Selasa, 13 September 2011

We Were There (CHAPTER 7)


Rio menutup pelan pintu ruangan itu agar tidak membangunkan Ify yang sedang tidur. Ia berjalan perlahan mendekati Ify yang masih tampak pulas. Ia memandangi wajah Ify dengan selang infuse yang masih terhubung dengan hidungnya.

Rio duduk di kursi yang terletak di samping tempat tidur. Perlahan Rio meraih tangan kanan Ify yang terbaring lemas di sisi tubuhnya. Rio menggenggam tangan itu. Dipandanginya wajah pucat Ify yang sudah mengalami peristiwa menakutkan yang mungkin semua itu adalah kesalahannya. Tampak gurat penyesalan di wajah Rio. Penyesalan karena telah membahayakan orang yang sangat ingin dilindunginya itu.

Rio menundukkan kepalanya masih sambil menggenggam tangan Ify. Tanpa ia sadari beberapa saat kemudian Rio pun tertidur dengan kepala tertumpu pada punggung tangan gadis itu.

----------------------

THIRD-i
Tuesday, 6 Juli 2011 08:04 am

Seluruh anggota THIRD-I melaksanakan pekerjaannya masing-masing seperti biasa. Mereka belum menemukan gerak-gerik mencurigakan dari teroris setelah serangan di Senayan City kemarin malam.

Pak Joni yang sedang mengecek daftar kelompok teroris Rusia sontak meletakkan buku setebal 60 halaman itu begitu mendengar dering telefon di meja kerjanya.

“Halo…”

“Di mall semalam, kalian benar-benar menghibur kami.”

Pak Joni sontak melambaikan tangan pada Ita yang mengisyaratkan agar line telfon tersebut dilacak. Pak Joni pun menekan tombol loudspeaker agar semua orang bisa mendengarnya.

 “Yang berikutnya kami tidak akan main-main. Kami sudah mengirim virus sungguhan. Namanya Rizky P. Egeten. Alamatnya di jalan A.Yani no 274.”

Pak Susilo yang berdiri di dekat Pak Joni segera memberi isyarat agar beberapa orang menuju alamat yang dimaksud.

“Apa yang kau inginkan?”

“Falcon.”

Pak Joni terbelalak kaget.
“Apa yang kau inginkan darinya?”

Line di seberang terdengar sunyi.
“Jawab”

“Ah, kau pasti sudah melacak line telfon ini. Kalau begitu, sampai jumpa.”
Telfon pun ditutup. Pak Joni bergegas mendekat pada Ita.

“Bagaimana?”

“Panggilan berasal dari telefon umum di sekitar Jl. A.Yani point 6.”

“Segera hubungi petugas di wilayah itu.”
Ita segera menghubungi petugas yang berpatroli di lokasi telefon umum tersebut.

“Pak Aji, Mia, Anita, Amankan Rio!”
tiga orang kepercayaan Pak Joni tersebut bergegas menunaikan tugas yang diberikan pada mereka.

-------------

Kiki sudah menjalani perawatan di ruang isolasi. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, dia benar-benar terinfeksi Bloody-X. Di rumahnya juga ditemukan kotak kiriman berisi sebuah tabung gas mini yang dapat secara otomatis menyemburkan udara jika penutup kotak tersebut dibuka. Namun, pemerintah memutuskan untuk tidak memberitahu pasien bahwa dirinya terinfeksi virus mematikan yang kemungkinan hanya membuatnya mampu bertahan tak lebih dari 6 jam lagi.

Sudah berulang kali Kiki bertanya pada salah seorang suster yang bertugas merawatnya tapi suster itu hanya terus menerus mengatakan bahwa ia tidak perlu khaawatir tanpa memberitahu apa yang sebenarnya ia alami.

Dua orang suster dan seorang dokter memasuki ruang isolator tempat Kiki berbaring. Sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk mengambil sampel darah Kiki setiap 2 jam. Begitu juga dengan kali ini.

Kiki yang merasa badannya semakin lemas sekali lagi mencoba bertanya pada susternya.
“Apa yang terjadi padaku?”

Suster yang sedang mengambil darah dari lengannya dengan menggunakan jarum suntuk itupun hanya tersenyum pada Kiki.

“kau tidak perlu khawatir.”

Kiki menatap suster yang masih sibuk mengambil darahnya. Tiba-tiba tangan kanan Kiki yang masih bebas meraih jarum suntik itu dan mencabutnya dari lengannya. Beberapa saat kemudian tanpa diduga Kiki menusukkan jarum tersebut ke punggung tangan suster yang sedari tadi memegangi lengannya. Suster tersebut sontak berteriak panik. Dokter dan suster yang juga berada di ruangan itu sontak bergegas memegangi badan suster itu yang mencoba meronta.

“Kami akan mengamputasi tanganmu.”
Dokter tersebut bicara sambil menyeret suster yang terus meronta itu keluar ruangan. Beberapa orang dokter yang berada di luar bergegas membantu menahan tubuh suster itu.
Kiki menatap peristiwa di hadapannya dengan tatapan nanar.
“Jadi….aku tidak perlu khawatir ya?”

-----------------

 Rio terbangun dari tidurnya. Perlahan ia membuka matanya dan mencoba mengangkat kepalanya yang terasa berat. Ia masih bisa merasakan tangan Ify dalam genggamannya. Saat matanya sudah sepenuhnya terbuka sontak pandangannya tertumpu pada punggung tangan Ify yang ada dalam genggamannya.

“HAH?!?!?”
Rio terbelalak kaget menatap punggung tangan Ify. Tonjolan-tonjolan merah seperti bisul muncul di punggung tangan Ify. Rio menatap tangan Ify panik. Rasa takut bahwa penjahat yang menculiknya memberikan virus asli pada Ify sontak membuat Rio panik. Ia menatap Ify yang masih terpejam.

“Ify! Ify!”

Rio mengangkat kepalanya kaget. Keringat dingin membasahi dahinya. Nafasnya memburu seolah baru saja berlari dari tempat yang jauh. Ia kembali menatap punggung tangan Ify di genggamannya. Putih bersih. Iapun menghela nafas dalam.

“Hanya mimpi.”
Rio benar-benar lega bahwa kejadian menyeramkan tadi tidak nyata. Betapa takutnya dia jika sampai hal tersebut menjadi kenyataan.

-----

THIRD-i
Tuesday, 6 Juli 2011 14:04 pm

“Rio hanya siswa SMA. Kita tidak bisa membahayakan dia jika teroris itu terus-menerus menekannya. Tidakkah seharusnya kita untuk sementara mengamankannya disini?”
Pak Aji mencoba mengajukan pendapatnya pada dua orang rekan kerjanya, Pak Susilo dan Pak Joni.

“Tunggu. Yang diinginkan teroris itu adalah falcon bukan?”
Pak Susilo tampak seperti baru saja mendapatkan ide cemerlang melintas di pikirannya.

“Ya.”

“Kalau begitu, persiapkan pengamatan padanya 24 jam.”

Pak Aji mengerutkan kening mendengar perintah atasannya tersebut.
“Anda ingin menggunakannya sebagai umpan?”

Pak Susilo tampak mengabaikan pertanyaan Pak Aji tersebut. Ia sekarang berjalan mendekat pada Pak Joni. Pak Susilo menepuk pundak bawahannya itu.
 “Joni, kau yang akan menggantikan Tantowi menjadi Instruktur Divisi. Jangan biarkan mata-mata seperti Tantowi muncul lagi di divisi kita ini.”

Pak Aji semakin tercengang mendengar penuturan Pak Susilo. Pak Joni bahkan lebih muda darinya. Bagaimana mungkin atasannya itu tidak menunjuk orang yang jauh lebih berpengalaman seperti dirinya.

Pak Joni mengangguk. Senyum simpul tersungging dari bibirnya menatap punggung Pak Susilo yang keluar dari ruangan tersebut. Tak lama kemudian Pak Aji juga bersiap hendak melangkah keluar.

“Pak Aji.”

Pak Aji sontak menghentikan langkahnya namun tidak membalikkan badannya menghadap atasan barunya itu.

“Mulai sekarang anda harus mematuhi perintahku.”

Pak Aji tak mengatakan apapun. Ia kembali meneruskan langkahnya meninggalkan Pak Joni seorang diri.

-----------
Pagi ini mau tak mau Rio harus berangkat ke sekolah seperti biasa. Ia tak mau teman-temannya curiga kalau sampai dia terlalu banyak membolos. Ia tak mau melibatkan lebih banyak orang lagi. Tadi pagi Anita, salah satu anggota THIRD-I sudah menyanggupi permintaannya untuk menjaga Ify. Jadi pagi ini ia bisa meninggalkan Ify dengan tenang.

“Bloody Monday.”
Kata itu kembali terlintas di pikirannya. Setelah mengalami berbagai peristiwa melelahkan kemarin membuatnya semakin penasaran dengan maksud kata-kata itu. Ia belum juga menemukan petunjuk apa makna kalimat yang dipesankan ayahnya itu padanya. Di tengah lamunannya, tepat di depan gerbang sekolah tiba-tiba seseorang memukul kepalanya dari belakang dengan sebuah buku.

“AW!!!”
Sontak Rio pun menoleh kaget pada orang di belakangnya.

“Pagi!!”
Tampak Shilla yang tersenyum lebar padanya. Rio pun segera memalingkan wajah dan melanjutkan jalannya.

“Heii Rio tunggu.”
Shilla menarik tas punggung Rio.

“Aku tidak mau menunggu.”
Rio bicara dengan nada jahil sambil terus berjalan dengan Shilla yang masih menarik tas punggungnya. Tepat di belokan menuju kelas mereka tiba-tiba Shilla menguatkan tarikannya sehingga membuat Rio sontak berbalik menuju arah lain.

“Eh? Mau kemana?”

“Ke Basecamp!”

Akhirnya Rio pun dengan pasrah mengikuti kemana Shilla menariknya.

“Pagi!!!”
Shilla mendorong Rio masuk ke dalam basecamp. Dan langsung mendudukkannya di kursi. Ternyata semua orang sudah ada disana. Alvin, Zahra, dan Gabriel.

“Pagi Rio!”
Zahra dan Gabriel menyapa Rio dengan semangat. Sementara Alvin masih berkutat dengan komputernya dan hanya melirik pada Alvin dengan sudut matanya. Rio menatap mereka dengan pandangan heran. Tak biasanya mereka menyambut kedatangannya sesemangat itu.

 “Kenapa belakangan ini kau sering membolos?”
Pertanyaan yang dilontarkan Zahra sontak membuat semua yang ada disana diam menanti jawaban Rio. Rio hanya diam. Dia sudah memutuskan tidak akan membuat teman-temannya mengkhawatirkannya.

“Ayolah, kenapa kau masih merahasiakannya dari kami? kami sudah tau semuanya. Tentang ayahmu, dan tentang kejadian yang menimpa Ify. Kenapa kau tidak cerita pada kami?”

“Apa?”
Rio kaget karena ternyata mereka semua sudah mengetahui segalanya. Sontak pandangan Rio pun tertuju pada Alvin yang masih berkutat dengan komputernya. Alvin yang sudah merasa kalau Rio memandanginya hanya semakin memfokuskan matanya pada computer di hadapannya.

“Apa yang terjadi pada ayahmu benar-benar buruk. Tidak mungkin dia melakukan hal seperti itu. Ya kan?”
Shilla menepuk pundak Rio.

“Iya. Benar.”
Zahra pun turut mengiyakan.

“Bagaimana kalau kita memuatnya di Koran. Sebagai caption bagaimana kalau judulnya Believing his father, protecting his friend. Bagaimana? Kita akan mengungkap segala kebenaran lalu kemudian membuktikan bahwa ayahmu tidak bersalah. Oh iya, kami juga akan menjaga Ify.”
Gabriel menuturkan idenya dengan penuh semangat.

 “Semua ini tidak ada hubungannya dengan kalian”
Rio tiba-tiba beranjak meninggalkan basecamp. Zahra, Shilla dan Gabriel sontak bersamaan memandang Alvin. Alvin tertegun menerima pandangan “kejar-dia” dari mereka.

------------

“RIO!”
Alvin mencoba mengejar langkah cepat sahabat dekatnya itu. Rio sontak menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Alvin dengan tatapan marah.

“Kenapa kau memberi tau semuanya pada mereka?”
Alvin tak menjawab. Ia hanya terus menatap Rio. Rio pun kembali melangkah cepat menjauhi Alvin. Alvin kembali mencoba mengikuti Rio.

Merasa jengah karena Alvin terus mengikuti di belakangnya, akhirnya Rio pun menghentikan langkahnya dan kembali berbalik menatap Alvin dengan marah.
“Apa lagi?!?”

Semakin Rio menatapnya dengan marah, Alvin semakin menatap jahil pada Rio. Seulas senyum tersungging di bibirnya.
 “Jadi? Apa yang kau sembunyikan?”
Rio yang melihat sahabatnya itu menatapnya penasaran akhirnya luluh juga. Ia memang tak pernah merahasiakan apapun dari Alvin.

Rio menghela nafas pasrah.
“Baiklah.”

----------------

Alvin dan Rio duduk di bangku taman sekolah. Alvin memandangi layar laptop Rio yang penuh dengan huruf-huruf yang tidak dia mengerti. Ia melihat Rio mengarahkan kursornya ke sebuah file video.

 “Aku akan memutarnya.”

Alvin mengangguk pelan.

Video yang diputar Rio adalah gabungan dua video yang merupakan insiden di Bank Rusia. Alvin memperhatikannya dengan seksama. Tampak orang-orang di bank itu berlalu lalang layaknya di bank-bank biasanya. Barulah Alvin tercengang saat orang-orang di video itu tiba-tiba berteriak ketakutan dan mulai berlarian dengan mulut bersimbah darah.

“Saat natal tahun lalu, ada serangan teror virus di rusia. Mereka merencanakan untuk melakukan hal yang sama pada jakarta. File ini disembunyikan dengan sangat ketat oleh pemerintah Rusia. Karena itulah pasti ada hal penting dalam video ini.”

“Apa yang sebenarnya terjadi? Rio, bisakah kau putar lagi dari awal?”
Rio pun mengulangi video tersebut. Alvin mengamatinya sekali lagi.

 “Tunggu!”
Ucapan Alvin sontak membuat Rio menghentikan video tersebut.

“Coba mundur beberapa detik.”

Rio memundurkan video di laptopnya.

“Stop!”
Rio menghentikan videonya di menit ke 23. Alvin menunjuk seseorang yang tampak di antara lalu lalang orang di bank itu.

“orang itu. Bisakah kau memperjelasnya?”
Rio mengatur Noice Reduction dan Edge detection pada wajah orang yang ditunjuk oleh Alvin.

Rio dan Alvin sontak tertegun menatap wajah orang tersebut yang sudah cukup jelas untuk dikenali. Mereka berdua saling bertatapan tak percaya.

-----------------

Rio bersandar di gerbang sekolah yang mulai sepi. Ia berjanji akan bertemu dengan Bu Maya disini. Setelah beberapa saat menunggu, tampak Bu Maya berjalan mendekati Rio. Rio sontak menegakkan badannya menyambut kedatangan Bu Maya.

 “ada apa Rio? wajahmu terlihat serius sekali?”
Bu Maya menyunggingkan senyum pada muridnya itu.

“maaf kalau saya tidak sopan. Tapi, bolehkah saya menanyakan sesuatu. Saat natal tahun lalu, dimanakah anda berada dan apa yang anda lakukan saat itu?”
Bu Maya tak bisa menyembunyikan ekspresi kaget dari wajahnya. Sontak ia tertawa kecil pada Rio.

“kenapa pertanyaanmu sangat aneh?”

“tolong jawab Bu.”

Bu Maya menarik senyumnya.
“ada apa Rio?”

“Tolong jawab.”

Bu Maya menghela nafas melihat ekspresi serius siswanya itu.
“Natal tahun lalu…. Aku…….. meminjam DVD di rental langgananku dan menontonnya di rumah sendirian.”

“Bolehkan saya meminjam kartu anggotanya?”

Bu Maya semakin heran mendengar permintaan Rio.
“Eh? Tapi…”

“Saya mohon.”

Akhirnya mau tak mau Bu Maya menyodorkan kartu anggota di sebuah tempat persewaan DVD yang diminta oleh Rio. Bergegas Rio meraih kartu tersebut.

 “Saya akan menjelaskannya nanti. Terima kasih Bu.”
Tanpa menghiraukan ekspresi wajah heran Bu Maya, Rio pun bergegas berlari meninggalkan Bu Maya begitu saja. Wanita itu menatap punggung Rio lekat-lekat.

--------

Rio duduk di sebuah meja yang terletak di dekat dinding kaca sebuah restoran. Dari kaca tersebut dia bisa melihat tempat persewaan DVD yang menjadi langganan Bu Maya. Rental DVD itu terletak di seberang jalan tepat di depan restoran tempat Rio duduk sekarang. Dengan santai Rio mengunyah kentang goreng yang sudah dipesannya. Sambil menikmati kentang gorengnya Rio memulai aksi hackingnya dan mencoba masuk ke dalam database rental DVD tersebut.

Rio memasukkan nomor kartu Bu Maya dan muncullah track record peminjaman selama beberapa tahun belakangan.  Pandangan Rio langsung tertuju pada tanggal 25 desember. Pada tanggal itu benar-benar ada record bahwa Bu Maya meminjam DVD disana. Bahkan ada pula rekaman CCTV tempat persewaan tersebut yang dengan jelas menunjukkan wajah Bu Maya.

“Bu Maya. Syukurlah……”
Rio menghela nafas lega.

------------
Rio berjalan santai meninggalkan restoran di depan rental DVD tersebut. Sekarang langkahnya terasa lebih ringan karena akhirnya kecurigaan mereka bahwa guru Biologi kesayangan mereka terlibat dalam kasus terorisme ternyata salah. Bergegas Rio menghubungi Alvin.

“Halo.”

“Bagaimana?”

“Ternyata dugaan kita salah. Wanita di video itu bukan Bu Maya.”
Rio bicara dengan nada senang.

“Apa kau yakin?”

“Tentu saja. Aku sudah mengecek rekaman di rental DVD itu. Bu Maya benar-benar meminjam DVD disana pada tanggal 24 dan 25 desember tahun lalu. Haha, dan dia menontonnya SEN-DI-RI-AN di rumah di hari natal. Haha.”

“Tunggu Rio.”

“Eh?”

“itu tidak membuktikan apa-apa.”

Kalimat Alvin tersebut sontak membuat Rio menghentikan langkahnya. Ia tercengang mendengar penuturan Alvin selanjutnya.

--------------
Pukul 15.45

Bu Maya tersenyum melihat dua orang muridnya duduk dengan wajah tak tenang di sofa apartemennya.

 “Ada apa sampai kalian berdua mengunjungiku sore-sore begini?”

Rio segera mengatupkan dua telapak tangannya bicara dengan ekspresi memohon pada Bu Maya.

 “Kami mohon, berikan kesempatan pada dua orang muridmu ini. Hehe.”
Bu Maya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar permintaan Rio. Mereka memang bukan yang pertama meminta Bu Maya agar mau makan di luar bersama mereka. Untuk guru secantik dia, wajarlah jika banyak siswa yang ingin sekedar makan bersama dengannya.

“Baiklah.”
Bu Maya berjalan menuju ke kamarnya untuk ganti baju. Ia memilih-milih baju yang akan ia kenakan. Sesaat kemudian dia sudah memakai baju berwarna biru dan mulai merapikan dandanannya di depan cermin. Namun tiba-tiba terdengar suara keras Rio dari luar.

“Maaf Bu saya harus pulang sekarang. Ada suatu hal penting.”

“Woi Rio!”
Terdengar teriakan Alvin memanggil Rio. Sesaat kemudian terdengar pintu apartemennya terbuka lalu sesaat kemudian kembali tertutup.

“Eh?”
Bu Maya yang masih terpaku di depan cermin pun akhirnya melangkah keluar kamar. Tampak Alvin berdiri menghadap pintu apartemennya sambil menggaruk-garuk kepala.

Tinggallah mereka berdua saling bertatapan. Alvin menatap malu-malu pada Bu Maya.

 “Haruskah kita ……..pergi berdua saja?”

Bu Maya pun tersenyum melihat ekspresi malu-malu Alvin dan sejenak kemudian mengangguk mengiyakan. Sesaat kemudian mereka berdua sudah keluar dari apartemen. Setelah Bu Maya mengunci pintu merekapun segera menuju restoran yang direkomendasikan Bu Maya.

Apartemen Bu Maya sekarang kosong. Setelah memastikan semuanya aman, Rio pun keluar dari persembunyiannya. Perlahan ia membuka penutup bath tub yang sejak tadi menjadi tempat persembunyiannya. Bergegas Rio mulai mencari di seluruh ruangan.

@Restoran

Bu Maya dan Alvin tampak memilih-milih makanan yang tertera di buku menu.
“Pilih saja apapun yang Bu Maya mau.”
Alvin menyunggingkan senyum terlebarnya pada Bu Maya.

“Benarkah?”
“Iya. Hari ini saya yang akan mentraktir semuanya.”
Bu Maya tersenyum mendengar penuturan Alvin. Ia kembali memilih-milih menu.

“Alvin.”

“Ya?”

“Ibu ke toilet sebentar ya.”

“Oh, iya iya, silahkan.”
Bu Maya meninggalkan Alvin yang masih sibuk memilih makanan di daftar menu.

----------

Rio masuk ke sebuah ruangan yang sepertinya adalah ruang kerja Bu Maya. Pandangannya tertumpu pada laptop yang terletak di atas meja.

“Ketemu.”

Bergegas Rio duduk di depan laptop tersebut dan mulai menyalakannya.

“Sial, di password.”
Rio mengambil flashdisk dari dalam tasnya dan segera menancapkannya pada laptop tersebut. Layar laptop tersebutpun sontak berubah merah dan muncullah lambang burung Falcon hitam memenuhi layar laptop tersebut. Sesaat kemudian lambang itu hilang dan mulailah Rio mengeluarkan keahliannya membobol Memory laptop tersebut.

Uncompressing Linux…Ok, booting the kornel
Mounting /dev/hda1 to/mnt…
Encryption key required
Password: maya#123
Succeed. Mounting…done
Usb[-]# cd/mnt
Usb[mnt]# ls
AUTOEXEC.BAT    IO.SYS   RECYCLER
CONFIG.SYS    MSDOS.SYS   System Volume Information
NTDETECT.COM   WINDOWS
Documents and settings   Program files   boot.ini
Usb[mnt]# find-iname **bloody Monday**
./Documents and Settings/maya/My Document/bloody Monday
Usb[mnt]# cd:Documents\settings/maya/My\Documents/bloody Monday

Rio terus mencari di antara sekian banyak file yang tersimpan di sana. Pandangan matanya tertuju pada sebuah File dengan nama yang sontak membuat sekujur tubuh Rio merinding.

“Bloody Monday.”

Sadar dari ketercengangannya Rio pun bergegas meng copy file tersebut ke dalam flashdisknya. Di tengah-tengah proses meng copy file tersebut tiba-tiba ia dikejutkan oleh getar ponsel di saku celananya.

“Halo Alvin!”

“Cepat pergi dari sana!”
Terdengar teriakan Alvin dari seberang.

“Tapi aku sedang mendownload, aku butuh 10 menit lagi”

“Bodoh, cepat pergi,Bu Maya menghilang.”
Suara Alvin bercampur dengan nafas yang terengah karena berlari dari tempat parkir. Akhirnya dia sadar bahwa Bu Maya menghilang setelah hampir 15 menit ia tidak kembali dari toilet. Saat Alvin menge cek ke tempat parkir ternyata mobil Bu Maya benar-benar tidak ada.

Rio kaget mendengar perkataan Alvin.

“Cepat pergi!”
Alvin menutup telfonnya dan bergegas kembali ke apartemen Bu Maya.

Rio menatap layar laptop itu dengan tatapan bingung.
“ARRGHHH!!!”
Akhirnya Rio mengubah pengaturan laptop tersebut sehingga tidak akan mati saat layarnya ditutup. Bergegas Rio menutup laptop tersebut dan berlari keluar dari ruangan tersebut. Ia meninggalkan flashdisknya tetap tertancap disana melanjutkan proses meng copy.

Bu Maya memasuki lift untuk menuju ke lantai 4 tempat apartemennya berada. Sementara itu Rio bergegas hendak keluar dari sana. Namun sontak langkahnya terhenti di depan pintu. Rio menatap pintu apartemen itu dengan tatapan panik. Ia bisa saja membuka paksa pintu tersebut namun jika dia melakukannya maka alarm yang terpasang pada pintu tersebut akan berbunyi. Rio semakin diburu oleh waktu sementara tanpa ia tau Bu Maya sudah hampir sampai ke lantai 4.

-----------------

Bu Maya keluar dari lift dan melangkah pelan menuju apartemennya. Tangannya mencoba meraba sesuatu dari dalam tas tangannya. Sebuah pistol menyembul dari dalam tas yang ia bawa. Ia pun memasukkan kembali pistol tersebut ke dalam tasnya. Seulas senyum tersungging dari bibir wanita cantik tersebut.

Langkah Bu Maya sontak terhenti saat ia hampir sampai di depan apartemennya. Ia tertegun menatap Rio yang berdiri memandangi pintu apartemennya yang mengeluarkan bunyi sirine.

“Rio?”

Rio pun sontak menoleh kaget pada Bu Maya yang sudah berdiri di sampingnya.

“Eh? Bu Maya, ada suara aneh yang berbunyi dari dalam.”

“oh, itu pasti security system.”
Bu Maya mengambil kunci apartemen dari dalam tasnya.

“berarti ada penyusup!”

Baru saja Bu Maya hendak melangkah mendekati pintu sontak Rio merebut kunci dari tangan Bu Maya tersebut.
“Biar saya saja yang buka.”

Rio memutar kunci itu dua kali namun berlawanan arah agar mengesankan bahwa pintu yang sebenarnya sudah terbuka itu tadinya benar-benar terkunci. Rio bergegas masuk ke dalam apartemen dan berpura-pura mencari penjahatnya. Bu Maya melangkah pelan menyusul Rio. Ia pun turut mencari ke dalam apartemennya.

“Bagaimana Bu?”

“tidak ada apa-apa. Ah, pasti kesalahan system.”
Akhirnya Rio pun menghela nafas lega dan menghempaskan badannya ke sofa. Bu Maya menuju dapur dan mengambilkan minum untuk Rio.

 “Rio ada apa? Kenapa kamu kembali?”
Bu Maya bertanya dari dapur.

“Oh iya Bu, saya kehilangan dompet. saya pikir mungkin jatuh di sekitar sini.”

“bagaimana urusanmu?Sudah selesaikah?”

“ah, iya sudah saya selesaikan.”
Rio diam-diam melemparkan dompetnya ke bawah sofa. Sesaat kemudian tampak Bu Maya berjalan mendekat dari arah dapur. Rio pun berpura-pura mencari dompetnya di bawah sofa.

 “Ah, ini dia!”
Rio berpura-pura menemukan apa yang dia cari. Bu Maya tersenyum melihat wajah senang Rio. Bu Maya meletakkan segelas teh hangat dan sepotong kue ke hadapan Rio.

 “Loh? mana Alvin?”

“Oh, tadi kami pergi makan berdua.”

“Hah? Dan Bu Maya pulang duluan?”
Bu Maya hanya tersenyum. Ia kembali ke dapur dan mengambil segelas air putih untuk dirinya sendiri.

“waw, kasihan sekali dia. Ditinggalkan di kencan pertamanya. Aku akan mencoba menghubunginya.”
Rio memencet nomor di ponselnya. Dan sesaat kemudian ia pun tersambung dengan yang dituju.

“Halo Alvin. Bodoh, kalau kau menunggu Bu Maya percuma. Dia disini sekarang bersamaku. Wah  hawanya sungguh menyeramkan. Mungkin akulah yang akan menjadi target Bu Maya.”
Bu Maya tersenyum mendengar penuturan Rio.

“Woi cepat kesini.”

Rio sudah selesai bicara sepertinya. Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku belakang celananya. Pandangan Rio tertuju pada kue di atas meja.

“waw, kelihatannya enak.”
Rio memakan kue tersebut dengan lahap. Bu Maya duduk di sampingnya sambil menyunggingkan senyum bangga karena Rio menyukai kue buatannya.

Rio melirik jam tangannya. 10 menit sudah jauh berlalu.

“Anu, Bu, ruangan ini panas sekali.”

“benarkah? Apa dinyalakan saja ya ACnya?” Bu Maya berdiri dari kursinya.
Perlahan Rio menyembunyikan remote AC yang ada di dekatnya ke dalam tasnya yang tergeletak di sampingnya.

“Eh dimana remotenya?”

 “Mungkinkah di ruangan lain Bu? Kalau begitu saya bantu mencarinya.”
Baru saja Rio hendak beranjak dari duduknya sontak Bu Maya melarangnya.

“Tidak perlu.”
Bu Maya tersenyum menatap Rio. Rio yang menerima tatapan dari Bu Maya pun perlahan kembali duduk. Sesaat kemudian Bu Maya berbalik menuju jendela.

“Dengan membuka jendela seperti ini, udara sejuk akan masuk.”
Bu Maya membuka jendela apartemennya lebar-lebar. Angin sepoi-sepoi pun menerobos masuk ke dalam ruangan tersebut.

“ah, anda benar.”

“Rio, kau bertingkah aneh,tampaknya kau mengkhawatirkan sesuatu di ruangan itu. apakah ada sesuatu disana?”
Pandangan Bu Maya menunjuk pada ruang kerjanya.

“Ah, Tidak. Tidak kok Bu.”

Bu Maya pun berjalan menuju ruang kerjanya. Rio menatap Bu Maya was was. Jantungnya berdebar kencang. Bu Maya masuk ke dalam ruang kerjanya. Ia mengamati tiap detail barang yang ada di sana. Pandangannya sontak tertuju ke atas meja. Ia melihatnya.

Bu Maya berjalan kembali ke ruang tamu.
“Kenapa? Tidak ada apa-apa disana Rio.”

Bu Maya kembali duduk di samping Rio. Rio menarik nafas dalam. Jantungnya terasa berpacu dua kali lebih cepat.

“Bu, tentang pertanyaan saya mengenai natal tahun lalu, sepertinya saya salah.  Tanggal 24 dan 25 desember tahun lalu , jika saya bertanya pada Bu Maya dimana anda berada pada hari itu maka itu tidak aka nada artinya.”
Rio mencoba mengatur ritme nafasnya yang mulai meniupkan nada gemetar dalam suaranya.

“Karena……. natal di Rusia adalah tanggal 7 januari. Kan?”

Bu Maya menatap Rio lekat-lekat.

“Alvin yang bilang. Di Rusia, umat Kristen adalah Russian Orthodox . karena itulah natal diperingati pada 7 januari. 7 januari tahun ini, anda berada dimana?”
Rio membalas tatapan Bu Maya. Kali ini ia mengumpulkan segenap keberaniannya untuk membalas tatapan itu.

Bu Maya sontak tersenyum.
               “Jadi kau kembali kesini untuk menjadikanku tersangka begitu?”
Bu Maya berdiri dan melangkah menuju tas tangannya yang terletak di meja di dekat almari TV. Ia meraih sesuatu dari dalam tasnya.
Bu Maya mengeluarkan sebuah buku agenda. Ia membuka buku agenda tersebut.

“Saat itu aku pergi ke bank.”

“Bank?”
Detak jantung Rio mulai berpacu jauh lebih cepat.

“Ya. Ke Bank Rusia yang kau lihat di video itu.”

Bu Maya membalikkan badannya menghadap Rio. Rio terbelalak saat melihat Bu Maya mengarahkan pistol padanya. Tubuhnya sontak terasa kaku.

Bu Maya berjalan mendekati Rio yang semakin tersudut di tempat duduknya.
“Aku sudah begitu baik padamu. Tapi kau bodoh!”


1 komentar: