Senin, 12 September 2011

We Were There (CHAPTER 5)


Satu persatu kertas yang membungkus kardus tersebut mulai tanggal. Perlahan Ify membuka kardus tersebut dan betapa terkejutnya ia saat melihat apa yang ada di dalamnya. Diraihnya benda tersebut. Sebuah laptop Apple hitam dengan tempelan gambar burung yang ia kenal.

“Falcon?”
Ify memangku laptop tersebut. Tangannya meraih kembali kardus di sampingnya dan meraba-raba ke dalamnya. Seperti yang ia duga, tangannya meraih sesuatu. Ify menatap sebuah amplop yang sekarang di pegangnya. Bergegas ia membuka amplop tersebut. Hanya sebuah kalimat mengisi kertas dengan ukuran yang tak terlalu besar itu.

“Maaf, aku belum bisa mengganti dengan yang baru. Untuk sementara pakailah punyaku.” Begitu kira-kira yang tertulis di kertas surat tersebut.

Ify membuka laptop di pangkuannya. Bukan laptop baru memang, tapi tampilannya masih terlihat bagus dan bersih. Baru saja jari telunjuk Ify akan menekan tombol power sebelum akhirnya geraknya terhenti saat ponsel di dalam tasnya tiba-tiba berdering. Bergegas ia meraih ponselnya.

Ify cukup kaget menatap layar ponselnya, lalu ragu-ragu mengangkat telfon tersebut.

“Halo.”

“Maaf aku belum bisa mengganti dengan yang baru.”

Ify hanya terdiam.
Entah kenapa Ify tak juga menjawab kalimat pertama si penelfon tersebut. Matanya menatap laptop di pangkuannya. Tinggallah sunyi yang berada di antara mereka sekarang.

“Kenapa?”
Terdengar suara lirih Ify. Ify mengucapkan kalimat itu begitu pelan.

“Eh?”
Orang di seberang seperti tak mendengar apa yang Ify ucapkan.

“Kenapa? Kenapa…….. kamu mengganggu hidupku? Kenapa……Kamu ada di sekolah yang sama denganku? Kenapa…….harus kamu ketua klub Koran sekolah? Kenapa? Kamu ini…….siapa?”
Tatapan mata Ify tampak kosong. Ia masih terpaku pada laptop yang ada di pangkuannya sementara perlahan ia mengucapkan kalimat itu yang mungkin hanya sayup-sayup terdengar dari seberang.

Tak ada jawaban. Kesunyian kembali merambati telinga mereka masing-masing.

“Kamu….tidak mencoba masuk ke THIRD-I lagi kan?”

“Kamu ini... sebenarnya siapa? Apa maumu?”
Entah apa yang terjadi pada Ify. Kali ini tak ada teriakan maupun kalimat-kalimat yang meledak-ledak dari bibirnya. Mungkin dia sudah terlalu lelah untuk berbicara dengan makhluk aneh di seberang.

“Ify….apapun yang terjadi, jangan lakukan hal itu lagi. Menjauhlah dari THIRD-i. Sejauh mungkin.”

Sunyi. Ify hanya terdiam mendengar kalimat yang sepertinya sudah bosan ia dengar dari anak laki-laki itu.

“Ku mohon…..”
 Dua kata terakhir yang diucapkan secara perlahan itu mau tak mau membuat Ify mengalihkan pandangannya. Sekarang ia hanya menatap kosong rumahnya yang sepi.

“aku bisa mempertimbangkannya kalau kamu memberi tahu alasannya….”

Sayang, kalimat Ify tersebut hanya terjawab dengan bunyi dengungan panjang menandakan orang di seberang telah memutus sambungannya. Ify menatap layar ponselnya. Sejenak kemudian ia membanting ponselnya ke sofa di sebelahnya. Tangannya mengepal menahan amarah yang perlahan kembali muncul.

Ify menutup laptop di pangkuannya. Ditatapnya lekat-lekat lambang burung aneh yang tertempel disana. Helaan nafas Ify kali ini benar-benar terasa berat. Ia akui ia sangat membutuhkan laptop. Tapi, dengan melihat lambang burung itu saja pasti rasa marahnya akan muncul. Merasa muak dengan apa yang ia alami karena anak laki-laki itu akhirnya dia memasukkan kembali laptop itu ke dalam kardusnya dan bergegas membawanya ke kamar.

Ia meletakkan kardus itu begitu saja di atas meja belajarnya. Ia masih butuh waktu untuk bepikir apa yang harus ia perbuat terhadap laptop tersebut, apakah akan ia kembalikan pada pemiliknya, ataukah akan tetap ia bawa sampai ia bisa memiliki laptopnya sendiri.

Ify meraih handuknya dan berjalan kearah jendela. Seulas senyum tersungging dari bibir laki-laki itu bersamaan dengan jendela tirai kamar yang Ify tutup. Laki-laki itu berjalan santai meninggalkan tempat yang sedari tadi ia gunakan untuk mengintai kamar Ify dari kejauhan. Laki-laki itu menjentikkan jemari tangannya membentuk sebuah nada. Tampak tato kupu-kupu merah hitam di punggung tangannya.

***Domain:We Were There. Password:Chapter 5***

THIRD-i
 Friday, 1 Juli 2011 09:23 am

Dering telefon yang bergema di ruangan kecil itu membuat Pak Tantowi meletakkan penanya.

“Ya?”

“Saya Ita Pak. sepertinya ada yang mengkopi file rahasia kita secara illegal. Padahal file itu dilarang tersebar keluar , pak.”
Ita memelankan suaranya saat seorang pegawai THIRD-I lewat di belakangnya.

“Apakah itu perbuatan orang luar?”
Suara Pak Tantowi mulai menyiratkan nada kekhawatiran.

“Bukan,Pak. Sepertinya…. itu pekerjaan orang dalam.”
Raut kepanikan mulai tampak jelas dari wajah laki-laki paruh baya itu.

“Jika kita bisa memecahkan kodenya kemungkinan kita bisa mengetahui siapa yang melakukannya.”
Pak Tantowi mengepalkan tangannya saat mendengar penuturan Ita.

“Jangan memberitahu siapapun tentang hal ini. Investigasi hal ini secara rahasia.”
Pak Tantowi berjalan ke jendela. Dari ruangannya yang berada di lantai dua, ia bisa melihat kesibukan semua orang yang berada di lantai bawah. Mereka semua tampak bergegas menyelesaikan tugasnya masing-masing dalam keadaan genting seperti sekarang.

“Rahasia?”
Ita mengerutkan kening. Tapi, sejenak kemudian ia mulai mengerti maksud Pak Tantowi.
“ Saya mengerti. Terima kasih, Pak.”
Ita menutup telefonnya. Matanya mengawasi keadaan sekeliling. Firasat buruk akan adanya penghianat di THIRD-I membuatnya bersikap waspada. Bergegas ia melacak pelaku pengkopian secara illegal tersebut.

---------------

Begitu Ita menutup telfonnya, Pak Tantowi bergegas meraih ponsel dari saku jasnya dan menghubungi sebuah nomor.

“Halo.”
Suara di seberang menjawab dengan nada yang terdengar sangat berwibawa.

“Ini saya, Tantowi.”

“Bagaimana? Apakah kau sudah mendapatkan sesuatu?”

“Pak, bisakah kita bertemu sekarang juga?”
Bukannya menjawab, Pak Tantowi justru berbicara dengan tergesa-gesa.

“Apa maksudmu?”

Pak Tantowi tak juga menjawab. Sengaja ia tidak bicara saat melewati lantai bawah untuk menuju keluar gedung. Ia baru menjawab begitu ia sudah berada di tempat parkir sembari menuju kearah mobilnya.

“Sesuatu sedang terjadi di divisi kita. Ada sesuatu yang mengganggu saya.”
Suara Pak Tantowi berpadu dengan deru mesin mobilnya yang mulai menyala.

“Baiklah. Temui aku di restoran samping kantor Kementerian.“

Orang di seberang menutup telfonnya dan bersamaan dengan itu Pak Tantowi memacu gas mobilnya sekencang yang ia bisa.

------------------------

Pak Tantowi mengamati semua orang yang ada disana. Ia masih berdiri di dekat pintu masuk sampai akhirnya ia melihat wajah orang yang ia cari. Bergegas ia menghampirinya. Wajah Pak Tantowi tak bisa menyembunyikan kepanikannya.

“Ada apa?”

“Maaf Pak, saat ini THIRD-I dalam kondisi genting. Data itu lebih baik anda saja yang menyimpannya. Jika keadaan sudah aman saya akan kembali melaksanakan apa yang anda minta.”
Pak Tantowi mengeluarkan sebuah buku kecil dari saku jasnya. Ia hendak menyerahkan buku tersebut, namun sayang belum sempat tangan Pak Rudi menyentuh buku tersebut tiba-tiba suara tembakan mengejutkan mereka. Dan Pak Tantowi lebih terkejut lagi saat laki-laki di depannya tiba-tiba jatuh terkapar ke lantai. Darah segar mengalir dari belakang punggungnya. Pak Tantowi memasukkan kembali buku itu ke dalam sakunya.

“Pak! Pak Rudi!!! Pak!!!”
Teriakan panik Pak Tantowi tenggelam di antara teriakan orang-orang yang ada di dalam restoran tersebut. Pak Tantowi menggerak-gerakkan tubuh Pak Rudi yang mulai melemah.

“La…….ri……. “
Dengan sisa kesadaran yang ada Pak Rudi menggenggam erat jas Pak Tantowi.

“Pak!!! Tolong ambulance!!!”
Pramuniaga restoran itu segera memencet nomor darurat dan meminta kiriman ambulance secepat mungkin.

Pak Tantowi meraih handphonenya.
“Tantowi disini. Pak Rudi tertembak.Tolong kirim bantuan kesini secepatnya. Kami ada di restoran Black Coffee senayan. Cepat!!”

Pak Tantowi menutup telfonnya dan kembali menatap Pak Rudi yang mulai bernafas dengan terengah-engah.

“Bloo…..dy…… Mon……day……”
Itu menjadi dua kata terakhir yang diucapkan Pak Rudi sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

“Pak!!!!”

-----------------

Pak Tantowi masih duduk terpaku di sebuah bangku semen yang berada di depan restoran tempatnya bertemu dengan Pak Rudi. Tangannya mengepal erat dan wajahnya menunjukkan gurat kepanikan sekaligus tanda Tanya besar.

Pak Tantowi sontak berdiri. Baru saja ia hendak bergegas melangkah pergi tiba-tiba ia merasa ada yang menahan bahunya.

“Anda kami tahan.”

“Apa?!?!”
Pak Tantowi tersentak kaget saat Pak Aji , anak buahnya, tiba-tiba mencekalnya.

 “Apa maksud kalian?”
Tanpa mengatakan apapun pak Aji meraba saku baju Pak Tantowi dan menemukan buku kecil yang tadi hendak diserahkan pada Pak Rudi. Pak Aji membalik cepat tiap halaman buku tersebut. Dan tepat di tengah-tengahnya ternyata tersisip sebuah SD card.

“Apa ini?”

“Saya mendapatnya dari pak Rudi. Dia meminta saya untuk menyelidikinya.”

“Anda pikir kami akan percaya semudah itu?”

“Apa?”

“Anda merahasiakan pertemuan dengan pak Rudi disini. Lalu kenapa ada orang yang mengetahui keberadaan kalian?”

“Mungkin mereka mengikuti salah satu di antara kami.“

“Bukankah anda yang berniat membunuh Pak Rudi?”

“Apa?”
Tergurat jelas raut kekagetan dari wajah Pak Tantowi.

“Pak Tantowi, kami sudah berhasil mengetahui siapa mata-mata yang mengkopi data rahasia itu. Benar-benar tak terduga. Ternyata adalah anda sendiri. Anda harus ikut dengan kami.”

Kali ini Pak Tantowi tak berniat menyangkal. Ia menatap tajam dua rekan kerjanya yang mulai bergerak menahan tangannya. Sontak ia mengerahkan segenap tenaganya meloloskan diri dari cengkeraman tangan mereka dan berlari secepat yang ia bisa.

Pak Tantowi terus berlari di antara kepadatan pejalan kali. Di belakangnya Pak Aji dan rekannya, Mia, berlari sekuat tenaga mengejarnya. Dengung sirine mobil polisi mulai terdengar di kejauhan. Tampaknya mereka dikerahkan untuk menangkap Pak Tantowi yang sudah dicap sebagai pengkhianat. Pak Tantowi berlari memasuki senuah gang kecil. Beruntung sepertinya Pak Aji dan Mia jauh tertinggal di blakangnya.

Tertatih-tatih Pak Tantowi mengurangi kecepatan berlarinya. Di tengah nafasnya yang memburu ia berusaha memfokuskan matanya pada layar ponselnya dan berusaha memencet sebuah nomor. Pak Tantowi mencoba menghubungi Rio.

“Halo. Ayah?!?”
Terdengar nada antusias dari putra satu-satunya itu.

“Rio, maaf, ayah tidak akan bisa pulang ke rumah lagi. Maafkan ayah karena melibatkanmu pada suatu hal yang tak terduga. Sudah terlambat untuk berhenti sekarang. Ayah yakin kau bisa menemukan dan menghentikannya. Jagalah dirimu. Mereka mungkin menjadikanmu target selanjutnya.”

“Apa?”
Rio tertegun mendengar suara terputus-putus ayahnya yang berbaur dengan desah nafas terengah.

“kita tidak akan bertemu lagi, tapi ayah mohon apapun yang terjadi percayalah pada ayah, ayah ada di pihakmu. Tak peduli apapun yang orang lain katakan. Ayah melakukan ini semua demi kamu Rio. Ayah akan melakukan apapun agar kau selamat. Jaga dirimu.

“apa maksud ayah kita tidak akan bertemu lagi?”
Kali ini nada suara Rio mulai berubah panik.

“Dengar! Ingatlah dengan baik kata-kata yang akan ayah ucapkan. Ayah hanya akan mengucapkannya satu kali.”
Pak Tantowi menghentikan larinya. Ia bersembunyi di sebuah gang sempit yang tertutup oleh tumpukan kardus sehingga tak terlihat dari jalanan. Ia mengatur nafasnya agar apa yang ia ucapkan bisa didengar dengan jelas oleh Rio.

“Jangan mengatakan hal ini pada siapapun kecuali kau benar-benar mempercayainya.”

“Ayah?”

“DENGAR!”
Suara bentakan ayahnya sontak membuat Rio diam terpaku. Mau tak mau ia pun memasang telinganya demi mendengar apa yang akan diucapkan ayahnya.

“Boody Monday.”

“Bloody Monday? Ayah? Halo. Ayah!”
Rio terpaku menatap layar ponselnya. Tanpa menjelaskan apapun ayahnya memutus sambungan telefon mereka dan menyisakan tanda Tanya besar di hati Rio.

-------------------

Rio berjalan dengan tatapan kosong menuju rumahnya yang tinggal beberapa meter lagi. Apa yang diucapkan ayahnya tadi benar-benar meninggalkan gunungan rasa penasaran. Rio tak tau harus bertanya pada siapa. Bahkan nomor ayahnya sudah tidak bisa dihubungi lagi. Sekarang tinggallah dia tenggelam sendirian dalam kebingungan yang entah harus bagaimana dia menanggapinya.

Rio baru sadar kembali saat seseorang berjas hitam menghadang langkahnya.

“Selamat siang saudara Rio.”
Rio mengernyitkan dahi melihat orang di hadapannya. Tampaknya orang tersebut sudah menunggu kepulangan Rio sejak tadi.

“Mana ayahmu?’

“Walaupun kalian menunggu disini sampai kapanpun ia tidak akan pernah kembali. Dia tidak pernah pulang ke rumah.”
Rio menjawab ketus dan melangkah meninggalkan polisi tersebut.

“Ayahmu membunuh Kepala Lembaga Riset THIRD-I siang tadi.”
Rio sontak menghentikan langkahnya. Ia berdiri terpaku mendengar penuturan orang tersebut.

Polisi itu mendekat ke hadapan Rio. Ia meraih sesuatu dari sakunya. Ia mengeluarkan selembar kartu nama dan menyerahkannya pada Rio.
“Jika dia kembali tolong hubungi kami.”

Rio tak berniat sedikitpun meraih kartu nama itu. Ia tetap terpaku diliputi rasa kaget.

Melihat anak laki-laki di depannya tak bergeming akhirnya polisi itu menyisipkan kartu namanya ke saku baju Rio begitu saja dan melangkah pergi memasuki mobilnya. Ia memacu kendaraannya menjauh dari rumah Rio.

Rio masih terpaku di tempatnya. Gunungan pertanyaan yang sedari tadi sudah memenuhi otaknya sekarang menjadi semakin tinggi setelah mendengar penuturan orang tadi.

“Ayah? Membunuh?”

----------------
Pukul 23.30. Rio masih duduk terpaku menatap foto keluarganya yang terpajang di atas meja belajar. Kepalanya mulai terasa pening setelah sekian lama mencoba menghubungkan segala macam apa yang ada di dalam otaknya untuk menemukan titik terang dari apa yang sedang terjadi sekarang.

“AAARRRGGHH!!!”
Rio mengacak-acak rambutnya sendiri dan sontak menelungkupkan kepalanya ke atas beja belajarnya. Ia memejamkan matanya kuat-kuat. Sekuat apapun dia berpikir dia tetap tidak bisa menentukan harus dari mana dia mulai mencari.

Tiba-tiba sebuah pemikiran melintas di otaknya yang sedang kacau. Dia teringat pada sesuatu. Sontak ia mengangkat kepalanya.

“Mungkinkah? Semua ini ada kaitannya dengan kasus Rusia itu?”
Rio mulai memutar otaknya kembali.
“Ya, pasti, Rusia pasti terlibat dalam peristiwa ini. Jika aku bisa menemukan sesuatu mungkin aku bisa membuktikan bahwa ayah tidak bersalah. Aku harus berbuat sesuatu. Jika terorisme itu benar-benar  terbukti berarti nyawa banyak orang terancam. Jika aku melarikan diri sekarang, semuanya tetap tidak akan berubah. Aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus melakukan sesuatu.”

Rio meraih laptop pemberian THIRD-I dari dalam tasnya. Bergegas ia membuka kembali data yang ia dapat tadi siang. Ia meregangkan jari-jemarinya sebelum mulai melanjutkan menerobos instalasi militer Rusia.

Connecting to srv281.boucka.ru port 34197…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 12935…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 49114…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 13217…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 46797…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 52026…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 25180…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 31337…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 25…open, SMTP
Connecting to srv281.boucka.ru port 53…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 80…open, IIS
falcon@ws2 # python
python 2.5.2 (r252:60911, Jul 1 2011, 08:35:32)
[GCC 4.2.4 (Debian 4.2.4-1)] on linux2
Type “help”,”copyright”,”credits” or “license: for more information
>>> import user;import sys;sys.path.append(*../code’)
Py> import test_code as t
Py> t.get_in()
Attacking target…
Spawning shell..
Microsoft Windows 2000 [Version 5.00.2195]
©Copyright 1985-1999 Microsoft Corp.

C:\WINNT\system32>
04/13/2004 12:47p   <DIR>   Inetpub
01/28/2004 05:38p   <DIR>   Microsoft URM Volume
05/11/2005 10:28a   201,326,592   pagefile.sys
04/15/2004 04:05p   <DIR>   Program Files
4 File(S) 201,930,833 bytes
2 Dir(S) 2,982,412,288 bytes free

Tak terlalu sulit untuk masuk karena dia sudah mendapatkan password hingga beberapa level saat dia menge-hack nya waktu lalu. Ia terus bergerak menelusuri ratusan file yang memenuhi data server mereka. Butuh waktu hampir satu jam untuk mendeteksi ratusan file tersebut.


“Tapi kenapa sepertinya ini hanya system file?”
Rio terus mengamati dengan teliti daftar nama file dalam memory tersebut.


“09/01/2000 12:41p   21,565,113 !*ge30B0RHeocPPTO
01/20/2004   <DIR>   Application Compatibility Scripts
12/07/1999 01:00p    82,944   clock.avi
01/28/2004 07:17p <DIR> Debug

Rio terdiam sejenak mengamati deretan nama file yang tertera disana. Dahinya berkerut bingung.


“ Eh, apa ini?”
Mata Rio berhenti pada sebuah nama file yang menurutnya aneh. File tersebut bernama "!*ge30B0RHeocPPTO"

 “Bisa di downloadlkah? Tapi security system sepertinya memonitor setiap 30 detik untuk perpindahan yang mencurigakan. aku hanya punya 10 secon untuk download. jika lama aku akan tertangkap.”
Rio mencoba memikirkan cara terbaik agar bisa mendownload file tersebut. Tak ada salahnya mencoba. Siapa tau file itulah yang sedang ia cari. Kursor laptopnya sudah berada di atas kata “download”. Tinggal ia menjentikkan sekali saja jari telunjuknya maka proses download akan dimulai.

“ Baiklah, mulai.”
Rio menekan enter. Ia menunggu dengan cukup berdebar sementara file tersebut didownload. Sepertinya tidak ada masalah.

“Capture complete”
Tepat di detik ke sepuluh kotak downloadpun tertutup. Secepat mungkin Rio keluar dari sana.

falcon@ws2 # python
python 2.5.2 (r252:60911, Jul 1 2011, 08:35:32)
[GCC 4.2.4 (Debian 4.2.4-1)] on linux2
Type “help”,”copyright”,”credits” or “license: for more information
>>> import user;import sys;sys.path.append(*../code’)
Connecting to srv281.boucka.ru port 25…open, SMTP
Connecting to srv281.boucka.ru port 53…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 80…open, IIS
Connecting to srv281.boucka.ru port 52026…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 25180…closed
Connecting to srv281.boucka.ru port 31337…closed

“Hampir saja.”
Rio mengusap-usapkan telapak tangannya yang basah keringat ke celana yang ia kenakan. Ia mengamati file di dekstopnya yang baru saja dia download.

Rio mencoba membukanya namun gagal.
“Tidak berguna. File ini dilindungi password. Hhhh, aku masih harus menemukan metode pemasswordannya baru aku bisa mencari passwordnya.”

Rio pun mulai menganalisa metode pemasswordan dan jenis file tersebut. Butuh waktu lama untuk bisa melakukannya.

Rio memutar-mutar kepalanya menimbulkan bunyi tulang-tulang yang bergemeretak setelah sekian lama memantengi layar computer. Pandangan matanya sontak tertuju pada jam dinding di sebelah kanannya.

“AAAA!!! Jam 6?!?!?!”
Rio berlari kearah jendela dan menyibakkan tirainya. Ternyata benar, matahari sudah bersinar sedemikian terangnya. Rio menghela nafas pasrah karena dia baru menyadari bahwa ternyata semalaman dia duduk di depan computer tanpa tidur sedikitpun. Ia pun melangkah gontai menuju kamar mandi dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah.

Seperti yang ia duga, Rio melewati tiap pelajaran hari ini dengan mata hampir terpejam dan sudah puluhan kali dia menguap. Alvin dan Shilla yang melihat tingkah Rio hanya bisa pasrah karena Rio tak mau mengatakan alasan kenapa dia begadang sampai kantung matanya sebesar itu.

Dan puncaknya adalah saat pelajaran biologi. Kejelian mata Bu Maya akhirnya menangkap basah Rio saat tertidur di bangkunya. Akhirnya Bu Maya pun menyuruh Rio datang ke ruangannya setelah pulang sekolah.

----------------

“Duduklah.”

“Ah, maaf Bu saya terlalu cepat datangnya.”

Bu Maya menarik kursi yang berada tak jauh dari sana.

Ragu-ragu Rio duduk di samping Bu Maya.

 “Apa yang kau lakukan semalam sampai kau mengantuk di kelasku? Kau adalah satu-satunya murid yang mengantuk saat pelajaranku. Bahkan aku sudah memberikan sedikit bonus padamu dengan memakai rok mini hari ini.”
 Rio menundukkan kepalanya. Matanya melirik ke Bu Maya yang berdiri dengan sedikit membungkuk. Ia sontak memalingkan wajahnya yang bersemu merah saat matanya menangkap kaki mulus Bu Maya dengan rok yang agak tertarik ke atas.

“Jadi? Apa yang kau lakukan?”

“Mmmm, saya hanya melakukan pekerjaan yang tidak penting.”

“Rio, Rio, wajahmu jika berbohong tampak lucu. Katakan saja. Apa yang sebenarnya kau lakukan?”

“saya hanya….”

“Kau tidak mau menunjukkannya pada gurumu ini? Aku hanya ingin tau apa saja yang dilakukan muridku”
Bu Maya semakin mendekat pada Rio.

“Saya, saya hanya mencoba mendownload sebuah video yang sangat ingin saya tonton. Butuh waktu lama untuk mendapatkannya. Hehe, saya terlalu bersemangat sampai tidak sadar kalau hari sudah pagi.”
Sepertinya Rio tidak tahan juga karena Bu Maya terus mendekatkan wajah padanya.

“Boleh aku ikut melihatnya?”

“Saya baru menghasil mendownloadnya. Tapi sayangnya video ini dipasword. Saya harus menemukan passwordnya dulu baru bisa membukanya.”

“Oh, pasti video ini sangat menarik sampai kau mengerjakannya semalaman. Aku jadi penasaran. Bahkan videonya dipassword. Berapa lama waktunya untuk menemukan passwordnya?”

“Bisa sebulan.”

“Sebegitu lama?”
Bu Maya beranjak dan mengambil minuman.

“Tapi ada cara lain untuk melakukannya dalam waktu singkat.”
Bu Maya tampak terkejut. Setelah selesai menuangkan kopi hangat ke dalam cangkir, ia berjalan kembali mendekat pada Rio.

“Kita bisa memanfaatkan kemampuan untuk membagi file dengan komputer lain yang terkoneksi ke internet. Itu….seperti peer to peer file sharing. Dengan itu, kita bisa membuat virtual komputer  berkekuatan besar di internet. Di internet ada jutaan komputer yang terhubung. Dan mereka tidak selalu menggunakan kinerja mereka setiap waktu. Jika kita menghubungkannya dan membagi pekerjaan itu pada computer-komputer yang sedang tidak digunakan itu maka itu seperti distributing computing yang akan mempercepat pekerjaan kita.”
Rio menjelaskan sambil memperagakan apa yang dikatakannya. Sekarang dia sedang mencoba membuat koneksi dengan ratusan computer di berbagai Negara melalui laptopnya. Bu Maya menatap lekat-lekat setiap hal yang dilakukan Rio.

“Selesai!”

“Hah? Secepat itu?”
Bu Maya mengerutkan dahinya tanpa menyadari bahwa prosesnya begitu cepat.

“Sekarang kita masukkan passwordnya dan file ini akan berubah menjadi file video."

C:\WINNT>copy !*ge30B0RHeocPPTO \inetpub\wwwroot\data
1 file (s) copied

“Yap, Filenya berubah. Namanya Pe3HR B PokkecTBo.”

“Eh?Ini bahasa Rusia?”

Rio terkejut.
“Ibu mengerti artinya?”

“Christmas Massacre.”

File tersebut ternyata adalah video yang merupakan potongan dari video sebelum kejadian berdarah di Rusia itu. Orang-orang tampak bekerja seperti biasa di sebuah Bank. Namun, beberapa saat kemudiaan disaat semua orang sedang bekerja tiba-tiba ada satu orang yang berteriak karena hidungnya berdarah.

“Inikah yang mereka cari?”
Rio membuka sebuah alamat email dan melampirkan video tersebut. Ia harus mengirimkannya pada THIRD-I seperti yang diminta oleh Pak Susilo.

“Apa yang kau lakukan?”

“Ah, mmm, aku mengirimnya pada temanku yang lain. Mereka juga ingin melihatnya.”
Setidaknya Rio masih ingat bahwa ia punya kewajiban untuk merahasiakannya. Beruntung alamat email yang dia kirim menggunakan nama orang sehingga tidak terlalu mencurigakan.

“Bu, sepertinya sudah sore. Saya harus segera pulang. Ada sesuatu yang harus saya kerjakan.”
Tanpa menunggu jawaban dari Bu Maya Rio bergegas menutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas. Terburu-buru ia berlari meninggalkan Bu Maya yang terpaku menatapnya.

Bu Maya menggenggam erat cangkir di tangannya. Ditatapnya lekat-lekat Rio yang berlari menjauh dari lab Biologi.

------------------

THIRD-i
Saturday, 2 Juli 2011 14.08 pm

Beberapa orang sudah berkumpul di ruangan itu. Semua orang sedang terpaku menatap layar LCD yang terpajang di salah satu sisi dinding. Wajah mereka mengguratkan kekagetan sekaligus kekhawatiran setelah melihat tayangan video di layar tersebut.

“Ini adalah video kiriman dari Falcon.”

Seorang laki-laki berpakaian layaknya dokter sontak memecah kesunyian di ruangan tersebut.
 “Ini kemungkinan adalah salah satu virus yang dibuat oleh Breding Smallpox and Ebola. Namanya Bloody X. SD Card yang kalian peroleh dari Pak Tantowi sudah selesai ku analisis. Dan ternyata berisi rangkaian DNA . Rangkaian DNA itu…..cocok dengan bloody X.”

Semua orang di ruangan tersebut sontak tercengang.

“Jika virus ini disebarkan, berapa banyak korban yang akan jatuh?”

“Virus ini disebarkan melalui udara. Uni soviet pernah mengembangkannya sebagai senjata kimia. Jika virus ini tersebar, korban di minggu pertama dapat mencapai lebih dari 8 juta orang.”

“8 juta?”
Pak Susilo menatap Dokter bernama Pak Bagus itu dengan pandangan tak percaya.

 “Tunggu. Bloody X? Bukankah….anda pernah melakukan penelitian untuk menemukan anti virusnya beberapa tahun yang lalu?”
Pertanyaan yang diajukan salah satu polisi di ruangan itu sontak membuat Pak Bagus menatap tajam padanya.

“Kau benar. Penemuan antivirus ini sangat sulit. Butuh banyak waktu dan dana. Tapi sepertinya saat itu Menteri Kesehatan menganggapku hanya membuang-buang waktu sehingga menyuruhku menghentikan penelitian. Sayang sekali, ternyata dugaannya salah.”

Semua orang sontak menatap Pak Bagus. Laki-laki itu menatap tajam video yang masih diputar berulang-ulang di layar LCD. Pandangannya jauh menerawang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar