh dari minimarket tersebut. Dan seperti bisa ia tak pernah meninggalkan tas jinjing berisi laptop kesayangannya. Ia terus berjalan sambil sesekali menarik nafas dalam-dalam menghirup udara pagi yang masih segar. Matahari yang tak terlalu panas memang saat yang paling tepat untuk jalan-jalan. Tanpa ia sadari, seseorang terus mengikutinya dari kejauhan.

Ia memilh sebuah bangku besi bercat putih yang ada di tepi kolam kecil. Ditatapnya gemericik air yang jatuh membentuk riak-riak kecil di atas kolam kehijauan itu. Bayangannya kembali melayang pada sosok gila yang berani-beraninya memeluk dirinya semalam. Ia mencoba mengingat wajah anak itu. Beberapa detik berlalu, tiba-tiba dia seolah baru saja menemukan ingatan yang terselip di antara tumpukan memory dalam otaknya.

Kali ini ia menatap kolam itu dengan dahi berkerut.
“Sepertinya…..aku pernah bertemu dengannya…..”

Semakin ia mengingat, semakin bertambah tumpukan kerutan di wajahnya. Sampai akhirnya dia mengacak-acak rambutnya sendiri.
“Arrgghhh!!!!”
Semakin Ify mencoba mengingat, kepalanya justru semakin pusing. Akhirnya dia memutuskan untuk mengeluarkan laptop kesayangannya.

Sebelum membuka laptopnya,  Ify mengelus-elus laptop kesayangannya itu.
“Ahhh, selalu saja hanya kau yang mengerti perasaanku.”
Perlahan ia membuka Vaio pink nya. Ia mengeluarkan flashdisk yang selalu ia kalungkan di lehernya dan menancapkannya pada slot laptopnya. Ditatapnya command prompt yang menunggu untuk diisi sesuatu. Tangannya belum mengetik apapun. Ia masih ragu.

“Aku tidak akan menyerah hanya karena dia.”
Seperti biasa ia meregangkan jarinya terlebih dahulu. Kali ini ia akan mencoba untuk kesekian kalinya. Tapi baru saja ia “menginjakkan kaki” di gerbang host THIRD-I tiba-tiba sebuah gambar burung aneh memenuhi layar laptopnya.

“Hah?”
Ify mencoba memencet-mencet keyboardnya tapi tak ada reaksi apapun. Lambang aneh itu tetap mendominasi untuk beberapa saat hingga akhirnya power komputernya mati seketika.

“Berapa kali lagi kau akan mencoba masuk kesana?”

Suara itu mengagetkan Ify yang masih tercengang menatap layar laptopnya. Sontak iapun menoleh kearah suara di belakangnya itu.
“KAU?!?!?!”
Ify sontak berdiri menatap laki-laki gila yang baru saja ia pikirkan.

“Harus dengan cara apa lagi agar kau tidak lagi mengakses THIRD-i?!?!?”
Kali ini laki-laki itu terdengar seperti membentak. Tapi sorot matanya tampak bukan seperti orang marah. Seperti, khawatir.

“Apa urusanmu denganku?!?!”
Ify membalas tak kalah kerasnya.

“Kau tau itu tindakan yang berbahaya kan? Kenapa kau terus melakukan tindakan illegal itu? Apa kau tidak takut jika sesuatu menimpamu? Apa kau tidak memikirkan apa resikonya?”
Laki-laki itu bicara panjang lebar, bahkan nafasnya pun tampak sedikit terengah di akhir kalimatnya.

“Apa kau bisa melindungi dirimu sendiri kalau….”

“Kau tidak punya hak ikut campur!!!”
Kalimat anak lelaki itu tertahan di tenggrokan saat Ify dengan kesalnya memotong kalimat panjangnya. Tangan Ify meremas laptop yang ada di genggamannya Karena kemarahan yang mulai mengusik hatinya.

“KALAU AKU BILANG BERHENTI YA BERHENTI!!!!!”

“KENAPA?!?!?”

Laki-laki itu tercekat, ia tak bisa membalas pertanyaan Ify kali ini. Pandangan mata tajamnya seketika lenyap berganti dengan wajah yang tertunduk tanpa tau harus berbuat apa.

“Kau apakan laptopku?”
Sekarang berganti Ify yang menatap tajam anak laki-laki itu.
“Kamu kan yang mengirim gambar burung aneh ini?”

Bukannya menjawab, anak laki-laki itu tiba-tiba melangkah mendekat dan menarik tangan Ify.
“Ikut aku.”

Ify pun sontak mencoba melepaskan diri dari genggaman tangannya.
“Aku tidak mau!”

Anak laki-laki itu justru semakin kuat mencengkeram tangan Ify dan terus mencoba menarik Ify.

“Aku bilang aku tidak mau!”
Ify terus meronta. Begitu pula anak laki-laki itu tak mau melepaskan Ify. Ia terus mencoba menarik Ify hingga akhirnya ia sontak berhenti saat Ify berteriak bersamaan dengan lepasnya laptop yang ia pegang sedari tadi. Laptop itu terlempar dan menghantam tanah berbatu. Ify menatap laptopnya yang sekarang tergeletak di tanah. Perlahan anak laki-laki itu melepaskan tangan Ify dan membiarkan Ify bergegas meraih laptopnya.

Ify mencoba memencet tombol power laptopnya tapi tak ada sesuatupun yang berubah. Laptopnya tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan sama sekali. Ia terus mencoba, air matanya sudah jatuh seiring dengan usaha kerasnya untuk menyalakan benda berharganya itu.
 Anak laki-laki yang ada di dekatnya hanya bisa menatap gadis itu dengan tatapan mata penuh rasa bersalah. Perlahan ia berjalan mendekat.

“Ma….maaf….”

“Pergi kamu!!!!”
Ify tak memalingkan sedikitpun wajahnya pada orang di dekatnya. Ia masih terus mencoba menyalakan laptopnya.

“Aku…..aku akan menggantinya….aku…”

“PERGIII!!!!!!!”
Ify berdiri dan mendorong badan anak laki-laki itu ke belakang.

“Aku bilang pergi!!! Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!!!!!!”
Ify mengusap lelehan air mata di pipinya dan mulai melangkah pergi meninggalkan anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu terdiam menatap Ify yang sudah beberapa  langkah meninggalkannya. Rasa bersalah kini menyelimuti perasaannya atas tindakan bodoh yang telah membuat gadis itu menangis.

Ify berjalan cepat meninggalkannya sambil memeluk erat laptopnya yang sudah tak berfungsi. Tiba-tiba langkahnya terhenti saat ia mendengar teriakan di belakangnya. Ify pun sontak menoleh.

“Arggghh!!!”
Anak laki-laki tadi meronta kesakitan saat seorang laki-laki berpakaian serba hitam menahan tangannya dengan kasar.

Ify terpaku melihat apa yang terjadi di depannya. Anak laki-laki itu dibuat tak berkutik oleh laki-laki bertubuh kekar yang kini menyilangkan tangan anak laki-laki itu ke belakang sehingga membuat anak laki-laki itu tak bisa melarikan diri.

“Lepaskan!!!!”
Anak laki-laki itu terus meronta mencoba melepaskan diri dari tahanan lelaki kekar yang kini membatasi gerak tubuhnya.

“Rio, ikut kami!”
Laki-laki itu menarik tubuh anak laki-laki bernama Rio itu.

Rio pun tak kuasa untuk melawan. Dengan sisa-sisa waktu yang ia miliki sebelum tubuhnya tenggelam dalam mobil hitam yang dibawa oleh laki-laki kekar itu, Rio berteriak pada Ify yang masih tertegun menatap kejadian di depannya.

“Aku akan mengganti laptopmu!!!!! Jangan lakukan hal itu lagi!!!!!!!”
Tepat saat kalimat Rio selesai, laki-laki berseragam tadi menutup pintu mobilnya dan bersama satu orang temannya yang memegang kemudi membawa Rio menjauh dari sana.

Ify masih kaku berdiri di tempatnya menatap jalanan yang kini telah lengang. Ia masih terkejut karena kejadian barusan. Rio? Siapa dia? Siapa laki-laki yang tadi membawanya? Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban itu membuat Ify masih tertegun. Tubuhnya tak bisa beranjak karena rasa terkejut yang begitu hebat melanda dirinya. Ia masih berdiri disana untuk beberapa saat.

Sementara itu, orang yang sedari tadi mengawasinya hanya tersenyum manatap gadis yang masih tertegun menatap jalanan. Orang itu mengelus-elus dagunya sehingga menampakkan sebuah tato bergambar kupu-kupu merah hitam di punggung tangannya.


Story from: Bloody Monday

2 komentar: