Kamis, 02 Juni 2011

We Were There (CHAPTER 1)


“Laki-laki itu siapa?”
Ify yang berdiri membelakanginya perlahan menoleh sejenak kearah Sivia yang duduk di tepi tempat tidur. Tangannya yang masih sibuk membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja tak lantas terhenti. Ia terus melanjutkan aktivitasnya tanpa mempedulikan tatapan penasaran Sivia yang menunggu jawaban atas pertanyaannya.

   “Siapa?”
   Dengan nada yang sangat lirih Ify balik bertanya pada Sivia. Sivia yang mendengar pertanyaan yang lebih mirip desahan itu hanya menghela nafas dalam. Ia bisa menangkap perasan tak nyaman dari getar suara Ify.

   “Laki-laki dengan kalung bulan sabit itu.”
   Kalimat itu bak aliran listrik yang tiba-tiba menyengat sekujur tubuh Ify dan sontak berhasil menghentikan gerakan tangannya. Matanya terpaku menatap kosong buku-buku yang masih terdiam dalam genggamannya.

   Ruangan itu sejenak kembali tenggelam dalam kesunyian.

   Urat-urat syarafnya yang sempat berhenti sejenak akhirnya kembali mampu bergerak normal. Tangannya beringsut merapikan tumpukan buku terakhir ke dalam rak kayu yang sudah usang di atas meja belajarnya.
  
   Sebelumnya Ify menyempatkan menghela nafas dalam-dalam sebelum akhirnya ia perlahan membalikkan badannya menghadap Sivia yang masih menatapnya menanti jawaban. Tatapan mereka beradu yang menyebabkan Ify merasa semakin tak mampu menyembunyikan gurat perasaan tak nyaman atas pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya tadi.

   Tak menjawab sepatah katapun, Ify langsung berjalan kearah tempat tidur dan menghempaskan badannya memunggungi Sivia yang masih diselimuti rasa penasaran. Foto di ponsel Ify yang tanpa sengaja ia lihat tadi siang membuatnya terus bertanya-tanya ada hubungan apa laki-laki itu dengan sahabatnya, karena menurut sepengetahuannya, sahabatnya itu tak pernah sekalipun berhubungan istimewa dengan lelaki, apalagi sampai menyimpan fotonya di ponsel. Dan yang pasti itu bukan foto kakaknya, karena ia tahu seperti apa wajah kakak Ify dari foto yang pernah ditunjukkan padanya.

   “Siapa dia?”
   Masih dengan nada pelan Sivia mengulang kembali pertanyaannya. Ia masih menunggu barang sedetik dua detik. Tapi sepertinya Ify tak ada niat untuk menjawab. Akhirnya Sivia turut membaringkan tubuhnya di sebelah Ify. Ditatapnya punggung sahabatnya yang masih tidur membelakanginya. Ify menghela nafas panjang. Akhirnya dia memutuskan bahwa dirinya tak berhak untuk terus memaksa. Perlahan ia pun memejamkan matanya dan memutuskan untuk tidur.

   Namun, baru saja ia hendak terlempar kealam bawah sadar, suara Ify memaksanya membuka mata tiba-tiba. Pandangannya menangkap punggung Ify yang masih belum beranjak dari posisinya, hanya saja kali ini dia mau mengeluarkan sedikit suara.

   “Hacker.”

   Hanya satu kalimat yang baru saja terlontar itu yang bisa keluar dari bibir Ify. Sivia mengerutkan dahinya, mencoba memahami apa maksud kalimat tersebut.

   Ify menatap dua tangkai bunga matahari yang berada di sebuah vas kaca sederhana dengan hanya berisi air yang terletak di pojok jendela kamarnya. Sinar bulan yang sedang penuh memantulkan cahaya berkilauan dari vas bunga kaca itu.

Sivia masih menunggu.

   Perlahan dilihatnya Ify mulai mengubah posisi tidurnya. Kali ini dia terbaring menghadap atap. Matanya menatap plafon kamarnya dengan pandangan menerawang. Menerawang seolah meniti kembali memori-memori yang sudah usang dalam loker-loker otaknya.

   Sivia tak bicara sepatah katapun. Ia hanya menunggu kalimat selanjutnya. Ia biarkan sahabatnya tersebut bercerita dengan sendirinya.

   “Dia seorang hacker.”
   Sivia mulai menikmati sedikit-demi sedikit rasa penasarannya. Sepatah dua patah kalimat yang diucapkan Ify seolah menyimpan misterinya masing-masing.

   “Sepertimu?”
   Sivia memberanikan diri melontarkan sebuah pertanyaan.

   “mmm.”
   Ify hanya menjawab dengan anggukan perlahan. Kali ini ia meraih guling yang ada di sebelahnya dan memeluknya erat. Sivia bisa menangkat perubahan riak wajah sahabatnya. Wajah yang sungguh berbeda dari dirinya yang biasa.
   “Ah, bukan…..”
   Tiba-tiba Ify meralat kalimatnya.
   “Dia tidak sepertiku. Dia …..jauh lebih hebat dariku.”
   Setiap kata-kata yang terlontar dari bibirnya selalu meluncur dengan perlahan. Kesunyian di dalam ruangan itu seolah semakin menambah misteri di setiap untaian kalimat Ify.

   “Dia…..dulu pacarku.”

   Kalimat itu serasa menyentak perasaan Sivia yang masih mendengarkan dengan seksama, tapi juga sekaligus mengundang sebersit penasaran di hati Sivia.

   “Dulu?”

   “mmm”
   Sekali lagi Ify hanya menjawab dengan anggukan kepalanya.
  
Untuk kesekian kalinya ruangan itu kembali tenggelam dalam kesunyian. Tak tampak tanda-tanda bahwa Ify akan melanjutkan ceritanya.

   “Fy….”
   Nada suara Sivia yang tampak sedikit ragu mencoba menyeruak di antara keheningan mereka berdua..

   “Hm?”
   Tatapan mereka kembali beradu saat Ify memutar pandangannya dan menatap Sivia.

   “Aku ingin mendengar ceritamu.”
   Kali ini justru Ify yang mengerutkan kening tanda tak mengerti dengan ucapan orang yang sekarang ada di sampingnya.

   “Aku ingin mendengar ceritamu. Aku…..ingin mendengar cerita tentangmu, tentang hidupmu. Kita sudah setengah tahun berteman, aku juga sudah terlalu cerewet menceritakan ini itu padamu, tapi…. aku merasa aku tak banyak mengenalmu. Aku……ingin mendengar cerita tentangmu.”
  
Ify hanya menanggapinya dengan senyuman.

   “Aku hanya tahu sedikit tentang kehidupanmu. Dan itu membuatku semakin penasaran tentangmu.”
   Sivia meraih sebuah boneka Piglet dari samping badannya. Ia memeluknya erat dan kali ini ia merubah posisi tidurnya menjadi seperti Ify, menatap langit-langit.

   “Aku tau kamu seorang hacker. Aku tau kamu suka menggunakan skillmu itu untuk sekedar having fun. Dan pasti yang paling membuatku kagum adalah kamu bisa menghalangi murid SMA sebelah yang mencoba merusak data-data club majalah kita. Itu sangat keren.”
   Sivia tersenyum lebar saat mengingat kembali kejadian menakjubkan seperti film yang benar-benar terjadi di hadapannya ketika Ify dengan kerennya mengobrak-abrik data server murid SMA saingan mereka yang mencoba mengapus file-file untuk majalah tahunan SMA Ify.

   Di sampingnya, Ify tersenyum simpul. Senyum yang menyiratkan banyak makna. Sivia memang tak pernah tau….

Sejenak kemudian Sivia menyadari kebodohannya yang tersenyum girang di tengah suasana serius itu. Sontak iapun menarik senyumnya dan mengembalikan wajah serius yang sedari tadi melekat di raut mukanya.

“Aku tau kamu hanya tinggal sendiri disini. Aku tau kedua orang tuamu meninggal saat kamu SMP. Aku tau kamu dulu hanya tinggal berdua dengan kakakmu sampai akhirnya kakakmu meninggal….”
Kalimatnya terhenti sejenak. Sivia mencoba menata kalimat sejeli mungkin agar tidak menyinggung sahabatnya. Ia menggigit bibirnya pelan sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.

“……Karena dibunuh teroris.”
Sivia memberanikan melirik wajah Ify. Tak ada perubahan disana. Ify masih menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang.

   “Dari semua ceritamu itu….. justru membuatku penasaran. Aku yakin ada cerita yang lebih dari itu. Aku yakin, apa yang kamu ceritakan padaku dulu itu tak mungkin sesederhana itu. Aku yakin……Ada hal besar yang pernah terjadi dalam hidupmu. Dan aku…..aku…..ingin kau membaginya denganku.”

   Beberapa saat mereka tenggelam dalam kesunyian. Ruangan itu terasa senyap. Hanya desah nafas mereka berdua yang menghembus pelan ke udara. Detikan jarum jam menggema di ruang kamar yang tak terlalu luas itu.

   “Aku membenci mereka.”
   Suara Ify menggantung. Menyisakan setumpuk tanda tanya ysang semakin menggunung di benak Sivia.
   “Mereka menghancurkan hidupku.”

   Sivia mencoba menempatkan tubuhnya dalam posisi yang paling nyaman. Karena ia tahu, malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk cerita yang akan segera ia dengar.


*************** domain: We were there, Password : Capter 1******************

“Aku membenci mereka. Mereka menghancurkan hidupku.”

“Eh?”
Raut wajah Sivia sontak berubah saat menatap ekspresi Ify. Matanya yang belum beralih dari langit-langit kini seolah menatap plafon kamar itu dengan penuh kebencian. Tak ada lagi senyum simpul yang tersirat di sana. Ekspresi wajahnya tampak kaku….. dan marah….

“Dulu….”

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
ladybird# telnet 10.0.0.133
Trying 10.0.0.133…
Connected to 10.0.0.133.
Escape character is *^]*.
Login:
Login: Connection attacked by foreign host.
Ladybird# telnet  -l- froot 10.0.0.133
Trying 10.0.0.133…
Connected to 10.0.0.133.
Escape character is *^]*.
Last login: Sat Dec 6 04:38:43 on console
Vlan          Mac Address
-----           ---------------
1                001f.29b3.5be9
            Total Mac Addresses
            BRDR-SW1#conf t
            Enter configuration command
            bb:-$ ping 10.0.0.133
            PING 10.0.0.133
            From 10.0.0.133 (10.0.0.133)
            From 10.0.0.66 icmp_seq=1
            From 10.0.0.66 icmp_seq=2
            ---
            11 packets transmitted,
            Pipe 3
            Bb:-$
            ---           
            Login: Connection closed by foreign host.

“Sial…..”
Seketika jari-jarinya berhenti menari di atas keyboard. Tangannya mengepal menahan amarah yang menyeruak. Ditatapnya layar laptopnya dengan tatapan kebencian. Untuk keempat kalinya usahanya untuk menerobos masuk ke dalam system server Kepolisian digagalkan oleh hacker yang tak dikenalnya.

Ia tak tau siapa yang baru-baru ini mengacaukan moodnya dengan berkali-kali mencoba menghalangi aksesnya. Orang itu menggunakan metode yang sangat rapi. Dan ia mengakui, teknik yang digunakan memang jauh di atas kemampuan yang dimilikinya.

Gadis itu menutup layar laptopnya dengan kasar. Bergegas dimasukkannya laptop kesayangannya itu ke dalam tas jinjing yang tak pernah lepas ia bawa. Masih dengan menahan amarah ia beranjak dari duduknya dan tergesa-gesa melangkah meninggalkan halte yang sedari tadi menjadi tempatnya melancarkan aksi.

Langkahnya terus dipercepat. Raut wajah yang masih menahan kesal membuat gadis itu menatap siapa saja yang lalu lalang di sekelilingnya dengan tatapan tajam. Kali ini dia benar-benar tak bisa tinggal diam. Kesabarannya sudah mencapai puncak.

Di kejauhan, sosok itu terus mengamati gadis yang semakin jauh meninggalkan halte itu. Senyum simpul tergurat jelas di bibirnya.

Ditutupnya laptop yang sedari tadi menjadi tempat jari-jarinya menari.
“Capture…..Complete.”
Seulas senyum kembali tersungging. Begitu punggung gadis itu menghilang di tengah lalu lalang manusia, barulah sosok itu beranjak dari tempat persembunyiannya dan dengan santai melangkah pergi sambil memanggul tas berisi laptop yang merupakan hartanya yang paling berharga.

1 komentar: