Senin, 12 September 2011

-OOT- Everything for You (Matsumoto Jun Fanfic) PART 1


“Aduh….bagaimana ini???? Jantungku berdetak kencang, tanganku gemetar…”
Gadis itu berjalan mondar-mandir di depan gerbang sekolahnya yang sudah mulai sepi karena bel pulang sudah berdering sekitar satu setengah jam yang lalu.

“Ahhhh, aku takut….”
Gadis itu mengusap-usapkan telapak tangannya yang sudah berkeringat dingin sejak tadi ke rok seragam berwarna birunya. Benda yang ada di genggamannya berulang kali ia usap-usap karena ia takut keringat dari tangannya akan membuatnya basah.

“Aduhhh……ah!!”
Anak perempuan itu sontak menghentikan langkah mondar-mandirnya dan berdiri tegak mematung saat melihat orang yang dia tunggu berjalan santai menuju gerbang.

“Yoshhh!!!”
Ia mengepalkan tangannya diam-diam di balik punggungnya mencoba menguatkan hatinya agar kesempatan terakhir ini tak sia-sia.
Tepat saat orang yang ia tunggu tinggal beberapa langkah di hadapannya….

“Jun…”
Gadis itu melangkah menghadang seorang anak laki-laki berseragam SMP dengan lambang yang sama seperti anak gadis itu,yang berjalan menenteng tas di sebelah punggungnya sambil mendengarkan headset. Anak laki-laki itu melepas headsetnya saat melihat ada anak perempuan menghadang jalannya. Anak laki-laki bernama Jun itu memandang wajah yang ada di depannya dengan dahi berkerut.

“Ini!”
Sepertinya gadis itu tak tau harus berkata apa hingga akhirnya ia hanya bisa mengucapkan satu kata itu sambil menyodorkan benda yang sejak tadi di genggamnya dengan kedua tangannya dan wajah tertunduk.

Wajah heran Jun semakin bertambah heran saat melihat sebuah bungkusan berwarna ungu dengan pita merah jambu yang tersodor di hadapannya. Ia berharap gadis di depannya akan sedikit menjelaskan apa maksudnya tapi sepertinya harapannya itu tak kan terjadi melihat gadis itu masih tetap tertunduk bahkan tanpa memandang wajahnya sedikitpun.

Perlahan Jun meraih bungkusan yang disodorkan anak gadis yang tidak dikenalnya itu. Saat gadis itu merasa bungkusan di tangannya berangsur-angsur ditarik sontak ia mengangkat wajahnya dan menunjukkan wajah bersemu merah dihiasi titik-titik kecil keringat yang sudah merembes dari dahinya.
Mereka berdua saling bertatapan dalam diam untuk beberapa saat.

“Arigatou!”
Dia yang sejak tadi sudah bersiap-siap atas kemungkinan terburuk bahwa pemberiannya akan ditolak sontak menggigit bibirnya kuat-kuat saat melihat anak laki-laki di depannya tersenyum senang padanya sambil mengucapkan terima kasih atas pemberiannya.

Anak perempuan itu tak mengatakan apapun, ia menganggukkan kepalanya sangat pelan karena badannya yang masih kaku karena shock setelah melihat senyum Jun padanya barusan. Tanpa berkata apa-apa tiba-tiba gadis itu pun berlari meninggalkan Jun tanpa mempedulikan teriakan Jun yang memanggil dibelakangnya.

Jun menatap kotak berwarna ungu berpita merah jambu yang ada di tangannya. Perlahan dibukanya bungkusan itu. Sebuah gantungan kunci bergambar kartun lucu anak laki-laki berseragam SMP. Sepertinya gadis itu membuat sendiri gantungan kunci tersebut. Rambut dan wajah kartun gantungan kunci itu mirip dengannya. Jun menggeleng-gelengkan kepalanya . Ia tersenyum menatap jalanan di depannya yang sudah kosong. Untuk kesekian kalinya ia menerima pemberian dari anak perempuan yang tidak dikenalnya. Dan sepertinya ini akan menjadi pemberian terakhir yang ia terima di SMP karena hari ini adalah hari terakhirnya di SMP setelah kelulusan diumumkan seminggu yang lalu.

-Flash back end-

“Jun?”

“Kau mengenalnya?”

Mao sontak mengerjapkan matanya dan segera mengembalikan fokus ingatannya ke masa sekarang.
“Ah, aa…aaa….iie…”

Beruntung Jun sudah memperkenalkan dirinya sehingga tidak terlalu mengherankan jika ia sekedar menyebut namanya. Mao lebih memilih untuk merahasiakan bahwa Jun adalah cinta pertamanya.

“Kalau begitu silahkan kamu duduk di bangku kosong yang ada di pojok belakang sana ya.”
Homeroom teacher mereka segera mengembalikan waktu kepada guru pengajar saat itu setelah mempersilahkan Jun duduk. Jun berjalan ke arah bangku yang ditunjuk kan padanya barusan. Ia berjalan diiringi tatapan hampir seluruh isi kelas. Anak-anak perempuan kebanyakan menatapnya dengan tatapan kagum karena wajahnya yang cukup menarik, sedangkan anak lelaki menatapnya dengan pandangan was-was karena mereka menyadari bahwa telah datang saingan berat bagi eksistensi mereka sebagai kaum lelaki di kelas ini.

Mata Mao tak lepas dari sosok yang sekarang sudah duduk di bangkunya. Namun, tiba-tiba pandangan mereka saling bertemu. Mao sontak memealingkan wajahnya saat pandangannya bertemu dengan tatapan dingin Jun yang memandangnya sinis.

“Apa-apaan ini?”
Mao berbisik pelan dalam hatinya.
“Jun….menjadi teman sekelasku?”
Mao menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Matanya melotot menatap meja di depannya.
“Ini pasti mimpi.”
Reflek Mao menampar pipinya dan setelahnya ia berteriak lirih karena kesakitan dengan tamparannya sendiri. Jun yang berada 2 bangku diagonal di belakangnya menatap Mao tajam.

“Damn!”
Jun mengumpat lirih masih sambil terus menatap Mao yang tetap sibuk mencubit-cubit punggung tangannya.

----------

“Aaaaaa!!!!! Ketemu!!!”
Mao bergegas beranjak menjauh dari almari penuh debu yang terletak di pojok kamarnya setelah hampir setengah jam ia mengubek-ubek buku-buku bekasnya yang sudah bertahun-tahun ia onggokkan di dalam kardus. Dan akhirnya dia menemukan apa yang ia cari. Di antara buku diary lamanya akhirnya ia menemukan foto Jun yang ia ambil saat School festival ketika mereka kelas 2 SMP.
Mao melompat-lompat girang di atas tempat tidurnya. Setelah lelah berlonjak-lonjak ria Mao pun menghempaskan badannya ke kasurnya yang empuk. Ia meraih guling di sampingnya dan memeluknya erat. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan berbinar.

“Ini bukan mimpi. Ini benar-benar nyata. Yatttaaaa!!!!”
Mao menghentak-hentakkan kakinya sambil memeluk gulingnya semakin erat. Hatinya benar-benar berbunga karena ia tak pernah menyangka bahwa ia bisa satu sekolah lagi dengan cinta pertamanya. Jun adalah orang yang disukai Mao sejak kelas 1 SMP. Tiga tahun di SMP Mao tak pernah sekalipun berpaling dari Jun. Akan tetapi, karena terlalu banyak perempuan yang jauh lebih cantik di sekeliling Jun, Mao tak pernah sekalipun berani mendekati Jun. Ia hanya pernah sekali bertatapan langsung dengan Jun. Yaitu saat hari terakhir mereka di SMP.
Mao kembali menatap foto di tangannya. Jun tampak berbeda dengan yang siang tadi ia lhat. Rambutnya sekarang agak lebih panjang. Kulitnya juga sepertinya sedikit menghitam. Penampilannya memang terlihat agak berantakan. Tapi…

“Jun ku!!! Kau tetap ganteeengg!!!”
“Aaaaa!!! Cinta lamaku bersemi kembali!!! Setelah hampir 3 tahun aku berpisah dengannya. Dan setelah hampir 3 tahun juga aku berganti-ganti orang yang kusuka, akhirnya, hatiku yang hilang kini kembali. Aaaa!!! Jun!!! Setelah sekian lama ternyata perasaanku padamu belum berubah. Jun!!!”
Mao memeluk gulingnya semakin erat. Namun sontak ia bangun dan duduk tertegun karena sebuah pikiran aneh melintas di otaknya.

“Eh?”
Mao mengetuk-ngetukkan telunjuk ke dagunya seiring dahinya yang perlahan mengguratkan kerut-kerut keheranan.
“Jun kan anak pintar. Bagaimana mungkin dia masuk ke SMA dengan reputasi seperti sekolahku.”
(Sekolah Mao adalah SMA dengan grade terendah di kotanya dan terkenal dengan siswanya yang kurang disiplin yang bisa dibilang “kurang mampu” dalam bidang akademis).

“Dan dia masuk di pertengahan kelas 3? Kenapa dia pindah? Kenapa dia…..”
Kerutan di dahi Mao semakin membanyak.

“Aaarrgghh!! Apa-apaan aku ini. Ayolah Mao, itu tidak penting. Mungkin dia merasa bisa menemukan kebebasan disini. Yang terpenting sekarang adalah kau bisa melihat wajah Jun ku setiap hari. Aaaaaa!!!! Oh My God!!! I love You so much!!!!!”

Mao memandangi Jun yang sedang membolak-balik buku pelajarannya. Jun terlalu serius untuk menyadari tatapan buas dari mata Mao. Mao benar-benar memuaskan hasratnya untuk memandangi wajah tampan Jun kali ini. Dia begitu menikmati tiap gerak-gerik pujaannya itu. Mulai dari gerakan jarinya yang membalik lembaran buku. Gerakan tangannya yang memutar-mutar pensil dan mengetuk-ngetukkannya ke meja, gerakan bibirnya yang komat-kamit membaca deratan huruf yang tertera di buku bacaannya, sampai gerakan rambutnya yang sedikit bergoyang-goyang karena tiupan semilir angin yang berhembus dari jendela, semuanya tampak begitu mengagumkan bagi Mao.

Aktivitas memandangi Jun tersebut pasti sudah genap 10 menit kalau saja Yui, teman sebangkunya, tidak menyenggol bahunya memberi isyarat bahwa homeroom teacher mereka baru saja masuk.

“Ahhh…”
Mao mendesah kesal sambil berangsur-angsur memutar bola matanya beralih dari wajah Jun yang juga baru saja menutup buku bacaannya.

“Minna, akhir pekan ini kita akan mengikuti study camp yang akan dilaksanakan mulai hari Sabtu siang sampai hari Minggu sore. Tempatnya di penginapan Nagasaki, sekitar setengah jam perjalanan dari sini.”

Seisi kelas sontak bergemuruh riuh. Kebanyakan siswa mengeluh karena adanya study camp tersebut. Mereka pasti lebih menyukai menghabiskan malam minggu dengan jalan-jalan bersama pacar atau teman daripada harus berkutat dengan buku dan pelajaran.

Akan tetapi ada satu wajah yang tampak memasang ekspresi berbeda. Mao mengepalkan tangan kanannya dengan senyum simpul yang mencurigakan.

“Yes! Study camp. Itu artinya aku bisa memandang wajah Jun ku seharian bahkan di malam hari. Kyaa…..”
Mao berbisik pelan pada dirinya sendiri dan sontak menoleh pada Jun dengan tatapan ganas. Namun, ternyata tatapannya langsung beradu dengan tatapan tajam Jun yang memandangnya aneh. Sontak Mao membatalkan niat pandangannya dan memejamkan mata sambil menggigit bibir kuat-kuat.

“Baiklah, study camp ini sifatnya wajib, jadi kalian semua harus ikut. Silahkan kalian catat peralatan yang harus dibawa. Dan…”

Kalimat yang hendak diucapkan wanita paruh baya tersebut sontak terhenti saat ia melihat acungan tangan yang berasal dari pojok belakang.
“Ya Jun?”

“Saya tidak ikut.”

Yamaguchi sensei meletakkan kembali kertas berisi daftar peralatan yang akan ia bacakan.
“Kenapa Jun?”

Jun menatap homeroom teachernya dengan tatapan jengah.
“Ada acara lain di rumah.”

Yamaguchi sensei mengangkat alisnya.
“Acara apa? Bagaimana kalau…”

“Saya bilang saya tidak ikut!”

Yamaguchi sensei menatap murid barunya itu dengan tatapan heran. Senakal-nakalnya siswa di kelasnya sepertinya baru kali ini ada yang berani bicara keras padanya.

Mao menoleh ke arah Jun dengan wajah terperangah. Terus terang wajah Jun saat itu sedikit agak menakutkan.

“Tapi Jun kalau boleh tau…”

Belum selesai kalimat yang akan diucapkan Yamaguchi sensei, sontak Jun berdiri dari bangkunya dengan kasar dan tanpa mempedulikan tatapan seisi kelas ia berjalan keluar meninggalkan gurunya yang menatapnya dengan pandangan heran.

-------------

Hari Study camp…..

“kau ini kenapa?”

Yui yang baru saja datang dan duduk di samping Mao membuat Mao yang sedari tadi menunduk lesu perlahan mengangkat wajahnya dan mempertontonkan raut suramnya pada Yui. Yui yang melihat tampang tak bersemangat hidup sahabatnya itupun sontak mengangkat alis.

“Heii!!Apa-apaan dengan wajah seperti itu?”

Mao memanyunkan bibirnya sambil menatap Yui.

“Hhhh, sepertinya hatiku akan tertinggal disini. Apa-apaan ini….study camp sehari semalam tanpa Jun. Aku tidak bisa membayangkan betapa membosankannya.”
Mao kembali tertunduk lesu. Sekarang justru Yui yang memanyunkan bibirnya mendengar penuturan Mao.

“Anak-anak ayo berkumpul!! Kita akan segera berangkat!!! Ibu akan absen kalian dulu.”
Seluruh siswa langsung berduyun-duyun mengerumuni Homeroom Teachernya. Satu persatu nama siswa dipanggil olehnya.

“Inoue Mao.”

“Ya…”
Mao menjawab dengan suara lemas tak bertenaga.

“Inoue Maoo!”
Yamaguchi sensei sepertinya tidak mendengar jawaban Mao sehingga ia mengulangi panggilannya. Sontak Yui pun menyenggol pundak Mao yang masih tertunduk lesu.

“Saya Bu…”
Kali ini Mao menjawab agak keras setelah Yui mencubit lengannya.

“Matsumoto Jun.”

“Ya.”

“EHHHHH???”
Mao sontak mengangkat wajahnya dan tatapan liarnya segera beredar mencari sumber suara. Pandangan ganasnya tertumpu pada sosok Jun yang sudah berdiri di belakang kerumunan dengan menjinjing tas punggung besar.

“Dia ikut?” Yui pun ikut penasaran.

Noriko yang berdiri di sebelah Yui pun menimpali.
“Kemaren siang pulang sekolah Jun dipanggil Yamaguchi sensei. Katanya sih beliau mau memintakan ijin langsung ke ortunya Jun. Tapi ngga tau kenapa Jun tiba-tiba bilang kalau dia sudah minta ijin sendiri.”

“Yatttaaa!!!!”

Noriko dan Yui yang sedang asik mengobrol sontak menatap Mao yang seolah baru menemukan kembali nyawanya.

“Yosshhh! Study camp!! I’m coming!”
Dengan semangat membara Mao mengepalkan tangannya dan tetap dengan senyum terkembang. Yui dan Noriko bersamaan menatapnya dengan alis terangkat.

----------

Malam harinya @study camp…

“Ternyata dia pintar.”

“Iya, hebat sekali dia bisa mengerjakan soal sesulit itu dalam waktu singkat dan hanya salah dua.”

“Iya. Udah ganteng, pinter pula. Boleh juga tuh dijadiin pacar.”
Mao yang sedari tapi sibuk menyisir rambutnya sambil tersenyum bangga mendengar obrolan kedua teman sekamarnya, Yui dan Noriko, tentang Jun sontak melayangkan tatapan garang pada Yui karena kalimat terakhir yang dia ucapkan.

Yui yang menerima tatapan i-will-kill-you-if-you-do-that dari Mao pun sontak memalingkan wajahnya dan bergegas mengambil cermin dan pura-pura membenarkan dandanannya.

Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dari luar kamar mereka.

“Ya?”

“Makan malam siap. Ayo cepat berkumpul.”

“Oke!”

“yay, saatnya mengisi perut.”
Mereka bertigapun segera menuju ruang tengah yang menjadi ruang utama. Deretan piring berisi makanan lezat sudah berjajar rapi menanti mereka. Dan tanpa dikomando lagi semua anak langsung menyerbu makanan itu.

“Wah, baunya harum. Yamaguchi sensei memang hebat.”

Yamaguchi sensei yang kebetulan berdiri di dekat merekapun menengahi.
“Bukan ibu, tadi Jun yang membantu ibu memasak. Kebanyakan malah dia yang mengerjakan tanpa ibu suruh. Tau tau sudah jadi saja saat ibu menengok.”

Mao yang sibuk mengendus-endus bau harum dari makanan lezat di piringnya sontak tertegun menatap Yamaguchi sensei, begitupula Yui yang berdiri di sampingnya.

“Aa..apa? Jun? Jun…yang masak…ini semua?”
Mao bertanya dengan terbata-bata pada Yamaguchi sensei. Yamaguchi sensei hanya menjawab dengan anggukan kepala dan kembali melanjutkan kegiatannya mengaduk es buah di baskom besar yang akan menjadi minuman penutup setelah makan malam.

“Kawaiii!!! Udah ganteng, pinter, jago masak pula. Benar-benar lelaki idaman!!”
Mao pun langsung melemparkan tatapan mata membunuh pada Yui. Yui yang mendapat pandangan seperti itu sontak membalas dengan tatapan galak pada Mao.

“Hei! Kau pikir Jun itu punyamu saja? Huh!”
Yui melotot pada Mao.

“Apa? Jadi, jadi, kamu mau bersaing dengan sahabatmu sendiri? Hah?”
Mao balas melotot dengan bibir manyun pada Yui.

“Biarin. Wekkk”
Yui menjulurkan lidahnya pada Mao sambil bergegas menjauh.

“Hei! Yuiiii!”

Berkali-kali Yui menengok jam tangannya. Untuk kesekian kalinya ia mengalihkan fokus matanya dari tulisan-tulisan di papan dan memandangi pintu kelas yang masih tetap saja tertutup. Sudah 45 menit pelajaran berlangsung tapi teman sebelahnya belum juga datang. Tak biasa-biasanya Mao datang terlambat.
Barulah saat jam pelajaran kedua dimulai tampak Mao memasuki kelas.

“Mao, dari mana saja? Kenapa baru datang?”

Mao hanya meringis santai pada Yui.
“Hehe, maaf, tadi aku menemui Yamaguchi sensei sebentar.”

“Sebentar? Hei, kau melewatkan sampai satu pelajaran kau bilang sebentar? Ini, aku pinjami catatan pelajaran tadi.”
Yui mengambil catatan jam pelajaran pertama serta menyerahkannya pada Mao. Mao memandangi catatan yang baru saja diserahkan Yui. Sejanak kemudian ia menoleh ke belakang. Mao menatap Jun yang menunduk menekuri buku pelajarannya. Mao pun menghela nafas dalam dan segera mengalihkan pandangannya kembali ke papan tulis.

Bel pulang sudah berdering sekitar 5 menit yang lalu. Seisi kelas sudah sepenuhnya meninggalkan ruangan. Tinggal Jun, Yui, dan Mao yang masih sibuk membereskan buku-buku mereka. Jun yang sudah selesai mulai melangkah santai ke arah pintu keluar. Mao menatap Jun sampai anak laki-laki itu menghilang dibalik pintu. Bahkan setelah Jun menghilang pun pandangan matanya tetap terpaku pada daun pintu yang sudah kosong.

“Hei….”
Yui melambaikan tangannya tepat di depan muka Mao dan berhasil membuat Mao mengerjapkan matanya kaget. Mao kembali melanjutkan kegiatan beres-beresnya yang sempat tertunda.

“Hei Mao.”

“Mmm?”

“Kau, kenapa tidak pernah mencoba bicara padanya?”

Mao sontak memandang heran pada Yui.
“Apa?”

“Jun. Kau ini menyukainya tapi tak pernah sekalipun aku melihatmu mendekatinya, apalagi bicara. Ya, aku rasa sepertinya memang dia juga susah diajak bicara. Wajahnya terlalu menyeramkan untuk didekati. Anak-anak lain pun sepertinya juga banyak yang belum pernah sekalipun mengajaknya bicara. Termasuk aku. Tapi, kau ini kan menyukainya setengah mati, kenapa tidak mencoba mengajaknya bicara sesekali. Ya sekedar pinjam apa gitu, atau ngomong apa gitu?”

“Mmm…”
Mao tak tau harus bicara apa. Sebenarnya dia juga ingin begitu.

Yui sudah selesai memasukkan seluruh bukunya, dan sesaat kemudian Mao pun selesai beres-beres. Yui mendahului berjalan meninggalkan bangkunya.

“Mmm, Yui…”
Yui menghentikan langkahnya dan menoleh pada Mao yang tiba-tiba memanggilnya. Mao masih duduk di kursinya. Tangannya mengepal menggenggam tasnya. Yui mengangkat alis dan menatap sahabatnya itu.

“Aku….sepertinya…..akan berhenti sekolah.”

“HAH?!?!!”
Kalimat Mao barusan tak pelak lagi membuat Yui terlonjak dan bergegas mendekat kembali padanya.

“APA?!?! KENAPA?!?!? KAU BERCANDA KAN??!?!”
Yui duduk di sebelah Mao sambil menatap wajah sahabatnya itu dengan tatapan melotot. Mao yang menerima tatapan seperti itu sontak tersenyum salting. Akan tetapi senyumnya itu tak dapat menutupi gurat kesedihan di raut wajahnya.

“Aku….aku sudah mengajukan surat pengunduran diriku pada Yamaguchi sensei…Karena itulah tadi pagi aku terlambat. Kami membicarakan banyak hal. Aku….”
Mao menghentikan kalimatnya. Ia menggigit bibirnya pelan. Sebutir air mata menetes jatuh dari wajahnya yang tertunduk.

Yui tertegun memandang sahabatnya. Sudah sekian lama ia tak pernah melihat Mao seperti ini. Apa yang ia lihat setiap hari adalah Mao yang penuh semangat dan ceria.
Mao bergegas mengusap air matanya dan kembali tersenyum pada Yui. Namun sekali lagi senyumnya itu tak mampu menutupi kesedihannya. Bahkan sebutir air mata kembali menetes menyusuri lekuk bibirnya yang masih berusaha tersenyum.

“Aku, mau bekerja saja. Aku….sepertinya sudah tidak mampu lagi membayar uang sekolah. Selain itu…Aku ini juga tidak terlalu pintar. Setelah lulus nanti belum tentu aku bisa melanjutkan kuliah. Hehe…itupun kalau aku lulus. Kau tau sendiri kan selama ini nilaiku seperti apa? Karena itulah….aku….sepertinya mulai besok akan bekerja penuh di tempatku yang sekarang. Aku….”
Mao kembali menghentikan kalimatnya karena menahan rasa perih di tenggorokannya.

“Mao….”
Yui pun bingung harus berkata seperti apa.

“Aku…..aku….aku pasti merindukan kalian.”

Yui memeluk sahabatnya erat. Ia biarkan Mao menangis di pundaknya. Ia tak bisa membantu banyak karena ia tau bagaimana bingungnya kalau sudah berbulan-bulan tidak membayar uang sekolah.

“Kami akan berkunjung ke tokomu. Dari sini ke sana kan hanya sekitar 20 menit. Kalau kami ada waktu luang kami akan menyempatkan mampir ke tempatmu. Kami pasti…”
Yui tak bisa menahan isakannya sendiri.

“Kami pasti akan tetap menjadi sahabatmu.”

“e emm.”
Mao hanya mengangguk di pundak Yui. Mereka berdua pun tenggelam dalam diam. Hanya sesekali suara isakan lirih menggaung di ruang kelas yang sudah sepi.

------------

Keesokan harinya…

Yui menatapi layar ponselnya. Ia memandangi deretan huruf-huruf yang tertera pada pesan yang baru saja dikirimkan Yui.
“Semangat ya!”

Yui menghela nafas dalam. Ia memandangi bangku di sebelahnya yang mulai hari ini akan menjadi bangku kosong tak berpenghuni.

Pandangan mata Yui sontak tertumpu pada Jun yang baru saja memasuki pintu. Entah kenapa begitu melihat Jun mata Yui mendadak berkabut. Yui menahan sebisa mungkin agar tidak menangis. Baru hari pertama saja ia sudah merindukan kehebohan Mao yang selalu hilang kendali setiap kali ada Jun. Tapi mulai hari ini tidak akan ada lagi hal seperti itu.

Jun menghempaskan badannya ke kursinya dan segera mengambil buku untuk pelajaran pertama dari dalam tasnya. Baru saja ia hendak memasukkan tasnya ke loker mejanya namun sontak ia menariknya kembali karena merasa ada yang mengganjal disana.

Jun meraih sesuatu yang mengganjal itu dari dalam lokernya. Sebuah kotak kecil berwarna ungu berpita merah jambu. Jun memandanginya dengan dahi berkerut. Ia mengangkat wajahnya saat ia menyadari ada sosok yang dengan ragu-ragu berjalan mendekat ke bangkunya.

Yui menatap Jun dengan pandangan takut-takut. Sontak ia menundukkan matanya saat Jun membalas tatapannya dengan pandangan dingin.

“Mmm, anoo…itu….kemarin….Mao yang meletakkannya disana. Itu…dia bilang…dia…..memberikannya untukmu. Dia…”
Belum sempat Yui menyelesaikan kalimatnya Jun sudah melemparkan kotak kecil itu ke meja di hadapan Yui.

“Kembalikan padanya.”
Jun bicara ketus dan mulai mengalihkan pandangannya pada deretan huruf-huruf di buku pelajaran. Yui meraih kotak itu dan menyodorkannya kembali pada Jun. Sekuat tenaga ia menahan rasa takutnya menerima tatapan sinis Jun.

“Tapi, ini…Mao….”

“Aku bilang kembalikan!”
Jun menaikkan nada bicaranya dan menatap tajam Yui.Ia kembali melemparkan kotak itu ke meja di depan Yui. Beberapa anak yang ada di kanan kiri mereka sontak mengarahkan pandangan pada mereka berdua. Yui menggigit bibirnya pelan.

Ia meraih kotak kecil itu. Ia mendekat satu langkah pada Jun dan dengan menundukkan kepala dan segenap keberanian yang dia miliki ia menyodorkan kotak itu tepat di hadapan Jun.

“Kumohon terimalah. Mao….ini pemberian terakhir dari Mao. Mulai hari ini dia berhenti sekolah. Kumohon terimalah.”
Yui bicara secepat mungkin. Dan begitu kalimatnya selesai ia meninggalkan kotak itu di hadapan Jun dan bergegas kembali ke bangkunya. Yui tak berani lagi menatap Jun.

Lama Jun menatap kotak ungu di hadapannya.

“Damn!”
Sambil mengucapkan itu Jun meraih kotak ungu itu dari mejanya dan memasukkannya ke dalam tas tanpa melihat isinya. Sejenak kemudian ia sudah kembali menekuri buku pelajarannya.

-------------

Ini hari kelima Mao meninggalkan bangku sekolah. Sudah empat hari ia lalui dengan bekerja seharian penuh menunggui toko milik mantan guru SD nya. Setiap hari ia membuka tokonya jam 6 pagi dan menutupnya jam 10 malam. Ia menjaga toko yang lumayan besar itu bersama dua orang temannya yang lain. Setelah itu ia akan menghabiskan waktunya untuk istirahat di sebuah ruangan kecil di pojokan toko itu yang memang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Selain dia, teman-temannya pulang ke rumahnya masing-masing. Mao yang kedua orang tuanya sudah meninggal sejak ia kelas satu SMA merasa sudah cukup beruntung bisa bekerja sekaligus mendapat tempat tinggal, walaupun akhirnya ia tidak bisa melanjutkan sekolah karena uang tabungan peninggalan orang tuanya telah habis dan hasil kerjanya sendiri tidak bisa mencukupi uang sekolah.

Mao berjalan tertatih-tatih menyusuri trotoar sempit di tepi jalan pasar yang ramai lalu lalang manusia. Sesekali ia menghentikan langkahnya untuk membenarkan posisi barang bawaannya yang cukup banyak. Hari minggu begini pasar selalu padat pembeli. Hal itu cukup menyulitkan Mao untuk menerobos kepadatan di jalanan sana.

Saat ia sedang berusaha mempertahankan keseimbangan di tengah perjalanannya sontak matanya tertuju pada satu objek yang tak pelak lagi langsung membuatnya menegakkan badan dan tersenyum lebar.

“Jun???”
Mao bergegas mengangkat barang bawaannya dan berjalan cepat mengikuti Jun yang melangkah santai menjauhi pasar. Tanpa pikir panjang lagi Mao pun membuntuti kemana Jun pergi. Sebisa mungkin ia menjaga jarak agar tak sampai ketahuan oleh Jun. Matanya tak lepas memandangi Jun yang berjalan santai sambil mendengarkan headset dengan kantong plastik hitam besar di tangan kanannya.

Tak terasa sudah 10 menit Mao-dengan bodohnya-membuntuti Jun. Sontak ia menghentikan langkahnya saat orang yang ia buntuti memasuki pelataran sebuah rumah. Jun menghilang dibalik pagar rumah tersebut. Mao bergegas mendekat. Pandangannya berputar mengitari seluruh sudut rumah mewah bercat kuning gading berpagar hijau tersebut.

“Yatttaaa!!!! Aku menemukan rumah Jun. Aihhh….”
Mao meninju-ninju udara di atasnya dengan girang. Namun sontak ia menghentikan aksinya tiba-tiba dan memandang jalanan di sebelah kanannya. Mao memiringkan kepalanya menatap jalanan sepi itu.

“Eh? Ini….”
Mao melotot menatap jalanan itu.

“Heiii!!! Jika aku berjalan terus kemudian belok kiri dan setelah perempatan aku belok kanan kira-kira 300 meter, bukankah itu tokoku!!! Hei!!! Yattaaa!!!!”
Kali ini Maomeninju udara di atasnya dengan lebih bersemangat.

“Aiihhh, kalau begitu setiap kali aku ke pasar aku lewat sini saja. Siapa tau aku bisa bertemu dengan Jun ku. Ahahaiii…kalau jodoh memang tak kemana…..hahaha…”

Mao pun melangkah menjauhi rumah Jun dan berjalan menyusuri jalan yang ia maksud tadi sambil melantunkankan lagu favoritnya. Kali ini langkahnya tidak lagi tertatih-tatih. Sepertinya tanki energinya benar-benar terisi penuh setelah bertemu dengan wajah tampan yang sudah berhari-hari tak dilihatnya. Setidaknya hal tersebut menjadi angin semilir yang menerpa Mao di tengah kemalangan hidupnya.

“Yoshhh!!! Satu, dua, satu, dua, satu, dua….”
Dengan penuh semangat Mao menenteng dua tas besar berisi belanjaannya. Jalan yang ia tempuh kali ini benar-benar terasa ringan walaupun sebenarnya jalanan itu agak menanjak. Hari ini ia berangkat jauh lebih pagi. Ia berniat untuk belanja lebih cepat, dengan begitu ia bisa pulang dengan cepat pula sebelum Jun berangkat sekolah. Dengan begitu setidaknya ia bisa melihat wajah tampan Jun saat ia berangkat sekolah.

Beberapa menit kemudian….

Mao melirik jam tangannya.

“Hei hei hei…sudah 30 menit aku menunggu disini kenapa Jun ku tak tampak batang hidungnya????”
Mao mendengus kesal. Sudah 30 menit ia duduk –lagi lagi dengan bodohnya-di tepi trotoar tak jauh dari pagar rumah Jun. sekarang sudah jam 7 lewat 10 tapi Jun tak juga menampakkan diri. Ini sudah lewat dari jam berangkat sekolah.

Mao meraih dua tas besarnya yang sedari tadi ia sandarkan di pot bunga besar di atas trotoar itu. Beruntung jalanan di daerah situ memang sepi jadi tak ada orang yang melihat kelakuan aneh Mao yang duduk konyol di tepian trotoar rumah orang.

Mao melangkah kesal mendekati rumah Jun. Ia melongokkan kepalanya untuk melihat kedalam. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang bergerak disana. Mao pun mendengus kesal. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Dengan langkah gontai ia menjauhi pagar hijau tua itu. Namun, baru beberapa langkah ia meninggalkannya, sontak langkah Mao terhenti. Matanya melirik kembali ke belakang. Tatapannya tertumpu pada kertas yang tertempel di depan tepi pagar rumah Jun.

“Dicari, tenaga yang bisa mencuci, memasak, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga untuk 5 hari. Gaji total Rp 400.000. APAAA?!?!?!?”
Mao terbelalak kaget.

“400.000?!?!? Yang benar saja!!! Itu gajiku sebulan!!!”

“Eh?”
Mao sontak menarik wajah terkejutnya saat sebuah ide terlintas di otaknya. Tanpa berpikir panjang Mao memencet bel rumah itu.

------------

“Terima kasih Bu, Terima kasih……ah iya……baik bu, baik…..tenang saja, pasti saya kerjakan. Iya Bu, makasih Bu….”

Tut tut tut….

Mao mengepalkan tangannya girang begitu sambungan telefon tersebut terputus.

“Dengan begini, aku bisa dapat gaji besar. Dan yang terpenting….aku bisa berjumpa dengan Jun setiap hari. Yatttaaaa!!!!!!”
Mao melompat-lompat girang dan baru berhenti saat seorang pelanggan yang hendak membeli menatapnya dengan pandangan terkejut. Baru saja Mao menelfon pemilik toko untuk meminta ijin selama dua hari karena dia sudah memutuskan untuk bekerja di tempat Jun. Sebenarnya lowongan itu sudah dibuka sejak dua hari yang lalu. Dan masa tiga hari yang tercantum disana sebenarnya sudah mulai sejak hari ini. Tapi karena Mao baru membacanya tadi pagi, dan kebetulan belum ada yang melamar, akhirnya dia diijinkan untuk bekerja selama dua hari yang tersisa.

------------

“Apa kau gila???”
Mao menjauhkan ponselnya dari telinganya saat Yui yang mendengar ceritanya sontak berteriak kencang.

“Kenapa?”
Dengan wajah polos Mao bertanya pada Yui.

“Heiii!! Apa kau mau menjatuhkan harga dirimu? Kau bekerja di rumah orang yang kau sukai? Sebagai pembantu? Apa kau benar-benar gila Mao???”

“Heiii!!!”
Mao sontak bangun dari tidurnya dan dengan wajah serius menjawab omelan Yui di seberang.

“Sekarang ini, derajat itu tidak penting. Segala macam pekerjaan itu bagus, yang penting aku bisa dapat uang, aku tidak melakukan kejahatan ataupun merugikan orang lain. Lagipula kapan lagi aku bisa dapat kesempatan bertemu dengan Jun setiap hari. Kau tidak kasihan padaku yang merindukannya siang malam?”

“Tapi Mao bukan jadi pembantu seperti ini. Kau pikir bagaimana nantinya Jun akan memandangmu setelah mengetahui kalau kau ini jadi pembantu di rumahnya. Dia pasti….”

“Biarkanlah sahabatmu ini merasakan sedikit kebahagiaan di tengah penderitaan yang ku alami!”
Yui sontak terdiam mendengar perkataan Mao. Mao memanyunkan bibirnya setelah kalimat terakhir yang ia ucapkan.

“Aku ingin bertemu dengannya…..Apa tidak boleh?”
Mao bicara dengan nada lesu. Tak pelak lagi kalimat Mao itu membuat Yui diam terpaku.

-----------

Keesokan harinya…

“Ini kamarmu.”

“Baik Pak.”

Lelaki paruh baya itu mengamati Mao dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Kau ini, masih sekolah?”

“Eh? Ah, iya pak, seharusnya saya sekarang kelas tiga SMA.”

“Kelas tiga SMA? Wah, sama dengan Jun.”

“Eh?”
Mao sontak terkejut saat Sawada san menyebut nama Jun. Diam-diam Mao tersenyum mendengar nama pujaan hatinya disebut.

“Lalu kenapa kau melamar pekerjaan disini?”

“Anoo, saya baru beberapa hari ini berhenti sekolah. Saya….saya tidak mampu membayar uang sekolah, jadi saya memutuskan untuk bekerja saja.”

“Mmm, sekarang kamu kerja dimana?”

“Di toko milik guru saya. Lumayan, saya bisa hidup dari sana.”

Sawada san hanya manggut-manggut mendengar penuturan Mao yang terdengar sangat polos.
“Ah, baiklah kalau begitu kamu beres-beres dulu, setelah itu kamu bisa mulai bekerja. Maaf ya, pekerjaan kamu menumpuk. Sehari kemarin tidak ada yang mengurus rumah, sedangkan disini tidak ada perempuan lagi, jadi ya begitulah.”

“Tidak apa-apa. Permisi, saya beres-beres dulu.”

----------

Malam ini adalah malam pertama Mao bekerja disana. Sawada san memperlakukannya dengan sangat baik. Dan dia juga berusaha mengerjakan semuanya dengan penuh semangat. Dan malam ini, setelah berusaha keras berkutat dengan resep-resep yang ia lihat dari internet ponselnya akhirnya dia bisa menyajikan masakan ala kadarnya sebisanya. Beruntung Sawada san memaklumi kemampuan Mao yang terbatas.

Mao sibuk mencuci piring di dapur. Sementara Sawada san masih sibuk mengunyah makanan penutupnya. Pikiran Mao sejenak melayang.

“Apa Jun sering pulang malam?”
Mao bergumam sendiri sambil menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 8 malam tapi Jun belum juga menampakkan batang hidungnya.

“Mao…”

“Eh, hai?”

“Bagaimana kalau kamu jadi pekerja tetap disini saja?”

“Ehhh??”
Mao kaget mendengar penuturan Sawada san. Buru-buru ia meletakkan cucian piringnya dan bergegas mendekat pada tuan rumahnya itu.

“Maksud anda?”

“Bagaimana kalau kamu berhenti saja bekerja di toko dan tetap bekerja disini. Kamu bisa tetap tinggal disini dan saya bisa menggaji kamu…….satu juta sebulan…”

“APA?!?!?”
Mao benar-benar shock kali ini…

“Satu…..juta…???”

“Ya.” Sawada san mengangguk pasti.

"Ini kesempatan yang diberikan Tuhan. Aku bisa dapat uang lebih banyak untuk meneruskan sekolah lagi, aku bisa tinggal disini, dan aku bisa bertemu Jun setiap hari. Yattaa…."
Mao berbisik pelan pada dirinya sendiri. Dia mengepalkan tangan di belakang punggungnya.

“Kamu bisa berbagi tugas dengan Jun. Dia yang…”

“EH?”
Mao sontak menarik wajah girangnya.

“Jun??? berbagi???? Tugas???”

Sekarang justru Sawada san yang mengangkat alis melihat ekspresi wajah Mao.
“Iya. Kamu bisa berbagi tugas dengan Jun setelah dia kembali nanti. Kamu pasti bisa membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Ahhh, anak itu, dia selalu saja tidak becus mengerjakan tugas-tugasnya.”

Mao melongo menatap Sawada san.
“Jun?”
Mao berkata lirih tapi sepertinya cukup keras untuk didengar oleh Sawada san.

“Ah, iya, Jun. Saya belum memberitahumu ya? Jun, dia juga bekerja sepertimu disini. Dia ijin 3 hari untuk menengok keluarganya. Hah, anak itu, selalu saja membantah. Padahal saya sudah melarangnya. Tapi dia selalu membangkang. Karena itulah dia selalu tak beres mengerjakan pekerjaannya. Selalu saja seenaknya sendiri. Dasar anak tak tau berterimakasih.”
Mao terperangah menatap Sawada san.

“Ya pokoknya nanti kalau anak itu sudah pulang, kalian bicarakan saja pembagian tugasnya. Ya. Kamu mau kan? Pikirkan dulu baik-baik.”
Sawada san menepuk-nepuk bahu Mao dan berjalan meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Mao masih berdiri mematung di tempatnya sambil menatap kursi kosong di hadapannya.

“Jun?”

----------

Mao berbaring menerawang langit-langit kamarnya. Ia masih belum bisa mengembalikan kesadarannya setelah apa yang ia dengar dari Sawada san tadi.

Drrttt….drrrrtttt….
Getar ponselnya menyadarkan Mao dari lamunan panjang memikirkan perkataan Sawada san.

“MAOOO!!!”

“Hai...”
Mao menjawab lirih suara antusias Yui di seberang.

“Hei!! Apa-apaan suara lesu begitu? Bagaimana hari pertama? Ketemu Jun?”
Tak ada jawaban dari Mao. Ia masih termenung menatap langit-langit kamarnya.

“Moshi moshi, Mao?”
Sesaat mereka terdiam satu sama lain. Hanya suara nafas mereka masing-masing mengisi line telefon yang masih tersambung itu.

“Sepertinya….aku…..akan terus bekerja disini…”
Suara lirih Mao memecah keheningan di antara mereka.

“Nanii? Nande? Maksudmu kau akan berhenti menjaga toko dan akan bekerja di rumah Jun selamanya? Begitu?”

Hanya helaan nafas yang menjawab rentetan panjang pertanyaan Yui.
“Kenapa Mao? Kamu, betah disana? Karena Jun?”

“mmm…”

“Maoo?!?”
Kali ini Yui mengeraskan suaranya. Ia benar-benar penasaran dengan keputusan sahabatnya.

Sontak Mao tersadar dari lamunannya.
“Ah, tentu…tentu saja aku betah disini. Setiap hari bertemu Jun pagi, siang, sore , malam. Aku bisa bicara dengannya. Dan mereka juga memperlakukanku dengan baik. Selain itu gajinya juga jauh lebih besar daripada gajiku menjaga toko. Tentu saja aku betah. Betah sekali!!!”

Rentetan kalimat antusias Mao menyisakan “Ohh” panjang dari seberang.

“Tapi, apa kau yakin?”

“Tentu saja aku yakin. Yakin sekali!”

“Baiklah kalau seperti itu keinginanmu. Tapi, jangan menyesal ya suatu saat…”

“Iie….tentu saja tidak…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar