Selasa, 20 September 2011

We Were There (CHAPTER 11)


Mereka berempatpun sontak saling berpandangan saat telinga mereka masing-masing menangkap suara langkah kaki seseorang yang terdengar berjalan pelan mendekati tempat mereka berada sekarang.

Suara itu mendekat dari arah belakang mereka. Perlahan mereka pun membalikkan badan. Sosok itu berjalan pelan dari arah pintu masuk dan semakin mendekat pada mereka. Sementara itu mereka terpojok di lorong itu karena laki-laki itu semakin mendekat dari arah jalan keluar. Di belakang mereka hanya ada tangga menuju lantai dua.

“Lari!!”
Sontak Ify berteriak saat matanya bisa menangkap dengan jelas bayangan orang itu. Laki-laki berambut gondrong berjubah hitam memegang senapan laras panjang di tangan kanannya. Ify mengenali laki-laki itu. Dia adalah orang yang pernah menculiknya. Sebuah tato kupu-kupu merah terpampang di punggung tangan kanannya.

Rio, Alvin dan Shilla berlari mengikuti Ify yang naik ke lantai dua. Secepat mungkin mereka menjauhi sosok yang memandang tajam itu sebelum ia berniat menembakkan senapannya.

Mereka terus berlari melewati sebuah lorong di sebelah kanan tangga.

Mereka bersembunyi di balik dinding yang berada di ujung lorong. Buru-buru Shilla mengambil ponselnya dan secepat mungkin menghubungi nomor darurat polisi.

“Eh? Kenapa tidak ada sinyal?”

“Apa?”
Alvin, Rio dan Ify pun ikut melihat ponsel masing-masing dan ternyata memang benar tidak ada sinyal sama sekali.

“Mereka mungkin memasang instalasi yang merusak gelombang EM ponsel.”

Tampak raut kepanikan semakin jelas tergambar di wajah mereka begitu mendengar kalimat Rio.

“Benar kata Rio. Jika teroris itu sudah merencanakan untuk menyerang tempat ini pastilah mereka terlebih dahulu memutus hubungan dengan pihak luar.”
Alvin menimpali.

“Apa yang harus kita lakukan?”
Shilla menggenggam tangannya yang mulai gemetar.

“Kalian pergilah…….. Aku tidak bisa melibatkan kalian ke dalam ini semua.”

Shilla yang berdiri di belakangnya sontak mengalihkan pandangan pada Rio yang masih sibuk mengawasi lorong yang menuju tempat mereka sekarang.

Plakk!!!
Shilla memukul kepala bagian belakang Rio cukup keras.

“Aww!!”

“Bodoh! Bisa-bisanya kau berkata seperti itu.”

“Ssssttt!”

Shilla yang memelototi Rio sontak memanyunkan bibir saat Alvin menyuruh mereka diam.

“Sepertinya antivirus itu memang disini. Teroris itu benar-benar sudah menyerang gedung ini.”
Alvin, Rio dan Shilla menoleh pada Ify yang terburu-buru membuka tasnya dan mengeluarkan laptop Rio yang masih ada padanya kemudian bergegas menyalakannya.

“Apa yang kau lakukan?”
Rio mendekat pada Ify.

“Sudah kuduga. Wireless LAN gedung ini masih berfungsi. Aku akan menghubungi THIRD-i.”

Mereka bertiga mengangguk mengiyakan ide Ify. Ify pun bergegas mengirim email karena hanya melalui itulah dia bisa mengirim pesan karena koneksi wireless LAN tidak cukup kuat untuk menghubungkan dengan mereka melalui hijack jaringan wireless phone.

“Aku sudah mengirim pesan pada THIRD-i. Sekarang yang terpenting kita harus bersembunyi agar laki-laki itu tidak menemukan kita. Atau kalau bisa kita harus segera keluar dari sini sampai THIRD-I datang.”

“Tapi THIRD-I butuh waktu untuk sampai disini. Bagaimana jika teroris itu terlebih dulu menangkap kita?”

“Lihat!”
Rio, Ify dan Shilla menengok karena Alvin tiba-tiba berteriak dari arah belakang mereka.

“Apakah itu bisa berguna?”
Alvin menunjuk sebuah ruangan di depannya. Belasan komputer berjajar rapi di sana. Tampaknya itu adalah ruang kontrol kamera security.

“Kak…”
Ify sontak tersenyum pada Rio yang juga tampak senang melihatnya.

Bergegas mereka masuk kesana sementara Alvin dan Shilla masih waspada mengamati lorong di sekitar mereka kalau-kalau teroris itu datang.

“Ify, Coba kau masuk ke dalam control camera CCTV. Jika kita bisa menguasainya kita bisa memonitor gerak musuh dengan mudah.”

Ify mengangguk cepat lalu kemudian bergegas melakukan seperti apa yang dikatakan Rio.

Tiba-tiba jari Ify berhenti mengetik di atas keyboard. Dia menatap layar laptopnya terkejut.
“Seseorang sudah menghack ke dalam system.”

“Apa maksudnya?”
Shilla ikut melihat kearah laptop Ify walaupun dia tidak mengerti arti barisan huruf yang tertulis disana.

“Sepertinya teroris itu sudah terlebih dahulu meng hack building control gedung ini. Kalau begitu kau harus membuat firewall terlebih dulu melalui low security network printer agar dia tidak bisa menguasainya lagi.”
Ify tak segera melakukan apa yang Rio minta. Ia menatap nanar layar laptopnya. Ify menggigit bibirnya pelan.

“Aku…… membuat firewall pada akses yang sedang dioperasikan tidak mudah. Dia pasti juga akan membuat firewall pada akses yang menghalanginya. Jika dia berhasil, maka seluruh aksesku akan berakhir sampai disini dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Untuk beradu langsung seperti itu…..aku….”
Rio bisa menatap ekspresi keraguan di wajah Ify. Dia pun menatap wajah adik kelasnya itu. Seulas senyum tersungging dari bibirnya.
“Kalau begitu biar aku saja yang melakukannya. Tidak apa-apa kan?”

Ify mengangguk. Rio mengambil alih laptop yang ada di tangan Ify.
“Tapi Kak….”

Rio kembali menatap Ify yang tampak masih memandangnya ragu.
“Tenang saja. Aku berbakat dalam hal seperti ini. Kau tidak perlu meragukan kecepatan jariku.”

Ify melongo melihat ekspresi PD kakak kelasnya itu. Akhirnya dia hanya pasrah dan melihat apakah benar yang dikatakan Rio barusan bahwa dia bisa bersaing dengan sesama hacker, mana yang bisa lebih dulu menyelesaikan firewall yang bahkan Ify sendiri tak bisa melakukannya.

Rio memulai aksinya. Gerak jarinya mengetik command dengan cepat di atas keyboard ternyata benar-benar membuat Ify tercengang. Itu mungkin dua kali lebih cepat dari kecepatan mengetik Ify saat terburu-buru sekalipun. Shilla hanya bisa melihat barisan-barisan huruf itu timbul dan tenggelam seolah sedang bersaing dengan sesuatu yang mencoba menghapusnya. Beberapa detik mereka dibuat tercengang dengan teknik mengetik Rio dan pada detik ke 34 Rio menghentikan tarian jemarinya.

“Capture complete.”
Rio tersenyum puas.

Ify melongo memandangi layar laptop Rio yang sekarang sudah berhasil masuk ke building control.
“Hacker gila….”
Ify menggumam pelan.

“Sekarang aku akan masuk ke dalam system pengamanan gedung ini. Dengan begitu kita bisa menguasai seluruh kamera CCTV yang terpasang di seluruh gedung dan kita bisa tau kemana saja laki-laki itu berada.”

Sontak seluruh komputer disana mati. Dan tak lama kemudian menyala kembali dengan layar hitam pekat dan muncullah lambang burung Falcon merah di seluruh komputer yang ada disana.

>falcon# camera_hijack.pl register 172.16.25.25
Setting up camera as 172.16.25.25
Setup request from control server (172.16.0.2).
Setup request(dup!) from control server (172.16.25.20).
Falcon# telnet 172.16.25.20

“Ketemu!”
 Layar laptop Rio memampangkan penampakan seluruh lorong di gedung itu. Salah satunya adalah lorong yang ada di depan ruangan itu. Dan di kolom lain menunjukkan laki-laki tadi berjalan menyusuri sebuah lorong.

“Dimana itu? Apakah dia sedang berjalan kearah sini?”
Walaupun mereka bisa melihat laki-laki itu tapi mereka tidak tau itu ada di lorong sebelah mana.

Connecting to 172.16.0.2. port 389… Closed
Connecting to 172.16.0.2. port 8009… Closed
Connecting to 172.16.0.2. port 6101… Closed
Connecting to 172.16.0.2. port 6186… Closed
Connecting to 172.16.0.2. port 0000… Closed
Found:
           22: Open. SSH-1.5-CUSTOM.1
           445: Open. Samba 3.0.29
           4444: Open. Backdoor?

Muncullah building map gedung itu.  Rio menunjuk sebuah ruangan yang merupakan posisi laki-laki itu dan ruangan di bagian lain gedung yang menunjukkan posisi mereka.
“Dia masih berada di lorong ini, dan kita disini.”
Rio pun segera berdiri dan mulai berjalan.
”Lewat sini.”

Ify, Alvin dan Shilla mengikuti di belakangnya.

-------------

“Tunggu!”
Ucapan Rio sontak menghentikan mereka yang sudah hampir sampai di pintu menuju tangga alternatif yang menghubungkan ke lantai dasar.
“Lihat!”

Mereka bertiga bergegas mendekat pada Rio dan melihat gambar yang terpampang di layar laptopnya. Tampak seorang lelaki sedang mencari sesuatu di antara tumpukan rak bahan kimia di salah satu ruangan. Tak jauh di belakangnya tampak seorang wanita mengawasinyaa dengan pistol tergenggam di tangan.

“Itu pak Bagus. Dan Bu Maya?”
Rio yakin laki-laki yang dilihatnya itu adalah Pak Bagus. Ia sudah melihat biodata professor itu di kantor THIRD-i.

“Bu Maya pasti menyuruhnya mencari antivirus itu.”

Rio sontak menoleh pada Alvin.
“Kau mungkin benar. Kalau begitu kita juga harus memberi tahu THIRD-I agar setelah mereka sampai mereka juga harus membawa Pak Bagus. Dengan begitu antivirusnya bisa digunakan untuk menyelamatkan tunangan Pak Joni.”

Rio bergegas mengirim pesan pada THIRD-i. Setelah selesai ia segera mengembalikan fokus pada CCTV yang sedang ia kuasai.

“Ayo, Lewat sini.”
Rio memimpin memasuki pintu menuju tangga alternatif yang ada di depan mereka. Dengan mudah mereka bisa turun ke bawah tanpa bertemu dengan laki-laki gondrong yang masih berada di lantai dua. Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai di lantai dasar. Bergegas Rio membuka pintu keluar dari tangga alternatif. Baru saja ia hendak keluar dari sana, namun sontak langkahnya terhenti saat sebuah pistol tiba-tiba teracung padanya tepat saat pintu itu sudah terbuka. Rio terbelalak menatap orang di depannya.

“Pak Aji?”
Rio menghela nafas lega karena orang di depannya ternyata adalah Pak Aji dan rombongannya.

“Bu Maya dan Pak Bagus ada di lantai 3. Laki-laki gondrong itu ada di lantai dua.”

“Kalian berdua tunggu disini. Zaky jaga mereka. Aku dan yang lain akan menyelamatkan Pak Bagus. Setelah dia turun cepat bawa mereka semua ke mobil sementara aku dan yang lain akan menghadang teroris itu.

“Baik.”

Pak Aji pun bergegas naik ke lantai atas. Tak beberapa lama kemudian terdengar suara baku tembak dari lantai atas. Dan beberapa menit kemudian terlihat Pak Bagus berlari ketakutan menuruni tangga utama.

“Pak Bagus!”
Pandangan Pak Bagus langsung tertuju pada Rio.

“Kamu? Anaknya Tantowi?”

“Ayo kita keluar.”
Tanpa mempedulikan tatapan kaget Pak Bagus, Rio segera mendahului berlari menyusuri lorong menuju pintu keluar.

Namun saat mereka tinggal satu belokan lagi menuju pintu keluar gedung sontak langkah Rio berhenti ketika tiba-tiba seseorang berjalan mendekati mereka dari arah pintu keluar sembari mengacungkan pistolnya.

“Ayah?”

“Tantowi?”
Pak Bagus ikut tercengang melihat sahabatnya itu berdiri menghadang di depan mereka.

“Bagus, aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja.”
Pistol di tangan Pak Tantowi sekarang terarah pada Pak Bagus.

“Katakan padaku dimana lokasi anti virus itu sebenarnya.”

Pak Bagus masih terdiam. Pandangannya beradu dengan tatapan tajam Pak Tantowi.

“Apa yang ayah lakukan? Hentikan Yah!”
Rio hendak maju mendekati ayahnya namun sontak semua orang dibuat terkejut saat Pak Tantowi justru mengarahkan pistol pada putranya itu.

“Jangan ikut campur. Apa kau pikir aku tidak akan menembak?”

Ify menutup mulutnya dengan telapak tangan karena terkejut melihat peristiwa di depannya. Ia tak bisa membayangkan perasaan kakak kelasnya itu saat diacungi pistol oleh ayahnya sendiri.

“Ayah, apakah kau benar-benar…menghianati kami?

“Jangan terlibat dalam hal ini lagi Rio. Lupakan tentangku.”
Ayah dan anak itu saling bertatapan sekarang. Pak Tantowi tak sedikitpun menyurutkan acungan pistolnya dari kepala Rio.

Pak Tantowi menoleh kaget saat ia mendengar derap langkah kaki dari arah tangga. Ia melihat bayangan rombongan Pak Aji yang bergegas menuruni tangga dengan masih sibuk berbaku tembak dengan teroris yang juga meluncurkan tembakan deras kearah mereka. Teroris itu berhasil memukul mundur Pak Aji dan berlari keluar melalui pintu samping. Bergegas Pak Tantowi berlari meninggalkan tempat itu melalui pintu samping mengikuti para teroris yang juga keluar melalui jalan itu.

“AYAH!!!!”
Rio berlari mengejar ayahnya yang keluar melalui pintu samping.

“Rio!!!”
Pak Aji bergegas menyusul Rio.

Rio terus berlari mengejar ayahnya yang sudah memasuki sebuah mobil hitam yang siap berjalan.

“AYAH!!!!”
Rio terus berlari, namun sekuat apapun ia berusaha, langkahnya tetap tak mampu mengejar mobil yang sudah jauh meninggalkannya itu. Rio jatuh berlutut di jalanan yang sudah lengang itu. Ia tertunduk menangisi kejadian yang baru saja dia alami.

.
.
.
.
.


Pak Aji menarik lengan Rio yang masih tertunduk lemas dan menuntunnya menuju mobil THIRD-i. Shilla, Ify dan Alvin memandangi Rio yang tampak begitu terpukul.

“Lain kali jangan coba-coba bertindak sendiri.”

Rio tak menghiraukan perkataan Pak Aji. Di otaknya masih berseliweran bayangan wajah ayahnya yang mengarahkan pistol padanya. Juga semua fakta yang tak bisa ia percaya bahwa ayahnya ternyata benar-benar bergabung dengan teroris itu.

Pak Aji segera mengangkat ponsel yang bergetar di saku bajunya masih sambil dengan menuntun Rio menuju mobil. Ia tampak mendengar dengan serius orang yang berbicara dengannya dari seberang. Tiba-tiba Pak Aji menghentikan langkahnya sebelum sampai di mobil. Tampak jelas ekspresi tidak mengenakkan dari wajah laki-laki itu saaat memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

Rio mengangkat wajahnya dan menatap Pak Aji penasaran.

“Kita terlambat. Ayu sudah meninggal.”

Rio tercengang mendengar penuturan Pak Aji. Ia mengepalkan tangannya kuat. Satu lagi korban atas kekejaman teroris itu. Dan juga kekejaman ayahnya yang mungkin memang salah satu dari mereka.

--------------

19:24 pm

“Apakah Rio akan baik-baik saja?”

Alvin,  dan Ify yang semula berjalan dengan wajah tertundukpun mengalihkan pandangan pada Shilla yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.

“Dia pasti baik-baik saja.”
Alvin berjalan mendekat pada Shilla yang tampak begitu khawatir.

“Tapi…”
Sekarang Ifypun ikut tak tenang memikirkan kakak kelasnya itu.

Alvin memandang dua teman perempuannya itu bergantian.
 “Saat ibunya meninggal, dan saat ayahnya memukulnya karena ketahuan hacking, dia bisa mengatasinya. Kali ini pun, Rio pasti bisa bertahan.”

Shilla dan Ify hanya bisa menghela nafas pasrah setelah mendengar Alvin yang mencoba meyakinkan mereka.  Mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah Alvin. Malam ini mereka merencanakan untuk menginap disana.

Alvin, Shilla dan Ify terkejut saat sampai di rumah Alvin ternyata sudah ada Gabriel dan Zahra.

“Kalian?”

“Eh, Kalian. Ify?”
Zahra dan Gabriel pun kaget melihat kedatangan mereka. Ify ikut bingung menerima pandangan heran dari Gabriel dan Zahra.

Alvin dan Shilla sontak bersamaan menepuk jidat.
“Oiya….”

Mereka baru ingat kalau malam ini mereka janjian akan mengerjakan Artikel tutup tahun untuk Koran terbitan terakhir di masa kepengurusan mereka. Memang seharusnya sekarang mereka berkumpul di rumah Alvin. Dan kebetulan sekali Gabriel dan Zahra baru datang saat mereka sudah kembali.

Akhirnya mereka memutuskan bahwa hari ini mereka berlima akan menginap di rumah Alvin sekaligus menyelesaikan artikel tutup tahun pengurus klub Koran sekolah. Ify pun turut membantu walaupun dia tidak termasuk pengurus yang akan tinggal jabatan.

-----------------

THIRD-i
Friday, 9 July 2011 19:59

Pak Bagus sejenak mengambil nafas sebelum menjawab pertanyaan ketiga dari Pak Joni di ruang interogasi malam itu.
“Sepertinya mereka benar-benar berfikir bahwa aku punya antivirus. Karena itulah mereka menculikku untuk mendapatkannya. Aku mengatakan pada mereka bahwa antivirus itu tersembunyi di laboratorium science itu. itu bohong. Aku hanya berpura-pura mencarinya, sebenarnya aku berniat melarikan diri, tapi ternyata kalian sudah datang terlebih dulu menyelamatkanku. Benar-benar melegakan.”

Pak Joni tidak merespon jawaban Pak Bagus. Pandangannya kosong menatap meja di depannya.

“Kenapa? Apa kau sudah selesai bertanya?”

Pak Joni mengangkat wajahnya dan langsung mengarahkan pandangan tajam pada laki-laki yang sedang diinterogasinya.
“Tidak. Aku hanya merasa aneh. Kenapa teroris itu mengira kau punya antivirus? Teroris ini tidak cukup bodoh untuk berfikir bahwa sesuatu itu ada padahal sebenarnya tidak. Jangan mencoba untuk berbohong Pak Bagus. Apa anda pikir kami tidak tau…..bahwa suster yang terinfeksi Bloody-x di laboratorium anda itu sampai sekarang kondisinya tetap stabil tanpa menunjukkan progress memburuk? Anda menyuntikkan cairan pada suster itu kan? Anda mengatakan bahwa itu hanya painkiller….”

Pak Joni mendekatkan wajahnya ke hadapan Pak Bagus yang langsung memalingkan pandangannya kearah lain.
“Itu antivirus kan? Dimana anda menyembunyikannya?”

Pak Bagus tetap kukuh dalam diam. Pak Joni masih bersabar menunggu.

Namun, melihat Pak Bagus tetap bersikeras tak mau mengatakan apapun, akhirnya Pak Joni melangkah keluar dari ruangan itu dan meninggalkan Pak Bagus sendiri. Tak berapa lama kemudian ia kembali dengan membawa beberapa lembar kertas dalam sebuah map.
“Sampai kapan anda akan berbohong?”

Pak Joni menyodorkan map di tangannya ke hadapan Pak Bagus.
“Ada beberapa fakta mengejutkan yang membuat kami sangat-sangat mencurigaimu.”

“Satu…”
Pak Joni membuka map itu dan memampangkan lembar pertama kertas yang ada disana.
“Kami mendapat laporan bahwa anda memang pernah melakukan penelitian untuk menemukan antivirus untuk Bloody-x. Namun, beberapa saat kemudian, tanpa mempedulikan progress dari penelitian yang anda lakukan, Menteri Kesehatan memberikan perintah agar anda menghentikan penelitian itu karena dianggap sudah tidak diperlukan lagi.”

“Dua…”
Pak Joni membuka lembar kedua.
 “Kami sudah melihat daftar asisten anda selama 2 tahun belakangan, dan kami sudah mengkonfirmasi pada mereka semua. Dan hasilnya, kami menemukan wanita ini.”

Pak Joni menunjuk foto seorang wanita yang ada di lembar tersebut.
“Hesti Daniarti. Sekarang bekerja di Metropolitan Infectious Disease Research Institute. Dia adalah salah satu asisten anda yang kebetulan membantu dalam penelitian antivirus itu. Dia mengatakan bahwa eksperimen anda untuk menemukan antivirus untuk Bloody-x itu……… sukses.”

“Dan tiga…”
Pak Joni kembali membalik lembaran kertas itu.
“Kami mendapat data dari mata-mata kami di Rusia. Beberapa bulan lalu, melalui Russian Underground ada seorang scientist Indonesia meminta sampel Bloody-x untuk diteliti. Mungkinkah….. orang yang memberi virus itu pada teroris adalah orang yang sama?”

Pak Aji mendekat ke samping Pak Bagus yang masih tercengang menatap lembaran kertas di mejanya.
“Pak Bagus, itu anda kan?”

Pak Bagus menatap tak percaya kertas yang terpampang di hadapannya.

“Kalau saya boleh menebak. Anda berniat menyebarkan virus tersebut untuk membuktikan bahwa manusia bisa terserang BLoody-x kapanpun, dengan begitu anda bisa membuktikan bahwa antivirus yang anda temukan bukanlah sesuatu yang sia-sia. Anda…..terfikir rencana itu setelah seluruh kerja keras anda demi menemukan antivirus tiba-tiba dianggap sia-sia oleh Menteri Kesehatan kan?”

Pak Joni duduk di kursi yang berada di depan Pak Bagus dan memandang tajam laki-laki itu.
 “Anda….benar-benar memiliki antivirus itu kan?”

Mendengar semua penjelasan Pak Joni, Pak Bagus justru tertawa sehingga membuat Pak Joni semakin mempererat kepalan tangannya melihat laki-laki itu begitu meremehkannya. Sekarang Pak Bagus justru bertepuk tangan masih dengan tawa tertahan.
“Kalian benar-benar hebat. Tak satupun dari kalimatmu tadi salah. Hebat…hebat….”

Pak Bagus sontak menghentikan tawanya. Ia memajukan badannya dan membalas tatapan tajam Pak Joni.
“Ya, aku punya antivirusnya.”

“Apa yang kau inginkan sehingga mau memberikannya pada kami?”

“Aku punya tiga syarat.”
Pak Bagus menjawab cepat. Ia menyandarkan badannya ke kursi dengan santai.

“Satu, fakta bahwa akulah yang memberikan virus itu pada teroris harus diabaikan. Dua, kau harus menjamin keselamatanku. Pasti semua rencana kalian untuk mendapatkan antivirus itu akan gagal kan kalau aku mati. Tiga,  uang. aku tidak mungkin memberikannya secara gratis.”

Pak Joni menatap penuh amarah pada Pak Bagus yang sekarang kembali tertawa.

“Oh iya, Pak Joni, aku ikut sedih atas apa yang terjadi pada tunanganmu. Tapi kau seharusnya bangga, dia mati sebagai salah satu pahlawan yang mengorbankan nyawanya demi keselamatan umat manusia.”

Pak joni mengepalkan tangannya mendengar kalimat terakhir Pak Bagus yang seolah diucapkan tanpa beban.

----------------

Semua pegawai THIRD-I yang ada di ruang utama masih tertegun menatap layar yang terpajang di dinding kantor mereka itu, termasuk Rio. Dari sana mereka bisa melihat apa saja yang sudah terjadi di ruang interogasi. Semua tidak menyangka bahwa Professor yang mereka harapkan bisa menjadi penyelamat ternyata justru adalah salah satu penghianat terbesar Negara ini.

Kesunyian di ruang itu sontak terusik oleh suara pintu ruang interogasi yang terbuka. Pak Joni keluar dari sana. Di belakangnya beberapa petugas interogasi menuntun Pak Bagus. Petugas THIRD-I itu menuntun Pak Bagus untuk menuju mobil yang akan membawanya pulang ke rumah. THIRD-I akan memberi keputusan atas tiga syarat yang diajukan Pak Bagus besok.

“tunggu!”
Rio yang sedang duduk di ruangan itu tiba-tiba berdiri dan berjalan kearah Pak Bagus.Kedua anggota THIRD-I yang menuntun Pak Bagus pun ikut menghentikan langkah saat Pak Bagus berhenti dan menatap Rio.

“Apa yang kau lakukan? Kau menyebut ayahku penghianat, tapi ternyata kau sendiripun juga penghianat!”

 “Aku berbeda dari Tantowi. Aku scientist. Menghentikan Bloody-x adalah misiku. Untuk itulah aku harus menyebarnya ke seluruh dunia agar mereka tau betapa berharganya antivirus. Science will save humanity.”

“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!!!!”
Tiba-tiba Rio bergerak maju dan meremas kerah baju Pak Bagus. Bu Mia yang ada di dekatnya pun segera menarik mundur Rio yang sudah begitu emosi.

“Aku pikir aku bisa mempercayakan semua yang kumiliki pada Tantowi karena dia adalah sahabatku. Tapi sepertinya aku salah. Dia pun bahkan tak ragu-ragu untuk ikut mencelakakanku demi misinya.”
Pak Bagus memalingkan wajahnya dari Rio dan kembali melanjutkan perjalanan keluar dari sana.

Rio yang masih berada dalam kendali Bu Mia hanya bisa memandangi punggung laki-laki itu dengan amarah yang membuncah. Ia memejam kuat-kuat saat ia merasa matanya mulai menghangat menahan air mata yang mulai menyesaki kelopaknya karena semua fakta yang ternyata begitu menyakitkan.

--------------

Mobil yang ditumpangi Pak Bagus terus melaju melewati jalanan malam Jakarta yang masih tampak begitu ramai dengan hiruk pikuk kehidupan warganya. Pak Bagus hanya diam menatap jalanan yang ditempuhnya dengan mobil tersebut bersama 4 orang anggota THIRD-I termasuk Pak Aji yang mengawalnya pulang ke rumah.

Mobil yang mereka tumpangi tiba-tiba berhenti saat melewati sebuah jembatan sepi yang tak jauh lagi menuju rumah Pak Bagus. Seluruh anggota THIRD-I yang ada di mobil tersebut, termasuk juga Pak Aji dibuat kaget saat melihat sebuah mobil menghadang mereka di tengan jalan.

Pak Bagus terbelalak melihat salah satu orang yang turun dari mobil tersebut.

“Maya?”

--------------

Bu Mia menutup buku laporan yang ada di depannya.
“Oke, investigasi selesai. Sekarang aku akan mengantarmu pulang.”
Bu Mia berdiri dan hendak melangkah meninggalkan ruangan itu.

“Aku…kenapa aku terlibat dalam semua ini?”
Kalimat Rio sontak menghentikan langkah Bu Mia. Wanita itu memandang anak laki-laki yang masih tertunduk menatap kosong meja interogasi. Ada sedikit rasa kasihan melihat wajah yang tampak lelah itu.

“Karena kau punya kelebihan.”
Rio mengangkat wajahnya dan menatap Bu Mia yang tersenyum padanya.
“Jika seseorang diberi kelebihan, mereka juga akan dipercaya untuk sebuah misi.”

“Misi?”

Bu Mia mengangguk.
“Misi yang harus diselesaikan.”

Rio masih menatap bingung Bu Maya.

“Ayo cepat! Sudah malam, kau pasti lelah setelah seharian berkutat dengan teroris.”
Bu Mia melangkah keluar dari ruang interogasi disusul oleh Rio yang berjalan dengan dahi berkerut. Ia masih belum sepenuhnya menemukan kerelaan dalam dirinya untuk tetap bertahan terlibat dalam masalah sebesar Ini.

Ia berjalan menuruni tangga untuk menuju pintu keluar. Namun sontak Rio menghentikan langkah saat melewati ruangan Pak Joni. Rio menatap nanar pemandangan yang ia lihat di dalam sana melalui celah kecil dari tirai jendela yang tersingkap.

Pak Joni menggenggam erat kotak yang berisi cincin pertunangannya dengan Ayu. Rio terpaku menatap laki-laki yang selalu tampak tegar dan berwibawa itu menangis tertunduk sembari memeluk erat kotak cincin itu.

Rio berjalan menuju tempat parkir dengan bayangan wajah Pak Joni berlalu lalang dalam ingatannya. Tak hanya itu, Rio teringat tangis Ify saat ia menceritakan tentang temannya, Kiki, yang juga meninggal karena virus itu. Ia juga teringat bayangan Anita yang tergeletak bersimbah darah setelah menembak kepalanya sendiri. Teringat luka yang memenuhi wajah sahabatnya, Alvin. Teringat wajah ketakutan Shilla. Rio seakan memutar slide-slide ingatan pahit yang sudah terekam di otaknya karena ulah teroris itu. Begitu banyak air mata. Begitu banyak kesedihan, begitu banyak yang merasa kehilangan. Rio mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Bu Mia baru bersiap menyalakan mesin mobilnya saat Rio tiba-tiba memecah keheningan yang ada di antara mereka.
“Bu Mia, ijinkan saya untuk menghack komputer Pak Bagus dari sini.”

“Misiku adalah ini.”
Rio mengelus tas di pangkuannya yang berisi laptop.
“Tanpa harus bersepakat dengan orang jahat seperti dia, aku akan menemukan dimana antivirus itu.”

Bu Mia tertegun menatap Rio yang duduk di jok sebelahnya. Ia baru tersadar dari ketertegunannya saat merasakan getaran dari ponsel di dalam sakunya. Bu Mia bergegas menjawab panggilan itu.

Bu Mia menutup ponselnya diiringi helaan nafas. Ia mengalihkan pandangan pada Rio yang masih mengepalkan tangan menatap tas berisi laptop di pangkuannya.
“Kau tidak perlu menghack lagi. Aku ingin kau langsung mengecek komputer Pak Bagus. Dia baru saja terbunuh.”

Rio terbelalak mendengar berita yang disampaikan Bu Mia.

----------------

Bu Hesti duduk menunggu di salah satu meja yang sudah ia janjikan untuk bertemu dengan seseorang. Dan tepat pada jam yang dijanjikan, orang yang ia tunggu pun muncul dan langsung duduk di meja yang sama.

“Maaf, sepertinya anda sudah menunggu lama.”

“Ah tidak.”
Bu Hesti membalas senyum orang yang ada di depannya.

“saya mengenal ibu dari salah satu teman yang kuliah di universitas yang sama dengan saya. Saya sedang menyusun makalah mengenai mathematic for Biochemistry untuk tugas akhir semester saya di jurusan Matematika. Kebetulan sekali teman saya itu mengenal anda dan merekomendasikan anda sebagai pembimbing saya untuk menyusun tugas ini. Dia bilang anda adalah seorang scientist yang hebat. Karena itu….”

Kalimat laki-laki itu sontak terhenti saat ponsel di tas Bu Hesti berbunyi. Dia memberi isyarat untuk mempersilahkan Bu Hesti menjawab panggilannya.

“Halo….iya….THIRD-i? Oh iya….baik. Selamat malam.”
Bu Hesti memasukkan ponselnya dan kembali menatap lawan bicara yang sejenak tadi ia abaikan.

“Apakah ada yang penting?”

“Ah tidak, hanya seseorang yang ingin bertemu.”

Begitu mendengar jawaban Bu Hesti laki-laki itupun bergegas mengambil sesuatu dari dalam sakunya.
“Kalau begitu saya tidak perlu berlama-lama lagi. Ini adalah draft tugas saya. Saya ingin minta tolong ibu untuk melihatnya. Saya sangat mengharapkan sekali kalau Bu Hesti bersedia memberikan kritik dan saran setelah membaca tugas ini.”

Laki-laki itu menyodorkan sebuah flashdisk.

Bu Mia meraih flasdisk tersebut.
“Oh, tentu saja. Saya akan membacanya. Beberapa hari lagi saya akan menghubungi anda lagi.”

“Kalau begitu saya langsung permisi saja. Bu Hesti juga ada urusan penting kan? Terima kasih Bu atas bantuannya.”
Laki-laki itu menjabat tangan Bu Hesti yang langsung disambut dengan senyum oleh wanita itu. Laki-laki itu tampak begitu senang saat meninggalkan mejanya.

Sepeninggal laki-laki itu, Bu Hesti kembali duduk di kursinya. Ia menatap layar ponsel yang baru saja ia gunakan untuk menerima panggilan dari THIRD-i. THIRD-I memintanya untuk datang ke laboratorium Pak Bagus. Bu Hesti menghela nafas dalam.

-------------

22:07 pm

Malam itu juga Bu Mia dan Rio menuju laboratorium Pak Bagus untuk mencari petunjuk dimana letak antivirus yang sebenarnya. Begitu sampai disana ternyata sudah ada Pak Aji, Pak Zaky, dan Bu Hesti, mantan asisten Pak Bagus.

“Cepat lihat ini. Mungkin ada petunjuk dari sana.”
Pak Aji menunjuk sebuah komputer yang ada di ruangan itu.

Rio menancapkan flashdisknya dan seperti biasa komputer itu akan terinfiltrasi dan muncullah lambang burung falcon yang akan menjadi pertanda bahwa Rio bersiap memulai memasuki otak komputer itu.

“File-file yang ada disana dilindungi password dan tidak mungkin untuk dimasuki.”
Pak Zaky yang sudah mencoba membuka file directory computer itu pun ikut mengamati gerak Rio.

Rio mengamati file directory yang sudah ia infiltrasi.
“Ini bukan password.”

“Eh?”
Pak Zaky terkejut.

“ini adalah file-file pengecoh yang terlihat seperti dilindungi password. Ini hanyalah salah satu cara agar security berfikir file ini dilindungi dengan ketat.”

Rio melanjutkan gerak jari-jarinya. Dia menekan tombol enter dan sesaat kemudian muncullah ratusan file dengan nama berupa gabungan angka dan huruf.
“Dan file yang aslinya adalah ini”
Rio menunjuk deretan daftar file yang menggunakan kode-kode angka yang rumit.

“Apa itu?”

Bu Hesti mendekatkan wajahnya meneliti deretan huruf yang merupakan daftar nama file.
“Ini….adalah data perkembangan research untuk antivirus itu.”

Mata Rio tertumpu pada salah satu nama file yang tampak aneh. File tersebut memiliki nama yang jauh lebih panjang dari yang lain. Rio menunjuk file tersebut.
“Yang ini tampak berbeda dari yang lain.”

“Mungkinkah itu lokasi antivirusnya?”
Bu Mia turut menimpali.

“Tapi apa maksudnya?”
Kerutan di dahi Pak Aji semakin menjadi setelah melihat gabungan huruf dan angka itu.
Rio mempertajam penglihatannya mengamati tiap huruf yang menyusun nama file tersebut.

“Ini……bukankah ini computer pattern dan serial number?”

Bu Hesti, Bu Mia, Pak Aji dan Pak Zaky bergegas melihat kembali nama file itu.
“Kau benar. Ini adalah nomor eksklusif yang diberikan pada masing-masing komputer. Ini adalah nomor register komputer.”
Pak Zaky mulai mengerti maksud Rio.

“Apa kau bisa menemukan yang mana komputernya?”

Rio mengangguk pasti sebagai jawaban atas pertanyaan Pak Aji. Ia kembali mengetik sesuatu pada keyboardnya.

“Aku akan masuk ke pabrik yang membuatnya.”

Falcon# Code/webscan http://support.h-paso.com/ --skip-xss
Scanning search engines…Found 213 known endpoints.
Crawling *.h-paso.com
Skipping XSS scan.
Scanning for SQL..
Found NUMERIC type injection in http”//support t-db.h-paso.com
/redirect.do?l=3 === /redirect.do?1=4=1
Location: https://intrnal.h-paso.com/login.do

Aku menemukan nama pabriknya. Sekarang aku akan mencari nama pemiliknya.

Use as target? Y
>>> s.out_pat=re.compile(r’Location: (.*)r’)
>>> s.analyze()
Analyzing “1” parameter .. Injection needs 3 columns, 2nd is ini output.CHAR() wrap
Per needed.
Database has information_schema.columns..dumping tables:
Login
Sales
Customer1^CInterrupted.
>>> s.tbl info(“customer”)
Enumerating columns:
‘address’,’serial’,’name’,’user_id’\^CInterrupted.

Layar computer Rio terus menunjukkan scanning terhadap ribuan pembeli dari pabrikan tersebut. Beberapa saat kemudian scanning tersebut berhenti pada sebuah baris yang berisi alamat, nomor seri komputer, nama, dan nomor identitas pemegang komputer.

“Eh?”
Rio tertegun menatap apa yang tertulis disana.

“Pak Tantowi?”
Pak Zaky membaca nama yang tertera disana.

“Alamatnya pun sama.”
Pak Aji menimpali.

Mereka terpaku melihat nama Pak Tantowi tertulis disana.

“Ini….aku ingat. Ini adalah laptop yang merupakan hadiah natal Pak Bagus untuk ayah. Dia mengatakan bahwa laptop kesayangannya ini berisi banyak kenangan mereka berdua. Dan komputer ini ayah berikan padaku karena dia ingin aku yang menyimpannya.”

“Jadi, maksudnya laptopmu itu mengandung petunjuk dimana tempat antivirus itu?”

“Sekarang dimana laptopnya?”

Rio memandang layar computer di depannya.
“Ify…..”

-----------------

Ruang tahanan khusus LP Cipinang itu malam ini mendadak ramai. Beberapa orang polisi memenuhi ruangan itu setelah beberapa jam yang lalu dilaporkan bahwa salah satu penjaga disana yang bernama Sandy telah membunuh rekan kerjanya yang sama-sama bertugas menjaga tahanan khusus itu.

BRAKKK!!!!

Suara gebrakan meja kembali terdengar.

“Cepat mengaku! Bahkan sidik jarimu sudah jelas ada pada pisau yang menusuk tubuh korban!!!!”
Untuk kesekian kalinya polisi itu berteriak tak sabar menghadapi laki-laki keras kepala yang ada di depannya. Semua bukti sudah mengarah pada Sandy namun sejak tadi ia tak juga mau mengatakan sesuatupun.

Tiba-tiba badan Sandy seolah menggigil. Ia bicara dengan nada gemetar yang sangat jelas.
“Jika aku tidak membunuhnya, dia bilang…….. aku yang selanjutnya akan mati……. Dia….dia bukan orang biasa….Dia……”
Pandangan mata Sandy terarah pada tahanan khusus yang sedang berdiri menatapnya dari balik jeruji besi.

“Orang itu? Maksudmu Darma Praja?”
Polisi yang menginterogasi pun ikut melihat pada tahanan khusus bernama Darma itu.

Sandy yang melihat Pak Darma menatapnya tajam pun sontak memalingkan wajahnya. Badannya semakin menggigil hebat.
“Dia…..dia….. bukan orang biasa, dia….”
Laki-laki itu tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Polisi yang menginterogasinya hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Sandy. Polisi itu berdiri dan berjalan mendekati Pak Darma yang masih berdiri menatap mereka. Ia mengamati tahanan itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tahanan itu hanya diam dengan pandangan mata tetap tertuju padanya.

Akhirnya polisi itupun berpaling meninggalkan Pak Darma. Namun, baru saja ia membalikkan badannya membelakangi tahanan itu, tiba-tiba Pak Darma mengucapkan sesuatu.

“Semuanya……akan……dimulai……”

Polisi itu kembali menatap Pak Darma. Sementara itu Sandy pun semakin bergetar menggigil di kursinya mendengar kalimat itu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar