Rabu, 14 September 2011

We Were There (CHAPTER 8)


Bu Maya membalikkan badannya menghadap Rio. Rio terbelalak saat melihat Bu Maya mengarahkan pistol padanya. Tubuhnya sontak terasa kaku.

Bu Maya berjalan mendekati Rio yang semakin tersudut di tempat duduknya.
“Aku sudah begitu baik padamu. Tapi kau bodoh!”

Badan Rio yang gemetar mencoba beringsut sedikit demi sedikit dengan mata yang tak berkedip sedetikpun demi melihat pistol yang teracung ke kepalanya. Suara desah nafasnya berbaur dengan gemuruh degup jantung karena menyadari bahwa dirinya seolah berada di depan gerbang kematian. Senyum Bu Maya semakin lebar melihat wajah pucat Rio.

Prang!!!
Tangan Rio yang mencoba beringsut menyenggol vas bunga hingga pecah berkeping-keping. Suara pecahan vas bunga itu terasa semakin memacu detak jantungnya.

“Tak ada gunanya kau lari Rio.”
Bu Maya bersiap menarik pelatuknya. Nafas Rio seolah tercekat menyadari jari telunjuk Bu Maya perlahan mulai bergerak. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Untuk pertama kalinya dia merasa nyawanya benar-benar di ujung tanduk.

“Selamat tinggal…….Rio…..”

DORRRR!!!!!

Tubuh Bu Maya jatuh tersungkur tertelungkup ke lantai. Darah segar yang bersumber dari punggung kanannya mewarnai baju birunya dengan merah kehitaman. Nafas Bu Maya terdengar tersengal menahan sakit.

Rio yang melihat gurunya itu jatuh bersimbah darah sontak jatuh terduduk. Tembakan dari belakang Bu Maya yang berasal dari arah jendela tepat mengenai punggung kanan wanita itu. Mata Rio tertuju ke luar jendela. Di sana. Di atap gedung tinggi yang terletak agak jauh dari apartemen itu. Pandangan Rio tertuju pada bayangan samar-samar 3 orang berseragam hitam.

Samar-samar di kejauhan Rio bisa melihat salah satu di antara mereka menurunkan senapan jarak jauhnya. Tiga orang anggota THIRD-I itu segera beranjak dari tempatnya.

Rio tersadar dari ketercengangannya saat ia mendengar suara gerak tangan Bu Maya yang hendak meraih pistol yang terjatuh tak terlalu jauh darinya. Bergegas dengan segenap kekuatan tubuhnya yang masih gemetar Rio pun segera bangkit dan menendang pistol tersebut jauh-jauh. Tinggallah Bu Maya tertelungkup menahan rasa sakit yang teramat sangat di punggungnya.

“Kenapa? Kenapa kau melakukan hal seburuk itu?”

Rio menatap guru kesayangannya itu dengan pandangan tak percaya. Bu Maya masih sempat tersenyum di tengah wajah pucat pasinya. Ia tak menjawab apapun. Ia hanya terus mencoba bertahan hidup dengan luka tembak menganga di tubuhnya.

-------

Bu Maya duduk tertunduk di kursi dalam sebuah ruangan sempit dengan penerangan seadanya. Baru beberapa saat yang lalu dia selesai menjalani perawatan dari dokter kepolisisan. Dan sekarang dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di ruang interogasi. Pak Joni duduk di depannya sembari menatap sinis pada wanita itu.

“Ini benar-benar mengejutkan. Siapa yang akan menyangka bahwa ada mata-mata di sekolah?”

Bu Maya menatap tajam laki-laki itu.
“Kau, bagaimana kau menemukanku?”

“Rio yang menghubungi kami. Anak itu mengatakan kalimat-kalimat yang aneh. Tapi berkat itu kami mengetahui bahwa ia meminta bantuan. Sepertinya saat itu dia berpura-pura menghubungi temannya yang bernama Alvin. Dia bilang dia memasukkan ponselnya ke dalam saku dengan sambungan telefon yang masih dalam keadaan menyala. Dengan begitu kami bisa mendengar percakapan berbahaya kalian.”
Pak Joni tersenyum sinis.

Bu Maya tertunduk. Ia tak percaya dirinya bisa selengah itu hanya karena seorang anak ingusan seperti Rio.

“Selamat siang Pak.”

Pak Joni sontak menoleh saat dua orang berseragam sama dengannya memasuki ruang interogasi. Masing-masing dari mereka membawa koper besar.

Pak Joni tersenyum lebar pada Bu Maya.
“Baiklah. Sebaiknya kau segera mengungkapkan semuanya. Kau pasti tidak mau berlama-lama bersama mereka. Mereka adalah tim yang mempelajari metode terbaru yang dipakai FBI dalam interogasi. Kurasa kau lebih baik segera bicara, atau tubuhmu akan kejang karena sengatan listrik yang akan mereka berikan padamu.”

Pak Joni melangkah meninggalkan ruang interogasi. Dua orang tim yang baru datang itupun bergegas memasangkan peralatan yang mereka bawa dalam koper itu pada tubuh Bu Maya yang masih lemas terborgol di kursi pesakitan.

--------

Jakarta,
Wednesday, 7 July 2011 23:00

Tangan yang sedang memegangi ponsel yang tertempel di telinga kanannya itu menunjukkan tato kupu-kupu merah hitam. Laki-laki itu berjalan pelan di trotoar yang sepi. Ia tampak sedang menelfon seseorang.

“M sudah tertangkap.”

Terdengar tawa dari seberang.
“Bukankah itu bagus?”

Laki-laki bertato kupu-kupu itu mengangkat alis begitu mendengar kalimat dari seberang.
“Selanjutnya…..apa yang harus kita lakukan, P ?”

Tawa di seberang pun surut.
“Menuju stage selanjutnya.”

----------

@Lembaga Riset dan Penelitian THIRD-i

Pak Bagus bergegas mengunci ruangannya setelah ia mematikan komputer dan lampu di tempat kerjanya itu. Ia berjalan terburu-buru menyusuri lorong-lorong yang sudah sepi karena semua karyawan sudah pulang sejak jam 8 tadi. Ia maih harus menyelesaikan laporan atas sampel darah yang ia ambil dari Nova, suster yang terinfeksi Bloody-X setelah korban sebelumnya menusukkan jarum suntik berisi darah yang sudah terkontaminasi padanya.

Hampir saja dia mencapai pintu keluar saat tiba-tiba ia merasa kepalanya dipukul oleh seseorang yang membuatnya jatuh tersungkur tak sadarkan diri.

Laki-laki itu mengangkat tubuh Pak Bagus dan membawanya menuju mobil. Bergegas laki-laki itu mengendalikan kemudi dan menjalankan kendaraannya menuju markas besarnya. Tato kupu-kupu merah hitam tergambar jelas dari punggung tangan laki-laki itu.

-------------

@Ruang Tahanan Khusus LP Cipinang
Wednesday, 7 July 2011 23:22

“Apakah tahanan ini pernah menghubungi seseorang di luar?”
Seorang petugas penjaga ruang tahanan khusus  bertanya pada temannya yang sedang berkutat di depan computer. Hanya mereka berdua yang ditugaskan untuk berjaga di ruang isolasi ini.

“Tidak. Kau tau sendiri kan apa yang dilakukan orang itu sepanjang hari? Dia hanya terus berdiri bertelanjang kaki sambil menatap kita. Dia pasti gila.”
Pandangan mata penjaga itu tertuju pada seorang Laki-laki berusia sekitar 50 tahun yang berdiri tegak bertelanjang kaki dengan pandangan kosong di dalam selnya.
“Memangnya kenapa kau bertanya seperti itu?”

“Dia bilang dia bisa membunuh orang. Beberapa hari yang lalu dia memberiku nama dan alamat seseorang yang dia bilang akan mati. Namanya Rizky P. Egeten. Dan beberapa hari kemudian aku mendengar orang itu benar-benar mati. “

Teman jaganya menatap rekannya itu dengan pandangan kaget.

“Ap…Apa? Itu…. Itu…. pasti hanya kebetulan. Sudahlah jangan bicara yang tidak-tidak.”
Petugas itu segera kembali mengerjakan laporan yang ia ketik di komputernya. Perkataan temannya tadi membuatnya sedikit merasa takut.

“Kau mungkin benar.”

“Eh, aku mau ke toilet sebentar.”
Salah satu penjaga itu bergegas meninggalkan ruangan menuju toilet. Tinggal seorang petugas lagi yang ada disana. Perlahan petugas bernama Sandy itu berdiri. Ia berjalan takut-takut mendekati sel tahanan yang sedang dijaganya.

“Benarkah apa yang kau katakan padaku? Benarkah kau bisa melakukannya?”

Tahanan yang ada di depannya mulai mengalihkan pandangannya pada petugas itu. Petugas itu meraih sesuatu dari saku seragamnya. Tangan petugas itu sedikit bergetar saat ia menunjukkan foto seseorang pada tahanan itu. Tampak foto seorang laki-laki sedang memeluk seorang perempuan. Perempuan itu adalah istri Sandy.

“Namanya Doni Prasetya. Ia bekerja di Adira Automobile.”

Tahanan di depannya menatap lekat-lekat foto itu. Sesaat kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya pada petugas di depannya. Sandy yang menerima tatapan menyeramkan tahanan itu segera beranjak kembali ke kursinya. Ia bisa merasakan bulu romanya merinding hanya dengan melihat mata tahanan khusus tersebut.

-------

THIRD-i
Thursday, 8 July 2011 08:23

Rio duduk di tepi tempat tidurnya. Matanya mengamati ruangan yang hanya berisi sebuah meja, sofa, dan tempat tidur itu. Setelah mengalami kejadian kemarin, Pak Joni memerintahkan agar Rio untuk sementara tinggal di kantor THIRD-I demi keselamatan nyawanya.

Sunyi. Ruang kedap suara itu menyisakan kesepian bagi Rio. Tak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Mungkin hanya menenangkan diri. Semalam Alvin sudah menemaninya disini sejak THIRD-I membawanya kesini setelah Bu Maya tertangkap. Sahabatnya itu benar-benar lega melihat dirinya yang berhasil kembali dengan selamat. Rio sudah menceritakan semua yang terjadi pada Alvin, tanpa ada sedikitpun yang terlewat.

Drrrttt…..drrrrtttt…..

Pandangan Rio sontak beralih pada tasnya yang ia letakkan di sofa. Bergegas ia mengambil ponselnya dari dalam sana. Raut wajah Rio sontak berubah saat melihat nomor yang menelfonnya tersebut.

“Ify?”

Cepat Rio memencet tombol answer.
“Halo.”

Tak terdengar apapun dari seberang.

“Ify?”
Rio masih menunggu.

“Halo….”
Terdengar suara pelan yang menyiratkan keragu-raguan. Tak salah lagi, Ify lah yang sedang bicara pada Rio barusan.

“Ify, kamu….kamu tidak apa-apa?”

Ify tak menjawab. Ia menggigit bibirnya pelan. Terus terang ia bingung harus berkata apa.
“Kak….Rio….”
Sekuat tenaga Ify memaksa lidahnya untuk mengucapkan kata itu.

“Ya?”
Dengan sabar Rio mendengarkan satu demi satu ucapan gadis itu.

“Terima kasih.”

“Eh?”

“Kakak menyelamatkanku. Kemarin…aku….sudah mendengar semuanya dari Bu Anita.”
Ify mencoba menarik nafas dalam. Entah kenapa mengucapkan kalimat barusan benar-benar terasa menguras tenaga.

“Kakak….tidak apa-apa?”

Pertanyaan Ify barusan sontak membuat seulas senyum tersungging dari bibir Rio.

“Ya. Aku tidak apa-apa.”

Sunyi. Mereka berdua sama-sama tidak tau apa yang akan dikatakan. Beberapa detik line telefon tersebut hanya berisi udara tanpa ada suara.

“Fy…”
“Kak…”
Bersamaan mereka berdua memecah kesunyian yang terasa mencekik itu.

“Kamu dulu.”
Rio memberi kesempatan pada Ify untuk terlebih dahulu bicara.

“Mmmm…..aku….sudah mengerti….kenapa kakak melarangku masuk ke THIRD-i.”

Rio hanya diam mendengar penuturan Ify.

“Maaf….”

Rio kaget mendengar ucapan Ify.
“Kau tidak perlu minta maaf. Semua sudah terlanjur terjadi. Sekarang yang terpenting jaga dirimu baik-baik.”

“Iya. Mmm, tadi kak Rio mau bilang apa?”

“Oh, sudah kukatakan kok barusan.”

“Eh? Apa?”
Ify tak mengerti maksud ucapan Rio.

“Jaga dirimu baik-baik.”

“Oh.”
Ify tersenyum walaupun tanpa sepengetahuan Rio.

“Oh iya. Laptop yang kemarin…..aku…..sepertinya tidak akan menggunakannya.”

Rio kembali terdiam. Dia tampak sedang berpikir. Beberapa saat ia membiarkan Ify menunggu jawaban darinya.
“Baiklah. Kalau begitu kapan-kapan aku akan mengambilnya. Bawa saja dulu. Kalau ada waktu aku akan mengambilnya ke tempatmu.”

“Iya. Kalau begitu, aku akan menutup telefonnya.”

“Ok.”

Tut tut tut…..

Rio memandangi layar ponselnya. Percakapannya dengan Ify barusan terasa cukup meringankan penat yang sudah menumpuk dalam dirinya. Tapi, ia sadar, semuanya sudah tak sama lagi seperti dulu. Mulai sekarang dia harus benar-benar menjaga Ify. Bencana besar mungkin saja menanti di hadapan mereka. Dan tampaknya Ify belum mengetahui bahwa Kiki, rekan kerjanya, sudah meninggal karena virus laknat yang dikirim oleh teroris itu.

------------------

08:45

Rio menatap dua orang di depannya dengan tatapan bingung. Pagi ini dia dipanggil ke ruangan Pak Susilo. Rio hanya bisa menunggu hal apa lagi yang akan terjadi selanjutnya.

Pak Joni memecah kesunyian di ruangan itu.
“Kami merasa kau seperti dua mata pedang bagi kami. Dengan kemampuanmu kau bisa saja menjadi penolong yang hebat namun bisa juga menjadi penghancur yang berbahaya. Karena itulah, kami tidak ingin kau terlibat dengan kasus ini lagi. Akan tetapi, sebelumnya ada satu hal yang ingin kami katakan padamu.”

“Apa itu?”
Rio menatap Pak Joni penasaran.

“Maya tidak mau bicara apapun selama interogasi. Tapi, dia mengatakan bahwa dia akan menunjukkan pada kami tempat persembunyian mereka. Namun, ia mengajukan satu syarat, kau harus pergi bersama mereka.”

“Aku?”
Rio kaget mendengar penuturan Pak Joni.

“Maya mengatakan bahwa orang yang sudah membongkar identitasnya berhak tau dimana persembunyian mereka. Sebenarnya kami juga tidak terlalu percaya dengan kata-kata wanita itu. Karena itulah, jika kau ingin menolak, kami tidak akan melarang.”

“Aku akan melakukannya.”
Rio menjawab cepat.

Pak Susilo yang duduk di samping Pak Joni sontak menatap Rio lekat-lekat.
“Kita tidak tau apa yang mereka rencanakan. Mungkin saja itu akan membahayakanmu.”

“Ini adalah kesempatan untuk menangkap mereka kan? Tidak ada salahnya mencoba. Aku dan temanku sudah terlalu banyak menderita karena mereka. Aku akan melakukannya. Aku sungguh-sungguh. Kumohon, biarkan aku ikut.”

------------

@Basecamp Club Koran sekolah
09:30 am

“Jadi, hari ini Rio tidak masuk sekolah lagi? Dia tidak merencanakan untuk berhenti sekolah kan?”
Zahra bertopang dagu memandangi Koran sekolah terbitan terakhir yang tergeletak di mejanya.

Shilla yang sedang mengetik proposal di komputerpun sontak menghentikan pekerjaannya. Ia menghela nafas dalam. Zahra benar. Rio benar-benar mulai banyak membolos. Dan dia tidak mengatakan alasannya pada mereka. Telefon tidak diangkat, sms jarang dibalas. Benar-benar membuat mereka penasaran.

Lamunan Zahra dan Shilla buyar saat Alvin memasuki basecamp sambil membawa naskah wawancara yang baru saja selesai ia print.

“Rio bilang dia sakit perut. Karena itulah dia ijin hari ini. Sepertinya dia makan terlalu banyak semalam.”
Alvin seolah tau apa yang baru saja dibicarakan oleh Zahra dan Shilla.

Shilla memandangi Alvin yang sedang memasukkan naskah wawancara tersebut ke dalam map.

“Aku akan memintakan tanda tangan pada Pembina. Nanti sepulang sekolah naskahnya akan kuberikan pada kalian.”
Alvin berjalan meninggalkan basecamp tanpa mempedulikan tatapan kedua temannya. Begitu Alvin menghilang dari pandangan, sontak Zahra dan Shilla saling bertatapan.

“Dia pasti menyembunyikan sesuatu.”

Zahra mengangguk mengiyakan dugaan Shilla.

------------------

Jakarta,
Pukul 10.00

“Terlalu dini untuk menarik kesimpulan dari kasus ini. Kami ulangi sekali lagi , pagi ini di pusat pembuangan sampah TPA Pemda Jakarta Timur ditemukan mayat seorang pria berusia 32 tahun. Korban diduga adalah pegawai di sebuah perusahaan sales automobile bernama Doni Prasetya . Tidak ditemukan tanda-tanda adanya perkelahian di lokasi kejadian. Saat ini polisi sedang menyelidiki adanya  kemungkinan tindak kriminal maupun kecelakaan.”

Sandy termangu menatap layar Televisi di depannya. Sontak sekujur tubuhnya merinding dilanda rasa takut yang benar-benar hebat.

---------------------

10.14

Anita memasangkan rompi anti peluru pada Rio. Itu semua semata-mata demi menghindari kemungkinan terburuk dalam misi mereka kali ini.

“Mmmm, Ify….”

“Tenang saja. Sudah ada seorang anggota THIRD-I yang menjaganya.”

Rio lega mendengar penuturan Anita.

Tatapan mereka berdua sontak tertuju pada Pak Aji yang mendekat kearah mereka. Ia datang bersama seorang lagi anggota THIRD-I, dan Bu Maya.

Pak Zaky, salah satu anggota THIRD-I yang akan ikut dengan mereka segera memasukkan Bu Maya ke dalam mobil. Sementara itu Pak Aji berjalan mendekat pada Rio.

“Jangan percaya apapun yang mungkin Maya ucapkan.”

Rio mengangguk. Mereka bergegas menaiki mobil putih yang akan menjadi transportasi mereka menuju markas teroris yang akan ditunjukkan Bu Maya. Untuk misi kali ini mereka tidak akan dikawal. THIRD-I hanya akan mengawasi dari layar monitor demi mengurangi kecurigaan musuh terhadap perpindahan mereka.

Mereka menggunakan mobil tertutup agar tidak terlihat bahwa mereka ada di dalamnya. Dalam mobil tersebut hanya ada Pak Aji, Anita, Rio, Bu Maya, dan Pak Zaky.

Setelah semuanya siap, Pak Zaky yang memegang kemudi pun mulai memacu kendaraannya menuju alamat yang diperintahkan oleh Bu Maya.

8 menit berlalu dalam perjalanan tersebut….

“Hei rio….”
Tiba-tiba Bu Maya memecah kesunyian di antara mereka.

“Apakah kau tau alasan sebenarnya kenapa aku memintamu ikut?”

“Jangan mendengarkannya Rio.”
Pak Aji segera memperingatkan Rio begitu melihat wajah Rio mulai tampak penasaran dengan yang diucapkan wanita itu.

“Ada seseorang yang sangat ingin kau temui kan?”

“Apa?”
Kalimat Bu Maya mulai membuat Rio terusik. Pikirannya sontak tertuju pada bayangan ayahnya. Ya, dia sangat ingin menemuinya.

“Aku akan mempertemukanmu dengannya. Karena ayahmu, adalah salah satu anggota kami.”

“Diam kau!”
Pak Aji membentak Bu Maya yang mulai melancarkan aksinya.

“Kau bohong!”
Rio mulai terpancing.

“Aku tidak berbohong. Kenapa kau tidak bertanya pada dua orang ini?”
Tatapan mata Bu Maya tertuju pada Pak Aji dan Anita. Mereka hanya diam tanpa mengatakan apapun.

Rio memandang mereka dengan tatapan bingung.
“katakan sesuatu.”

“Jangan pecaya padanya! Orang ini hanya mencoba mengombang-ambingkanmu.”

“Apakah benar bahwa ayahku mata-mata? Apakah benar?”
Rio menatap Pak Aji dan Anita bergantian.

“Rio!”
Anita membentak Rio yang terus bertanya pada mereka.

“Tempat yang akan kita datangi, ayahmu menunggumu disana.”
Bu Maya benar-benar mengeluarkan kata-kata manisnya. Dan sepertinya itu berhasil membuat Rio kalut.

“Rio! Wanita ini berbohong! Percaya padaku! Jika tidak keluarlah dari mobil ini sekarang!”
Pak Aji menatap Rio tajam. Rio menarik nafasnya dalam-dalam. Ia hanya bisa pasrah mencoba menenangkan dirinya sendiri.

“Oh iya Rio, aku akan memberitahumu satu hal penting lagi. Di antara mereka berdua juga ada salah satu anggota kami.”

“Apa maksudmu?”
Pak Aji menatap Bu Maya marah.

“Kami tidak mungkin seperti itu.”
Anita pun tampak geram mendengar ucapan wanita itu.

“Aku tidak akan percaya.”
Rio berkata pelan. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri agar tidak lagi mempercayai kata-kata wanita itu.

Mobil yang mereka tumpangi memasuki sebuah terowongan. Pak Zaky melihat kearah spion. Pandangannya tertuju pada mobil yang ada di belakang mereka. Sepertinya mobil itu sejak tadi terus berada tepat di belakang mereka. Menyadari bahwa mereka diikuti, Pak Zaky pun segera memberitahu Pak Joni yang mengawasi mereka dari kantor.

“Pak, kita diikuti.”

Suara Pak Zaky yang cukup keras membuat Pak Aji dan yang lainnya yang berada di bangku belakang bisa mendengar perkataannya.

“APA?!?!”
Pak Aji sontak melihat ke belakang. Disusul oleh Rio dan Anita. Seulas senyum tersungging di bibir Bu Maya.

“Mobil biru itu?”

Rio dan Pak Aji semakin menajamkan pandangan mengamati mobil biru yang dimaksud Anita. 

“Sial!”
Pak Aji mengepalkan tangannya. Sementara Rio mulai merasakan badannya gemetar. Dia mulai merasa bahwa sebentar lagi pasti akan ada kejadian yang tak terduga lagi.

Beruntung Pak Joni segera memberikan rute memotong sehingga membuat mobil yang mengikuti mereka sempat kehilangan jejak. Mobil yang mereka tumpangi memasuki sebuah area parkir bawah tanah. Di sana sudah menunggu mobil pengganti yang dikirim oleh THIRD-i. Pak Aji, Anita, Rio dan Bu Maya berganti mobil. Sementara itu Pak Zaky tetap menyetir mobil yang sebelumnya demi mengecoh orang yang mengikuti mereka. Dan tampaknya taktik mereka itu berhasil.

Rio menghela nafas lega. Jantungnya bisa sedikit tentram sekarang. Namun tiba-tiba ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Ia menatap Pak Aji yang ada di sampingnya sedang memegang kemudi.
“Pak, bukankah ini aneh. Bagaimana mereka tau kita ada di dalam mobil ini?”

Tiba-tiba Bu Maya yang ada di jok belakang menyahut pertanyaan Rio.
“Sudah kubilang kan? Ada mata-mata disini.”

“Jangan percaya padanya!”
Pak Aji membentak Rio saat melihat wajah Rio tampak terpancing kembali karena kalimat wanita itu.

Rio tertegun menatap Pak Aji. Akhirnya ia pasrah dan kembali mengalihkan pandangannya kearah jalanan yang sedang mereka lalui.

Beberapa menit mereka melalui perjalanan dalam diam. Tiba-tiba Rio mengeluarkan laptop dari tas punggungnya dan menyalakannya.

“Apa yang kau lakukan?”
Pak Aji melirik kearah Rio.

“Maaf. Aku butuh sesuatu untuk menenangkan diriku.”

Pak Aji kembali berkonsentrasi dengan stirnya.

Sesaat kemudian Rio sudah berkutat dengan laptopnya. Ia mengetik sesuatu. Ia membaca kembali apa yang baru saja ditulisnya. Jari telunjuknya mengambang di atas tombol enter. Rio melirik Pak Aji dan Anita dengan sudut matanya. Ia menarik nafas dalam. Dengan pasti ia menekan Enter. Dan setelah itu segera menutup laptopnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

Anita merasakan getar yang berasal dari ponselnya. Bergegas ia menariknya dari saku bajunya. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan kaget. Sebuah pesan dari……..Rio?

Aku tau penghianatnya.
Nanti akn kujelaskan alasannya.
Ikuti kemanapun dia prgi nnti.
Tampknya dia akn sgera melancarkan aksinya.
Aku tdk bs mnunggu lg.
Maya & dia pst sdh mrencanakn ssuatu.
Aku akn mnuliskannya disini.
Tp jgn mnimbulkn kcurigaan.
Aji adalah mata-mata.
2 org ini benar2 brsekongkol.

Forward ke pak Joni
Anita menatap Rio yang duduk mengamati jalanan di jok depan.

------------

Maya menyuruh mereka menuju sebuah bangunan tua. Dari papan nama besar yang ada disana dapat diketahui bahwa tempat itu adalah bekas pabrik garmen yang sudah tidak terpakai lagi.

Mereka semua bergegas turun dari mobil. Anita memborgol tangan Maya dan memeganginya erat-erat.

Pak Aji mengamati bangunan yang ada di depannya. Mobil mereka tidak bisa masuk lebih jauh karena jalannya sangat kecil untuk masuk kesana.
“Hm, tempat yang cukup terpencil.”

“Kami menyembunyikan virus, jadi sudah sewajarnya. Dari sini kita jalan kaki.”

Pak Aji yang berada paling depan segera mulai melangkah mendekati pabrik tersebut. Di belakangnya menyusul Bu Maya dan Anita yang memeganginya dari belakang. Rio berjalan tak jauh dari Anita.

“Yang kau katakan tadi, apakah kau yakin?”
Anita berbisik pelan pada Rio.

“Ya. Aku belum bisa mengatakan alasannya sekarang tapi aku yakin.”

Pak Aji merasakan getar di ponselnya. Masih sambil melanjutkan perjalanan ia menatap layar ponselnya. Seulas senyum tergurat di wajahnya.

Mereka berhenti di gerbang masuk pabrik tersebut.
“Baiklah. Aku akan melihat-lihat. Kalian tunggu disini.”
Pak Aji bersiap melangkah masuk.

“Apa tidak apa-apa? Jika laki-laki ini adalah penghianat, dia pasti akan memanggil teman-temannya di dalam.”
Perkataan Bu Maya sontak membuat suasana menjadi memanas.

“Anita, jangan pedulikan dia. Atau kau mau menge cek ke dalam?”

“Dan jika perempuan inilah penjahat yang sebenarnya?”
Kalimat Bu Maya kembali membuat mereka saling berpandangan.

“Jadi sekarang kau ingin mengadu domba kami? Mengatakan bahwa salah satu di antara kami adalah penghianat. Dengan begitu kami tidak bisa segera bertindak untuk menangkap kalian. Begitu kan?”

“Pak Aji, kalimat anda sepertinya sangat-sangat tepat.”
Anita menatap Pak Aji tajam.

“Apa maksud pilihan katamu itu? Maksudmu aku tau rencana mereka?”

Anita segera memalingkan wajahnya dari tatapan Pak Aji.

“Bagaimana kalau kita berdua pergi ke dalam. Aku akan memborgolnya di pagar ini. Rio kau tetap disini menjaganya.  Bagaimana?”

Rio dan Pak Aji mengangguk pelan mendengar saran Anita. Anita menarik Bu Maya merapat ke pagar dan memborgolnya pada besi besar pagar itu.

“Ayo!”
Pak Aji mendahului melangkah menuju pabrik, disusul Anita di belakangnya.

Anita menatap lekat-lekat laki-laki di depannya itu. Tangan kanannya perlahan meraba pistol yang ia letakkan di pinggangnya.

“Buang senjatamu Anita!”
Tiba-tiba Pak Aji berbalik dan mengarahkan pistolnya pada Anita. Sayangnya Anita belum sempat mengeluarkan pistol yang ada di pinggangnya. Rio kaget melihat apa yang sedang terjadi. Jantungnya mulai kembali berdetak kencang. Bu Maya melihat mereka dengan senyum bangga karena merasa sepertinya rencananya untuk mengadu domba sudah benar-benar berhasil.

Pak Aji terus mengarahkan pistolnya pada Anita. Akhirnya Anita pun mengeluarkan pistol itu dari ikat pinggangnya dan bersiap untuk membuangnya. Namun Rio terkejut saat tiba-tiba Anita ternyata melemparkan pistol tersebut tepat ke hadapannya.

“Rio arahkan pada mata-mata!”

Rio tercengang menatap pistol di dekat kakinya. Tangannya mulai gemetar. Ia tak mungkin menunggu lebih lama lagi. Akhirnya dengan segenap keberaniannya, untuk pertama kali dalam hidupnya dia pun mengambil pistol itu.

“Apa yang kau lakukan? Arahkan pada Pak Aji!”
Anita melotot menatap Rio saat melihat Rio justru mengarahkan pistol itu kepadanya.

“Aku mengarahkannya pada mata-mata.”

Anita tercengang mendengar penuturan Rio.
“Apa maksudmu? Bukankah kau mengatakan Pak Aji lah mata-matanya?”

Rio mencoba bicara di tengah gemetar tangannya memegang pistol yang masih terarah pada Anita.
“Pesan yang ku kirim padamu tadi. Jika Pak Joni membacanya secara vertikal dia akan mengerti bahwa kaulah penghianatnya. Dia pasti merasa aneh karena aku tidak mengirimkan pesan itu langsung padanya padahal aku bisa mengirimkan pesan itu padamu.”

“Apa buktinya jika aku adalah mata-mata?”

“Aku menyadarinya saat kita melintasi terowongan tadi. Orang pertama yang mengatakan mobil biru adalah Anda kan? Tapi, di dalam terowongan dengan lampu natrium kita tidak mungkin mengetahui warna mobil. Seperti apapun aku berusaha melihat mobil itu, tetap saja tidak bisa menentukan warnanya. Karena kau bersekongkol dengan mereka dari awal, kau mendengar bahwa mereka akan mengirim mobil biru kan? Karena itulah kau spontan mengatakan warna mobil itu walaupun sebenarnya kau sendiri belum melihatnya.”

Anita tak percaya Rio bisa menyadari hal itu.
“Hanya karena itu?”

“Kau salah jika meremehkan anak ingusan ini. Ahh, aku sendiri baru sadar saat Joni mengirimkan pesan padaku.”

“Kau….”

“Sudah cukup. Aku akan menghubungi markas. Jelaskan saja semuanya nanti disana.”

“Pak aji!!”
Belum sempat ia mengetahui maksud teriakan Rio,Pak Aji yang hendak mengambil ponsel dari sakunya sontak jauh tersungkur saat kepala bagian belakangnya dipukul dengan kayu besar oleh Bu Maya. Anita yang melihat Pak Aji lengah segera meraih pistolnya dan mengarahkannya pada Pak Aji. Sekarang Pak Ajilah yang terpojok. Sementara Rio terbelalak melihat satu-satunya orang yang ada di pihaknya sekarang juga terpojok. Sebisa mungkin ia tetap mengarahkan pistolnya pada Anita.

“Kalian bahkan tidak tau kan kalau borgol ini sengaja ia pasang terbuka?”
Bu Maya tersenyum menatap Pak Aji dan Rio bergantian.

“Tembak Anita! Tembak!!”

Rio merasakan tangannya semakin gemetar mendengar perintah Pak Aji. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia memegang pistol sungguhan, dan sekarang ia diperintahkan untuk menembak seseorang. Dada Rio terasa sesak karena rasa takut yang teramat sangat.

DORRR!!!!

Rio terbelalak melihat Pak Aji jatuh tersungkur bersimbah darah. Belum sempat dirinya melaksanakan perintah Pak Aji, ternyata Anita sudah terlebih dulu melumpuhkan Pak Aji. Sekarang Rio semakin gemetar karena Anita mengarahkan pistol padanya. Perlahan Rio bergerak mundur. Sekali lagi nyawanya berada di ujung tanduk.

1 komentar: