Senin, 12 September 2011

-OOT- Everything for You (Matsumoto Jun Fanfic) LAST PART


Jun berjalan sambil berkali-kali menghembuskan nafas yang terasa cukup menyesakkan dadanya. Ujian tadi cukup membuat jantung seorang Jun berdebar kencang. Dia sungguh-sungguh ingin lulus, akan tetapi soal yang ia hadapi sangat-sangat sulit. Ia hanya berharap yang terbaik.

Jun mempercepat langkahnya saat ia melewati kamar Mao yang pintunya agak sedikit terbuka. Namun, sepertinya Mao cepat menangkap bayangannya.

“Jun!”
Mao yang sedang berkutat di dalam kamar sontak melonjak dan berlari menyusul Jun. Dan kali ini Jun menghentikan langkahnya, dan lebih ajaib lagi dia mau menoleh pada Mao. Walaupun pandangan yang ia lemparkan tetaplah pandangan dingin dan tajam. Tanpa mempedulikan ekspresi kesal Jun, Mao langsung menghambur ke hadapan Jun dan memberondongnya dengan rentetan pertanyaan meledak-ledaknya.

“Gimana tesnya? Lancar? Susah ngga? Waktunya kurang ngga? Kamu bisa ngerjain kan? Gimana Jun, gimana?”
Jun hanya menatap Mao dengan wajah kesal.

“Bisakah kau membiarkanku istirahat sebentar?”
Mao langsung tercekat mendengar kalimat Jun.

“Ah, iya. Hehe, kau pasti lelah. Istirahatlah dulu. Semangat Jun…”
Mao mengacungkan kepalan tangan kirinya. Jun menatap gadis itu dengan alis terangkat. Mao pun bergegas berjalan kembali ke kamarnya, tapi baru beberapa langkah ……….

“Hei…”
Mao sontak menghentikan langkahnya mendengar panggilan Jun. Perlahan ia membalikkan badannya menghadap Jun.

“Apa yang kau sembunyikan?”
Mao menggigit bibirnya pelan. Ternyata akhirnya Jun menyadari juga bahwa sejak tadi ia menyembunyikan tangan kanannya di belakang badannya.

“Apa? Aku tidak menyembunyikan apa-apa.”
Prasangka Mao bahwa Jun akan meninggalkannya begitu saja tanpa mempedulikannya ternyata salah. Kali ini Jun berjalan mendekat pada Mao. Tanpa sadar Mao mundur beberapa langkah. Dengan kasar Jun menarik tangan kanan Mao yang sejak tadi tersembunyi.

Jun menatap tajam Mao begitu melihat apa yang disembunyikan olehnya.
“Kenapa lagi dengannya?”

Mao menundukkan wajahnya tak berani menatap Jun. Perlahan ia mencoba menarik tangannya dari genggaman Jun. Tapi Jun tak mau melepaskan pegangan dari pergelangan tangannya. Jun menatap tangan Mao yang memerah.

“Kenapa kau tidak mengobatinya?”

Mao semakin keras menggigit bibirnya. Ia menahan rasa khawatir sekaligus rasa sakit di telapak tangannya.
“Sawada san, tidak mengijinkanku memakai P3K.”

Air matanya jatuh lagi setelah sesaat tadi ia sudah menghapusnya sebelum menemui Jun. Tangannya terasa begitu perih. Jun menghela nafas mendengar isakan anak perempuan di depannya. Sontak Mao merasa tangannya ditarik. Jun menariknya masuk ke dalam kamar Mao.

“Tunggu disini.”
Jun meninggalkan Mao sendirian dan melangkah keluar. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebaskom air dan lap serta kotak garam. Ia duduk di samping Mao yang terpaku di tepi tempat tidur. Jun menarik telapak tangan Mao.
Mao hanya terdiam menatap Jun membasuhkan air ke tangannya. Setelah itu Jun mencampurkan garam ke dalam air dan kembali membasuhkannya ke tangan Mao yang memerah. Mao mengusap lelehan air matanya dengan tangan kirinya.

“Apa yang terjadi?”

“Sawada san….menyiramkan air panas ke tanganku….”
Mao bicara diselingi isakan lirih. Sedikit terasa sakit saat Jun membasuh tangannya yang memerah tapi belum melepuh.

“Kenapa?”
Mao hanya semakin menunduk mendengar pertanyaan Jun. Lama menunggu Mao tak juga menjawab. Akhirnya Jun pun hanya diam tanpa mengulangi pertanyaannya. Ia hanya terus membasuh tangan Mao dengan air garam.

“Sudah kubilang sejak awal pergi dari sini atau kau akan menyesal. Dia tidak sebaik yang kau kira.”
Mao segera menggeleng mantab.

“Aku tidak menyesal.”
Jun kembali diam seolah tak mengatakan apapun barusan.

“Ibuku bilang jika terkena benda panas, air garam dapat mengurangi panasnya sehingga kulit tidak melepuh. Tapi jangan sampai terkena kulit yang melepuh karena pasti akan terasa perih. Lain kali kalau terjadi lagi basuh saja sendiri karena aku sudah memberitahumu.”

“Hei, kau mendoakan hal seperti ini terjadi lagi?”
Jun hanya diam. Ia masih terus membasuh telapak tangan Mao. Sesaat kemudian mereka tenggelam dalam diam. Mao tak lagi terisak. Rasa sakit di tangannya sudah cukup berkurang.

“Jun… apa kau….sering mengalami seperti ini?”

“Tidak.”
Jun menjawab ketus. Tapi Mao tahu Jun berbohong. Tampak dari raut wajah Jun yang sesaat terkejut.

“Kau bohong kan?”
Jun hanya diam. Mao memandangi wajah lelaki di hadapannya. Masih ada bekas luka yang samar-samar di wajahnya karena insiden dua minggu yang lalu.

“Apakah ada yang mengobati lukamu?”
Jun tetap saja diam.

“Kamu, tidak merasa sakit?”
Jun tak menggubris sama sekali pertanyaan Mao. Ia masih terus sibuk membasuhkan air garam ke tangan teman kerjanya itu.

“Jun….”
Mao memandangi orang yang sangat-sangat disukainya itu. Mereka tenggelam lagi dalam diam. Sesaat kemudian mulai terdengar kembali suara isakan Mao.

“Kamu harus lulus….harus….”
Mao bicara di tengah isakannya.

“Kau ini, luka begini saja menangis.”

Mao justru semakin terisak mendengar penuturan Jun. Jun sepertinya sudah selesai membasuh tangannya. Ia meletakkan tangan Mao ke pangkuannya dan beranjak dari duduknya. Mao memandang punggung Jun yang berjalan meninggalkan kamarnya. Kali ini tinggallah suara isakan Mao yang menemani gadis itu.

-------------

Sudah dua hari ini Jun bersikap aneh. Dia kembali mengacuhkan Mao. Padahal sejak hari dimana tangan Mao disiram air panas kemarin Jun agak sedikit mau berinteraksi dengannya walaupun hanya sekedar kalimat singkat menyuruh ini itu. Tapi sudah dua hari ini Jun kembali menjadi batu es yang menggunung di hadapan Mao. Jangankan bicara, menatap pun tidak.

Kalau masalah diacuhkan mungkin Mao sudah kebal dan terbiasa. Tapi yang membuat Mao penasaran adalah Jun yang sekarang sering melamun, berpandangan kosong, dan kadang karena melamun saat bekerja dia sering melakukan kesalahan-kesalahan kecil. Terkadang Jun terlihat serius memikirkan sesuatu. Beruntung setiap kali ia melakukan kesalahan Sawada san tidak berada di rumah. Kalau tidak, bisa-bisa setiap hari lebam di wajah Jun akan semakin bertambah.

Mao sendiri jadi sering melamun karena memikirkan tingkah Jun itu. Sekarang pun pandangannya kosong menatap piring penuh sabun yang sejak tadi ia tadahkan di bawah kran tanpa ia gerakkan sedikitpun.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Matanya melirik ke sekelilingnya. Kosong. Sawada san sedang menonton TV di ruang depan. Sementara Jun berbelanja bulanan di supermarket dekat rumah. Perlahan-lahan Mao meletakkan piring di tangannya dan mulai berjalan mengendap-endap.

Dengan hati-hati Mao membuka kamar Jun kemudian masuk ke dalamnya. Ia mengamati setiap sudut ruangan kecil itu.

“Aku harus mencari petunjuk. Ah, jangan-jangan dia dapat surat dari keluarganya.”
Mao mulai melangkah ke tempat tidur Jun. Ia menyingkapkan bantal dan selimut yang ada di sana kemudian mengintip ke bawahnya. Tidak ada sesuatupun. Ia pun mengalihkan pencariannya ke kolong tempat tidur. Tidak ada sesuatu pun juga.

“Di mana dia menyembunyikannya""
Pandangan Mao berakhir pada meja berisi buku-buku di pojok kamar. Bergegas Mao mendekat kesana.

“Bukunya banyak sekali. Aku tidak mungkin mencari satu-persatu.”
Mao memandangi buku yang berderet rapi di rak meja itu. Selain itu ada pula buku yang berserakan di atas mejanya.

“Haih Mao, masa kau menyerah sebelum berperang.”
Mao mulai menelusuri buku-buku yang berserakan di meja. Satu persatu buku ia telusuri tapi tak ada secarik kertaspun yang terselip. Hampir 10 menit Mao berkutat mengobrak-abrik meja itu tapi dia tak menemukan apapun.

“Ahhh, tidak ada petunjuk sama sekali.”
Mao menghela nafas memandangi setiap buku di atas meja itu. Akhirnya diapun menyerah dan mulai melangkah keluar. Namun, tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada kalender yang terpajang di dinding dekat pintu kamar tersebut. Mao mendekat mengamati kalender tersebut.

Ada sebuah lingkaran merah besar di tanggal 14 September, dua hari yang lalu. Mao semakin mendekat. Ia menajamkan mata mencoba membaca tulisan kecil di dalam lingkaran tersebut.

“Pe….ngu…mu…man…”
Mao menegakkan badannya.

“Pengumuman?”
Mao tampak berpikir keras dan sesaat kemudian ia terlonjak karena teringat sesuatu.

“PENGUMUMAN!!!!”
Mao berlari kembali ke meja di pojok ruangan Jun. Ia mencari kertas yang ia temukan dulu. Kertas itu masih ada disana, tetapi tinggal pamfletnya saja sementara formulirnya tentu saja pasti sudah diserahkan Jun sebelum tes.
Mao membaca cepat keterangan-keterangan disana. Sesaat kemudian ia menemukannya.

“Pengumuman tes akan diberitahukan tanggal 14 September 2011 sekaligus pengambilan lembar isian siswa baru bagi peserta yang lulus. Peserta yang lulus akan diberangkatkan tanggal 16 September 2011 dengan membawa sekaligus dokumen persyaratan dan perlengkapan yang diperlukan selama study.”
Mao mendelik membaca kalimat terakhirnya.

“Diberangkatkan tanggal…….hari ini?”
Mao membalik-balik kembali halaman-halaman di belakangnya. Dan dia menemukan apa yang dia cari. Lembar isian mahasiswa baru bertuliskan nama Jun sebagi pemiliknya. Jun lulus.

Tanpa pikir panjang Mao membanting kertas itu begitu saja ke atas meja dan berlari keluar dari kamar Jun. Ia berlari menuju pintu depan. Dan secepat yang ia bisa ia memacu langkahnya menyusuri jalanan yang tetap lengang seperti biasanya.
Mao berjalan menyusuri gang-gang di antara barang-barang dagangan yang terpajang di supermarket itu dengan nafas terengah. Ia mempercepat langkahnya. Matanya teliti mengawasi setiap sudut tempat belanjaan.

Mata Mao tertumpu pada sosok Jun yang sedang membungkuk sambil memilih-milih di tempat sayuran hijau. Mao pun segera berlari menuju orang yang ia cari.

“Jun!”
Mao menepuk pundak Jun cukup keras dan membuat Jun menengok kaget. Melihat Mao berdiri agak membungkuk sambil terengah-engah di belakangnya, Jun pun melepas headset di telinganya.

“Apa yang kau lakukan disini?”
Masih dengan nada ketus Jun menatap wajah Mao yang agak memerah setelah berlari cukup jauh.

“Kamu…..”
Mao mencoba menegakkan badannya. Ia menelan ludah dan berusaha mengendalikan nafasnya.

“Kamu lulus atau tidak? Tesnya sudah pengumuman kan?”
Tampak raut kekagetan di wajah Jun. Ia mengalihkan pandangannya dari Mao dan kembali membungkuk memilih-milih sayuran hijau.

“Jun! Kamu lulus kan?”
Mao menarik pundak Jun dengan kasar. Jun melotot pada Mao.

“Bukan urusanmu!”
Jun kembali menalihkan pandangan dari Mao.

“Bagaimana mungkin itu bukan urusanku? Aku sudah berkorban agar kau bisa pergi!”
Jun sontak menatap Mao kaget atas apa yang diucapkan Mao.

“Apa?”
Mao mencengkeram pergelangan tangan Jun dan tiba-tiba menariknya menjauh dari tempat sayuran. Jun menarik tangannya dengan kasar.

“Lepaskan! Apa-apaan kau ini?”
Jun berjalan kembali ke tempatnya semula. Tapi Mao meraih kembali pergelangan tangan Jun, kali ini ia menggenggamnya dengan kedua tangannya dan sekuat tenaga menarik Jun menjauh dari sana.

“Hei, apa yang kau lakukan?”
Semakin Jun minta dilepaskan Mao akan semakin kuat menarik Jun. Dan sekarang semua orang yang ada disana menatap mereka dengan pandangan aneh.

Menyadari bahwa mereka menjadi pusat perhatian akhirnya Jun pasrah ditarik oleh Mao. Ia bahkan meninggalkan barang belanjaannya begitu saja di tempat sayuran.
Mao terus sekuat tenaga menarik Jun keluar dari supermarket kemudian menyeretnya pulang. Jun masih tetap pasrah karena jalanan di kiri kanannya masih sangat ramai dan kalau sampai dia meronta pasti mereka akan menjadi pusat perhatian.

Barulah ketika mereka sampai di jalanan yang lengang, Jun menghempaskan tangan Mao dari pergelangannya.

“Apa-apaan kau ini?”
Jun melotot menatap Mao. Mao kembali hendak meraih pergelangan tangan Jun.

“Apa maksud perkataanmu tadi. Kau berkorban?”

“Kenapa kau tidak bersiap-siap?”
Bukannya menjawab, Mao justru balik bertanya. Jun hanya diam. Ia memandang kearah lain.

“Kau seharusnya berangkat hari ini kan? Kenapa kau tidak siap-siap?”

“Aku tidak jadi masuk sekolah itu, dan aku tidak mau pergi. PUAS???”

“APA MAKSUDMU KAU TIDAK MAU PERGI?!?!?!?!?”

Jun tampak kaget karena ternyata Mao membalas bentakannya dengan suara yang jauh lebih keras. Ia menatap wajah Mao yang mulai basah karena air mata.

“Apa maksudmu kau tidak mau pergi? Kamu ingin sekali sekolah disana kan? Kamu ingin pergi dari rumah neraka itu kan? Dan sekarang apa yang kamu inginkan itu sudah ada di depan mata. LALU APA MAKSUDMU KAU TIDAK MAU PERGI?”

“Kalau aku bilang aku tidak mau ya tidak mau. Dan itu bukan urusanmu!”

Mao mengusap cepat air mata yang meleleh membasahi sudut bibirnya.
“Bagaimana mungkin itu bukan urusanku? Aku berkorban agar kau bisa pergi! Sekarang apa maksudmu kau tidak mau pergi? Apa alasanmu sampai kau membuang cita-citamu begitu saja? KENAPA?!?!? Kau tau kenapa Sawada san begitu mudah mengijinkanmu sekolah disana? Kau pikir dia mengijinkanmu karena seperti apa yang dikatakannya dulu? Kau tau? Demi agar kau bisa pergi aku……”

Mao sontak merasa seolah syaraf otak yang mengatur pita suaranya sontak terputus. Mao tercekat menyadari lidahnya yang hampir saja terpeleset. Ia tergagap menyadari keteledorannya.
“Aku……aku bicara padanya panjang lebar, memohon padanya agar bisa mengijinkanmu pergi.”

Mao mulai mendapatkan kembali alur pembicaraannya.
“ LALU APA MAKSUDMU KAU TIDAK MAU PERGI? APA ALASANMU??”

Jun tercengang menatap wajah kemerahan bertabur air mata di hadapannya.

“Apa?”

Mao mencoba bicara di tengah isakannya.
“APA ALASANMU JUN? APA? KENAPA KAU TIDAK PERGI??”

“Apa yang kau katakan pada Sawada san?”

“Aku hanya memohon padanya. Aku hanya bilang biar aku saja yang mengerjakan semuanya. Aku memohon padanya agar kau bisa pergi. Kau tau betapa sulitnya membujuk Sawada san agar mengijinkanmu? Lalu sekarang? Kau bilang tidak mau pergi?”

“Kenapa kau melakukannya?”

“Kenapa? Karena aku ingin melihatmu mencapai cita-citamu. Karena aku ingin kau tak lagi menjadi seperti peliharaan di rumah itu. Karena aku ingin kamu bebas. Apa lagi?”
Mao semakin terisak di hadapan Jun yang masih tercengang mendengar segala yang dikatakan Mao.

“Jun….kumohon….pergilah…..Pergilah dan jadilah lebih bahagia. Pergilah dan buat hidupmu lebih baik dari sekarang. Kumohon….”

“Aku tidak mau!”

“KENAPA??”

Jun memalingkan wajahnya dari Mao.

“KENAPA JUN?”

“KARENA JIKA AKU PERGI MAKA KAU AKAN SENDIRIAN DISANA!!!”
 Jun menjawab cepat pertanyaan Mao dan membuat Mao tercenung menatap laki-laki yang dicintainya itu.

“Apa?”
Mao berkata lirih.

“Apa kau pikir kau bisa menghadapinya sendirian? Bagaimana kalau dia menyiksamu dan kau terluka parah? Siapa yang akan mengobatimu?”
Mao tertunduk. Sejenak mereka tenggelam dalam diam. Masing-masing mencoba mengatur nafasnya. Mao berusaha meredam isakannya.

“Jun…apa kau pikir dengan kau tetap disini itu akan membuat kita berdua lebih baik? Apa kau pikir dengan kau tetap disini itu akan menolongku? Jika kita berdua tetap berada disana tidak akan pernah ada yang berubah. Sampai kapanpun kita akan tetap berada dalam keadaan seperti sekarang.”
Mao menarik nafas agar suaranya tidak bergetar karena bercampur dengan isakan.

“Jika kau sekolah disana, kelak kalau kau lulus kau bisa mengubah hidupmu. Dan setelah itu kau bisa menolongku untuk keluar dari sana. Kau mungkin bisa membantuku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik kalau kau kaya. Dan kita berdua bisa memperbaiki hidup kita jadi lebih baik. Tapi jika kau tidak pergi, itu artinya kau akan tetap berada di rumah itu dan menjadi pembantu yang selamanya hanya bisa diam diperlakukan seperti itu. Dan aku? Akupun akan tetap disiksa setiap hari dan tidak pernah bisa keluar dari sana. Apa itu yang namanya menolongku? Itu bahkan lebih menyakitkan daripada kau tinggalkan aku sendirian hanya selama tiga tahun. Karena itulah pergilah Jun. Pergilah….Kumohon….Wujudkan cita-citamu. “

Tinggallah suara isakan Mao yang mengisi ruang hening di antara mereka. Selama beberapa menit hanya bising kendaraan bermotor yang sayup-sayup terdengar di kejauhan.

Tiba-tiba Jun berlari meninggalkan Mao. Mao menatap Jun dengan bingung. Namun saat menyadari bahwa Jun berlari kearah rumah, iapun segera memacu langkahnya untuk mengejar Jun.

---------------

Mao jauh tertinggal di belakang Jun yang berlari lebih cepat darinya. Mao berdiri terengah di depan pintu kamar Jun yang terbuka. Ia melihat Jun dengan terburu-buru memasukkan barang-barang ke dalam tas besarnya. Seulas senyum tersungging di tengah nafasnya yang masih sesak karena berlari. Jun berdiri menatap sekelilingnya mengamati barang-barang yang tersisa disana. Sepertinya ia sudah merasa bawaannya cukup sehingga secepat mungkin ia menutup tasnya dan memikulnya di bahu. Jun melangkah keluar. Ia berhenti tepat di depan Mao.

“Aku akan bicara pada Sawada san dulu, tunggulah di depan.”

Mao sejenak tertegun karena Jun mau bicara dengan nada tidak sinis padanya. Ia masih terpaku di tempatnya saat Jun sudah berjalan meninggalkannya menuju ruang depan untuk menemui Sawada san. Ia baru sadar beberapa saat kemudian.

Mao pun segera bergegas menuju gerbang untuk menunggu Jun.

Entah apa yang dibicarakan Jun dan Sawada san. Mungkin Jun berpamitan. Beberapa menit kemudian tampak Jun keluar dari pintu depan dan bergegas menuju gerbang. Jun berjalan cepat melewati halaman depan sambil melihat jam di pergelangan tangannya.

Jun berhenti di depan Mao. Jun memandangi jalanan lengang di depan rumah sementara Mao hanya tertunduk. Mao menatap tanah di bawah kakinya sambil menggigit bibirnya kuat-kuat berusaha agar tidak menangis.

“Jaga dirimu baik-baik.”
Jun bicara masih dengan memandang kearah lain. Sementara Mao hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Ia masih tertunduk.

“Cepat pergilah. Nanti kau terlambat.”
Mao bicara di tengah getar suaranya. Jun menarik nafas dalam.

“Pemberangkatan masih satu jam lagi. Aku bisa sampai disana dalam 20 menit……”
Jun menghentikan kalimatnya sejenak.

“Tidak ada yang ingin kau katakan?”

Mao tak menjawab pertanyaan Jun. Ia masih tertunduk. Kali ini ia memejamkan matanya. Namun sepertinya itu tidak ada gunanya karena bagaimanapun ia berusaha menahan, air matanya tetap merembes di antara kedua kelopak matanya yang terkatup.

Seulas senyum tersungging dari bibir Mao.
“Ternyata…..aku benar-benar sangat menyukaimu.”

Kalimat tak terduga yang disampaikan Mao itu membuat Jun akhirnya mengalihkan wajah padanya. Ia menatap gadis yang tertunduk di depannya itu. Kali ini mulai terdengar suara isakan.

“Bagaimanapun….aku sangat menyukaimu. Bagaimanapun…..aku tak ingin berpisah denganmu. Tapi….karena aku sangat menyukaimu…..karena itulah….aku ingin kamu pergi.”
Mao mengangkat wajahnya. Air mata yang semula langsung jatuh menghantam tanah kini terlebih dahulu meliuk-liuk menyusuri wajah cantik gadis itu. Mao balas menatap Jun lekat-lekat.

“Jadilah lebih bahagia. Aku……aku sangat menyukaimu…..karena itu…..aku ingin melihatmu bahagia….karena itu…..”
Mao tak kuasa meneruskan bahasanya. Akhirnya dia kembali tertunduk.

“Ahhhh,….”
Mao mengusap cepat air matanya dan bergegas mengangkat wajahnya. Sebisa mungkin ia memasang wajah ceria walaupun Jun tau gadis itu hanya berpura-pura.

“Ah, cepat sana pergi! Kau membuatku semakin menangis jika kau disini lebih lama lagi. Dan jangan lupa setelah kau kaya nanti, jangan lupakan aku. Beri aku pekerjaan yang lebih baik. Ya?”
Mao menarik nafasnya dalam. Berusaha menyembunyikan getar di pita suaranya. Ia memberikan senyum terpaksanya pada Jun.

“Setahun itu tidak lama kan? Hati-hati saja, aku akan menerormu dan mengirimimu pesan setiap hari.”
Mao masih berusaha tersenyum. Namun tak lama kemudian tembok pertahanannya runtuh juga saat sebutir air mata kembali jatuh membasahi sudut bibirnya yang sedang berusaha tersenyum. Gadis itu kembali tertunduk. Kali ini ia tak mampu menyembunyikan isakannya. Jun tak mengatakan apapun. Ia hanya mendengarkan semua apa yang dikatakan Mao hingga kata terakhir dan masih menatap wajah gadis itu lekat-lekat.

“Aku….aku sangat menyukaimu….”
Mao bicara lirih dalam tundukan wajahnya. Beberapa detik mereka tenggelam dalam diam.

Tiba-tiba tangan Jun meraih lengan Mao sehingga membuat gadis itu bergegas mengangkat wajahnya karena kaget. Jun mendekatkan wajahnya pada wajah bersemu merah Mao, dan tiga detik kemudian sebuah kecupan lembut mendarat di bibir gadis itu. Mao hanya terpaku seakan merasa waktu yang bergulir di sekelilingnya sontak terhenti.

Jun membiarkan keadaan tetap seperti itu untuk beberapa saat. Hingga kemudian ia menarik wajahnya menjauh dari wajah gadis itu tetapi tangannya masih tetap belum melepaskan lengan Mao. Mao menatap Jun masih dengan ekspresi terkejut.

“Aku akan menengokmu saat liburan akhir tahun pelajaran nanti. Jaga dirimu baik-baik. Berjanjilah kau akan baik-baik saja sampai aku kembali nanti.”

Kali ini Mao lah yang terdiam terpaku mendengarkan kalimat Jun hingga kata terakhir. Perlahan Mao menganggukkan kepalanya. Dan sesaat kemudian Jun mulai melepaskan pegangan tangannya dari lengan gadis itu dan mulai melangkahkan kaki menjauh meninggalkan Mao yang menatap kepergian orang yang dicintainya dengan air mata sedih sekaligus bahagia.

"Selamat jalan Jun…..Semoga…..Kita berjumpa lagi….."

----------------------

Ini adalah malam pertama yang Mao lewati setelah kepergian Jun. Mao termenung menatap langit-langit kamarnya sambil memeluk erat guling kesayangannya.

Ia meraih ponsel yang tergeletak di dekat bantalnya. Dipandanginya layar ponselnya. Dia ingin sekali segera memulai terornya pada Jun seperti yang ia katakan tadi pagi. Tapi setiap kali ia akan menulis pesan, ia selalu ragu. Ia takut mengganggu Jun yang baru saja mulai mengepakkan sayapnya untuk terbang tinggi menggapai cita-citanya. Akhirnya Mao pun memutuskan utnuk tidak menghubungi Jun. Sebagai gantinya ia justru menghubungi Yui.

“Hai Mao.”

“Hai Yui…”

“Suaramu terdengar lemah. Kenapa?”

“Jun, dia sudah berangkat tadi pagi.”

“Eh?”

“Dia berangkat ke sekolah asrama itu.”

“Apa??? Jadi, sekarang kau sendirian di rumah itu. Jadi, mulai sekarang kau tidak akan melihat Jun lagi setiap hari? Kau masih ingin bekerja disitu? Bukankah Jun sudah pergi? Kenapa kau tidak…”

“Ne~ Yui…”

“Eh? Hai?”
Yui sontak membatalkan rentetan kalimat panjang yang masih ingin dia ucapkan arena Mao tiba-tiba mengeluarkan suara memelas saat memanggilnya.

“Sebenarnya…..cinta itu….apa?”

“Eh?”
Yui mengerutkan keningnya karena tiba-tiba diajui pertanyaan seperti itu oleh sahabatnya. Ia mulai berpikir keras mencari kalimat yang tepat untuk menjabarkan pendapatnya.

“Apa ya….”

Mao hanya diam menunggu jawaban dari seberang.

“mmm, aku pernah mendengar dari seseorang. Dia bilang, sulit mendeskripsikan makna cinta. Tapi, mungkin cinta terkadang bisa diartikan sebagai suatu perasaan ketika kita merasa bahagia apabila melihat orang yang kita cintai juga bahagaia. Bagitu katanya.”

“mmm….”
Mao menggumam pelan mendengar jawaban Yui.

“Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”

Mao menghela nafas dalam. Sejenak kemudian seulas senyum tersungging dari bibirnya.

“Yappari, ternyata aku memang mencintainya. Sangat sangat mencintainya…”

“Eh?”
Sekali lagi Yui dibuat bingung dengan kalimat-kalimat tak biasa yang dilontarkan sahabatnya malam ini.

“Aku bahagia saat dia mau pergi menggapai cita-citanya, walaupun aku sempat sedih dia akan pergi meninggalkanku, tapi sungguh aku benar-benar bahagia.”

“Mao….”
Yui kagum dengan sahabatnya itu. Dia bisa begitu mudahnya berbuat sesuatu demi orang yang disukainya bahkan terkadang tanpa memperdulikan akibat tindakannya itu bagi dirinya sendiri.

“Oke….Makasih Yui. Selamat malam!!!”
Tut tut tut…

“EEHHHH??”
Yui menatap layar ponselnya dengan tatapan tercengang. Ia tersenyum atas sifat sahabatnya yang selalu bisa ceria dalam keadaan seperti apapun.

------------

Hari kedua, ketiga, hingga hari kelima Mao masih belum bisa mengirimkan pesan pada Jun. Ia masih belum mau mengganggu Jun. Hanya dengan membayangkan Jun bisa belajar dengan tenang disana saja sudah membuat Mao cukup bersemangat untuk menjalani hari-harinya.

Hari keenam…

Mao berbaring menerawang langit-langit kamarnya. Ia memejamkan matanya, bertahan. Sesaat kemudian ia membuka kedua kelpak matanya dan mencoba tersenyum.

Mao dikagetkan oleh dering ponsel yang ada di sebelahnya.

“Ada panggilan? Selarut ini?”
Mao meraih ponsel tersebut dengan tangan kirinya. Layar ponselnya memampangkan sebuah nama.

“Jun?”

Mao terduduk kaget. Ia menelan ludah sebelum perlahan ibu jarinya memencet tombol “answer”.

“Halo…”
Mao menjawab ragu-ragu. Ia mengerutkan kening saat beberapa detik tak ada suara dari seberang.

“Apa mungkin ponselnya hanya terpencet dan kebetulan tepat di nomorku?”

“Apa kau baik-baik saja?”

Mao tersentak saat akhirnya terdengar suara orang yang sangat-sangat disukainya itu dari seberang.
“Jun? Kamu…..kamu menelfonku?”

Kembali tak ada jawaban dari seberang. Mao memejamkan matanya menahan perasaan bahagia yang teramat sangat. Semenjak kepergiannya inilah pertama kalinya Jun menghubunginya. Lewat telefon pula.

“Hei! Kau ini kalau ditanya jawab, jangan balik bertanya!”

Mao sontak membuka matanya saat suara keras dan galak Jun kembali menghampiri telinganya.
“Ah, iya-iya aku baik-baik saja.”

Mao membaringkan tubuhnya. Ia meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya erat. Ia berbaring menatap langit-langit kamar dengan ponsel yang menempel di telinga kirinya.

“Dia tidak berbuat kejam padamu kan? Kau baik-baik saja kan?”

Mao sontak menarik senyum yang sejak tadi menghiasi bibirnya. Mao mengangkat tangan kanannya. Dipandanginya sekujur tangannya yang baru setengah jam yang lalu basah air garam. Ia kembali tersenyum.
“Tidak…….Aku baik-baik saja.”

Terdengar helaan nafas dari seberang. Mao menggigit bibirnya karena perasaan yang begitu meluap mengetahui Jun mengkhawatirkannya.
“Mmmm, maaf, aku baru sempat menghubungimu sekarang…”

Baru kali ini Mao mendengar nada bicara selembut itu keluar dari bibir Jun. Perasaannya sontak melayang saat suara itu menghampiri daun telinganya.
“Ah, tidak apa-apa! Aku sangat sangat sangat senang kamu menghubungiku. Jun, apakah disana menyenangkan? Apakah makanan disana enak? Apa kau bisa tidur nyenyak? Apa kau bisa belajar dengan tenang? Bagaimana pelajarannya? Susahkah? Apakah gurumu semuanya baik? Oh iya, bagaimana teman-temanmu? Apakah mereka baik padamu? Apakah….”

“Hei! Kau tidak bernafas ya? Bagimana mungkin aku bisa menjawab serentetan pertanyaan yang kau ucapkan dalam satu helaan nafas itu?”

Mao meringis menyadari dirinya yang kelewat antusias.
“Hehe…iya….”

“Ya…aku diperlakukan dengan baik disini. Disini sangat nyaman. Aku senang dengan teman-temanku, mereka juga baik padaku. Aku juga menyukai pelajarannya. Semuanya…..sangat menyenangkan.”

“Benarkah? Syukurlah….”

“Oh iya, ada juga seorang guru yang sangat-sangat baik pada kami. Dia bahkan sering membawakan makanan ke asrama kami. Dia sudah seperti orang tua kami sendiri. Dia melakukan banyak hal untuk murid-muridnya.”
Terdengar tawa kecil dari seberang. Tawa yang membuat jantung Mao sejenak seolah berhenti berdenyut. Tawa yang sudah sangat, sangat, sangaaaatttt lama tak Mao dengar.

“Aku senang mendengarnya. Hehe, cepat lulus ya, cepatlah jadi orang kaya, dan cepatlah mengeluarkanku dari sini.”

“E emm.”
Jun hanya menggumam mengiyakan.

“Aku, masih penasaran…..kenapa Sawada san mengijinkanku pergi dengan mudahnya. Apa benar hanya karena kau memohon padanya?”

Mao memalingkan kepalanya kearah meja di dekat pintu kamarnya. Pandangannya tertuju pada secarik kertas yang ia selipkan di antara buku-bukunya. Kertas kontrak yang ia tandatangani demi membuat Sawada san mengijinkan Jun pergi. Mao rela menandatangani kontrak bahwa ia rela bekerja padanya tanpa digaji selama Jun pergi. Ia berjanjibahwa ia akan menggantikanmu bekerja disana demi Jun bisa pergi sekolah di tempat yang ia inginkan

“Selama ini dia selalu membuatku tetap berada di sana. Dia…”

“Hei! Kau mulai berpikir kalau dia sekarang berubah jadi baik? Mana mungkin dia membiarkanmu pergi tanpa alasan yang menguntungkannya. Kan dia sudah bilang dia menyuruhmu sekolah disana agar kau cepat kerja dan punya uang untuk melunasi hutangmu lalu….”

Mao memotong kalimat Jun dengan rentetan panjang ocehannya namun sontak ia menghentikan omelannya sendiri karena teringat sesuatu.
“Ah, tapi, aku masih tidak tau, memangnya yang dimaksud Sawada san itu hutang apa? Kenapa kau harus membayar hutang padanya?”

Beberapa saat hanya kesunyian yang berada di antara mereka.

“Jun?”

Terdengar suara helaan dari seberang. Jun membaringkan badannya di kasurnya yang jauh lebih empuk daripada saat masih berada di rumah Sawada san.
“Ayahku……dulu bekerja padanya….”

Mao mulai memasang pendengarannya baik-baik. Sepertinya Jun akan bercerita panjang padanya.

“Ayahku dulu adalah anak buah Sawada san. Kami jarang bertemu dengan ayah karena ayah tinggal jauh di kota untuk bekerja pada Sawada san. Mereka itu…..mafia.”

“Hah????? Mafia??? Sampai sekarang???? Pantas saja anak buahnya badannya kekar-kekar. Jadi, aku sekarang bekerja pada mafia? Bagaimana kalau polisi menangkapnya? Apa aku….”

“Tenang saja, itu dulu, sekarang dia sudah berhenti.”
Mao langsung menarik nafas lega mendengar penuturan Jun.

“Tapi, ayahku meninggal saat bekerja dengannya. Dia meninggal saat diperintahkan untuk…..membunuh orang.”
Mao tercengang mendengar cerita Jun.

“Saat ayahku meninggal ternyata dia punya banyak hutang pada orang itu. Ibuku bahkan tak pernah tau kalau ayahku bekerja sebagai mafia. Ia pun hanya tau bahwa ayahku meninggal karena kecelakaan motor saat bekerja. Dan dia juga tak pernah tau kalau ayahku memikul hutang ratusan juta karena orang itu hanya memberitahuku. Hhh, dasar licik, dia cukup cerdas untuk memanfaatkan orang lain.”
Mao hanya diam menunggu cerita selanjutnya.

“Karena itulah, orang itu menyuruhku bekerja untuknya sejak aku masuk SMA. Sebagai gantinya dia akan membiarkan ibu dan adikku hidup tenang. Awalnya dia mau memberiku gaji yang cukup layak. Tapi lama kelamaan dia mulai memanfaatkan kelemahanku dan mulai bertindak semena-mena. Karena itulah aku pindah ke sekolah yang tidak begitu mahal.”

Kembali terdengar helaan nafas dari seberang. Mereka kembali tenggelam dalam diam.

“Ahh, kamu? dengan gajimu apa kau ingin meneruskan sekolah?”

Mao kembali memandangi kertas kontraknya. Ia mencoba menyuarakan senyum untuk Jun.

“Mmmm, sepertinya tidak.”

“Kenapa?”

“A ah…aku ini terlalu bodoh untuk melanjutkan sekolah. Haha, aku saja dulu saat masih sekolah tidak yakin bisa lulus dari sana. Nilai-nilaiku parah. Hehe…”

“Tapi bukankah kau ingin…”

“Jun! sudah selarut ini kenapa kau belum tidur. Bukankah besok masih hari masuk?”
Jun melirik jam yang terpajang di dinding sebelahnya. Jam setengah 12 malam.

“Iya….”
Jun menjawab pelan. Mereka kembali tenggelam dalam diam. Jun pun teringat bahwa Mao juga harus melakukan pekerjaannya besok pagi.

“Baiklah kalau begitu. Lain kali kita bicara lagi.”

“Iya.”
Mao menjawab semangat.

“Selamat malam Jun!”

“Cotto!”

Mao sontak mendekatkan kembali ponselnya yang hampir saja ia matikan.
“Hai?”

“Mmmm, maaf….”

“Eh?”

“Maaf, karena aku baru bisa bicara baik-baik padamu saat aku sudah pergi.”
Mao tersenyum mendengar Jun yang bicara dengan nada pelan dari seberang.

“Walaupun kau tidak bicara baik-baik padaku pun aku tetap menyukaimu.”

Jun terdiam mendengar penuturan Mao yang terdengar polos dan apa adanya.

“Anak ini, apakah dia benar-benar sangat menyukaiku?”
Untuk kesekian kalinya Jun dibat tertegun karena ucapan Mao yang begitu polos.

“Oke Jun, selamat tidur….Jyaaa!!!”

Mao menutup telefonnya. Dipandanginya layar ponselnya yang sudah kembali menunjukkan wallpaper wajah Jun yang sedang mendengarkan headsetnya. Foto yang ia ambil diam-diam saat ia masih sekelas dengan Jun. Mao memeluk ponselnya erat dengan mata terpejam. Hatinya terasa menggelembung besar karena rasa bahagia yang meluap.

----------------

10 bulan kemudian…
14 Februari 2012….

Within the crowds of people rushing around
I felt sad and called out your name
The scent of the breeze that blew
To the new season, see, the colors are changing
After people realize they love someone very deeply,
Everything they look at seems to glitter
I will care for your smiles and everything about you
And I will always be with you

Gadis itu tersenyum di akhir baris terakhir puisinya. Ditatapnya daun-daun yang bergoyang tertiup angin pagi musim dingin di luar jendela kamarnya. Ia memandangi kembali puisi yang baru saja ia tulis. Ia mengambil pena berwarna merah muda dari tempat pulpennya. Baru saja ia akan mulai menggambar sebuah bunga kecil di sudut lembar kertasnya, sontak gerak tangannya terhenti saat terdengar suara wanita berteriak memanggilnya dari bawah.

“Mao!!! Cepat bukakan pinta gudang! Truknya sudah datang!!!”

Gadis itu mengembalikan penanya ke tempatnya semula.

“Iya!!!”
Ia berdiri dari tempat duduknya. Sekali lagi dipandanginya lembaran kertas berisi puisi yang baru saja ia tulis.

“Happy valentine……Jun…..”
Gadis itu menutup buku hariannya dan merapatkan sweater yang melingkari lehernya. Bergegas ia berlari meninggalkan kamarnya dan segera memulai pekerjaannya.

2 bulan kemudian…..

Ia memandangi halaman rumah di depannya yang tambak sepi. Berkali-kali ia memencet bel tapi tak ada seorangpun yang tampak keluar membukakan gerbang untuknya. Sudah hampir 15 menit dia berdiri disana menunggu jawaban dari dalam.
Untuk kesekian kalinya Jun melongokkan kepalanya untuk mengintip ke dalam.

Tetap saja tak ada tanda-tanda orang mendekat. Tiba-tiba ia dikagetkan oleh tepukan di pundaknya. Sontak ia menoleh kaget pada orang yang berdiri di belakangnya. Seorang wanita paruh baya yang menjinjing kantung plastik hitam besar tampak berdiri di depannya.

“Kamu mencari pemilik rumah ini?”

Jun mengangguk pelan.

“Dia sudah meninggal kira-kita hampir setahun yang lalu.”

“Apa?!?!?”
Jun berteriak kaget mendengar kalimat yang diucapkan wanita itu. Matanya menatap orang di depannya itu dengan pandangan bingung.

“Lalu….lalu orang yang bekerja disini??”

“Entahlah….aku baru tinggal di sekitar sini sekitar satu bulan yang lalu. Aku hanya tau bahwa rumah itu kosong karena pemiliknya sudah meninggal.”

Jun terpaku mendengar segala apa yang dituturkan wanita itu. Ia masih terkejut hingga tak menyadari wanita itu sudah pergi meninggalkannya termangu sendiri di depan rumah Sawada san.
Tangannya terkepal kuat.

“Kenapa kau tidak memberitahuku? Jadi karena inikah kau tidak mengaktifkan nomormu tanpa bisa dihubungi selama berbulan-bulan?”
Jun memejamkan matanya. Ia berpikir keras apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia tidak mungkin kembali begitu saja setelah menempuh perjalanan hampir 8 jam demi menepati janjinya untuk menengok Mao setelah satu tahun kepergiannya.

---------------

Jun berdiri menatap bangunan di depannya. Ia membaca kembali papan yang terpajang di depan pintunya. Ia mencocokkan alamat yang tertera disana dengan alamat yang diberikan Yui barusan.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore. Ia baru mendapatkan alamat itu sekitar satu jam yang lalu setelah seharian penuh ia menghabiskan waktu untuk memohon-mohon pada sekretariat sekolahnya yang dulu untuk meminta nomor telefon Yui. Sialnya nomor telefon yang mereka berikan sudah tidak aktif karena memang nomor tersebut diberikan saat mereka baru masuk SMA sekitar 4 tahun yang lalu. Sebagai gantinya ia harus mendatangi langsung rumah Yui yang letaknya cukup jauh. Namun sayang, Yui bilang dia mulai jarang berhubungan dengan Mao sejak ia mulai sibuk bekerja setelah lulus sekolah. Tapi akhirnya dia mendapatkan alamat ini.

Jun memandangi satu persatu pelanggan yang keluar masuk toko itu. Yui bilang inilah tempat Mao bekerja dulu. Memang kecil kemungkinan Mao berada disini, tapi Jun sudah terlalu bingung untuk mencari ke tempat lain.

Perlahan Jun melangkah memasuki tempat penuh barang yang ramai dikunjungi orang tersebut. Ia mendekati wanita yang kira-kira seumurannya yang sedang melayani pembeli di balik meja kasir.

“Maaf….”

“Ya?”
Perempuan itu menyambut Jun dengan senyuman.

“Apakah…….Mao bekerja disini?”

Perempuan itu mengerutkan keningnya menatap laki-laki di depannya. Sejenak kemudian perempuan itu menggeleng.
“Tidak. Tidak ada yang bernama Mao disini. Hanya ada….”

Belum sempat perempuan itu menyelesaikan kalimatnya sontak ia dikejutkan oleh teriakan laki-laki di depannya itu.

“Mao!”
Jun menatap gadis yang sedang membawa keranjang berjalan mendekat dari jalanan di kejauhan. Mao yang melihat siapa yang memanggilnya pun terkejut sehingga menjatuhkan keranjang yang dibawanya.

Jun segera berlari kearah Mao. Melihat Jun berlari menghampirinya, gadis itu pun berlari sekuat yang ia bisa menjauh dari tempat itu.

Petugas kasir yang tadi ditanyai oleh Jun termangu menatap mereka. Mao sudah mengatakan padanya untuk tidak memberitahu siapapun yang menanyakan dirinya, namun sayang, kali ini Jun sudah melihatnya terlebih dahulu.

“Mao!!!”

Tanpa menengok ke belakang sedikitpun Mao terus memacu langkahnya secepat yang ia bisa. Ia tak peduli kemana arah yang ia tuju. Ia hanya terus berlari dan berlari tak peduli dadanya yang semakin sesak karena nafas yang memburu.

Mao hampir saja terjatuh karena Jun berhasil menangkap lengannya dan menariknya berhenti dengan paksa secara tiba-tiba.

“Mao!”
Mao meronta dari genggaman tangan Jun.

“Mao! Kenapa kau lari? Ini aku jun…”

“Lepas….lepas!!!”
Mao meronta sekuat tenaga. Tapi tak mudah melepaskan diri dari cengkeraman kuat tangan Jun. Mao terus meronta tanpa sedikitpun berani menatap laki-laki itu.

“Lepas…..lepas….”
Rontaan Mao semakin melemah karena ia mulai tak bisa menahan sesak di dadanya karena nafas yang memburu sekaligus isakan yang sudah tak terbendung lagi. Jun memegangi kedua lengan Mao dan menghadapkan gadis itu padanya.

“Kenapa kau lari? Apa yang terjadi?”
Jun menatap lekat-lekat wajah gadis di depannya yang sudah basah karena air mata. Mao tak lagi meronta. Ia hanya pasrah sambil terus terisak di hadapan Jun. Jun menatap gadis itu bingung. Ia pun menarik gadis itu ke pelukannya dan memeluk erat Mao yang terus terisak. Ia biarkan tubuh gadis itu berguncang di pelukannya karena isakan yang cukup keras.

“Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis? Kenapa kau lari?”
Semakin erat Jun memeluk tubuh dingin gadis itu. Mao tak menjawab. Hanya terdengar suara bising kendaraan yang lalu lalang di jalanan samping mereka.

-----------------

Jun berdiri menatap dinding di depannya dengan sorot amarah yang tampak begitu meluap. Ia menarik tangannya yang memerah dari dinding itu. Tersisa jejak-jejak merah karena darah di dinding putih itu karena punggung tangan Jun yang berkali-kali menghantamnya meluapkan marah. Di sampingnya, Mao duduk terisak dengan kedua telapak tangan menutup wajahnya.

Jun menegakkan tubuhnya. Ditariknya nafas dalam dan ditengadahkannya wajahnya menghadap langit yang sudah gelap malam itu. Perlahan ia melangkah mendekati Mao. Jun duduk di samping Mao di sebuah bangku semen yang berada di samping toko tempat Mao bekerja.

Jun meraih pundak Mao dan menarik gadis itu dalam pelukannya. Ia memejamkan matanya dan memeluk gadis itu erat. Tangannya terkepal di belakang punggung Mao yang masih terus terisak.

Sebutir air mata tampak merembes dari kelopak mata Jun yang terkatup. Ia mempererat pelukannya pada Mao. Apa yang diceritakan Mao barusan benar-benar membuat dadanya sekarang terasa penuh sesak dengan amarah.

Mao sudah menceritakan semuanya. Semua hal yang terjadi selama Jun pergi, ia sudah menceritakan semuanya. Sawada san memang meninggal satu bulan setelah kepergiannya. Dan Mao lah pelakunya. Ya, Mao lah pelakunya. Dia yang membunuh Sawada san. Akan tetapi, bukan karena Mao benar-benar berniat membunuh laki-laki itu. Semua itu terjadi karena Sawada san yang terlebih dulu menghancurkan hidupnya.

Mao selalu berusaha mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik, dengan penuh semangat. Ia begitu giat bekerja menanti kepulangan Jun. Namun malam itu semua penantiannya hancur berkeping-keping karena laki-laki kejam itu memperkosa Mao dan menghancurkan hidup gadis itu. Mao tak bisa menyelamatkan dirinya saat laki-laki itu merenggut kesuciannya. Ia hanya bisa meronta di tengah guyuran air mata keputusasaannya. Dan hanya nama satu orang yang bisa keluar dari mulutnya saat itu. Jun….Di tengah keputusasaan ia hanya bisa memanggil nama itu. Nama yang menjadi semangat baginya selama ini. Nama orang yang sangat-sangat disukainya.

Namun malam itu juga, karena hendak lari menyelamatkan diri setelah laki-laki itu merenggut kegadisannya, Mao menghantamkan sebuah vas bunga ke kepala majikannya tersebut dan membuatnya meninggal seketika. Karena tindakannya itulah ia sempat dipenjara. Beruntung polisi meringankan hukumannya karena ia juga adalah korban. Karena itulah ia hanya dipenjara selama beberapa bulan. Dan setelah itu ia kembali bekerja di tempatnya yang dulu. Pemilik tokonya yang dulu sangat-sangat menyayanginya sehingga mengijinkannya bekerja kembali disana karena merasa kasihan pada Mao yang sudah tenggelam dalam keputusasaan.

Jun masih memeluk Mao erat. Ia bisa merasakan gemetar tubuh di pelukannya karena sudah menangis sekian lama. Ia juga merasakan gemetar dirinya sendiri karena menahan amarah yang terasa meluap.

“Ini semua salahku….Aku meninggalkanmu. Membiarkanmu sendirian disana. Ini semua salahku.”
Terdengar jelas getar suara di antara kalimat Jun.

“Aku akan menjagamu. Aku tidak akan membiarkanmu menderita lagi. Aku berjanji. Aku akan membahagiakanmu. Aku akan membahagiakanmu….”

Tiba-tiba Mao menarik dirinya dari pelukan Jun. Ia menggeleng pelan.

“A…aku….”
Mao berusaha keras untuk bicara di tengah isakannya. Ia tak berani memandang wajah Jun. Jun diam menunggu lanjutan kalimat Mao. Namun, tiba-tiba Mao beranjak dari duduknya dan berlari meninggalkan Jun.

“Mao!”
Jun berusaha keras mengejar Mao. Mao terus berlari sekencang mungkin. Jun tertinggal cukup jauh di belakangnya. Dan tepat saat Jun hendak menyeberang jalan mengejar Mao yang terlebih dahulu menyeberang ada sebuah mobil yang melaju kencang mendekatinya.

Beruntung Jun segera menyadarinya. Ia terlonjak mundur dan berhasil menghindari mobil yang hampir saja merenggut nyawanya. Namun sayang, sebagai gantinya ia kehilangan orang yang dikejarnya. Saat Jun akan kembali berlari mengejar Mao, ternyata Mao sudah menghilang dari pandangannya entah kemana. Jun mengamati sekelilingnya. Ia berlari kecil tak tentu arah. Namun percuma, hingga larut malam ia tak bisa menemukan Mao.

Jun duduk bersandar di depan toko tempat Mao bekerja. Mao tak kembali kesana, dan Jun juga tak tau lagi harus mencari kemana. Akhirnya ia terjaga di depan toko itu hingga pagi menjelang.

Jun terus menunggu dan menunggu namun Mao tak juga kembali. Akhirnya Jun memutuskan untuk kembali ke asramanya.

Dari kejauhan Mao memandangi punggung orang yang dicintainya itu menjauh meninggalkannya. Ia jatuh terduduk saat badan Jun menghilang ditelan bis yang akan membawanya kembali ke sekolahnya.

Sepanjang perjalanan Jun hanya tertunduk. Tangannya terkepal menyesali segala yang menimpa Mao. Ia menyesali dirinya yang membiarkan Mao menanggungnya sendirian. Ia menyesal telah membiarkan gadis itu menangis sendirian.

Satu tahun kemudian….

“Kau mencariku?”

Laki-laki itu membalikkan badannya menghadap orang yang bicara dari balik punggungnya. Senyum terkembang saat memandang wajah orang yang memang dicarinya.

“Mao…”

Mao pun tersenyum menyambut kedatangan Jun kembali ke tokonya setelah kejadian satu tahun yang lalu dimana ia meninggalkan Jun begitu saja. Namun sontak Jun menarik senyumnya saat melihat Mao……

Mao menggendong seorang bayi mungil di punggungnya. Bayi itu tertidur lelap dalam gendongan Mao. Jun terpaku menatap pemandangan di depannya. Mao masih tetap tersenyum menatap wajah terkejut Jun….

--------------
Sudah 5 menit berlalu dan di antara mereka belum ada yang memulai percakapan. Raut wajah mereka menyembunyikan perasaan dan pikiran mereka masing-masing.

“Bagaimana kuliahmu?”
Mao bertanya pada Jun sambil mengelus pelan pipi putrinya yang masih tertidur lelap. Jun yang duduk di sampingnya mengangguk pelan.

“Baik….”

Sejenak mereka kembali tenggelam dalam diam.

“Mao, kau…..maukah kau menikah denganku?”

Mao terpaku menatap wajah putrinya. Tak bisa disembunyikan bahwa ia memang terkejut dengan apa yang dikatakan Jun. Perlahan Mao menoleh pada Jun.
“Tidak Jun.”

Jun menoleh kaget pada Mao. Sontak ia berdiri dan beranjak ke hadapan Mao.
“Kenapa? Kau, kau tidak mungkin membesarkannya sendirian. Aku menyukaimu Mao. Aku mencintaimu….Aku ingin kau menikah denganku. Aku akan menjagamu. Aku akan membahagiakanmu.”
Jun menatap lekat-lekat mata Mao. Mao tertegun mendengar perkataan Jun. Seulas senyum tersungging dari bibirnya.

“Aku bahagia seperti ini Jun…Aku….tidak bisa menikah dengan orang yang tidak kucintai.”

“APA?”
Kalimat Mao itu tak pelak membuat Jun terkjut bukan kepalang.

“Tapi, bukankah kau….”

“Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk tetap mencintai orang yang sudah jauh dariku. Semua yang ku alami sudah terlalu banyak menyita pikiranku sehingga aku tak sempat lagi memikirkan hal yang lain. Sekarang yang kuinginkan adalah bekerja dan hidup bahagia bersamanya. Walaupun dia hadir bukan karena keinginanku, tapi aku sangat-sangat menyayanginya. Dan saat ini, aku hanya ingin bersamanya.”
Mao kembali mengelus pipi putri kecilnya.

“Apa? Semudah itu kau…”

“Waktu bisa mengubah segalanya Jun.”
Mao memotong kalimat Jun.

“Waktu bisa mengubah segalanya. Waktu bisa mengobati kesedihanku. Waktu bisa menyembuhkan lukaku. Waktu bisa mengembalikan semangatku. Waktu bisa membuatku melupakan segalanya.”
Mao menatap Jun.

“Dan waktu bisa mengikis rasa cintaku juga Jun. Maaf….Maaf kalau aku terlalu lemah dan tidak bisa mempertahankannya. Kau tidak akan mengerti perasaanku.”

“Aku mencintaimu Mao.”

“Tapi aku tidak lagi. Aku tidak mungkin memaksa diriku untuk menghabiskan sisa hidupku mendampingi orang yang tak lagi kucintai. Aku bisa…..dan kau pun juga….suatu saat nanti, kau juga akan bisa melupakan perasaanmu padaku.”

“Kau ini bicara apa? Kau tidak seperti Mao yang ku kenal.”

“Terlalu banyak hal yang sudah terjadi bisa mengubah diriku. Aku tidak bisa lagi menjadi Mao yang dulu. Aku sudah berubah. Dan seperti inilah diriku yang sekarang. Aku bahagia dengan hidupku dan aku tak ingin merusak semua kebahagiaan yang sudah dengan susah payah coba kubangun.”

Jun mengepalkan tangannya mendengar serentetan kalimat Mao yang tak pernah ia bayangkan bisa ia dengar. Jun terdiam mencoba mencerna tiap kata yang Mao ucapkan tadi. Ia tidak berbohong. Saat ini ia benar-benar mencintai perempuan di hadapannya itu seperti apapun keadaannya sekarang. Tapi, karena dia mencintainya, dia tidak ingin menghancurkan kebahagiaan yang sudah ia bangun, seperti yang Mao bilang.

Perlahan Jun kembali duduk di samping Mao. Matanya jauh menerawang lalu lalang kendaraan di depannya.
“Apakah semudah itu melupakan orang yang kita cintai?”

Mao menatap wajah Jun. Tampak lelaki itu mencoba menahan perasaannya sekuat mungkin. Jun mengepalkan tangannya kuat.

“Tidak mudah…..Hanya butuh waktu…..”

Angin musim semi berhembus menjatuhkan beberapa helai kelopak bunga sakura menghujani mereka. Membiarkan mereka hanyut dalam diam mencerna kalimat masing-masing.

--------------

Sudah dua tahun….

Baru kali ini Jun menyempatkan dirinya datang kembali ke kota kecil itu untuk menemui cinta pertamanya….ah, bukan, sahabatnya (sekarang), Mao. Sudah tak ada lagi beban yang sama seperti yang ia rasakan dua tahun lalu saat akan menemui Mao.

Apa yang dikatakan Mao saat itu memang sejenak meremuk redamkan segenap jiwa dan perasaannya. Namun, sekali lagi ia mengingat apa yang telah dikorbankan wanita itu untuknya, dan karena itulah sudah saatnya dia yang mengorbankan perasaannya sendiri demi kebahagiaan seperti yang dikatakan oleh Mao.

Kali ini dia datang sebagai sahabat. Dengan langkah ringan Jun berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan besar dan rindang berhawa sejuk. Jun menarik nafas dalam seiring ayunan langkahnya. Terasa menyejukkan dan mendamaikan perasaan.

“Di tempat seperti inikah Mao tinggal? Tempat yang indah.”
Jun terus berjalan menyusuri jalan setapak berkelok dan berbatu itu hingga akhirnya sampai di sebuah danau yang airnya tampak berkilau kebiruan karena kejernihannya. Jun memandang ke pemukiman yang tak jauh dari danau itu, beberapa menit lagi dia akan mencapai tempat itu. Dan bertemu dengan sahabatnya Mao, juga putri kecilnya Ai.

Jun menunggu di sebuah halte bis di depan minimarket bercat biru seperti yang dikatakan Mao. Ia meletakkan tasnya di sebelahnya. Jun memandangi danau yang menghampar di kejauhan.

“Jun…”

Senyum Jun yang sedang memandangi danau itu sontak surut mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh ke sebelah kirinya, tatapan matanya menemukan seorang perempuan mengenakan baju lengan pendek berwarna merah marun dan rok berwarna putih. Perempuan itu membiarkan rambutnya terurai. Poni yang menutupi dahinya menambah anggun penampilan perempuan itu.

“Mao…”
Pandangan mata Jun teralih pada sosok kecil yang tiba-tiba menyembul dari balik badan perempuan itu. Seorang gadis mungil berumur sekitar hampir 3 tahun berdiri takut-takut dengan tangan kanannya yang bergelayut manja di tangan ibunya.

“Ai!”
Jun mendekat hendak memeluk anak kecil lucu itu, tapi Ai sudah terlebih dahulu mendekap ibunya takut. Mao hanya tersenyum melihat wajah Jun yang tampak agak kecewa memandang putri kecilnya. Mao pun menunduk dan menatap Ai.

“Itu teman ibu, Namanya Om…”
Kalimat Mao terpotong saat Jun tiba-tiba mendesis dan melarangnya meneruskan kalimatnya.

“Panggl aku Kak Jun….”
Gadis kecil itu memandang wajah lelaki 22 tahun yang tersenyum di hadapannya. Ia mulai agak melepaskan pegangan eratnya pada ibunya.

“Ayo sini, kakak gendong….”
Jun membuka lebar kedua tangannya, mencoba merayu gadis kecil itu.

“Tidak apa-apa Ai. KAK Jun baik.”
Mao menekankan kata KAK dan sontak membuat Jun tersenyum malu.
Setelah bersusah payah, akhirnya gadis kecil itu mau digendong oleh Jun. Mao mengajak Jun ke danau yang sejak tadi dipandangi Jun. Sepanjang perjalanan mereka mengobrol sambil Jun menggendong putri kecil Mao yang sedang asyik mengutik-ngutik rambut orang yang baru dikenalnya itu.

“Bagaimana kabar Natsumi?”

“Baik, selama dia hamil, dia tinggal di rumah orang tuanya.”
Mao tersenyum melihat Jun yang tampak bahagia setelah 6 bulan pernikahannya dengan teman kerjanya, Natsumi.

“Mao…”

“Ya?”

“Maaf, aku baru bisa menemuimu lagi setelah dua tahun.”

Mao hanya mengangguk pelan.

“Kau benar….semuanya memang butuh waktu….”
Jun menampakkan ekspresi serius sekarang.

“Maafkan aku. Dulu, hampir saja aku memaksakan kehendakku dan merusak kebahagiaanmu.”

“Sudahlah Jun, aku mengerti perasaanmu dan aku tidak pernah marah padamu. Kau tidak salah. Justru harusnya aku yang berterimakasih karena kau sudah mau mengerti. Seharusnya aku yang minta maaf. Karena perkataanku dua tahun yang lalu mungkin menyinggung perasaanmu.”
Mereka berdua terdiam.

“Apa kau bahagia?”
Mao mengagetkan Jun dengan pertanyaannya.

Jun mengangguk pasti.
“E Em. Aku bahagia..”

“Kau?”

Mao kaget Jun melemparkan pertanyaannya kembali. Ia tersenyum menatap Jun yang sesekali mengelus pipi Ai yang masih sibuk memainkan rambut Jun dengan jarinya.
“E Em.”

Mao pun mengangguk pasti.

Jun tersenyum mendengar jawaban Mao. Sejenak kemudian ia mengalihkan pandangannya menatap Ai yang masih asyik dengan rambutnya.

“Yap! Putri kecil! Kau mau terbang ke angkasa?”
Jun mengangkat Ai tinggi-tinggi dan membuat gadis kecil itu tertawa kegirangan. Jun membawa Ai berlari ke arah danau yang tinggal beberapa meter lagi di hadapan mereka. Ia mengayun-ayunkan Ai di udara membuat senyum di bibir anak itu semakin lebar.

Mao menatap dua orang itu dengan senyum terkembang. Seperti ada tiupan angin kencang dalam jantungnya saat melihat dua orang itu tertawa begitu riang. Ia terus tersenyum tanpa mempedulikan sebutir air mata yang tiba-tiba menetes jatuh membasahi sudut bibirnya yang masih tetap tersenyum.

Mao terus menatap mereka. Merekam setiap detil gerak mereka dalam memory otaknya. Membiarkannya tetap bersemayam disana, sampai kapanpun, tanpa ada seorangpun yang bisa mengerti.

Mao sontak menghapus air mata di pipinya. Ia bergegas berlari menyusul Jun dan Ai yang masih berlari kecil di tepi danau. Mao turut membaur dengan tawa mereka. Membiarkan hari ini mencoba meninggalkan jejak kebahagiaan dalam hidupnya.

Jun....
Kenapa aku tidak bahagia melihatmu.
Jika begitu, lalu apa makna cinta yang sebenarnya?
Apakah aku salah?
Apakah keputusanku tidak benar?
Kenapa aku tidak bahagia melihatmu bahagia.

Apakah aku terlalu bodoh untuk memahami maknanya?
Biarlah...
Apapun itu,
Apapun maknanya, walaupun mungkin aku tak mengerti.
Sampai kapanpun aku akan mengatakan...
Aku mencintaimu, Jun.

Two shadows lined up out of synch on the pavement
They stretch out as if they’re trying to snuggle together
To not be pulled along in the times of rush
We held each others’ hands

Within the crowds of people rushing around
I felt sad and called out your name
The scent of the breeze that blew
To the new season, see, the colors are changing

Because of your voice, your smiles, your everything
I can open my eyes and walk on
No matter what out past may be, we’ll share the future
That’s why I go to where you are

All the sadness that can be seen in your eyes
If you were to let that pain be wiped away
A far-off past and dreams that left you behind
I’ll make all of them come true

Time passes, but something will always change
We held eternity in our hands
So we can be stronger than anyone
Very soon one future will appear in this town

After people realize they love someone very deeply,
Everything they look at seems to glitter
I will care for your smiles and everything about you
And I will always be with you

Your voice, your smiles, everything about you
Always for me and always because of me
No matter what past or future we may have, we’ll feel them together
And I will go to where you are
And I will always be with you
(Be With You by ARASHI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar