Minggu, 22 Mei 2011

Rindukan Dirimu

***************Disini, aku kan selalu rindukan dirimu, wahai sahabatku*********************

              Lukisan bunga-bunga sakura yang tergambar di atas gorden berwarna putih itu tampak meliuk-liuk karena hembusan angin semilir dari luar jendela.
              Angin yang membawa hawa sejuk menerobos masuk ke dalam ruangan bernuansa kuning gading yang sepi tanpa penghuni. Hembusannya yang lembut mampu menyingkapkan lembaran sebuah buku yang tergeletak bebas di atas meja tak jauh dari jendela.
              Lembar demi lembar yang penuh dengan tulisan satu persatu tersingkap mempertontonkan goresan halus yang terpampang di atasnya. Barisan huruf-huruf yang tersusun rapi membentuk sebuah cerita di setiap alurnya.
Sejenak angin berhenti bertiup dan membiarkan lembaran buku itu terhenti di sebuah halaman yang juga penuh dengan tulisan………….


             21 Agustus 2000

             “Aaaaa!!!!!”
             Ify berlari sekencang-kencangnya tanpa menengok ke belakang sedikitpun. Sebisa mungkin ia memacu langkahnya menghindari tangan yang mencoba menggapai bahunya. Ia berusaha sekuat tenaga agar tangan itu tak mampu menjangkaunya. Dikerahkannya segenap tenaga untuk memacu langkahnya lebih cepat. Namun, ia merasa semakin sulit bertahan karena perutnya yang terasa kram karena terus berlari sambil tertawa.

            “Huaaaa!!!!!”
             Ify makin kencang berlari sambil berteriak histeris karena kejaran Alvin dan Rio di belakangnya.

           “Tangkep Vin!!!!!!”
             Rio yang tertinggal di belakang Alvin berteriak menyemangati Alvin yang dengan susah payah mencoba meraih Ify sambil terus berlari.

             “Gaaaa kenaaaaaa!!!!! Huaaaa!!!!”
             Adrenalin Ify benar-benar terpacu. Ia merasa seperti benar-benar dikejar pembunuh bayaran. Ia terus berlari di bibir pantai berpasir lembut itu. Tak mempedulikan kakinya yang tanpa alas meninggalkan jejak dalam di sepanjang pantai yang dilaluinya.

             Tiba-tiba Ify merasakan ada sesuatu menggapai punggungnya.

             “Kenaaaaa!!!!”
             Alvin menarik bahu Ify dan itu hampir membuat Ify terjatuh ke belakang.

             “Huaaaa!!!”
              Ify yang kaget pun berteriak geli saat Alvin menangkap pinggangnya.

              “Yeayyyy kena!!!!”
               Rio berhasil menyusul mereka dan sekarang ikut-ikutan memegangi tangan Ify yang meronta minta dilepaskan. Alvin mulai menggelitiki Ify dan membuatnya tertawa menahan rasa geli di pinggangnya.

              “Aaaaaa!!!! Alvin!!! Aduh!!!! Aduh…lepasin!!! Alvin!!!!”

             “Hahahaha….”
              Rio yang turut andil memegangi tangan Ify semakin tertawa terbahak melihat badan Ify yang kejang-kejang minta dilepaskan.

              “Ampun…. ampun!!! Alvin udah!!! Aaaa….Rio ampun!!!! Hahaha…..”

              “Hahahaha….ngga bisa wekkkk…hahaha….”

               “Huaaaa……. Alvinn geliiiii!!!!”
               Ify makin menjerit campur ketawa karena Alvin yang semakin ganas menggelitikinya. Setetes air mata menyembul dari sudut mata Ify saking gelinya.

              “Aaaa!!! Udah dong!!! Ampun!!! Aku nangis nih!!!”

              Rio yang melihat Ify kegelian sampai menangis akhirnya melepaskan pegangan tangannya.
              “Udah Vin udah……mewek tuh dia…”

               Alvin pun akhirnya menghentikan aksinya. Dia masih tertawa terbahak-bahak melihat Ify yang masih guling-guling di pasir sambil terus memegangi perut saking gelinya. Ify juga masih tertawa-tawa sambil menghapus air matanya sendiri.

                Rio mengulurkan tangannya dan membantu Ify bangun. Ify meraih tangan Rio dan bangkit berdiri lalu menepuk-nepuk bajunya yang kotor terkena pasir sambil masih terus menahan sisa-sisa rasa geli.

               “aduh….Alvin reseee!!!!”
               Ify memukul-mukul bahu  Alvin tapi masih sambil meringis-meringis karena rasa geli yang masih belum hilang. Perutnya terasa kram gara-gara ulah dua sahabatnya itu.

              “Hahahaha…”
                Alvin berlari-lari kecil meninggalkan Ify dan Rio. Ify dan Rio pun menyusul langkah Alvin yang mulai memelan. Merekapun berjalan beriringan sambil menikmati deru ombak yang saling bersahutan di tengah lengangnya suasana pantai yang hanya ada mereka bertiga disana.

               “Mau gendong ngga Fy?”
               Rio menawarkan punggungnya pada Ify.

               “mauuuu!!!!”
               Tanpa basa basi lagi Ify pun langsung pasang badan di punggung Rio. Perlahan Rio mencoba berlari sambil menggendong Ify, meninggalkan Alvin yang masih berjalan santai di belakang.

                “kejar aku Vin!!!!! Wekkkk….”
                 Ify memeletkan lidahnya kearah Alvin yang hanya tersenyum menatap mereka.

                 “Hih….ngledek ya? Okeeee!!!!”
                 Alvin berlari pelan menyusul mereka.

                “Huaaaaa!!!! Lari Yo!!!”
                Rio pun spontan mempercepat larinya karena komando Ify. Alvin sengaja melambatkan larinya karena Rio pun tak bisa berlari terlalu cepat dengan Ify di punggungnya.

                “Ayo Vin!!!!!”
                 Ify mengulurkan tangannya pada Alvin. Alvin pun menggapai tangan kiri Ify yang masih bebas sedangkan tangan kanan Ify berpegangan di pundak Rio.

                “Woy kasian Rio berat…turun.”
                Alvin mulai menoel-noel pinggang Ify yang otomatis menggeliat kegelian.

                “Aaaa!!!!Alvin!!!”

                “Aduh Ify jangan gerak-gerak…”
               Rio mulai protes karena Ify yang meronta-ronta di punggungnya.

                 “Alvin nih….”
                 Ify mencoba membela diri sambil manyun kearah Alvin.

                 Rio pun tak lagi berlari. Ia hanya berjalan dengan Ify yang bergelayut di punggungnya sambil menggandeng tangan Alvin.

                 “Hahahahaha…..”
                  tawa mereka membahana berpadu dengan sorot kemerahan mentari senja yang mulai tenggelam di tengah lautan.

“Jika saat ku pejamkan mata
Yang tertinggal hanya kegelapan dan kesunyian
Tiada tampak rupa dan wajahmu
Maka….
Inginku terjaga selamanya

Tangguh,
Menantang silau terik mentari
Terjaga di keheningan malam
Hanya untuk melihat
Lukisan dunia di setiap detik hidupku
Terwarnai satu persatu
Oleh gelak tawamu“

***************Semoga dirimu disana kan baik-baik saja untuk selamanya******************


                 Sejenak kemudian semilir angin kembali mengiringi tarian bunga-bunga sakura yang meliuk-liuk di antara lekukan tirai jendela yang tersibak menyambut kedatangan sang pembawa udara.
                 Lembaran-lembaran itu kembali tersingkap melewati beberapa halaman, hingga terhenti kembali saat sang dewi angin menghentikan desah semilir merdunya.
                 Sebuah halaman yang masih penuh dengan rangkaian huruf membentuk untaian kenangan sang penulis……………


                 3 Maret 2003

                  Ify berlari menerobos keramaian anak-anak yang masih saling berbisik di sepanjang lorong-lorong sekolah. Anak-anak itu masih penasaran akan apa yang sedang terjadi hingga  ketenangan waktu istirahat mereka tiba-tiba terpecahkan dengan suara teriakan dan derap langkah orang-orang yang berlarian.

                 Sekuat apapun ia berusaha, langkah Ify tetap tak mampu menyusul langkah satpam sekolah yang sudah jauh menghilang di depannya. Sedangkan Rio entah sekarang berlari dari arah mana. Ify hanya berharap semuanya akan baik-baik saja. Yang paling ia inginkan sekarang adalah tak ada sesuatupun hal buruk yang akan terjadi hari ini.

                  Rio terus berlari melompati tanaman-tanaman kecil. Sekuat tenaga dicobanya melampaui berbagai halangan yang menghalangi jalannya. Ia memilih memotong jalan dari lorong di belakang laboratorium bahasa dengan harapan ia dapat mendahului satpam sekolah. Ia memilih lorong yang sepi dengan harapan langkahnya tidak perlu terhalang oleh anak-anak yang sedang ramai beristirahat.

                 Nafasnya yang memburu semakin membuat langkahnya terasa berat. Sesekali langkahnya terseok tersandung bebatuan ataupun tanaman kecil yang ia lalui. Mata Rio teliti menatap jalanan di depannya. Sedikit lagi ia akan sampai di persimpangan lorong.

                    Persis seperti yang ia perkirakan…

                   “Alvin!!!!”
                   Secepat mungkin diraihnya badan Alvin yang melaju kencang saat ia tepat melewati persimpangan lorong. Akhirnya ia bisa mendahului satpam sekolah dan menghentikan Alvin tepat di pertigaan samping perpustakaan.

                    Tangan Rio yang tepat menggapai pundak Alvin membuat Alvin menghentikan larinya dengan tiba-tiba dan jatuh tersungkur bersama dengan Rio. Tangan Rio masih memegang kuat ujung baju Alvin agar ia tak lagi melarikan diri.

                    “Lepasin gue!!”
                    Alvin berusaha bangkit. Matanya waspada menatap ke belakang kalau-kalau satpam sekolah mampu menyusulnya.

                    “Vin lo jangan lari!”
                    Rio masih tetap memegangi baju Alvin.

                    “Lo pengen gue ketangkep? Hah??”
                    Alvin membentak Rio masih dengan nafas tersengal. Ia ingin secepat mungkin meninggalkan tempat itu, tapi Rio bersikeras tak mau melepaskannya.

                     “Keadaan bakal lebih parah kalau lo lari Vin!”

                    “Ahhh!!!”
                     Buggg!!!

                    Rio jatuh tersungkur karena pukulan Alvin tepat mengenai sudut bibirnya. Alvin mulai berlari meninggalkan Rio.

                    “Vin!!!”
                    Tanpa memperdulikan rasa sakitnya, Rio mencoba bangkit dan berlari mengejar Alvin.

                    “Vin!”
                    Langkah Alvin kembali terhenti karena Rio menarik bagian belakang bajunya. Kali ini tanpa bicara apapun Alvin langsung melayangkan tinjunya ke arah Rio. Rio tersungkur untuk yang kedua kalinya. Tapi kali ini Alvin tak melanjutkan larinya, ia mencengkeram kerah baju Rio dan melayangkan tinjunya sekali lagi. Hantaman tangannya berhasil membuat setetes darah membasahai sudut bibir Rio.

                    “Lo ngga punya hak ngatur-ngatur hidup gue. Apapun yang gue lakuin, lo ngga berhak ikut campur. Gue….”
                    Belum sempat Alvin menyelesaikan kalimatnya, ia merasa kerah belakangnya ditarik oleh seseorang.

                  “Alvin!”
                   Tepat saat Alvin menoleh ke belakang, sang satpam sekolah telah berdiri menahan amarah karena Alvin yang melarikan diri dari kejarannya.

                   “Lepasin!”
                   Kali ini Alvin tak akan mampu melepaskan diri dari satpam sekolah bertubuh kekar itu. Ia menyeret tubuh Alvin menjauh dari Rio.

                   “Lepasin!”

                   “Diam kamu! Ikut saya!”
                    Alvin ditarik menuju ruang kepala sekolah. Ia tak lagi meronta. Karena semakin ia meronta, maka semakin murkalah pria paruh baya yang kini menahan gerak tubuhnya. Dengan sorot mata tajam menatap Rio, Alvin berjalan pasrah kemana satpam sekolah membawanya.

                    “Vin!”
                    Rio menatap kepergian Alvin. Setitik rasa penyesalan tersirat dari tatapan matanya. Perih di sudut bibirnya tak lagi terasa.  Rasa penyesalan itu jauh lebih dominan. Kenyataan yang baru saja terjadi seolah menampar dan menyadarkan dirinya. Karena ternyata, ia sama sekali tak mengenal sahabatnya.

                    Di kejauhan Ify sontak menghentikan langkahnya saat melihat Alvin berhasil dicekal oleh satpam sekolah. Rasa takutnya yang memuncak membuatnya terdiam menatap Alvin yang menjauh.

--------------

                   Ify yang duduk tak jauh dari tempat Rio berdiri tampak gelisah menatap jalanan yang terus berlari meninggalkan mereka. Keramaian dan bisingnya jalanan terasa begitu hening dalam pikiran Ify. Matanya menatap kosong lantai yang berada di bawah kakinya. Bayangan kejadian tadi siang begitu jelas terputar kembali dalam otaknya.

                   Sementara itu, tangan Rio masih menggenggam erat pegangan busway yang ia jadikan penopang tubuhnya agar tak jatuh. Urat-urat tangannya yang menegang menyiratkan kekhawatiran yang tak jua reda. Jarak yang biasa mereka tempuh untuk sampai di rumah kali ini terasa begitu panjang. Rasa ingin cepat sampai bercampur baur dengan begitu banyak tanda tanya yang menuntut untuk segera mendapat jawaban.

                   Rio menatap Ify yang duduk tak jauh darinya. Wajahnya masih tertunduk dengan jari-jemari terkait menahan gelisah.

                  “Tenang Fy, Alvin bakal baik-baik aja.”
                  Sebuah kalimat yang mungkin juga ia lontarkan untuk menenangkan hatinya sendiri.

               Ify tak mengangkat wajahnya. Ia hanya mengangguk perlahan. Ia pun berharap seperti itu, dan itulah yang sedari tadi coba ia yakini namun terus menerus gagal karena pikiran-pikiran buruk lebih kuat menghantuinya.

               10 menit di perjalanan, akhirnya sekarang mereka sudah melangkahkan kaki di jalanan komplek rumah mereka. Di persimpangan jalan Ify tak berbelok pulang ke rumahnya, begitupun Rio. Mereka terus berjalan hingga beberapa meter kemudian sampailah mereka di depan rumah Alvin. Dari seberang jalan sejenak mereka berhenti mencoba menata hati dan membayangkan hal seperti apa yang sekiranya mungkin terjadi nanti.

                Rio mendahului langkah menuju rumah Alvin yang pagarnya masih terbuka. Bahkan pintu rumah pun belum sempat ditutup oleh pemiliknya. Tanpa menunggu lagi mereka memasuki halaman rumah Alvin. Rasa penasaran dan khawatir semakin mendesak untuk diluapkan hingga tiba-tiba….

                Pranggg!!!!

                Sebuah suara pecahan kaca membuat Rio dan Ify sontak berlari masuk kedalam. Betapa terkejutnya mereka melihat kejadian yang untuk pertama kalinya mereka saksikan menimpa sahabatnya.

               “Kurang apa yang papa kasih sama kamu,HAH? Berani-beraninya kamu mencoreng muka papa?!?!?”
               Plakkk!!!

               Sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Alvin yang tertunduk berlutut di hadapan ayahnya.

               “Alvin!”
                Rio berteriak dari arah pintu. Terakannya sontak membuat ayah Alvin memalingkan wajahnya kearah Rio dan Ify yang baru datang. Baru saja Rio akan masuk ke dalam untuk menolong Alvin….

               “Siapa yang menyuruh kalian masuk?!?”
Tampak gurat-gurat kemarahan semakin jelas terlukis di wajah ayah Alvin yang tampak menyiratkan jejak-jejak usia.

               “Kenapa Om mukulin Alvin?”

                “Bukan urusan kamu! Pergi kalian!”

                Di belakangnya tampak Alvin yang berusaha bangkit. Ify semakin membelalakkan matanya saat melihat ternyata wajah Alvin penuh dengan lebam.

                 “Dia pantas mendapatkannya! Dia sudah mencoreng nama baik keluarga ini!”

                 Rio tak menyangka satu-satunya orang tua yang masih Alvin miliki tega melakukan hal tersebut pada putra kandungnya sendiri. Seorang anak kelas 1 SMA yang ketahuan merokok di sekolah tak selayaknya mendapat perlakuan yang berlebihan seperti sekarang. Kejadian ini membuat Rio semakin penasaran jangan-jangan ayah Alvin selama ini memperlakukan Alvin dengan tidak layak.
                 “Tapi, Om, Alvin Cuma ngrokok, ngga perlu sampai dipukuli seperti itu…”

                 “Kamu anak kecil tau apa? Jangan ikut campur urusan orang lain. Ngrokok kamu bilang cuma? Atau jangan-jangan kamu yang bikin anak saya jadi salah pergaulan seperti ini? Pergi!!!”

                “Tapi Om…”

                 “Pergi kalian!”
                 Tanpa disangka Alvin melangkah cepat kearah Rio dan Ify lalu mendorong mereka keluar dengan paksa.

                  “Alvin…”
                   Ify menyebut nama Alvin lirih. Pandangannya nanar menatap wajah sahabatnya yang penuh lebam. Seberkas darah tampak mengering di sudut bibirnya. Air mata menerobos sudut mata Ify, tak tega melihat keadaan Alvin seperti sekarang apalagi melihat Alvin tampak begitu pasrah atas perlakuan ayahnya.

                  “Makin lama kalian disini itu bakal nambah penderitaan gue. Kalian pikir kedatangan lo bakal nyelametin gue? Ngga! Lo Cuma nambahin siksaan yang bakal gue terima. Pergi!!”
                    Sekali lagi Alvin mendorong tubuh Rio dan Ify hingga keluar dari pintu rumahnya dan dengan kasar ia menutup pintu rumahnya lalu menguncinya dari dalam.

                   Di belakang tubuh Rio yang masih terpaku menatap daun pintu yang terkunci, badan Ify sudah gemetar hebat menahan tangis. Perih menyeruak dari dalam rongga tenggorokannya menahan isakan yang terasa begitu menyesakkan.

                   Beberapa saat mereka terpaku disana. Entah apa yang terjadi. Hanya sesekali teriakan sang Ayah samar-samar menelusuk celah-celah dinding dan suara benda pecah menambah kegetiran hati dua sahabat yang masih termenung pasrah akan takdir.

                   Semakin mereka menyadari bahwa ternyata begitu banyak hal yang tidak mereka ketahui tentang sahabatnya, dan begitu banyak hal yang tidak Alvin bagi dengan mereka. Tentang kehidupannya, tentang seperti apa perlakuan orang tuanya selama ini, dan tentang apa yang ia rasakan, semua semakin buram dimata Rio dan Ify.

“Ketika kaki ini
 tak mampu menandingi derap langkah sang waktu
Ketika hati ini
Tak mampu menerangi gelap jalanmu
Ketika raga ini
Tak sanggup menemani gulir asamu

Alir darah di antara degup jantungku
Membawa sesal menerobos relung mata
Menyampaikan rasaku
Lewat bulir bening yang menyadarkan
Betapa aku tak mengenalmu”


***********Berjanjilah wahai sahabatku bila kau tinggalkan aku tetaplah tersenyum*************

               Lembar demi lembar terus tersibak. Hembusan angin membuka kembali halaman-halaman lusuh yang terkadang hanya berisi coretan-coretan kasar ataupun gambar-gambar sederhana. Di halaman-halaman selanjutnya tampak beberapa baris kata dengan tinta yang luntur di beberapa bagian karena tetesan air mata. Air mata kepedihan dari si empunya cerita. Hingga sang dewi angin kembali memilih sebuah halaman untuk berhenti…..

                12 November 2004

                 Ify berdiri terpaku di ambang pintu ruangan gelap dan penuh debu itu. Ia menutupkan kedua telapak tangannya ke mulutnya menahan rasa terkejut yang begitu dahsyat menghantam relung jiwanya. Rembesan berbutir-butir air mata tak mampu lagi ia tahan dengan kapasitasnya sebagai seorang wanita. Sekujur tubuhnya lemas menahan beban yang seolah baru saja mencapai titik terberat.

                “Alvin!”
                Dengan sisa-sisa tenaga di antara tulang-tulangnya yang seolah tak mampu menopang tubuhnya sendiri ia berlari kearah Alvin. Dengan paksa ia meraih benda laknat itu dari tangan Alvin.

               “Apa-apaan lo?”
Dengan tubuh gemetar Alvin mencoba meraih kembali benda sejenis dari atas meja kecil tak jauh dari tempat ia terduduk menyandar dinding.

                Plakkk!!!
               Dengan penuh amarah Ify menampar wajah Alvin yang memandangnya tajam.
               “Kamu gila!!!”
                Ify meraih kembali benda laknat itu dari tangan sahabatnya. Setelahnya, dengan sekali sapuan ia menghempaskan barang-barang haram yang berceceran tak teratur di atas meja. Membuatnya jatuh berceceran di lantai berdebu yang tak terjamah mentari entah untuk berapa tahun.

               Alvin mencoba merangkak menggapai benda-benda yang berceceran itu. Gemetar badannya menahan sakau yang sedang hebat melanda raganya.

                “KENAPA KAMU MAKE BARANG LAKNAT ITU VIN?!?!?”
                Sekuat tenaga Ify menarik tubuh Alvin sebelum tangannya mampu menggapai suntikan-suntikan dan benda asing yang tak pernah Ify sangka akan berada langsung di hadapannya. Air mata Ify sudah jatuh membanjiri lantai di bawah kakinya yang bercampur dengan cairan-cairan berwarna aneh.

                “Sadar Vin!!! Sadar!!!”
                Ify mencoba menjauhkan Alvin dan menyeretnya menjauh. Tapi apa daya, tenaga seorang perempuan tak akan mampu menandingi arogansi seorang lelaki yang sedang berada dalam keadaan tak terkendali.

                Alvin melayangkan sebuah tamparan yang sangat kuat kearah pipi Ify karena rasa marah yang semakin meledak-ledak. Ify yang tak siap dengan tamparan tiba-tiba itupun jatuh menghantam lantai.

                 Belum sempat Ify mengusap pipinya yang terasa panas, Alvin tiba-tiba menjambak rambutnya dan menariknya cukup keras hingga Ify pun terpaksa berdiri mengikuti arah tarikan Alvin. Tangan kiri Alvin yang masih bebas sontak mendorong tubuh Ify ke belakang hingga menghantam dinding.

                Ify tak pernah menyangka sifat arogan Alvin akan menjadi sejauh ini dan bahkan membuatnya melupakan status mereka sebagai sahabat. Ify tak sempat berpikir apapun. Yang dia harapkan sekarang hanyalah ada seseorang yang datang menolongnya dan menjauhkannya dari Alvin yang sedang kalap.

                 Alvin melepaskan tangannya dari rambut Ify dan beralih mencengkeram kuat pipi Ify yang sudah benar-benar merasa kesakitan karena perlakuan Alvin.

                 “Lo bisa diem ngga sih??? Ini urusan gue dan lo ngga berhak ikut campur!!! Lo tu bisanya Cuma ngomong!!!! Lo ngga pernah ngrasain apa yang gue rasain!!!”
                 Alvin menekan pipi Ify kuat-kuat hingga Ify hanya mampu mengerang tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun untuk membela diri. Kepalanya terasa pening karena benturan ke dinding yang cukup keras.

                 Ify meronta sekuat tenaga dari cengkeraman tangan Alvin. Tapi semakin dia meronta, semakin kuat pula Alvin menyiksa dirinya. Emosional yang tak terkontrol membuat Alvin melampiaskan segala kemarahannya pada Ify.

                 “Aaaa!!!!”
                 Ify terus berontak. Ia menendang-nendangkan kakinya ke kaki Alvin, namun sama sekali tak mengendurkan cengkeraman Alvin dari tubuhnya. Teriakannya hanya bergema diantara dinding-dinding rumah usang di tengah hutan kecil yang dulu sering mereka gunakan sebagai tempat bermain. Tak ada seorangpun yang mungkin mendengar ataupun mencoba menolongnya.

                “Vin…..aaaaa…. ini aku, Ify…sahabat kamu…sakit Vin…lepasin!!!”
                Ify terus berusaha melepaskan diri dan diapun menendang sekuat tenaga lutut Alvin. Alvin yang merasa jengah dengan tingkah Ify akhirnya membanting tubuh Ify ke lantai yang kotor dan dingin.

                 Ify yang berhasil lepas dari cengkeraman Alvin hendak berdiri untuk menyelamatkan diri tetapi Alvin tiba-tiba kembali melayangkan sebuah tamparan. Tamparannya memang tak mengenai pipi Ify yang sempat memalingkan wajah. Tapi hantaman keras dari telapak tangan Alvin itu cukup membuat kepala Ify pening karena pelipisnya yang terhantam.

                Ify berusaha melindungi kepalanya dengan menyilangkan kedua tangannya di atas kepalanya. Alvin terus menghujaninya dengan pukulan-pukulan keras. Tangan kiri Alvin pun tak mau ketinggalan. Alvin menahan tangan Ify dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya terus melayangkan pukulan kearah wajah Ify. Kondisi psikologis yang sedang tak terkendali membuat Alvin bertindak tanpa berpikir.

                  Tak pelak lagi, wajah Ify mulai lebam disana sini. Setetes darah mengalir dari sudut bibir Ify. Pertama kali dalam hidupnya ia mendapat perlakuan seperti ini. Terlebih lagi dari seorang sahabat.

                   Alvin yang seolah kalap tak perduli lagi dengan erangan Ify yang kali ini benar-benar tak menyangka dengan sikap Alvin yang membuatnya tak berkutik. Alvin seolah tak mengenali Ify, bahkan seolah tak mengenali dirinya sendiri. Alvin tak pernah seperti ini. Ify benar-benar takut melihat kondisi sahabatnya sekarang.

                   “Alvin!!! Alvin sakit!!!! Alvin lepasin!!!! Sakiiittt!!!!”
                    Alvin tak mempedulikan teriakan Ify. Tangannya tanpa henti terus menjambak, menampar dan memukuli Ify.

                    Dengan sisa-sisa kesadaran yang masih dimilikinya, Ify berusaha melindungi wajah dan kepalanya dari hantaman tangan Alvin yang sudah benar-benar kehilangan akal sehat, hingga akhirnya sebuah pukulan yang tepat mengenai pelipis kanan Ify membuat gadis itu jatuh tersungkur ke lantai dan kehilangan kesadaran.

                     Dengan dada yang masih naik turun karena nafas yang tersengal, Alvin menatap Ify yang sudah tak melakukan perlawanan lagi. Kepalan tangannya perlahan mengendur melihat sosok di hadapannya sekarang sudah tak bergerak. Kini kakinya tergerak untuk mundur perlahan. Alvin mulai menggeleng-gelengkan kepalanya pelan menyadari apa yang baru saja ia lakukan.

                     Berangsur-angsur Alvin melangkah mundur. Untuk yang terakhir kalinya Alvin menatap tubuh yang tergeletak penuh luka dan darah di hadapannya, hingga sesaat kemudian tubuhnya tak mampu melawan perintah otaknya untuk lari sejauh mungkin.

                    Alvin berlari sekuat yang ia bisa. Sejauh mungkin dari tempat dimana Ify tergeletak. Sekencang mungkin seolah ia berharap rasa penyesalannya akan jatuh tertingal seiring derap langkah kakinya.

-------------------------------------

                Rio menatap nanar kepergian mobil berwarna biru hitam itu menjauh dari halaman rumah sahabatnya. Suara bisik-bisik orang-orang yang bergerombol tak jauh dari sana menambah isakan Ify yang menangis bersandar di bahu Rio. Hanya rangkulan tangan Rio mencoba meredam goncangan tubuhnya yang kejang menahan isakan mendalam.

                Beberapa orang sudah kembali masuk ke dalam rumah masih dengan gumaman-gumaman miris dan ungkapan-uangkapan tajam yang merendahkan. Sementara itu Rio masih terpaku menatap jalanan lengang di kejauhan. Tak lagi terdengar sirine berdengung memecah kesunyian.  Urat lehernya menegang menahan perasaan yang sama dengan Ify.

                Tak pernah ia sadari suatu saat ia akan mengalami guncangan sehebat ini. Alvin, entah seperti apa hidup yang akan mereka jalani mulai sekarang.

                 Sudah berhari-hari Alvin dan Ify ijin tidak hadir di sekolah. Tak ada satupun yang bisa dihubungi ataupun ditemui. Tak ada seorangpun yang Rio tanyai mampu memberi jawaban yang melegakan hatinya. Hingga akhirnya 2 hari yang lalu Ify datang ke sekolah dengan sisa-sisa lebam di wajah bersama kedua orang tuanya.

                Dan hari ini, baru saja Rio mendengar segala apa yang terjadi langsung dari Ify yang menceritakan semuanya dengan berurai air mata. Dan hari ini pula, semuanya menjadi semakin buram dimata mereka. Di DO dari sekolah, dan baru saja dibawa oleh polisi karena perintah penahanan dengan tuntutan telah mengedarkan dan memakai narkoba, membuat mereka semakin jauh dari harapan untuk bahagia seperti dulu.

                  Semakin jauh waktu bergulir, semakin jauh jarak memanjang, semakin dalam penyesalan. Betapa Rio dan Ify terbelenggu dalam kesedihan karena selama ini sebuah fakta yang tak pernah mereka sadari, bahwa sebenarnya mereka tak mengenal siapa Alvin. Tak satupun mampu menemukan jawaban siapa yang harus bertanggung jawab atas segala perubahan pada diri sahabatnya. Mungkinkah mereka? yang terlalu disibukkan oleh kedewasaan sehingga tak lagi mampu menghidupkan masa-masa indah saat permasalahan mampu mereka hadapi hanya dengan saling bergandengan tangan?

                 Sejak saat itu mereka tak kan mampu lagi mengelak dari jeruji batas yang akan semakin memisahkan mereka. Orang tua yang tak kan merelakan putra putrinya bergaul dengan orang yang salah, adalah hal terbesar yang akan menjadi tembok tertinggi kebebasan mereka. Penghalang terbesar bagi persahabatan yang memang semakin hari semakin tampak buram maknanya.

“Kau lepas genggam erat tanganmu
Pergi menjauh menerobos sang waktu
Tak lagi lekat canda tawa
Mengisi ruang hampa kehidupan

Alur sungai menuju hilir
Tak kan mampu kembali menjemput hulu
Semakin menjauh
Membawa pasir,lumpur dan bebatuan
Hingga sampai di ujung perjalanan
Terpisah jauh di tengah luasnya lautan”


************Meski hati sedih dan menangis, Ku ingin kau tetap tabah menghadapinya************

             Setahun…

             Begitu banyak yang telah terjadi. Rio, Ify dan Alvin kini telah menempuh jalannya masing-masing. Bukan hendak pasrah melepas kawan, hanya raga yang tak kuasa melawan haluan. Segala upaya yang diusahakan jika terus dipaksa justru akan menyebabkan perpecahan. Tiada pilihan lain, kecuali hanya mengenang persahabatan dan menanti saat yang tepat untuk menemukan kembali indahnya pertemanan.

              Rio dan Ify hanya sesekali mengunjungi Alvin. Untuk itupun mereka harus rela bolos sekolah. Karena kedua orang tua mereka selalu mengantar mereka ke sekolah dan menjemput ketika pulang. Rasa takut dan kekhawatiran membuat mereka over protective.

               Semakin lama intensitas perjumpaan mereka semakin berkurang. Tes masuk perguruan tinggi semakin menyita waktu dan pikiran Rio dan Ify. Mereka tak lagi saling bercerita, mengungkapkan segala apa yang dirasa. Ketika akhirnya Alvin mampu menghirup udara kebebasan dari pusat rehabilitasi pun, mereka berdua tak sempat menengoknya karena tenggelam dalam kesibukan yang tak bisa mereka tinggalkan untuk mempersiapkan kehidupan kampus. Hingga akhirnya waktulah yang menyadarkan, betapa kini mereka sudah terlalu jauh…….

                6 Juli 2006

                 TIIINNNN!!!!!!TIIIIINNNN!!!
                Tangan Rio yang basah keringat dingin terus menekan klakson mobil berkali-kali. Sebuah angkot yang berhenti di pinggir jalan mempersempit ruas jalanan yang padat dengan lalu lalang kendaraan.

                 Ify memukul-mukulkan pelan kepalan tangannya ke pahanya sendiri. Berkali-kali ia menggigit bibir berharap jalanan mau sejenak memberikan ruang untuk mereka melaju.

                  “Yo, gimana dong? Cepetan Yo…”

                   Rio kembali menekan klakson mobil. Kali ini bunyi nyaring mobil Rio menarik perhatian orang-orang di sekitar. Mereka menatap Rio dan Ify dengan pikiran mereka masing-masing. Ada yang berbaik sangka, tapi tentu saja ada yang berburuk sangka. Rio tak peduli dengan tatapan mereka, yang terpenting sekarang adalah ia ingin memacu mobilnya sekencang yang ia bisa.

                  Perlahan angkot di depannya melaju menyisakan sedikit ruang. Dengan sigap Rio memutar stir mobilnya, menyusup di keramaian kendaraan yang berlalu lalang. Honda Jazz merah itu kembali melaju kencang menerobos jalanan Jakarta yang padat dan panas.

                  10 menit berlalu…
                  Gedung-gedung menjulang tinggi sekarang tak lagi tampak. Yang ada sekarang adalah pohon-pohon palm di kanan dan kiri jalan yang berlari kencang meninggalkan mereka seiring laju mobil Rio yang semakin cepat.

                   “Yo…”
                  Semakin dekat dengan tujuan, hati Ify bukan semakin tenang, tapi justru semakin panik. Perasaan khawatir, gundah dan gelisah menyeruak di antara kebisingan degup jantungnya sendiri. Perasaan tak enak menggelayut muram di relung hatinya.

                  Rio tak menoleh sedikitpun pada Ify. Matanya konsentrasi menatap jalanan lengang di hadapannya. 100 km/jam terasa tak cukup berpacu mengejar waktu.

                   Mata Ify terpejam menahan air mata yang hampir jatuh ke pangkuannya. Bayangan suara Kak Sivia terngiang-ngiang di telinganya. Suara yang membuat Ify sontak terlonjak dari tempat duduk kuliahnya dan berlari meninggalkan dosen yang sedang mengajar. Suara yang membuatnya berteriak memanggil nama Rio dari jarak 30 meter dan mengundang tatapan jengah mahasiswa di sekelilingnya.

                  Sivia adalah tetangga sebelah rumah mereka (Rio, Alvin dan Ify). Kira-kira 20 menit yang lalu ia menelfon Ify. Sebuah kabar yang tak pernah ia sangka akan mampir ke telinganya baru saja disampaikan oleh Sivia.

                   Ia bilang, sekarang dia sedang berada di bawah sebuah menara PLN. Sebuah menara yang berada tak jauh dari komplek rumah mereka. Ia bilang semua orang sedang berkumpul disana, menatap keatas, menantang terik mentari. Ia bilang…..

                    Alvin ada di atas sana…..

                    “Kenapa jadi kayak gini Yo?”
                    Pejaman mata Ify tetap tak mampu membendung bulir air mata yang berarakan menyusuri lekuk pipinya. Rasa sesal terus menghantui Ify di sepanjang perjalanan. Rasa sesal karena dia baru menyadari betapa mereka terlalu jauh dari Alvin, betapa mereka telah sejenak melupakan sahabat mereka yang mungkin sangat membutuhkan kehadiran mereka untuk mendampingi hari-harinya yang sulit. Rasa sesal karena ia tak lagi sering menanyakan kabar Alvin. Rasa sesal karena harus dengan cara seperti ini mereka diingatkan kembali akan pentingnya kebersamaan dan rasa sesal lain yang masih banyak tak mampu terhitung lagi oleh Ify dan Rio.

              Tak ada jawaban dari Rio.
               Rio terlalu takut untuk menjawab. Ia hanya ingin sampai secepat mungkin. Ia ingin segera menebus rasa sesalnya. Ia tak ingin rasa sesal itu menghantui dirinya seumur hidup jika sampai terjadi sesuatu pada sahabatnya.

                “RIOOOOO!!!!”

                 Ify sontak berteriak saat matanya yang buram karena air mata samar-samar menangkap bayangan besar yang tiba-tiba muncul dari kelokan jalan di hadapan mereka. Sebuah truk pemuat material bangunan sebentar lagi akan menghantam mobil mereka.

                Entah apa yang terjadi, hanya sakit dan perih di sekujur tubuh yang bisa Ify rasakan saat ia dengan sisa-sisa kesadarannya mencoba meraih pundak Rio yang tertelungkup menghantam stir. Pecahan-pecahan kecil dari kaca mobil berserakan di atas tubuh mereka. Tangan Ify tak sampai meraih pundak Rio yang bersimbah darah. Ify hanya mampu meraih udara hingga akhirnya ia sendiri jatuh bersandar tak sadarkan diri di pintu mobil yang terbalik.

-----------------------------

                 Prang!!!!!
                 Suara nyaring nampan alumunium rumah sakit yang menghantam lantai membuat Bu Ira terjaga dari tidurnya. Baru saja ia memejamkan mata sejenak sambil bersandar di kursi kayu yang keras. Rasa penat dan lelah setelah semalaman terjaga membuatnya tak lagi memperdulikan kenyamanan.

                 “Rio?!?!”
                  Bu Ira terlonjak dari duduknya dan bergegas meraih tubuh Rio yang jatuh tersungkur di lantai.

                 “Ma, Mama….”
                 Rio menyebut nama mamanya lirih. Tangannya berusaha menggapai sesuatu yang bisa ia jadikan pegangan.

                  “Rio….Bangun Nak….”
                 Bu Ira menarik tubuh Rio untuk bangkit. Akan tetapi Rio menepis tangan mamanya dengan kasar hingga akhirnya ia tersungkur kembali di lantai. Tangannya kembali mencoba meraih  apa saja yang ada di sekelilingnya.

                  “Rio….”
                   Bu Ira berlutut di samping Rio. Kedua tangannya meraih pundak putra satu-satunya itu dan memeluknya erat. Air mata seorang ibu yang melihat anaknya dalam kesedihan meluncur melampaui gurat-gurat usia di wajah sayunya.

                   Ia tak mempedulikan Rio yang terus meronta di pelukannya dengan tangan yang masih mencoba menggapai, dan meraba.

                   “Matakuuuuu!!!!!!!!!!! Aaaaaaa!!!!!!!!!!”
                    Tak lagi hanya meronta, kini Rio memukul-mukulkan kepalan tangannya ke lantai. Mencoba meluapkan rasa hatinya yang dibelenggu ketakutan karena tak mampu menangkap bayangan apapun.

                    Bu Ira semakin erat memeluk putranya tanpa peduli Rio yang semakin kalap memukul-mukul lantai. Pedih hatinya mencoba merasakan kesendirian yang diderita Rio karena berada dalam dunia yang tak nampak di matanya.

                   Rio berhenti memukul lantai. Tubuhnya lemas pasrah menatap kosong hitam tak berujung di pelupuk matanya. Kesendirian dalam kegelapan. Kini, dunia pun kelam dalam pandangannya. Matanya yang terjaga hanya mampu memandang pekatnya warna dunia. Hanya setetes air mata mewakili amarahnya, karena kini, kehampaan adalah teman setianya.

“ Di kala mata menatap kembali
Ukiran-ukiran kasar alur kehidupan

engkau tenggelam di dasar kehampaan
  Terasa gentar ragamu
menapak kembali jalan keadaan

Dirimu sendiri di tengah bara dunia

merana di tengah hampa semesta
 Terlintas alunan nada sumbang

  rintihanmu lirih jauh dan samar-samar
 Aku tak pernah sejauh ini denganmu”

             Bunga-bunga sakura itu menari-nari kembali. Hembusan angin menebarkan hawa sejuk ke seluruh penjuru ruangan. Lembaran-lembaran kusam itu kembali tersingkap menunjukkan tegas pena yang tergores. Terus, terus dan terus. Halaman demi halaman mengikuti alur cerita jalan kehidupan. Sebuah foto yang warnanya telah memudar disana-sini, tampak terpajang di sebuah bingkai kayu berukiran sederhana di samping buku tersebut. Foto tiga orang anak berseragam SMP yang saling berangkulan berlatarkan sunset dan deburan ombak senja di sebuah pantai indah yang lengang.
             Hembusan terakhir sang dewi angin, lembar selanjutnya perlahan terkuak, bergerak menyingkap lembaran baru. Hingga akhirnya terhenti di sebuah lembaran kosong tak bertulisan……..

************Bila kau harus pergi meninggalkan diriku, Jangan lupakan aku*******************

              Hari ini, 1 Desember 2011

“Liku terjal bukit berbatu
Debur hantam ombak lautan
 Tak kan menghalang pandang
Karena yang paling kau kasihi
Mungkin tampak lebih jelas dalam ketiadaannya
Bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki
Nampak lebih agung
Daripada tanah ngarai daratan

Kelam dunia di mataku
Kini tlah jadi milikmu
Ku lihat biru langit meluas
Ku tatap hijau hamparan semi
Ku pandang indah warna dunia
Untukmu…
Karenamu….. ”

-------------------------------

               30 September 2008

                Hatinya terlalu takut untuk berhenti berlari sekarang. Ia terus, terus dan terus berlari seolah jantungnya akan ikut terhenti jika ia menghentikan langkahnya.

               Tangannya yang mengepal mulai berair. Terasa dingin. Lututnya terasa bergetar menopang tubuhnya yang tak henti berkeringat. Udara panas menerpa tubuhnya yang terus melaju melawan arah angin di tengah sesaknya lalu lalang manusia.

                “Kumohon……”
                Desah lirih terucap di sela-sela nafasnya yang terputus-putus karena paru-paru yang turut berpacu.

                  Ia menggigit bibirnya mencoba menahan perasaan takut teramat sangat yang menyergapnya. Ia tak mempedulikan tangan dan kakinya yang berulang kali terantuk karena ia terus berlari di tengah kerumunan yang menghalangi jalannya. Licinnya lantai bandara bisa saja membuatnya terjatuh saat itu juga. Tapi dia tak peduli, hanya satu yang dia ingin saat ini. Dia ingin melihat wajah orang yang disayanginya untuk terakhir kali. Ia ingin memohon agar dia tidak pergi.

                BRAKKK!!!

                “Woiii dek!!!!!”

                Rio tak menghiraukan teriakan dan pandangan orang-orang di belakangnya. Ia terus berlari. Ia tak sanggup untuk berhenti sekarang walaupun dadanya sekarang terasa begitu sesak.

                 ‘Kumohon….’

                  Rio memejamkan matanya sekejap mencoba melawan sesak di dadanya agar kakinya tak menyerah dan berhenti. Ia menatap papan petunjuk di kejauhan. Ia berharap tak tersesat dalam keadaan seperti ini. Ia mencoba mengingat kembali saat terakhir kali dia kesini 2 tahun yang lalu. Bukan waktu yang sebentar untuk tetap mengingat dimana arah menuju tempat pemberangkatan internasional. Berharap ia bisa menemukan orang yang disayanginya sebelum ia pergi.

                 ‘satu belokan lagi.’
                 Rio menatap papan petunjuk di depannya. Langkahnya mulai terseok dengan kecepatan yang semakin berkurang namun tetap ia paksa untuk terus berlari.

                  “DEPARTURE”
                  dengan anak panah ke kiri.

                 Rio berbelok mengikuti arah yang ditunjuk anak panah di depannya. Ia hampir saja terjatuh karena berbelok dengan kecepatan yang cukup tinggi.

                Di depannya tampak sebuah palang kecil yang dijaga 2 orang berseragam. Tampak antrian orang menyerahkan sesuatu kepada para penjaga itu lalu kemudian mereka akan diijinkan masuk.

               Rio menghentikan langkahnya dan berdiri tak jauh dari palang pintu itu dengan pandangan mata yang teliti mengawasi kerumunan orang yang melewati palang tersebut. Matanya mencoba menemukan apa yang dia cari.

               Deg!!!
               Debar jantungnya menyadarkan ia dari kediaman. Matanya menemukan orang yang ia cari sedang berjalan membelakanginya. Sontak Rio pun  berlari. Ia berlari mendekati palang yang dijaga orang berseragam itu namun tepat saat kakinya hendak melangkah melewatinya, tangan kekar kedua penjaga itu terasa menghantam dadanya. Mereka menahannya.

             “Maaf, paspornya?”

               Rio tak mempedulikan pertanyaan mereka.matanya tak lepas dari orang yang disayanginya. Ia mencoba meronta dari genggaman tangan kedua penjaga itu.

               “Maaf, anda tidak diijinkan lewat tanpa paspor…”
               Salah seorang penjaga memandang tajam padanya dan semakin erat mencengkeram lengannya yang meronta kuat. Rio terus mencoba melepaskan diri.

               Alvin berjalan semakin menjauh. Rio makin panik karena tak juga bisa menembus palang itu.

               “Lepasin…..saya mau ketemu temen saya!!!”

              Seseorang yang berdiri tak jauh dari dari sana sontak menengok begitu mendengar teriakan Rio.

               “Rio?”
                Ify yang berdiri tak jauh dari situ bergegas menghampiri Rio yang terus meronta.

                 “Rio!”
               Rio menoleh kearah suara yang memanggilnya.

               “Ify?”
                Rio berhenti meronta. Ia menjauh dari kedua penjaga itu, menghampiri Ify yang menatapnya dengan mata memerah. Tampak gurat jejak air mata mengering di kedua pipinya.

               Sejenak mereka bertatapan hingga akhirnya Rio sadar.

              “Alvin…”
               Rio mendekat kearah kaca pembatas. Dari sana ia bisa menatap Alvin yang menjauh. Alvin berpegangan pada tangan seorang laki-laki paruh baya yang entah siapa.

                “ALVIIIINNN!!!”
               Sekuat tenaga dipanggilnya nama sahabatnya. Tak pelak lagi puluhan pasang mata menyorot Rio yang berteriak pada orang di seberang sana yang entah bisa mendengarnya atau tidak.

                “Udah Yo, udah….”
               Ify mengelus pundak Rio yang masih berteriak dari kaca pembatas.
               “ALVIIIINNN!!!”

               “Rio udah…”
               Ify tak mampu menahan air matanya. Begitu banyak air mata yang mewarnai kisah mereka. Entah ini akan menjadi yang terakhir atau bukan, yang jelas, jarak semakin jauh terbentang.

                “Alvin….”
                 Suara Rio melemah. Tubuhnya merosot di hadapan kaca bening yang berdiri angkuh membatasi dirinya dari sahabatnya. Perlahan ia memukulkan kepalan tangannya kearah kaca yang sama sekali tak bergeming.

                 Ditatapnya punggung Alvin yang terus menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik badan pesawat yang menelan tubuhnya menghilang dari pandangan Rio. Betapa inginnya Rio melihat Alvin untuk yang terakhir kalinya. Ia bahkan belum sekalipun melihat wajah sahabatnya itu sejak ia bisa membuka kembali matanya. Betapa Alvin meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

               Kali ini Rio membiarkan air matanya mengalir bebas. Membiarkan butiran-butiran basah itu jatuh menyapa dunia. Butiran bening yang mewakili segenap rasa kehilangannya. Butiran bening yang mewakili ribuan kata yang tak sempat ia ucapkan. Butiran bening yang mewakili kata maaf dan terima kasih yang tak sempat ia sampaikan. Butiran bening yang menetes lembut dari sudut matanya. Butiran bening yang menetes lembut dari sudut mata sahabatnya, yang kini menjadi miliknya.

___________________________________

 “……Hari ini aku menemuimu Lewat puisi untuk mengenangmu
ku tatap nanar ragamu yg tlah pergi
Meninggalkan tanya gundah di hati


Aku masih menatap langit yang sama
Yang juga menaungi ragamu disana

Entah...
Dalam dekapan rasa
Untuk berapa kali aku duduk di sini
Entah...
Dalam dekapan rindu
Berapa kali lagi aku akan di sini
Saat ini...
Dengan segala asa
Masih duduk di dermaga tua ini
Entah sampai kapan aku di sini
Mungkin...
Sampai tidak ada lagi dermaga di kota ini

Di manapun engkau berada
Entah masih mewarnai
Lukisan hidupmu di dunia
Ataukah telah damai
Bersama kekasih abadimu
Kami disini selalu mengingatmu
Seperti dulu
Berpegang tangan menggapai langit
Berpegang tangan menggapaimu”


               Rio menutup buku kecil  berisi puisi yang baru saja ia bacakan. Derai tepuk tangan orang-orang yang hadir menggema di seluruh sudut ruangan. Tangan Rio meraih kembali selembar kertas kusam dari dalam kantong jas putihnya. Sebuah kertas lusuh termakan usia yang selama ini terus disimpan olehnya.

               Dari atas panggung Rio menunjukkan kertas yang dibawanya kepada tamu yang hadir.Seulas senyum tersungging dari bibirnya saat ia menatap kembali barisan-barisan kata yang tertulis disana. Tatapan matanya seolah mengatakan bahwa benda itu sangat berharga baginya.

              “Ini adalah sebuah surat. Surat yang dikirimkan ke rumah saya beberapa bulan yang lalu. Sebuah surat dengan kertas yang sudah sedikit kusam. Entah kapan sang penulis membuatnya. Dan siang ini, saya akan membaca kembali isi surat ini. Saya hanya ingin kehadirannya tidak dilupakan.”

               Rio menatap Ify yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Ify mengangguk pelan padanya.Dan Rio pun mulai membacakan untaian-untaian kata yang terukir disana.

Kepada sahabatku,
Rio dan Ify

         Bagaimana kabar kalian? Baikkah? Masihkah kalian mengingatku?
         Maaf, mungkin, beribu tanya yang ingin kalian sampaikan padaku.
         Disini panas, mungkin disana sedang hujan.Tapi yang jelas, seperti yang selalu kalian katakan, kita masih menatap langit yang sama. 

        Ify, marahkah kau padaku? Karena aku yang tak pernah berterus terang padamu? Karena aku yang selalu memendam semua masalahku sendirian? Karena aku yang membuatmu begitu terkejut saat mengetahui seperti apa diriku? Masih sakitkan lukamu dulu? Maaf……

          Rio……
         Aku tak pernah marah padamu. Sekalipun aku tak pernah membencimu. Semua itu bukan amarah, bukan benci. Aku yang salah.
          Rio……
          Cerahkah disana? Masih bisakah kau melihat rasi bintang kita bertiga? Masih indahkah bukit belakang rumah jika rerumputannya bersemi?
         Aku bisa melihatnya. Walaupun aku jauh disini, aku bisa melihatnya. Karena kita melihatnya bersama kan? Aku masih bisa menatap Ify setiap hari, aku masih bisa menatap padatnya jalanan Jakarta setiap hari, aku masih bisa melihat birunya langit disana setiap hari. Karena kau memandangnya,Rio. Mata yg ada padamu, jagalah, agar aku tetap bisa melihat tawa kalian dari sini.

          Rio, Ify….
         Apakah kalian masih mengingatku?
         Apakah kalian masih mengingat saat kita bersama dulu?
         Apakah kalian masih ingat?
         Aku masih ingat. Karena setiap kali ku membuka mata, tak ada lagi warna dunia yang bisa kulihat. Di tengah kegelapan, hanya bayangan kalian yang terlintas. Hanya saat-saat indah itu yang membekas.

         Rio, Ify….
         Bisakah kalian membayangkan aku ada disana sekarang? Bisakah kalian membayangkan aku menggenggam tangan kalian sekarang? Jika iya, bayangkanlah aku berada di dekat kalian. Bayangkanlah aku tersenyum pada kalian. Karena sekian lama aku tak melakukannya.

        Aku, menjadi seperti ini semua karena orang tuaku. Perlakuan mereka padaku membuatku memandang dunia menjadi sesuatu yang kejam. Kehidupan yang kujalani membuatku memandang hidup sebagai sesuatu yang melelahkan.
Maaf,…

        Rio, Ify….
        Surat ini kutitipkan pada seseorang. Aku memintanya mengirimkan pada kalian. Tapi saat aku memberikannya, aku hanya meminta satu hal. Aku ingin surat ini dikirim jika kelak aku telah tiada.
        Maaf, sekali lagi aku tak jujur pada kalian.
        Aku, menderita AIDS. Kata dokter, semua karena jarum suntik yang dulu kupakai untuk mengkonsumsi narkoba. Hidupku takkan lama.
        Maaf, akulah yang membuat kalian celaka. Aku begitu putus asa hingga berniat mengakhiri hidupku sendiri. Aku merasa begitu sendiri, hingga akhirnya aku sadar masih ada kalian yang begitu mengkhawatirkanku.

        Karena tingkah bodohku kamu kehilangan penglihatanmu Rio. Maaf… karena itulah aku memberikan mataku untukmu Rio. Untuk menebus kesalahanku. Maaf, bahkan aku melarang semua orang memberitahumu bahwa itu adalah mataku. Maaf, bahwa kau harus tau semuanya tepat disaat hari aku harus pergi meninggalkan Indonesia. Maaf, bahkan aku tak sekalipun menemuimu. Maaf, aku terlalu malu, aku terlalu takut menghadapi kenyataan.

       Tapi, dibalik semua itu, ada alasan lain kenapa aku memberikan mata ini untukmu. Karena aku tak ingin begitu saja meninggalkan warna dunia. Karena aku tetap ingin menatapnya, lewat dirimu. Walaupun suatu saat aku tak lagi hidup, aku ingin tetap menatap tawa kalian. Aku ingin tetap melihat senyum kalian.

       Sungguh, betapa penyesalan tak pernah bisa kuhapuskan setiap kali aku memikirkan kalian. hidup terlalu berharga untuk dilewati dengan sia-sia. Aku hanya berharap cerita tentang kita bisa menjadi pengalaman bagi orang lain.

       Satu hal yang sekian lama begitu ingin kukatakan, dan kali ini, akhirnya aku bisa mengatakannya.

       Rio, Ify….
       Aku merindukan kalian…
       Aku ingin terus bersama kalian….
       Maaf,…
       Dan terimakasih untuk segalanya…..

Dari sahabatmu,
Alvin Jonathan



             Rio mengusap sudut matanya dengan punggung tangannya. Tamu yang hadir terdiam larut dalam keheningan.

             “Kami, tidak akan melupakan Alvin. Setiap orang berhak menatap dunia, setiap orang berhak memaknai hidup dengan cara mereka sendiri. Tak ada seorangpun yang hidup sia-sia. Karena mereka semua tercipta untuk orang-orang yang menyayanginya.”

             “Di hari AIDS sedunia kali ini, saya Rio, dan sahabat saya Ify, meresmikan yayasan rehabilitasi AIDS ini untuk mengingatkan kembali kepada saudara-saudara kita yang terkena AIDS, bahwa hidup terlalu berharga untuk dilewati dengan sia-sia, seperti yang Alvin katakan. Kami ingin membagi apa yang pernah kami alami. Apa yang pernah kami rasakan adalah pengalaman bagi orang lain dan diri kami tentunya. Apapun itu, satu hal yang pasti, setiap diri kalian telah diciptakan untuk memberi kebahagiaan bagi orang lain. Kalian adalah harta yang berharga bagi orang-orang yang menyayangi kalian. Karena itu, tetaplah berjuang,…”

              “Untuk sahabat kami Alvin, semoga kau tenang disana. Maaf, dan terima kasih…..”

                Sekali lagi derai tepuk tangan tamu undangan riuh rendah mengiringi akhir kalimat Rio. Namun sejenak kemudian keramaian itu kembali terganti dengan keheningan.

                Jemari lentik Ify menekan tuts tuts piano yang terletak tak jauh dari tempat Rio berdiri. Perlahan terlantun suara merdu menyergap setiap rasa orang-orang yang mendengarnya.

               Intro sebuah lagu mengalun perlahan….

               Rio menatap tamu-tamu yang datang. Wajah orang-orang yang pernah dibelenggu keputusasaan karena merasa hidupnya sia-sia. Orang-orang yang pernah terpuruk dalam ketakutan karena ajal yang terasa begitu dekat di depan mata. Orang-orang yang mengingatkan Rio pada sahabatnya. Orang-orang yang pernah merasakan apa yang dirasakan Alvin. Menatap wajah mereka, serasa seperti menatap sahabatnya tersenyum di hadapannya.

               “Untukmu Alvin, Dari kami, Rindukan Dirimu….”
               Rio memejamkan matanya. Tangannya lembut menggenggam standing mic di hadapannya. Seluruh jiwa dan raganya terhanyut dalam keheningan. Keheningan yang memutar kembali slide-slide buram kenangan.
Sebuah pantai, dihiasi semburat kemerahan sang surya tenggelam. Gelak canda tiga orang anak yang penuh kegembiraan dalam balutan indah persahabatan menggaung memecah kesunyian. Berpadu dengan riuh rendah deburan ombak. Nyanyian alam menegaskan lukisan samar-samar wajah mereka. Berlarian dalam canda,…..Rindukan Dirimu…….


Berjanjilah wahai sahabatku
Bila kau tinggalkan aku
tetaplah tersenyum

Meski hati sedih dan menangis
Ku ingin kau tetap tabah menghadapinya

Bila kau harus pergi meninggalkan diriku
Jangan lupakan aku

Semoga dirimu disana
kan baik-baik saja
Untuk selamanya

Disini aku kan selalu
rindukan dirimu

Wahai sahabatku….

4 komentar:

  1. hey ka :)
    salam kenal yaa .
    aku bolehkan copast cerpen ini ?
    hehe, aku copastnya di blog aku www.tulisangadiskecil.blogspot.com
    makasi ya sebelumya :))

    BalasHapus
  2. keren bgt :D aku mau copast ya :D aku posting di note fcbk "Annisa Ilma Naviardianty"

    BalasHapus
  3. keren, sampai ikut nangis bacanya :') boleh aku copast ga kak? aku posting di facebook "Tulisan Kreatifitas Ku" sama diblog ku 'mrsmahiras.blogspot.com
    makasih sebelumnya :)

    BalasHapus
  4. Hallo,
    Ahh keren cerpennya,dalem banget.Sampe mewek nih.Aku ijin copas ya buat blog aku? Yaa? Blog aku teh-ponci.blogspot.com
    Makasih sebelumnya ;')

    BalasHapus