Jumat, 16 September 2011

We Were There (CHAPTER 9)


DORRR!!!!

Rio terbelalak melihat Pak Aji jatuh tersungkur bersimbah darah. Belum sempat dirinya melaksanakan perintah Pak Aji, ternyata Anita sudah terlebih dulu melumpuhkan laki-laki itu. Rio semakin gemetar karena Anita sekarang berganti mengarahkan pistol padanya. Perlahan badan Rio sedikit demi sedikit beringsut mundur. Sekali lagi nyawanya berada di ujung tanduk.

“Kenapa? Kenapa kau menembak rekanmu?”

“Dia bukan rekan kami. Turunkan terjatamu Rio.”

Kaki Rio semakin beringsut mundur.
“Kau….Kau yang seharusnya membuang senjatamu. Kali ini aku akan menembak. Aku akan menembak! Karena aku tidak segera menembakmu, Pak Aji…”

“Buang senjatamu!”

Kalimat Rio tercekat melihat Anita berjalan pelan mendekatinya. Pistol di tangannya mulai basah keringat dingin.

Tiba-tiba Bu Maya mendekat menghadang Anita. Ia berdiri di depan Anita sehingga pistol yang berada di tangan Anita sekarang terarah padanya.
“Sudahlah Anita, hentikan. Apakah ini saatnya anak kecil untuk bermain-main?”

Sekarang Anita justru menatap Bu Maya tajam.
“Ini semua gara-gara kau. Kau yang memulai pembicaraan itu sesuka hatimu. Apa kau lupa tugas yang kami berikan padamu? Kau hanya perlu mendengarkan apa yang kami perintahkan. Karena kau tidak bisa menjaga mulutmu sekarang seperti inilah jadinya.”

Bu Maya tersenyum sinis.
“Sepertinya kau benar. Berarti, aku yang salah.”

Bu Maya berbalik menghadap Rio. Sekarang pistol Rio pun menjadi terarah padanya. Bu Maya mengangkat kedua tangannya ke atas kepala.
“Jika kau ingin menembak, tembak aku saja Rio.”

Bu Maya berjalan mendekati Rio. Rio semakin beringsut mundur.

“Ayo lakukan….”
Tatapan menantang Bu Maya semakin membuat lutut Rio bergetar. Keberaniannya tak jua muncul untuk segera menekan pelatuk pistol di tangannya padahal targetnya sekarang sudah berada di depan mata dengan kedua tangan terangkat pasrah.

“Ah, mungkin akan lebih mudah jika aku berbalik.”
Bu Maya membalikkan badan membelakangi Rio. Anita menatap Bu Maya dengan tatapan tajam menanti hal bodoh apa yang sedang coba dilakukan oleh wanita itu. Pistol Anita masih tertuju pada Mereka berdua.

Bu Maya sekarang berjalan mundur dan semakin mendekati Rio. Saat jarak mereka sudah begitu dekat Rio pun segera maju dan menempelkan mulut pistolnya ke punggung Bu Maya.

“Turunkan senjatamu.”
Rio memelototi Anita dengan segenap keberanian yang akhirnya datang setelah Bu Maya berhasil menjadi sanderanya. Anita yang melihat Bu Maya berada di bawah ancaman Rio pun akhirnya perlahan menurunkan senjatanya.

Bu Maya melirik dengan sudut matanya pada Rio yang masih bersiaga di belakangnya.
“Hei Rio. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Jika kau melihat adegan dalam film dimana sang pahlawan menempelkan pistolnya pada badan si penjahat, sepertinya mulai sekarang kau harus mengingat-ingat dalam otakmu bahwa itu hanya tipuan. Karena jika kau menempelkan mulut pistol seperti itu……… maka disconnector tidak akan bekerja dan tembakan akan gagal.”

Belum sempat Rio mencerna kata-kata Bu Maya, dengan sigap Bu Maya tiba-tiba menurunkan tangannya dan meraih pistol yang dipegang oleh Rio. Dengan sekali hempasan pistol itupun sekarang sudah berpindah tangan. Rio jatuh tersungkur karena pukulan keras Bu Maya. Sekarang Rio kembali terpojok karena Bu Maya mengarahkan pistol padanya.

“Seperti inilah cara yang benar untuk menembak. Anak SMA sepertimu seharusnya tidak mengotori tangan dengan membunuh orang. Jika tadi kau menembak, maka kau akan hidup dengan beban itu selamanya.”

Anita yang melihat Rio sudah tak berdaya akhirnya bergegas mendekatinya. Anita melepas rompi peluru yang terpasang di badan Rio dan meraba badan Rio mencoba mencari flashdisk yang berisi data penting tentang Bloody Monday yang berhasil dicurinya. Dia menemukan dan mengambilnya.
“Aku akan menyimpan Flashdisk ini. Dan masih ada satu tugas lagi yang harus kau lakukan.”

 Anita berjalan kearah Pak Aji yang sudah tak sadarkan diri dan mengambil wireless phone (HT) nya kemudian menyodorkannya pada Rio.
“Hubungi THIRD-i dan katakan bahwa Pak Aji lah penghianatnya. Jika kau menolak, maka pistol ini sebentar lagi akan terarah pada teman cantikmu itu. Kau tidak ingin Ify terluka kan? Jadi, apakah kau akan melakukannya? Atau tidak?”

Sekeras apapun Rio mencoba berfikir tetap saja hanya ada satu jawaban yang muncul dalam otaknya yaitu mau tak mau ia harus melakukannya. Akhirnya perlahan Rio pun meraih wireless phone tersebut. Ancaman Anita barusan sekali lagi berhasil membuat Rio tak berdaya.

“Pak Aji!”
Terdengar suara Pak Joni dari seberang.

Rio belum juga bicara. Anita memandang Rio tajam.
“Rio disini.”

“RIO?!?!?! Kenapa kau yang menjawab? Mana Pak Aji?”

“Pak Aji tertembak.”

“Tertembak?!?!”
Terdengar nada panik dari suara Pak Joni setelah mendengar ucapan Rio.

“Mata-mata itu bukan Anita, tapi Pak Aji.”

“APA?!?!”
Sekali lagi teriakan kaget Pak Joni bergaung di udara.
“Apa kau baik-baik saja? Dimana Anita?”

Rio bingung harus menjawab apa. Anita memberi isyarat agar mengatakan bahwa ia sedang mengejar Bu Maya.

“Dia sedang mengejar Bu Maya.”

“Baiklah. Kami sudah menemukan lokasi keberadaanmu. Bantuan sedang menuju kesana. Jangan pergi kemanapun.”

“Baik.”

“Sekarang jelaskan padaku kenapa penghianatnya Pak Aji dan bukan Anita seperti yang kau katakan di awal?”

Belum sempat Rio memikirkan jawabannya, Anita sudah terlebih dulu merebut wireless phone dari genggaman Rio.

“Rio! Jawab! Rio!”

Anita mematikan wireless phone itu kemudian membuangnya begitu saja. Baru saja ia hendak mengatakan sesuatu pada Rio namun ia dikejutkan karena tiba-tiba Bu Maya mengarahkan pistol padanya. Bergegas Anitapun segera mengarahkan pistolnya pada Bu Maya.

“Apa yang kau lakukan?”

Bu Maya tersenyum sinis pada Anita.
“Bagaimana kalau kita bersaing. Siapa yang paling tidak memiliki rasa belas kasihan pada teman?”

Mereka berdua saling berpandangan dengan pistol teracung satu sama lain. Dan beberapa saat kemudian……

DORRRR!!!!

Anita jatuh memegangi lengannya yang bersimbah darah. Bu Maya sengaja hanya menyerempetkan tembakan itu ke lengan Anita tapi itu cukup membuat Anita merasakan sakit yang luar biasa.

“Dengan begini mereka akan lebih yakin padamu dan kau bisa kembali pada mereka sebagai mata-mata. Mari kira berdua sama-sama berusaha untuk bertahan hidup.”
Bu Maya membuang pistol di tangannya dan berjalan meninggalkan tempat itu begitu saja. Anita hanya menatap kepergian Bu Maya dalam diam masih sambil memegangi lukanya yang terasa perih.

Sekuat tenaga Anita mencoba bangkit. Ia berjalan tertatih mengambil dua buah pistol yang tergeletak di dekatnya. Ia memandangi kedua pistol tersebut. Salah satunya adalah pistol yang Anita tau merupakan pistol kesayangan Pak Aji.

Anita mengacungkan pistol itu pada Rio dan kali ini tanpa berpikir panjang dan tanpa berkata apapun ia menembakkannya tepat di perut Rio. Rio pun jatuh tersungkur tak sadarkan diri.

.
.
.
.
.

THIRD-i
13:47

“Lapor. Anita disini.”

Pak Joni sontak mendekat pada speaker wireless phone yang baru saja memperdengarkan suara Anita.

“Anita! Dimana kau?!?!”

“Saya sedang mengejar Maya. Dia berhasil merebut senjata saya dan melarikan diri. Saya tertembak, tapi saya cukup bisa bertahan untuk melanjutkan pengejaran. Rio tertinggal sendirian disana. tolong lindungi dia.”
Anita berbicara sambil memperban lengannya yang terluka.

“Baiklah. Beberapa orang sudah menuju kesana.”
Pak Joni mengamati pesan yang dikirimkan oleh Rio tadi masih terbuka di ponselnya.
“Anita….. Jangan melakukan hal bodoh.”

“Baik pak.”
Sambungan pun terputus.

Pak Joni memandangi layar ponselnya. Ia menatap pesan yang dikirimkan Rio di awal tadi. Ia masih merasa bahwa Rio tidak mungkin bersusah payah menulis pesan sedemikian rupa jika tidak ada gunanya.

-----------------

14:53

Seorang lelaki berjalan mendekati Pak Joni dengan terburu-buru.

“Ada apa?”

“Saya dari unit pengamanan gedung. Salah satu pegawai kami menemukan kotak mencurigakan saat sedang memeriksa ruang control udara. Kotak tersebut terhubung dengan saluran AC ke seluruh gedung. Karena merasa curiga maka pegawai kami mematikan seluruh AC. Namun tidak beberapa lama kotak itu menyemburkan gas. Kami, menduga gas tersebut mengandung virus.”

“APA?!?!”
Pak Joni tercengang mendengar penuturan petugas tersebut.

“Sepertinya mereka berniat menyebarkan virus tersebut ke seluruh gedung melalui saluran AC. Namun tidak berhasil karena salurannya sudah dimatikan. Selain itu pegawai kami memecahkan tombol pintu darurat sehingga semua pintu sudah tertutup rapat dan gas tersebut tidak akan bisa menyebar keluar.”

“Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Siapa yang meletakkan kotak itu disana?”

“Kami sudah mengecek CCTV yang terpasang disana. Dan kami menemukan bahwa sekitar 45 menit yang lalu Anita memasuki ruang kontrol dengan membawa kotak itu.”

“ANITA?!?!?”
Akhirnya Pak Joni menyadari bahwa mereka semua sudah tertipu. Ia bergegas menghubungi seluruh unit.

“TANGKAP ANITA!!!!! ANITA ADALAH PENGHIANAT!!!!”

Semua orang terbelalak kaget mendengar perintah Pak Joni. Mereka pun segera melakukan tugasnya masing-masing demi menemukan Anita.

Pak Joni kembali pada petugas pengamanan yang tadi mengahadapnya.
“Apa kau sudah meminta bantuan pada Unit Perlindungan Zat Kimia?”

“Sudah Pak. Mereka sedang menetralisir ruangan.”

Pak Joni menghela nafas lega. Bagaimana mungkin Anita bisa kembali ke THIRD-I tanpa ada seorangpun yang tau.

“Tapi Pak…. Saat seluruh pintu ruang kontrol sudah tertutup, pegawai kami tadi terjebak di dalam. Tapi kami belum mendapat konfirmasi bahwa dia sudah terinfeksi.”

“APA?!?!?!”
Wajah pak Joni sontak berubah panik. Ia memukulkan kepalan tangannya ke meja. Satu orang lagi menjadi korban dari kebiadaban teroris itu.

“Maaf Pak………..pegawai yang terjebak tersebut………. adalah Ayu”

Pak Joni sontak memalingkan wajahnya pada laki-laki di sampingnya. Ia menatap nanar laki-laki yang tertunduk di hadapannya itu.

---------------

Rio mencoba mengerjap-ngerjapkan matanya yang terasa silau. Cahaya terang yang sedikit demi sedikit menerobos pupil matanya membuat Rio merasakan pusing yang teramat sangat.

“Kau sudah sadar?”

Rio mencoba memfokuskan pandangannya yang buram dan mencoba melihat orang yang berdiri di sampingnya itu.
“Bu Mia?”

Suara Rio terdengar masih lemah. Badannya yang masih lemas coba ia gerakkan dengan sekuat tenaga. Butuh waktu beberapa saat untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan tubuhnya yang baru terbangun setelah tak sadarkan diri selama beberapa jam. Perlahan ia menggerakkan tangannya.

Sontak Rio terbangun dan duduk sambil meraba perutnya.
“Aku? Kenapa aku tidak terluka?”

Rio meraba perutnya sekali lagi. Benar-benar tidak ada apa-apa disana.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah aku….”

“Pistol yang digunakan oleh Anita untuk menembakmu adalah milik Pak Aji. Dia selalu menggunakan peluru yang terbuat dari karet alam. Jika seseorang terkena tembakannya maka dia akan kehilangan kesadaran karena terkena hantamannya. Tapi orang tersebut tidak akan mati. Anita yang sudah sekian lama bersama Pak Aji pasti tau akan hal itu. Mungkin saja, dia memang sengaja tidak ingin membunuhmu.”

Rio menghela nafas lega. Beruntung kali ini nyawanya masih tetap berada di tubuhnya.
 “Tapi….kenapa dia melakukannya? Apakah Bu Anita sudah tertangkap?”

Bu Mia sontak memalingkan wajahnya teringat peristiwa tadi. Rio sempat melihat mata wanita itu berkaca-kaca. Bu Mia menggeleng pelan.
“Belum. Semua orang sedang melacak keberadaannya. Tadi……. dia datang kesini.”

“Apa?!?”

“Dia berniat meluncurkan virus ke seluruh gedung.”

“APA?!?! Apa dia berhasil?”
Rio semakin tercengang menatap Bu Mia.

Sekali lagi Bu Mia menggeleng.
“Tidak. Rencananya berhasil digagalkan. Tapi…..Ada salah satu pegawai yang berada di lokasi saat gas itu meledak. Ayu…..Kami masuk ke THIRD-i di tahun yang sama. Dia sahabatku. Dan juga…. Tunangan Pak Joni.”

Rio tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut dari wajahnya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Pak Joni di tengah suasana segenting ini harus menerima kenyataan bahwa orang yang sangat dicintainya mungkin saja akan mati sebentar lagi.

Tiba-tiba Rio teringat pada seseorang.
“Ify…..”

“Apa?”
Bu Mia mendengar bisikan lirih Rio.

“Ify!”
Rio segera bangkit dan hendak berlari keluar namun tangan Bu Mia sontak menarik punggung Rio dan menghentikannya saat itu juga.

“Kau tidak boleh pergi kemanapun.”

“Ify mungkin saja dalam bahaya.”

“Pak Joni akan marah jika aku membiarkanmu keluar.”

“Lalu bagaimana jika Bu Anita datang pada Ify. Bagaimana jika….”

“Aku akan meminta Pak Joni mengirim orang untuk melihat kesana. Jangan bertindak bodoh atau kaupun akan berada dalam masalah! Aku akan kembali secepat mungkin.”
Rio tampak bingung namun akhirnya dia mengangguk cepat. Bu Mia segera berlari keluar. Rio menatap kepergian Bu Mia dengan hati tak tenang.

Rio meraih ponselnya yang ada di dalam tas. Secepat mungkin ia mencoba menghubungi Ify.

Rio mencoba berulang kali tapi Ify tidak menjawab panggilannya. Perasaannya semakin tak tenang. Apalagi jika ia teringat ancaman Anita saat menyuruhnya menghubungi Pak Joni. Bisa saja wanita itu benar-benar melakukannya. Rasa paniknya semakin menjadi jika membayangkan suatu hal buruk terjadi pada Ify. Akhirnya Rio pun menghubungi orang lain.

“Halo Alvin……Bisa kau ke tempat Ify sekarang? Aku takut dia dalam bahaya…..Anita adalah mata-mata teroris. Baiklah….Cepatlah! Pergilah sekarang juga. Aku juga akan segera kesana.”

---------------

“Iya. Aku pergi sekarang.”
Alvin bergegas menutup telfonnya dan berlari keluar dari basecamp klub Koran sekolah. Ia berlari secepat yang dia bisa. Shilla yang berjalan dari arah toilet mengerutkan keningnya saat melihat Alvin berlari dengan wajah yang tampak panik. Akhirnya Shilla pun membatalkan niatnya untuk menuju basecamp dan sebagai gantinya diapun ikut berlari membuntuti Alvin.

.
.
.
.
.

Ify datang membawa segelas teh hangat dan meletakkannya di depan Anita.

“Apa kau baik-baik saja Ify? Tidak ada yang datang mengganggumu lagi kan?”

Ify menggeleng pasti.
“Mmmm, Kak Rio…….Apa dia baik-baik saja?”

Anita menyunggingkan senyumnya melihat wajah Ify yang tampak ragu saat menanyakan hal itu.
“Jangan khawatir. Dia aman bersama kami.”

“Syukurlah.”

Anita mengambil sesuatu dari dalam sakunya.
“Ify, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.”

Ify menerima Flashdisk hitam bertuliskan Save The Data yang diberikan oleh Anita. Ify menatapnya bingung.

“Berikan itu pada Rio…….”

.
.
.
.
.

“Baiklah kalau begitu aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik Ify.”
Anita beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu depan.

“Anu…kenapa anda tidak memberikannya langsung pada Kak Rio? Apakah anda akan pergi?”

Anita menyunggingkan senyumnya pada Ify.
“Iya. Aku, ada tugas yang harus kuselesaikan.”

Anita baru saja hendak membuka pintu depan saat tiba-tiba ada seseorang yang terlebih dahulu membuka pintu itu dari luar dan menerobos masuk dan mendorong Anita hingga terjatuh.

“Lari Ify!!!”

Ify kaget melihat Alvin tiba-tiba memasuki rumahnya dan menyerang Anita. Anita yang melihat Alvin hendak memukulnya lagi dengan sigap menangkap tangan anak laki-laki itu dan berbalik menahannya.

“Kak Alvin? Bu Anita?”

“Lari Ify!!!”

“Berani-beraninya kau ikut campur!”
Anita memukul perut Alvin hingga ia jatuh tersungkur. Alvin meringis menahan perih karena pukulan yang tepat menghantam lambungnya.

“Kak!”
Ify berlari mendekati Alvin dan membantu kakak kelasnya itu untuk bangkit.
“Apa yang terjadi?”

Belum sempat Alvin menjawab, Anita sudah mengambil vas bunga yang ada di dekatnya dan hendak melemparkannya pada Alvin. Namun vas bunga itu jatuh berkeping-keping saat Anita merasakan sebuah benda keras memukul tengkuknya.

Shilla berdiri gemetar dengan kayu berada di tangannya.

“Shilla?”
Alvin kaget melihat Shilla berada disana. Alvin yang melihat Anita lengah segera menghampirinya dan memukul wanita itu sekuat tenaga. Terjadilah saling baku hantam di antara mereka. Namun Anita yang sudah terlatih sebagai anggota kepolisian tentu saja jauh lebih unggul dan berhasil membanting tubuh anak itu hingga jatuh tepat di atas pecahan vas bunga. Shilla dan Ify bersamaan menjerit melihat punggung Alvin bersimbah darah karena satu pecahan menancap disana.

Shilla mengayunkan tongkatnya sekuat tenaga kearah Anita. Namun sayang Anita sudah terlebih dahulu mengacungkan pistol padanya. Shilla hanya bisa berdiri gemetar dan perlahan menarik kembali tongkat kayu di tangannya. Ify yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi tak berani beringsut sedikitpun dari tempatnya melihat mulut pistol itu bergantian terarah pada mereka bertiga.

Dengan sigap Anita meraih lengan Shilla dan menarik gadis itu kearahnya. Dia mendekap kuat-kuat leher Shilla dan berhasil menahannya sebagai sandera. Pistolnya sekarang sudah berganti terarah ke kepala Shilla. Alvin memandangi mereka masih dengan meringis karena menahan rasa sakit di punggungnya.

Anita menyeret Shilla meninggalkan ruangan itu. Ify yang melihat Anita pergi segera beranjak membantu Alvin bangkit.
“Apa yang harus kita lakukan Kak?”

Alvin masih berusaha bicara di tengah rasa sakitnya saat tiba-tiba mereka mendengar deru mobil dari luar. Ify bangkit dan mengintip melalui jendela.
“Kak Rio.”

“Apa?”

“Kak Rio datang bersama beberapa orang polisi.”

Alvin berusaha bangkit setelah mendengar penuturan Ify. Ify pun segera membantu memapah Alvin berjalan menuju halaman depan. Mereka berhenti di depan pintu melihat beberapa orang polisi sedang mengarahkan tembakan pada Anita yang masih menyandera Shilla. Mereka mengepung Anita dari segala penjuru. Rio berada di belakang mereka.

“Anita! Letakkan senjatamu!”
Bu Mia maju satu langkah mendekati Anita.

“Jangan mendekat atau anak ini akan terluka!”
Anita mempererat himpitannya pada leher Shilla.

“Kenapa kau melakukannya? Sudah bertahun-tahun kita bersama-sama melindungi Negara ini.”

“Negara ini, harus dihancurkan. Kalian tidak akan bisa menghentikan rencana kami. Kami tau betapa bobroknya negara ini. Kami akan menyelamatkan Negara ini dengan menghancurkannya dan kami akan membangun Negara baru yang lebih baik.”

Mendengar jawaban Anita Rio pun berteriak dari tempatnya.
“Kenapa kau melakukannya? Aku tidak mengerti apa maksudmu. Kenapa kau memilih cara seperti ini?”

“Kau tidak akan pernah tau Rio. Setelah semua ini berakhir mereka akan membuangmu begitu saja.”

“Aku tidak peduli. Selama aku masih bisa menyelamatkan orang-orang yang kusayangi aku tidak peduli. Mereka adalah orang-orang yang ku inginkan berada di sisiku dan akan kulindungi apapun yang terjadi. Bukankah kau juga memilik orang-orang yang kau sayangi? Kenapa kau melakukan hal bodoh seperti ini?”

Anita menatap Rio dengan pandangan nanar. Dalam pikirannya terlintas ratusan slide yang menggambarkan 4 tahun perjalanan hidupnya bersama rekan-rekannya di THIRD-i.

 Tiba-tiba ia melepaskan Shilla dan mendorongnya menjauh namun dengan pistol yang masih terarah padanya.
“Kembalilah pada anak laki-laki bodoh itu.”

Shilla menatap Anita bingung sekaligus takut.

“Jika kau tidak segera berjalan aku akan menembakmu!”

Shilla pun mulai melangkah pelan. Ia bisa merasakan lututnya gemetar. Setelah beberapa langkah iapun segera berlari kearah Rio. Rio memeluk Shilla yang gemetaran.

Anita masih mengarahkan pistolnya pada Shilla dan Rio.

“Turunkan senjatamu Anita. Belum terlambat untuk mengakhiri semua ini.”
Bu Mia kembali berteriak dari tempatnya.

Namun, semua orang sontak terbelalak saat tiba-tiba Anita mengarahkan pistol pada kepalanya sendiri.

“ANITA!!!”

“Aku tidak punya tempat lagi untuk kembali.”

Dan bersamaan dengan suara tembakan tubuh Anita pun jatuh menghantam tanah dengan darah segar mengalir dari pelipis kanannya.

Sebutir air mata mengalir dari mata Bu Mia melihat sahabatnya mati dengan cara setragis itu. Semua orang pun menurunkan senjatanya demi melihat wanita itu sudah tergeletak tak bernyawa.

----------------

@Rumah sakit
19: 06 pm

Mereka berdua masih terdiam. Ify hanya bisa tertegun menerawang lantai setelah mendengarkan panjang lebar penjelasan Rio tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Ify dan Rio sama-sama tertunduk mengatur perasaan masing-masing. Kejadian barusan benar-benar masih menyisakan debar jantung bagi mereka.

Rio dan Ify menunggu Shilla dan Alvin yang sedang menjalani perawatan. Saat itu hanya mereka berdua yang duduk di kursi panjang yang berada di lorong itu.

“Mulai sekarang. Akan ada satu orang anggota THIRD-I yang akan menjagamu. Aku yang memintanya khusus pada mereka.”
Rio mengawali pembicaraan di antara mereka. Ify hanya mengangguk.

“Bu Anita pasti berniat untuk menjadikanmu tawanannya.”

Ify menggeleng pelan.
“Tidak.”

“apa?”

“Dia menyuruhku untuk menyampaikan maaf pada Kak Rio. Dia bilang aku beruntung memiliki teman sepertimu yang sangat pemberani. Dia bilang dia iri padaku karena punya teman yang seperti itu.”
Rio tercengang mendengar penuturan Ify.

“Apa kak Rio menganggapnya orang jahat?”

Rio mengangguk pasti.

“Entah kenapa aku merasa mungkin dia menyesali perbuatannya. Mungkin dia ingin memperbaiki kesalahannya.”

“Jika dia merasa bersalah dia tidak akan melakukan hal bodoh dengan bunuh diri dan lari dari tanggung jawab.”

Mereka kembali tenggelam dalam diam.

“Sebenarnya, Bu Anita datang untuk mengantar ini.”

Rio kaget melihat Ify menyodorkan flashdisk yang diambil Anita darinya.

“Mungkin…sebenarnya dia tidak ingin melakukan hal buruk itu.”
Kalimat lirih Ify sontak memutar slide-slide dalam ingatan Rio. Ia teringat Anita yang memilih peluru karet alam untuk menembaknya. Namun sontak Rio segera menggeleng-gelengkan kepalanya cepat.

 Rio meraih flashdisknya. Bergegas ia mengeluarkan laptop dari tasnya. Rio menancapkan flashdisknya dan mulai membuka memory tersembunyi di dalamnya untuk mengecek data-data yang sudah ia simpan disana. Ia mengabaikan Ify yang masih memandangnya.

Rio menghela nafas lega saat data Bloody Monday yang ia curi dari laptop Bu Maya masih berada di tempatnya. Ia pun membukanya dan mulai hendak membaca isi dokumen tersebut.

Baru saja Rio akan mulai membaca file yang sudah ia buka tiba-tiba Ify merebut laptop itu dari tangan Rio. Rio tertegun melihat Ify mengambil laptopnya dan meletakkannya di pangkuan. Ify mengamati tulisan-tulisan yang ada di sana. Ia meletakkan jari jemarinya di atas keyboard dan sesaat kemudian mulai mengetik cepat. Rio hanya menatap Ify pasrah saat gadis itu menutup file direktori rahasianya.

<dir>Application Compatibility Scripts
07/08/2011 07:17p
<dir> Debug
@ws2 # python
python 2.5.2 (r252:60911, Jul 8 2011, 07:17:32)
[GCC 4.2.4 (Debian 4.2.4-1)] on linux2
Type “help”,”copyright”,”credits” or “license: for more information
>>> import user;import sys;sys.path.append(*../code’)
Connecting to srv281.boucka.ru port 25…open, SMTP
Connecting to srv281.boucka.ru port 53…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 80…open, IIS
Connecting to srv281.boucka.ru port 52026…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 25180…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 31337…closed

                Ify menutup laptop Rio begitu saja. Rio diam tertegun memandangi gadis yang duduk di dekatnya itu. Ia tak tau mengapa Ify tiba-tiba melakukannya. Mereka kembali tenggelam dalam kediaman.

“Apakah……. setelah ini….. akan ada kejadian mengerikan seperti tadi lagi?”

Rio menatap Ify bingung.

“Apakah…. setelah ini, akan ada yang membahayakan nyawa kita lagi?”

Mulai ada titik kecil yang jatuh di pipi gadis itu. Rio yang melihat Ify menangis pun akhirnya hanya bisa diam tertunduk.

“Maaf. Semua gara-gara aku…..Tapi tenanglah, aku akan menjagamu. Pasti. Aku tidak akan membiarkanmu terluka. Aku akan…”

“Lalu bagaimana dengan kau sendiri?!?!”
Ify memotong cepat kalimat Rio.

Rio menatap Ify kaget. Rio tak tau harus berkata apa melihat mata Ify sudah basah menatapnya.
“Aku….”

Suara pintu yang terbuka membatalkan niat Rio untuk meneruskan kalimatnya. Shilla berjalan memapah Alvin keluar dari ruangan yang tak jauh dari tempat mereka menunggu. Rio segera mendekat dan membantu Alvin duduk.

“Bagaimana lukamu?”
Rio duduk di samping Alvin. Ia mengamati pundak Alvin yang sudah dibalut perban. Ia juga melihat gurat-gurat luka di wajah dan badan sahabatnya itu.

“Aku tidak apa-apa.”

Rio hanya bisa mengangguk pelan walaupun dia tau Alvin pasti merasakan sakit yang tidak ringan.

“Aku mengkhawatirkanmu Yo”

Rio menatap Alvin bingung.

“Aku senang kau selamat.”
Alvin menepuk pundak Rio yang masih menatapnya. Rio berusaha menyunggingkan senyum mendengar ucapan sahabat yang sangat mengkhawatirkannya itu. Namun sontak senyum Rio surut saat menyadari bahwa Shilla terus memandanginya dari tadi. Rio pun berdiri dan berjalan mendekat pada Shilla yang masih berdiri tak jauh dari mereka.

“Apa kau sudah tidak-apa?”

Shilla hanya diam dan tetap menatap Rio. Rio bisa menangkap bayangan bening yang menyelimuti mata gadis itu.

PLAKKKK!!!
Sebuah tamparan dari Shilla mendarat di pipi Rio.

“Maaf. Aku yang salah. Karena akulah kau mengalami peristiwa seperti tadi.”
Rio berkata pelan dengan wajah tertunduk tak berani menatap Shilla.

“Bukan itu! Rio, tidakkah kau mengerti? Kalau kau terlibat dalam sesuatu yang berbahaya, kenapa kau merahasiakannya? Selalu saja mengucapkan hal-hal bodoh seolah tak terjadi apa-apa. Selalu berpura-pura bahwa kau baik-baik saja. Kenapa kau merahasiakannya pada kami. Apa kau tidak mengerti betapa kami mengkhawatirkanmu? kalau kau tidak ada lagi disini….. akan ada orang-orang yang merasa kehilangan dan kesepian. Apakah kau pernah memikirkannya?”

Rio tertegun menatap wajah Shilla. Bayangan bening itu tak lagi menggantung. Mereka sudah jatuh membasahi wajah gadis itu.

Alvin dan Ify hanya bisa diam terpaku melihat dua orang itu.

---------------

THIRD-i
19: 45 pm

Semua orang berkumpul di lantai dasar. Wajah-wajah lelah tergurat jelas di wajah mereka. Satu lagi hari telah terlewati dengan rangkaian peristiwa yang tiada hentinya menguras tenaga.

Pak Susilo berdiri di tengah-tengah mereka.
“Kita semua pasti merasa berduka karena kehilangan salah satu rekan yang sudah berjuang bersama kita selama bertahun-tahun. Bagaimanapun juga, kita pernah merasakan berjuang bersamanya. Anita sudah bergabung dengan THIRD-I sejak 4 tahun yang lalu. Mungkin di antara kalian ada yang belum tahu bahwa dua tahun yang lalu, kakaknya yang bekerja di departemen pertahanan terjerat kasus korupsi. Dia dipenjara tapi akhirnya dia mati bunuh diri. Beberapa bulan kemudian baru diketahui bahwa ternyata bukan dia pelakunya, tetapi pemimpin salah satu divisi di departemen pertahanan. Ketidakadilan itu mungkin saja menjadi salah satu alasan Anita berkhianat demi membalas dendam.”

Yang hadir disana saling berpandangan satu sama lain. Beberapa orang tertunduk menyesalkan apa yang sudah terjadi. Bu Mia memejamkan matanya dengan jari jemari yang terkepal kuat.

“Dan mengenai Ayu….”
Pak Susilo melirik pada Pak Joni yang berdiri bersandar pada dinding di belakang mereka.

“Gas yang berasal dari ledakan di ruang kontrol udara sudah dikonfirmasi oleh Unit Perlindungan Zat Kimia. Mereka telah menetapkan bahwa gas tersebut…… memang benar mengandung Bloody X. Dan Ayu….Laboratorium sudah mengkonfirmasi bahwa dia positif terinfeksi.”

Pak Susilo kembali melirik pada Pak Joni. Tampak jelas kebencian dalam pandangan kosong laki-laki itu. Pak Susilo menghela nafas dalam.

“Apapun yang terjadi, kita harus terus berusaha menghentikan teror ini. Jangan biarkan pengorbanan rekan kalian sia-sia!”

Pak Joni mengepalkan tangannya kuat. Setetes air mata tampak jatuh dari wajahnya yang tertunduk dalam.

.
.
.
.
.

“Mia, ikut denganku.”

Bu Mia menatap bingung pada Pak Joni yang bicara padanya seolah tidak ingin diketahui orang lain. Ia pun berjalan pasrah mengikuti Pak Joni menuju ruangan pribadinya.

“Hentikan penjagaan pada Rio.”

“Apa?”

“Kita akan mengawasinya dari jauh. Dengan begitu teroris itu akan lebih leluasa menghubunginya.”

“Maksud anda, kita akan menjadikan Rio sebagai umpan? Tapi Pak…”

“JANGAN MEMBANTAH! Apa kau ingin lebih banyak lagi korban yang jatuh karena kasus Ini?”

Anita terpaku mendengar kalimat Pak Joni. Benarkah ini cara terbaik untuk menyelesaikan semuanya?

-----------------

Mobil Bu Mia berhenti di depan rumah sakit. Ia tetap berada di dalam menunggu seseorang. Tak lama kemudian Rio datang dari arah rumah sakit dan segera masuk ke dalam mobil itu.

“Ada apa sampai anda ingin bertemu saya seperti ini?”

“Korban berikutnya yang terinfeksi Bloody-X adalah tunangan Pak Joni. Dia juga adalah sahabatku. Aku mengerti bagaimana perasaan Pak Joni. Dia pasti tidak bisa berpikir rasional sekarang.”

Bu Mia menghela nafas dalam.
“Pak Joni memerintahkan untuk menghentikan penjagaan padamu dan memfokuskan pada pencarian Bu Maya.”

“Kami tidak bisa menjagamu lagi. Maaf. Tapi aku berjanji akan menjaga temanmu itu.”

Rio hanya bisa mengangguk pasrah. Setelah Bu Mia selesai menjelaskan semuanya, ia pun segera keluar dari mobil Bu Mia dan kembali masuk ke dalam rumah sakit.


Bu Mia menatap punggung Rio lekat-lekat. Sekali lagi ia menghela nafas yang terasa begitu sesak. Bu Mia menyalakan Wireless phone nya.

“Mia disini. Saya sudah bicara dengan Rio. ,,,,,Iya.…..Baik.”
Bu Mia mematikan wireless phone nya dan bergegas memacu mobilnya meninggalkan rumah sakit.

-----------------------

20:30

Berjalan pelan tanpa harus perlu berlari seperti sekarang terasa begitu dirindukan Rio. Rio mencoba menghirup udara dingin yang berhembus malam itu. Merasakan udara itu masuk dengan bebas ke dalam rongga dadanya setelah seharian tadi terasa sesak karena rasa takut. Ia sempatkan memejamkan matanya sejenak merasakan detak jantungnya yang sudah kembali normal. Ia ingin segera sampai di rumah dan membaringkan badannya yang sudah lelah.

Perlahan Rio membuka matanya kembali dan mencoba meneruskan langkahnya dengan senyuman. Namun senyuman Rio sontak surut saat pandangan matanya tertuju pada seseorang yang berjalan mendekatinya dengan senyum terukir di bibirnya. Rio sontak menghentikan langkahnya menatap orang itu. Jantungnya yang baru saja bisa merasakan ketenangan sontak dipaksa untuk kembali berpacu.

“Bu Maya?”

Bu Maya berhenti tepat di depan Rio.
“Sepertinya kita kebetulan bertemu. Atau mungkin ini memang takdir?”

Perlahan kaki Rio mulai beringsut mundur. Sial sekali Rio harus bertemu dengan orang itu di tempat sesepi ini.
“Apa yang kau inginkan?!?!?!”

“Tidak sopan sekali kamu berani membentak gurumu ini. Bagaimanapun juga aku masih punya janji untuk mempertemukanmu dengan ayahmu. Tapi sebelumnya, pemimpin kami mengatakan dia ingin bertemu denganmu. Jadi? Mau datang?”

Rio kaget mendengar penuturan Bu Maya.
“Pemimpin?”

Tanpa menjawab sepatah katapun Bu Maya langsung mengambil ponsel Rio dari sakunya.
“Ini. Aku mematikannya.”

Rio bergegas hendak merebut ponsel itu kembali. Tapi tanpa diduga Bu Maya segera memasukkan ponsel itu ke dalam dadanya. Rio pun tak bisa berbuat apa-apa.

Bersamaan dengan itu tiba-tiba ada mobil yang berhenti di dekat mereka. Tiga orang lelaki segera turun dan menangkap Rio yang tak sempat melarikan diri. Mereka menahan badan Rio dan membekap mulutnya. Mereka menarik Rio kedalam mobil dan membawanya pergi tanpa seorangpun yang tau.

-------------------

 “Kau bisa membuka matamu.”
Rio bisa merasakan mobil itu berhenti. Bu Maya membuka penutup mata Rio.

Rio membuka matanya. Mereka masih berada di dalam mobil. Salah seorang laki-laki yang membawanya membuka tali yang mengikat Rio. Bu Maya terlebih dahulu turun dari mobil dan kemudian menarik tangan Rio agar mengikutinya. Mereka memasuki sebuah tempat. Bu Maya menggandeng tangan Rio masuk ke tempat tersebut diikuti oleh tiga orang yang bersama mereka tadi mengawasi di belakangnya.

Tempat yang menjadi tujuan mereka ternyata adalah sebuah restoran yang sangat ramai dengan pengunjung. Rio melihat sekelilingnya dengan pandangan kaget. Dia tak menyangka bahwa pemimpin sebuah organisasi teroris besar mengajaknya bertemu di tempat umum seramai ini.

Bu Maya tiba-tiba menghentikan langkahnya sehingga mau tak mau membuat Rio pun berhenti di depan sebuah meja.

“Ini pemimpin kami, P.”

Seorang Laki-laki muda duduk tepat di depan mereka. Laki-laki itu berhenti meneguk melon sodanya dan mengalihkan pandangannya menatap Rio.

“Apa kabar, Rio……Ah bukan, Seharusnya aku memanggilmu si hacker handal, Falcon.”

Rio terbelalak menatap orang di depannya.
“Kau?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar