Senin, 12 September 2011

-OOT- Everything for You (Matsumoto Jun Fanfic) PART 2


Mao segera memasukkan baju-baju kotor yang menumpuk di tempat cucian ke dalam mesim cuci. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 siang tapi Mao baru memulai pekerjaannya. Dia baru saja sampai setelah sejak pagi tadi berada di toko tempat ia kerja sebelumnya untuk menyelesaikan beberapa urusan sekaligus meminta ijin pada pemilik toko untuk berhenti kerja.

“Na na na na….”
Mao mendendangkan lagu favoritnya sambil mengurus cucian kotornya. Hari ini dia sudah bertekad akan mengerjakan semuanya sebaik dan secepat mungkin karena sore ini Jun akan pulang. Mao tersenyum-senyum sendiri membayangkan wajah orang yang sangat-sangat disukainya itu.

Pukul 8 malam Mao sudah selesai membereskan meja makan. Berkali-kali ia menengok jam dinding. Hari sudah hampir gelap tapi Jun belum juga pulang. Mao mulai memasang bibir manyunnya sementara tangannya masih sibuk membereskan dapur yang cukup berantakan.

“Mao, coba tolong kau bungkuskan ini. Saya mau membawanya ke kantor besok.”
Mao menerima sebuah kotak besar yang cukup berat dan kertas coklat pembungkus dua gulung.

“Saya selesaikan mencuci piring dulu tidak apa-apa kan Sawada san?”

“Oh iya iya, kerjakan saja sesempatmu, yang penting besok sudah siap.”
Senyum yang disunggingkan Sawada san memperlihatkan wajah berwibawa dari raut yang sudah cukup berumur itu. Baru saja Sawada san berjalan beberapa langkah meninggalkan Mao, terdengar suara seseorang membuka pintu depan. Sawada san sontak menghentikan langkahnya.

“Itu pasti Jun.”
Mao menggigit bibirnya pelan. Jantungnya mulai berdebar kencang tak sabar melihat ekspresi wajah Jun saat melihatnya disini.

Benar saja, beberapa saat kemudian muncul Jun dengan menjinjing tas punggungnya di tangan kanan dan sebuah kotak berukuran sedang di tangan kirinya. Mao yang melihat wajah orang yang sangat dirindukannya itu sontak memperkeras gigitan bibirnya.

Pandangan mata Jun yang baru saja memasuki ruang makan sontak tertuju pada dua orang yang berdiri menyambutnya.

“Jun, ini Mao. Dia…”

“Apa yang kau lakukan disini?!?!”
Suara keras Jun sontak membuat tubuh Mao sedikit tersentak ke belakang. Sawada san bergantian menatap mereka dengan wajah heran.

“Aku….aku kerja disini. Aku…”
Mao tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Pandangannya tertunduk tak berani menatap wajah Jun yang tampak benar-benar menakutkan kali ini.

“Kalian, saling kenal?”

“Kami…”
Belum sempat Mao menjawab. Jun tiba-tiba mendekatinya dan mencengkeram lengannya dan menariknya keluar.

“Hei Jun!”
Sawada san bergegas menyusul Jun yang dengan cepat menyeret Mao keluar.

“Jun lepas! Jun sakit….”
Mao meronta minta dilepaskan. Jun baru melepaskan lengan Mao setelah mendorongnya keluar dari pintu depan.

“Jun!!! apa-apaan kau ini?”
Mao segera berlari ke balik badan Sawada san. Jun menatapnya tajam. Sementara Sawada san juga menatap tajam Jun.

“Kau ini apa-apaan? Dia bekerja untukku. Kau tidak berhak menyuruhnya pergi. Dasar anak kurang ajar!!”

“Anoo…”
Sawada san sontak berbalik menghadap Mao.

“Saya…saya teman sekelasnya Jun.”
Mao bisa menangkap dengan jelas perubahan raut wajah Sawada san begitu mendengar penuturan Mao.

“Apa? Teman? Sekelas?”
Sawada san menatap mereka bergantian. Tiba-tiba Jun kembali menarik tangan Mao dan menyeretnya keluar. Akan tetapi kali ini Mao berhasil meronta dan melepaskan diri dari cengkeramannya.

“Aku mau tetap disini. Aku….aku mau bekerja disini. Aku tidak mau pergi!!”
Mao berteriak kencang pada Jun. Ia tak menyadari tatapan tajam Sawada san yang tertuju padanya.

“Kau ini!!” Baru saja Jun akan melangkah mendekati Mao lagi untuk menarik tangannya tiba-tiba Sawada san menahan bahu Jun dan sontak membuat Jun menatap tajam padanya.

“Bukankah dia bilang dia ingin bekerja disini atas kemauannya sendiri?”
Sawada san bicara dengan nada pelan tapi menyiratkan rasa kesal yang mendalam pada Jun. Jun sontak menghindarkan bahunya dari tangan Sawada san. Ia menatap Mao tajam. Dan tak lama kemudian ia bergegas meninggalkan mereka.

“Jun!”
Jun tak mempedulikan sama sekali teriakan Mao. Ia terus saja melangkah masuk ke dalam…..gudang….

“Eh? Itu kan? Eh? Bukankah Sawada san bilang itu gudang? Kenapa Jun masuk kesana?”
Mao masih terus tercengang menatap gudang di pojokan dapur. Ia terus bertanya pada Sawada san tanpa melihat ekspresi wajah Sawada san yang semakin memerah menahan amarah. Mao mendesah lesu. Ia berbalik menghadap Sawada san dan membungkukkan badannya memohon maaf.

“Maaf... Semua ini karena saya. Tapi, sungguh saya tetap ingin bekerja disini. Saya mohon.”
Mao terus membungkuk menanti jawaban Sawada san. Sementara Sawada san hanya menatap tajam gadis polos yang sedang memohon di hadapannya.

“Lakukan saja apa maumu.”
Sawada san meninggalkan Mao yang masih membungkuk. Mao mengangkat wajahnya dan memandang punggung Sawada san yang sudah menjauh keluar dari ruang makan.

“Kenapa?”
Mao bertanya pada dirinya sendiri.

------------------

Mao berjalan menuju dapur sambil menguap dan meregangkan otot-ototnya. Baru pukul 5. Langitpun bahkan masih gelap. Mao hanya berusaha bangun sepagi mungkin dan menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin walaupun dirinya masih sangat amat mengantuk karena dia baru bisa tertidur jam satu malam memikirkan kejadian kemarin malam. Karena kejadian itu jugalah Mao tak ingin membuat Sawada san, dan Jun, semakin marah. Walaupun ia masih belum tau alasan kenapa Jun begitu marah hanya karena ia ingin bekerja disini, dan kenapa juga Sawada san bisa langsung berubah sikap begitu mengetahui bahwa ia adalah teman sekelas Jun.

Baru saja tangan Mao akan meraih panci yang tergantung di dinding dapur, sontak ia menghentikan geraknya saat hidungnya mengendus bau harum. Perlahan ia mengikuti sumber aroma itu dan begitu terkejutnya dia saat ia melihat di atas kompor sudah tersaji satu panci sup hangat. Bergegas Mao menuju ruang makan. Buru-buru ia membuka penutup di atas meja. Dan benar saja. Sudah tersaji lauk pauk lengkap di sana. Mao menggigit bibirnya pelan.

Di tengah perasaan bersalahnya tiba-tiba ia mendengar suara benda berbenturan di helaman belakang. Bergegas Mao melangkah menuju sumber suara. Pandangan matanya tertumpu pada sosok Jun yang tengah menjemur baju disana. Yui kembali menggigit bibirnya. Bahkan matahari saja belum bangun dari peraduannya tapi semua pekerjaan sudah hampir selesai.

“Jam berapa dia bangun?”
Mao memukul-mukul kepalanya sendiri menyesali kebodohannya sebagai orang baru di rumah ini. Dengan mengumpulkan segenap keberanian perlahan ia berjalan mendekat ke arah Jun. Jun menangkap suara orang melangkah di belakangnya. Tanpa menoleh matanya melirik tajam ke arah sumber suara dan ia mempercepat kerjanya.

“Jun….maaf, sepertinya, aku bangun terlalu siang….”
Jun tak sedikitpun menggubris perkataan Mao. Bahkan sepertinya ia menganggap Mao tak pernah ada. Cucian di bak Jun sudah kosong. Bergegas ia meninggalkan halaman belakang dan meraih sapu yang tersandar di pojokan dinding. Mao tersadar dan segera berlari menyusul Jun. Direbutnya sapu yang sudah digenggam Jun.

“Biar aku saja.”
Jun tak mngatakan apapun atau melakukan perlawanan sama sekali. Ia meninggalkan Mao begitu saja. Ia melangkah masuk ke dalam rumah dan sepertinya Jun akan mulai membersihkan lantai rumah. Mao memandangi sapu yang ada di tangannya. Setelah menghela nafas dalam ia melangkah kembali ke halaman belakang dan mulai membersihkan dedaunan yang jatu disana.

“Hhhh…”
Mao kembali menghela nafas dalam. Ia merasa begitu kikuk menghadapi sikap Jun.

--------------

Mao bersandar di sebuah pohon besar yang menjulang di halaman depan. Ia benar-benar mati kaku hari ini. Setelah pagi tadi ia kikuk berat menghadapi sikap Jun, ternyata hal yang lebih menyakitkan lagi masih harus menimpanya. Entah kenapa Sawada san pun mulai berubah sikap padanya. Ia tak mau bicara dengannya dan selalu memandangnya sinis.

Entah sudah helaan nafas yang ke berapa puluh kali yang dihembuskan Mao hari ini karena menahan perasaan tidak nyaman. Sekarang ia hanya sendirian di rumah sebesar ini menyiram tanaman di halaman depan. Sawada san sudah berangkat kerja dan Jun tentu saja sekolah.

Sekarang dia sadar kenapa Jun bangun begitu pagi. Ia biasa menyelesaikan semua pekerjaan sepagi mungkin untuk kemudian pergi berbelanja di pasar yang sama seperti ia dulu. Pantas saja dulu ia bertemu dengannya. Dan dengan begitu Jun bisa pulang dari pasar jam enam pagi dan mulai bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.

“Jadi selama ini ia mengerjakan begitu banyak hal? Mencuci baju, menyetrika, menyapu halaman depan dan belakang, membereskan rumah sebesar ini, mencuci mobil, menyiram tanaman, berbelanja, mengurus semua hewan peliharaan, menyiapkan makan. Ahhh, tidak pernah ku bayangkan Jun ku melakukan semua itu. Apalagi dia kelas 3, ada pelajaran tambahan sepulang sekolah. Pulang sekolah saja baru jam setengah lima. Tapi dia masih bisa belajar dan menjadi sepintar itu. Tidur jam berapa ya dia kalau malam? Sudah begitu dia bisa bangun sepagi itu. Hhhh, Jun ku….”

Mao memanyunkan bibirnya membayangkan hal-hal melelahkan yang semua dikerjakan Jun sendirian.

“Yosshhh!!! Kalau begitu, bagaimanapun juga, aku akan tetap disini. Dengan begitu pekerjaan Jun bisa lebih ringan!!”
Mao kembali berdiri tegap menghadap deretan tanaman di hadapannya. Semangatnya kembali muncul untuk melanjutkan kegiatannya hari ini.

-----------------

Seperti biasa jam lima sore Jun baru menampakkan batang hidungnya sepulang sekolah. Matanya mengawasi sekeliling. Menyadari bahwa semua pekerjaan sudah dikerjakan oleh Mao diapun langsung masuk ke dalam kamar tanpa bicara apapun pada Mao yang sibuk di dapur.

Beberapa menit kemudian Jun keluar dari kamar dan berjalan mengambil minuman yang terletak tak jauh dari tempat Yui berdiri. Yui melirik ke arah Jun yang benar-benar menganggap dirinya tidak ada.

“Jun….mmm, sepertinya…kita…harus berbagi tugas….aku….”
Mao tidak meneruskan kalimatnya begitu melihat Jun sama sekali tak tampak merespon.

“Aku, disini juga digaji. Mmmm, aku tidak mungkin membiarkanmu tetap mengerjakan semuanya. Sawada san…”

“Aku bilang pergilah dari sini!!”
Bentakan Jun tak pelak membuat Mao tertegun. Apalagi begitu Jun menatap dengan pandangan tajam padanya. Suara yang sudah bersiap keluar sontak terasa tercekat
di tenggorokannya.

“Aku….”
Belum sempat Mao meneruskan kalimatnya kebetulan Jun sudah selesai meneguk air minum di gelasnya. Jun pun bergegas meninggalkan Mao dan masuk ke dalam kamarnya.

Mao merosot duduk berjongkok. Ia merasa kakinya lemah lunglai diperlakukan seperti itu. Namun ia bergegas berdiri kembali.

“Semangat Mao, semangat! Kau harus kuat! Demi Jun! Yosshh!!!”
Mao pun kembali melanjutkan menyelesaikan mencuci peralatan masaknya.

Keesokan harinya…

Pukul setengah tujuh. Sawada san tampak begitu menikmati makan paginya. Namun, saat ia menyadari Mao yang menatapnya takut-takut dari dapur sontak ia menghentikan makannya dan menatap Mao tajam. Mao pun sontak menundukkan wajahnya takut.

“Hei kau! Setelah ini biar Jun saja yang memasak. Kau ini masak saja tidak becus!”

Mao ternganga mendengar perkataan Sawada san.
“Sejak kapan dia mulai berkata kasar sperti itu padaku?”
Mao mengangguk pelan dan segera membalikkan badannya menghindari tatapan Sawada san. Ia mengumpat kesal.

“Dibilang tidak enak tapi dia memakannya dengan rakus begitu.
Mao memanyunkan bibirnya.

Tak lama kemudian sepertinya Sawada san sudah selesai makan. Mao masih tetap tak berani untuk membalikkan badannya, ia masih pura-pura sibuk membereskan dapur.

“Jun!”
Mao baru menoleh sedikit saat mendengar Sawada san memanggil nama Jun. Tampak Jun keluar dari “gudang”nya dan melangkah malas ke arah Sawada san. Mao mengerutkan kening saat Sawada san meletakkan dua buah piring ke meja di depan Jun kemudian yang membuat Mao semakin terbelalak adalah saat melihat Sawada san meraih semua makanan yang masih tersisa dan tanpa Mao sangka ia membuang semuanya ke tempat sampah.

“Eh?”
Mao ternganga menatap Sawada san yang sudah menghilang ke ruang depan. Matanya sekarang melotot menatap tempat sampah dimana makanan lezat buatannya berakhir.

Mao melirik dua buah piring yang masing-masing berisi makanan ala kadarnya . Jun meraih satu buah piring dan bergegas menuju halaman belakang.
“Eh?”
Mao meninggalkan panci yang sejak tadi dia pegang dan menyusul jun. Mao mengintip Jun yang duduk di bangku semen di balik tembok yang membatasi antara dapur dan halaman belakang. Tampak Jun mulai melahap hidangan sederhana, ah bukan, sangat-sangat sederhana yang ada di piring itu. Melihat itu reflek Mao berlari mendekat ke arah Jun.

“Ini? Ini?”
Mao bingung harus berkata apa. Ia tak tau harus menyebutnya apa. Jun melirik tajam ke arahnya.

“Ini? Kamu? Setiap hari seperti ini?”
Mao semakin tercengang karena hal yang baru pertama kali dilihatnya ini. Jun sama sekali tak menggubris Mao. Ia terus melanjutkan makan.

Mao berjalan pelan kembali ke meja makan. Ditatapnya satu buah piring yang tersisa di sana. Perlahan ia meraih piring tersebut. Ia menerawang makanan sederhana yang teronggok disana.

“Ini? Hhh”
Mao tertawa miris.

“Ini bahkan lebih kejam dari Cinderella.”
Sebuah air mata menetes jatuh dari sudut mata gadis itu. Ia menggigit bibirnya pelan. Bergegas ia menghapus air matanya dan meraih piring tersebut kemudian berlari ke halaman belakang. Jun masih tampak memakan makanannya. Mao meletakkan piringnya di bangku kosong di samping Jun.

“Untukmu saja….kau pasti lapar….”
Tanpa menunggu reaksi Jun, Mao segera berlari kembali ke ruang makan. Ia mulai membereskan meja makan seperti biasanya. Namun kali ini ia membereskannya sambil sesekali mencoba menyeka air matanya yang terus jatuh.

Jun menatap piring di sampingnya dengan tatapan sinis. Ia menyelesaikan suapan terakhirnya. Dan tanpa menyentuh makanan di piring yang diberikan Mao, Jun mengambilnya dan membawanya masuk ke dalam. Jun meletakkan piring tersebut di meja makan yang sedang dibersihkan Mao. Mao melirik piring yang ditinggalkan Jun begitu saja. Air matanya semakin deras mengalir.
Jun mempercepat mencuci piringnya. Sementara Mao masih terus tertegun manatap piringnya. Ia masih sekuat tenaga menahan isakannya.

Jun hanya melirik dengan sudut matanya saat Mao tak mampu menahan diri dan terdengar sesekali ia terisak. Setelah selesai mencuci piring Jun bergegas masuk kembali ke dalam kamarnya dan menguncinya dari dalam.

-----------------

Hari berikutnya Jun bangun seperti biasanya, namun saat ia keluar ternyata Mao sudah mengerjakan apa yang seharusnya ia kerjakan, kecuali memasak tentunya. Akhirnya Jun mulai menyentuh segala macam peralatan dapur dan memulai meracik bumbu-bumbu untuk masakannya. Mao yang baru saja kembali dari halaman belakang melayangkan pandangan kagumnya pada Jun yang bisa dengan terampil menyiapkan bumbu-bumbu tanpa melihat resep sedikitpun. Tak seperti dirinya.

Baru saja Mao akan melangkah ke halaman depan, tapi ia menghentikan langkahnya. Sekarang ia melangkah mendekati Jun.

“Jun….sebenarnya….Sawada san itu orangnya seperti apa?”
Jun sama sekali tak ada hasrat untuk menjawab pertanyaan Mao.

“Kenapa dia memperlakukanmu seperti itu?”
Hawa dingin udara pagilah yang menjawab pertanyaan Mao.

“Kenapa kau tidak melaporkannya pada polisi? Bukankah ini namanya penyiksaan?”
Mao tersentak saat tiba-tiba Jun membalikkan badannya dan seperti biasa menatapnya tajam.

“Pergilah dari sini jika kau tidak suka!!!”

“Aaa, aku,,,aku bukan tidak suka,,,aku hanya….”

“Kalu begitu diamlah! Bukankah sudah kubilang pergilah dari sini.”
Jun membalikkan badannya dan kembali menekuri pekerjaannya.

“Aku tidak menyesal. Aku tidak akan menyesal. Pokoknya aku akan tetap disini bersamamu. Aku bekerja disini karena aku ingin bersamamu. Bagaimana mungkin aku akan pergi begitu saja hanya karena hal seperti ini. Aku tidak selemah yang kau kira. Aku….”

Brakkkk!!!!
Jun menendang rak kayu di depannya.

“Kau akan menyesal sudah mengucapkannya!!”

“Hei kalian!!!”
Mereka berdua sontak menoleh pada sumber suara keras yang menengahi suasana panas di antara mereka. Tampak Sawada san sudah berdiri di depan pintu dengan tatapan marah. Ia melangkah mendekati Mao.

“Kalian ini tidak punya otak? Pagi-pagi sudah membangunkan orang dengan suara berisik. Kau ini anak baru jangan cari gara-gara!!”
Sawada san berteriak tepat di samping telinga Mao. Ia kemudian melangkah mendekati Jun.

Plakkkk!!

Mao menutup mulutnya melihat Sawada san dengan mudahnya menampar Jun tanpa perlawanan. Ia tertegun menatap Jun yang hanya tertunduk.

“Kau pikir kau bisa mengganti almari mahal ini kalau rusak hah? Masih belum cukup kau tidak digaji? Apa perlu kau kusuruh membayar hutangmu dengan uangmu sendiri? Pakai otakmu!”
Sawada san menempeleng kepala Jun. Mao menggigit bibirnya melihat perlakuan Sawada san. Sawada san melangkah meninggalkan mereka masih sambil mengumpat kesal. Mao menatap Jun yang sudah kembali menekuri bumbu-bumbu dapurnya. Ribuan pertanyaan menyeruak di antara sel-sel otaknya. Hawa dingin menyergap keheningan yang tersisa di antara mereka.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”
Mao menggumam penasaran.

-------------

Hari ke sebelas Mao bekerja di rumah Sawada san. Ternyata memang benar-benar tak semudah yang ia bayangkan. Semuanya mulai tampak mengerikan. Benar-benar tiada hari tanpa bentakan dan umpatan. Sudah berkali-kali pula ia melihat Jun diperlakukan dengan tidak layak. Ia begitu mudahnya melayangkan tamparan, pukulan, tendangan, bahkan untuk alasan yang terdengar dibut-buat. Dan lebih mencengangkan lagi sosok arogan dan ganas seperti Jun tidak melakukan perlawanan sama sekali. Dan kemarin adalah pertama kalinya ia mulai ikut kena tamparan Sawada san. Dan alasannya, hanya karena ada satu biji semangka yang tertinggal di hidangan penutupnya. Sial….

Mao bangun sangat-sangat pagi seperti biasanya. Ia mengencangkan syal dan jaketnya. Angin musim dingin mulai berhembus membekukan udara pagi itu. Tapi betapa terkejutnya dia saat begitu ia bangun ternyata semua pekerjaan sudah selesai dikerjakan.

“Apa???”
Mao bergegas mencari Jun di seluruh penjuru rumah. Ia menemukan Jun sedang mengurus peliharaan di halaman depan.

“Bukankah mengurus peliharaan adalah pekerjaan sore hari. Kenapa dia mengerjakannya sekarang?”
Mao mendekat kearah Jun. Sepertinya Jun terlalu peka terhadap ekspresi penasaran Mao. Belum sempat Mao mengucapkan sepatah katapun, Jun sudah menyambar dengan kalimat ketus dan dingin. Dan seperti biasanya tanpa memandang Mao sedikitpun.

“Aku akan pulang larut malam. Dan kau tidak perlu tau alasannya. Kerjakan saja urusanmu.”
Mao tercengang mendengar pernyataan Jun yang sangat tepat dengan pertanyaan yang ingin dia lontarkan. Telak. Mao hanya mendesah pelan dan meninggalkan Jun untuk segera memulai mengerjakan pekerjaannya sendiri yang sudah sejak tiga hari yang lalu akhirnya Jun tanpa sepengetahuan Mao sudah menempelkan daftar pembagian pekerjaan di depan pintu kamarnya. Dan Jun tak pernah sekalipun menggubris protes Mao karena daftar pekerjaan Jun tetap lebih banyak darinya.

-----------

Seperti yang Jun bilang malam ini ia pulang terlambat. Makan malam pun Mao yang menyiapkan. Walaupun sempat diumpat oleh Sawada san tapi akhirnya orang tua itu makan dengan lahap juga apa yang dehidangkan Mao.

Namun, sepertinya keberuntungan sedang melanglang buana jauh dari Mao. Angin musim dingin benar-benar membuat badan Mao sedikit kaku. Sebuah bencana besar benar-benar menghadang di depan Mao saat tanpa sengaja kakinya yang kedinginan tersandung meja makan dan gelas di atas piring yang dibawanya jatuh dan pecah berkeping-keping. Tak pelak lagi, belum sempat Mao mengucapkan kata maaf Sawada san sudah melangkah mendekatinya dengan wajah memerah dan tanpa basa-basi lagi menjambak rambutnya sambil dengan sombongnya memamerkan harga gelas yang baru saja dipecahkan Mao. Sawada san tak mempedulikan rintihan Mao yang merasakan pusing di kepalanya karena Sawada san menjambak rambutnya dan menyeretnya keluar rumah.
Sawada san mendorong tubuh Mao begitu saja keluar rumah.

“Malam ini jangan harap kau bisa tidur di dalam! Awas kalau kau berani kabur!”
Sawada san bergegas masuk dan mengunci pintu dari dalam. Mao mengetuk-ngetuk sambil memohon maaf tapi tak ada jawaban sedikitpun dari dalam. Mao berakhir duduk memeluk lutut di teras rumah. Air matanya pun bahkan tak bisa keluar karena mungkin ia sudah terlalu beku di dalam matanya karena udara malam musim dingin yang benar-benar membekukan.

Mao mulai merasakan beberapa bagian tubuhnya mati rasa karena sudah hampir 3 jam dia bergumul dengan udara dingin di luar rumah. Dia mulai tak bisa merasakan kaki dan tangannya sendiri. Bibirnya juga terasa kaku.

Hingga akhirnya saat jam mulai merangkak menuju setengah 12 terdengar suara seseorang membuka kunci pagar. Tanpak Jun memasuki halaman depan. Mao menggigit bibirnya.

“Gawat….”

Jun melangkah menyusuri halaman depan, tapi sontak dia berhenti saat melihat Mao terpekur memeluk lutut di depan pintu. Mao tak tau tatapan seperti apa yang dilayangkan Jun karena dia kali ini menenggelamkan wajahnya ke dalam lututnya tak berani memandang wajah orang yang disukainya itu.

“Minggir!”
Mao mengangkat wajahnya pelan. Pandangannya langsung tertuju pada Jun yang sudah berdiri menghadap pintu tepat di hadapannya. Ternyata memang dia duduk tepat menghalangi pintu. Dengan susah payah Mao beringsut menggeser duduknya. Cukup sulit untuk bergerak dengan kaki dan tangan yang mati rasa.

Jun membuka pintu dengan kuncinya yang memang diberikan pada seluruh penghuni rumah. Jun membuka pintu dan bergegas masuk kemudian menutupnya kembali. Mao menatap daun pintu yang menelan tubuh Jun masuk ke dalam tanpa mempedulikannya sama sekali.

“Dia bahkan…lebih dingin dari udara malam.”
Mao memanyunkan bibirnya yang membiru.

Mao kembali menenggelamkan wajahnya ke kedua lututnya sampai tiba-tiba suara pintu yang kembali terbuka membuatnya dengan susah payah mengangkat kembali kepalanya. Tampak Jun berdiri di ambang pintu.

“Masuk!”

“Eh?”
Mao menatap bingung pada Jun.

“Kau mau mati kedinginan disitu?”

“Tapi, Sawada san….”

“Aku sudah bicara padanya. Cepat masuk! Atau kau memilih disana sampai pagi.”
Mao segera tersadr dari ketercengangannya.

“Ah, iya…iya….”
Mao berusaha bangkit. Tapi sial, tubuhnya yang mati rasa tak mau terangkat.

“Ayo cepat!!”
Dengan susah payah Mao kembali mencoba bangkit. Sepertinya Jun tidak sabar sampai akhirnya dia menarik lengan Mao dan menariknya dengan kasar.

“Lamban…..”
Jun menutup pintu dan menyeret Mao ke kamarnya.

“Pelan-pelan kakiku beku….”
Jun tak menggubris rintihan Mao dan terus mencengkeran lengannya dengan kasar dan menariknya paksa. Jun baru melepaskan cengkeramannya begitu mereka sampai di depan kamar Mao. Jun meninggalkan Mao begitu saja dan masuk ke dalam kamarnya. Mao menatap punggung Jun yang berlalu sambil memanyunkan bibir. Tapi sejenak kemudian dia tersadar dan segera berlari masuk ke dalam kamar. Mao segera meringkuk di atas kasur dan membungkus diriya dengan selimut. Setidaknya ia bisa sedikit mencairkan tangan dan kakinya yang beku.

Mao menyembulkan sedikit wajahnya dari dalam selimut saat mendengar pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Tepat saat kepalanya menyembul sebuah selimut mendarat di wajahnya.

“Pakai itu!”

Belum sempat Mao menyingkirkan selimut itu dari wajahnya dan melihat wajah si pemberi, pintu kamarnya sudah kembali tertutup.

“Jun?”
Mao menatap selimut di tangannya. Sebuah senyum penuh cinta pun menghiasi bibirnya yang masih membiru. Ia segera membalutkan selimut yang diberikan Jun ke badannya. Sugesti membuat selimut pemberian Jun itu menjadi terasa jauh lebih hangat.

Senyum Mao sontak surut saat ia kembali mendengar pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Mao menyembulkan kepalanya dari dalam selimut. Ia sontak tercengang saat melihat Jun masuk ke dalam kamarnya dan meletakkan secangkir susu panas di atas meja. Tanpa mengucapkan sepatah katapun Jun kembali meninggalkan kamar Mao.

Mao menatap secangkir susu panas di atas meja. Ia beringsut mendekat dan meraih cangkir yang terasa hangat itu. Dengan senyum penuh cinta ia mengendus harum susu coklat panas yang dibuatkan oleh Jun.

“Jun ku….”
Dengan penuh semangat ia meneguk susu buatan Jun itu hingga tandas tanpa tersisa sedikitpun.

Tepat 2 bulan Mao bekerja di rumah Sawada san.

Mao memandang lekat-lekat kertas di tangan kanannya. Sambil berjalan tertatih membawa belanjaannya ai meneliti kembali daftar barang pesanan Sawada san. Ada 9 macam benda yang membuat Mao banjir keringat sore itu karena harus menenteng benda-benda itu seorang diri. Kecil-kecil memang, tapi beratnya minta ampun.

Mao mendelik menatap barisan nama benda di kertas itu. Ia harus menelitinya secermat mungkin jangan sampai ada yang terlewat, kurang, atau salah beli atau kalau tidak, pipi mulusnya bisa memerah lagi terkena tamparan lelaki tua itu (mulai sekarang Mao lebih suka memanggil majikannya dalam hati dengan sebutan lelaki tua ).

Toko perabotan cukup jauh dari rumahnya sehingga dia baru menginjakkan kaki di halaman rumah sekitar jam setengah tujuh malam. Mao meletakkan belajaannya dengan hati-hati di depan pintu sementara tangannya sibuk membuka kunci.

Mao menenteng belanjaannya ke ruang tengah. Namun, langkahnya sontak terhenti saat mendengar suara berisik dari dapur. Mao mengubah arah langkahnya menuju dapur. Mao ternganga melihat pemandangan di depannya. Bergegas ia meletakkan belanjaannya dengan hati-hati (setidaknya dia sadar diri kalau sampai belanjaannya pecah pasti akan memperparah keadaan) dan segera berlari ke dapur.

“Jun!!!”
Sawada san sontak menghentikan gerak tangannya saat mendengar suara Mao.
Mao bergegas berlari kearah Jun yang tergeletak di lantai dengan tangan bersimbah darah dan wajah penuh lebam.

“Junn….”
Mao menatap Sawada san yang berdiri di dekat mereka. Pandangannya tertuju pada tongkat sapu yang digenggam oleh laki-laki itu. Sejenak kemudian pandangannya beringsut kearah pisau dapur yang tergeletan di lantai dekat dengan kaki Sawada san.

“Kenapa anda melakukan hal seperti ini?!?!?”
Sawada san menarik lengan Mao dengan kasar dan menjauhkannya dari Jun.

“Minggir kamu!!”
Sawada san mulai menghujamkan kembali sapu di tangannya kearah badan Jun.

“sudah!!! cukup!!! Sudah!!!”
Sekuat tenaga Mao menarik tangan Sawada san, namun tindakannya itu membuat sapu di tangan Sawada san justru ke kepalanya. Mao jatuh tersungkur dengan kepala terasa berputar. Namun sekuat tenaga ia mencoba bangkit. Ia berlari kearah Jun yang benar-benar sudah tidak mampu bergerak.

“sudah cukup Sawada san!!”

“Minggir!!!”

“Apa anda mau ditangkap polisi karena penganiayaan?”
Kalimat Mao itu sontak menahan tangan Sawada san sebelum sempat mengayunkan kembali sapunya. Sawada san menatap Mao tajam. Dia melemparkan sapunya dengan kasar ke lantai dan berjalan meninggalkan mereka berdua dengan nafas tersengal menahan amarah.

“Jun, bangun Jun, ayo kita ke rumah sakit.”
Baru saja Mao akan membantu Jun duduk, tapi tiba-tiba Sawada san memutar langkahnya dan kembali mendekat pada Mao. Tiba-tiba Sawada san menjambak rambut Mao.

“Jangan coba-coba membawanya ke rumah sakit atau aku akan membuat kalian menyesal seumur hidup.”

“Tapi, Jun terluka parah, apa anda tidak takut kalau sampai…”

“DIAMMM!!!”
Mao tersentak karena teriakan keras Sawada san.

“Sepertinya kau masih harus belajar banyak dari Jun bagaimana cara menghadapiku.”
Sawada san meninggalkan Mao yang tercengang menatap punggung tuan rumahnya yang menjauh. Ia segera tersadar dan membantu Jun duduk.

“Ayo Jun, kita ke rumah sakit..”
Mao batal mengangkat badan Jun saat tiba-tiba tangan Jun menahan pergelangan tangannya.

“Jun?”
Mao menatap wajah Jun yang penuh luka. Jun menggeleng pelan.

“Apa-apaan kau ini. Kau bahkan tidak bisa membuka matamu. Apa kau gila tidak mau pergi ke rumah sakit?”
Sekarang Jun justru menghempaskan tangan Mao dari badannya. Badan Jun yang jatuh dari tangan Mao kembali tergeletak lemas di lantai.

“Jun…”
Mao merintih pelan di tengah lelehan air mata yang sudah tak bisa lagi terbendung.

“Baiklah, kalau itu maumu. Tapi setidaknya biarkan aku memapahmu ke kamarmu. Kau bahkan tidak bisa menggerakkan badanmu.”
Jun tidak mengatakan apapun. Sepertinya tidak ada pilihan lain lagi baginya kecuali menuruti perkataan Mao kali ini. Mao pun bergegas beraih tangan Jun dan dengan hati-hati mengalungkannya ke pundaknya. Dengan sekuat tenaga Mao membantu Jun berdiri. Butuh waktu cukup lama untuk bisa membawa Jun masuk ke dalam kamar dengan keadaan Jun yang sudah setengah sadar.

Mao membaringkan Jun di atas tempat tidur dan bergegas berlari mengambil kotak P3K. Mao mulai membersihkan luka di lengan Jun yang bersimbah darah. Sebisa mungkin ia menjauhkan wajahnya dari lengan Jun atau kalau tidak air matanya yang sudah membanjir akan jatuh kesana dan menambah perih di luka penuh darah di lengan Jun itu.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau hanya diam?”
Mao seolah berbicara sendiri di tengah kamar sempit yang hening itu. Jun sepertinya sudah tak mampu bicara apapun lagi. Ia bahkan tak bisa menggerakkan badannya sama sekali. Tingallah suara isakan Mao yang menggaung di ruangan sempit dan pengap itu.

----------

“Arigatou Yui…”
Mao menutup ponselnya dengan helaan nafas dalam. Ia baru saja meminta Yui untuk menyampaikan ijin bahwa Jun tidak bisa masuk sekolah. Entah sampai kapan Jun akan ijin melihat keadaannya yang sedemikian parah. Untung Mao bisa meyakinkan Yui agar jangan sampai menjenguk Jun ke rumah.

Pukul 7 dan Sawada san seperti biasa sudah selesai sarapan pagi dan tak lupa menunaikan kebiasaan tidak berperikemanusiaannya yaitu membuang seluruh sisa makanan yang ada dan hanya menyisakan nasi dan lauk yang ala….

“Eh?”

Tidak, dia tidak menyisakan sesuatupun.

“Sawada san, kenapa? Kenapa?”
Sawada san melayangkan pandangan menusuk pada Mao.

“Apa? Makanan? Kemarahanku pada kelancangan kalian masih belum reda jadi sepertinya hari ini aku tidak berminat untuk memberi kalian makan. Tunggu saja, mungkin nanti malam emosiku sudah reda.”
Dengan entengnya Sawada san melangkah santai meninggalkan Mao. Mao mencibir menjulurkan lidahnya pada punggung Sawada san yang menjauh.

“Huh…Kau pikir aku tidak bisa beli? Aku kan kau gaji. Wekkk!”
Mao bergegas membereskan meja makan. Setelah Sawada san pergi nanti dia berniat akan membeli makanan untuk Jun. Selama ini dia tak pernah menggunakan uang gajinya untuk membeli makanan. Seperti yang ia tahu, Jun tidak digaji oleh Pak Dani kecuali untuk keperluan sekolah, entah kenapa, dan karena itulah tentu saja ia tidak bisa membeli makanan dengan uangnya sendiri. Sedangkan Mao, karena rasa sukanya yang terlalu besar pada Jun, bagaimana mungkin ia akan membeli makanan sementara Jun bertahan dengan rasa lapar. Dan tentu saja Jun tidak akan pernah sudi menerima pemberian makanan darinya apapun yang terjadi. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya Jun harus mau menerima makanan yang akan ia belikan atau ia akan mati kelaparan.

Baru saja Mao selesai dengan perencanaan niatnya, matanya mendelik saat seorang lelaki berbadan kekar memasuki ruang makan. Mao menatap orang itu dengan pandangan heran dari ujung kaki sampai ujung rambut masih sambil memegang piring kotor.

Tak lama kemudian Sawada san menyusul laki-laki itu ke ruang makan.
“Dia anak buahku. Mulai sekarang ia akan menjaga disini selama aku bekerja. Dengan begitu kau tidak akan bisa berbuat hal konyol yang bisa memancing kemarahanku lagi termasuk pergi keluar rumah diam-diam.”

Mao tercekat mendengar penuturan Sawada san. Ia kembali menatap laki-laki kekar yang berdiri di belakang Sawada san.
“Pekerjaan macam apa yang dilakukan pak tua itu sampai dia punya anak buah dengan model seperti ini?”

Sawada san dan anak buahnya meninggalkan Mao yang masih tercengang.

“Eh? Berarti, aku tidak bisa membeli makanan? Berarti? Tak ada makanan untuk hari ini? Apaaa?”
Mao tersadar dari lamunannya dan bergegas mengejar Sawada san dan anak buahnya.

“Sawada san, tapi, Jun….eee, dia, dia harus makan…kalau tidak…”

“Kau mau membantah?!?!?”
Kerongkongan Mao seolah tercekik mendengar bentakan laki-laki itu. Sawada san kembali melangkah meninggalkan Mao.

“Sawada san, anoo….saya mohon ijinkan saya membeli makanan untuk Jun. Sebagai gantinya, mmm, saya tidak usah makan malam tidak apa-apa, tapi saya mohon, biarkan Jun makan.”

Sawada san mengelus-elus dagunya. Dari raut wajahnya tampak bahwa ia sedang mempertimbangkan sesuatu.
Tak lama kemudian tampak Sawada san merogoh sakunya dan menyerahkan uang dua ribuan pada anak buahnya.

“Belikan dia roti dua bungkus di warung depan.”

“Baik.”

Mao ternganga lebar mendengar percakapan dua orang itu.
“Dia bahkan lebih kejam dari nenek sihir.”

----------------

Sawada san sudah berangkat kerja.

Mao menyibakkan sedikit gorden jendela depan dan mengintip ke halaman. Tampak anak buah Sawada san sedang duduk bersantai di gerbang depan. Mao menutup kembali gorden tersebut dengan helaan nafas yang terasa sesak di dadanya. Dengan langkah gontai ia melangkah ke dapur.

Tak lama kemudian dia sudah duduk di samping tempat tidur Jun dengan membawa sebungkus roti dan segelas susu hangat. Mao meletakkannya di meja saat melihat Jun belum bangun dari tidurnya. Setidaknya dia masih bernafas sehingga Mao bisa sedikit berlega hati.

Mao menatap sekelilingnya. Mengamati tiap sudut kamar Jun yang sempit dan pengap karena tidak ada ventilasi. Tapi orang yang disukainya itu cukup bisa menjaga kerapian sehingga ruangan tersebut tampak nyaman untuk ditempati.
Mao kembali menatap Jun yang wajahnya lebam disana sini. Goresan-goresan dengan sisa bekas darah di tangan Jun mengundang air mata Mao yang mulai berjongkok di garis start. Perlahan Mao menggoyang-goyangkan pelan punggung tangan Jun. Ia harus segera membangunkannya untuk makan .

Perlahan Jun mencoba membuka matanya. Dia tampak kesulitan membuka mata dengan lebam di kelopak matanya yang berwarna keunguan.

“Makanlah Jun.”
Mao membantu Jun untuk duduk. Mao sangat berhati-hati karena takut membuat Jun kesakitan. Ia mengambil segelas susu dan menyodorkannya pada Jun.

“Maaf Jun, hanya ini, mmm, Pak Tua itu tidak menyisakan makanan sedikitpun dan tidak mengijinkanku membelikan makanan untukmu. Sedangkan di luar ada anak buah Sawada san yang tentu saja akan melaporkan kita padanya jika mencoba berbuat yang aneh-aneh.”
Jun melirikkan matanya pada wajah Mao yang duduk di sampingnya. Sejak kapan gadis polos itu berani memangil majikannya dengan Pak Tua. Dari matanya yang tak bisa membuka sepenuhnya ia bisa melihat samar-samar wajah gadis itu basah karena air mata.

Mao membantu Jun meminum susu hangat di tangannya. Jun hanya meminumnya sedikit. Mao pun membuka bungkusan roti berharga seribuan yang dibelikan anak buah Sawada san tadi dan menyuapkan sepotong pada Jun.

Bukannya menerima suapan Mao, Jun justru meraih roti yang ada di tangan Mao.
“Aku bisa makan sendiri. Pergilah.”

Walaupun ia bicara dengan nada pelan, tapi tetap tampak nada ketus dari sana.
Mao tak bisa berbuat apa-apa tapi dia juga tidak beranjak dari tempat duduknya.

“Jun….sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa…..kamu tidak melawan? Kanapa pak Tua itu selalu berbuat semena-mena padamu? Kenapa….kau tidak digaji sepertiku? Lalu….kenapa dia selalu bicara….hutang…hutang apa? Kenapa kita tidak melapor saja pada polisi? Bukankah itu temasuk penganiayaan? Dengan begitu Pak Tua itu bisa ditangkap dan kau bisa bebas dan tidak perlu bekerja disini lagi. Kau bisa….”

“Diam kau…”
Dalam keadaan seperti ini pun Jun tetap tak meninggalkan sifat lamanya. Ia tetap saja dingin pada Mao dan bersikap tak acuh padanya.

Butuh waktu lama untuk mengunyah dan menghabiskan roti kecil itu dengan mulut yang sakit karena lebam. Mao membantu Jun kembali berbaring. Jun segera menutup matanya tanpa berkata apapun pada Mao. Tapi Mao tetap duduk di sampingnya tanpa ada niat beranjak dari sana.

“Aku…sudah memintakan ijin pada Yui kalau kau mungkin tidak bisa masuk sekolah untuk beberapa hari. Kau, istirahatlah, aku akan mengerjakan semuanya. Kau harus segera sembuh….Melihatmu seperti ini…..”
Kalimat Mao tercekat karena tenggorokannya yang terasa perih menahan sakit. Dua bulan bekerja disini berangsur-angsur mulai merenggut sifat ceria yang ada padanya. Belakangan ia mulai sering menangis.

“Pergi sana!”
Mao melihat kearah Jun. Matanya masih terpejam.

“Cepat selesaikan semuanya, atau laki-laki itu akan berbuat konyol juga padamu.”

Mao menatap Jun yang terus bicara dengan mata terpejam. Segera diusapnya air mata di pipinya. Bergegas ia melangkah keluar dari kamar Jun. Benar apa yang dikatakan Jun. Ia tak boleh memperparah keadaan dengan mengabaikan pekerjaannya.

Pukul satu siang Mao kembali masuk ke dalam kamar Jun. Ia membawa segelas jus jeruk yang ia ambil dari dalam kulkas. Tampak Jun masih tertidur. Mao meletakkan jus jeruk yang ia bawa di samping gelas susu kosong yang ia bawa tadi pagi.

Rotinya juga masih tersisa satu bungkus. Mao menatap wajah penuh lebam Jun. Dia tampak tertidur pulas. Kali ini Mao tak tega untuk membangunkannya.

Mao mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Jun menata ruangannya dengan sangat rapi. Dinding kamarnya juga bersih dari tempelan, tidak seperti kebanyakan kamar anak lelaki. Mao cukup mengagumi keahlian Jun menyulap gudang itu menjadi kamar yang nyaman untuk dihuni. Semuanya begitu rapi kecuali sebuah meja di pojok ruangan. Buku-buku berserakan di atasnya. Perlahan Mao melangkah mendekati meja tersebut.

Mao meraih satu demi satu buku yang berserakan disana dan kemudian menatanya dengan rapi. Semuanya adalah buku pelajaran. Sesekali Mao membuka buku yang ia ambil. Banyak coretan disana sini.

“Dia belajar sangat keras…”
Mao menggumam pada dirinya sendiri. Terbersit rasa kagum melihat tekad kuat orang yang disukainya itu.

Pandangan mata Mao tertumpu pada sebuah kertas yang terselip di bawah tempat alat tulis. Perlahan Mao menarik kertas tersebut. Sebuah formulir.

“Association for Technical Scholarship.”
Mao penasaran setelah membaca judul besar di Kop formulir tersebut. Halaman pertama adalah formulir yang berisi data-data yang harus diisi. Mao membuka lembar kedua. Tampak sebuah pamflet bergambar gedung bertingkat yang sangat megah.

“Hanya tiga tahun mengikuti training bisa menjadi ahli mesin? Langsung ditempatkan di perusahaan swasta? Bebas biaya kuliah dan disediakan asrama?”
Bertambah rasa penasaran Mao membaca satu demi satu penjelasan yang ada disana. Senyum lebar menghiasai bibirnya sekarang.

“Tes diadakan tanggal 30 Agustus 2011?”
Mao terdiam sejenak. Ia menghitung-hitung dengan jarinya.

“Eh? Itu kan 13 hari lagi?”
Mao kembali menelusuri deretan huruf yang tertera disana.

“Batas akhir penyerahan formulir….seminggu lagi.”
Mao kembali ke lembar pertama. Tak satupun data yang diisi oleh Jun.

“Kenapa dia belum mengisi sama sekali?”
Mao kembali membolak-balik beberapa lembar kertas tersebut. Ia baru berhenti membaca saat mendengar suara Jun yang bergerak. Bergegas Mao mengembalikan kertas tersebut ke tempatnya dan segera berjalan mendekati Jun.

“Jun…”
Perlahan Jun mulai mencoba membuka matanya.

“Aku membawakan jus jeruk untukmu.”
Mao menyodorkan segelas jus jeruk yang dibawanya dan membantu Jun untuk meminumnya. Kali ini Jun sudah cukup kuat untuk memegangi gelasnya sendiri.
Mao membukakan roti yang masih tersisa dan menyerahkannya pada Jun.

“ Makanlah dulu. Perlu kubantu?”
Jun menggeleng pelan. Dan meraih roti yang disodorkan Mao.

Mao mengangkat tangan kanannya dan hendak menempelkan punggung tangannya ke dahi Jun. Tapi belum sempat ia melakukannya Jun sontak menepis tangannya cukup keras. Mao justru tersenyum.

“Sepertinya kau sudah cukup bertenaga sampai bisa menepis tanganku. Kalau begitu rasa khawatirku bisa sedikit berkurang.”
Mao memasang senyum lebar pada Jun. Dan seperti biasa Jun tetap membalasnya dengan tatapan dingin.

“Baiklah, kali ini aku tidak akan mengganggumu.”
Mao melangkah keluar kamar sambil membawa gelas susu kosong bekas tadi pagi. Ditutupnya pintu kamar Jun dengan hati-hati. Sesampainya di luar, Mao tersenyum mengingat formulir yang ia temukan di atas meja tadi.

----------

Tiga hari setelah kejadian mengenaskan itu…..

Sepertinya malam ini akan menjadi malam terakhir Mao menyiapkan makan malam karena keadaan Jun sudah membaik. Malam ini saja bahkan dia sudah mulai mengambil alih sebagian tugas Mao menyiapkan makanan. Malam itu mereka menghadapi Sawada san seolah tak pernah terjadi apa-apa. Padahal Mao sudah ingin memberondong Sawada san dengan puluhan pertanyaan yang bisa-bisa membuatnya mati penasaran. Tapi pada akhirnya dia hanya bisa diam melihat Jun yang tetap melayani Sawada san seolah orang tua itu tak pernah berlaku kasar sedikitpun padanya. Dan hal itu tentu saja membuat gunungan pertanyaan yang sudah menghimpit pikiran Mao sekarang menjulang semakin tinggi.

Setelah Sawada san selesai makan Jun segera mencuci semua piring kecuali dua piring berisi sisa makanan untuk mereka.

“Jun…”
Mao memberanikan diri untuk mengajak Jun mengobrol kali ini.

“Apa kau sudah tidak apa-apa? Apa lukamu masih sakit?”
Mao melirik dahi Jun yang masih terbalut plester. Jun tak bereaksi sedikitpun. Mao hanya mendesah.

“Kamu, ingin masuk sekolah asrama itu?”
Kalimat itu kali ini mampu membuat Jun menghentikan gerakan tangannya. Sontak pandangan dingin dan tajam menghujam Mao.

“Dari mana kau tau?”
Mao tergagap menerima pertanyaan dari Jun.

“Anu…aku….aku…melihat formulir itu di meja kamarmu. Aku hanya…”
Jun meletakkan piring yang dicucinya dengan kasar lalu mendekat pada Mao.

“Kau ini bisa tidak kalau tidak perlu ikut campur urusan orang. Dan jaga kelakuanmu ya, jangan pernah sekali-kali kau mencoba menyentuh barang-barang milikku.”
Mao hanya tertunduk mendengar ancaman Jun. Jun kembali meneruskan kegiatan cuci piringnya.

“Mmm…batas waktu pengembaliannya tinggal 4 hari lagi kan? Kamu, akan ikut tesnya kan?”
Jun tetap terdiam.

“Kamu sangat ingin masuk kesana ya? Sepertinya sekolah itu bagus. Fasilitasnya juga…”

“Kalau iya memang kenapa?!?!?”
Mao kembali tersentak mendengar bentakan Jun. Tapi dia benar-benar senang mendengar jawaban Jun barusan.

“Sudah kuduga. Kau pasti sangat ingin kesana. Anak cerdas sepertimu pasti bisa dengan mudah lulus dari tesnya. Setelah kau keluar dari sana kau bisa bekerja di perusahaan besar dan jadi orang kaya. Kau tidak perlu lagi…”
Kali ini Jun bukan hanya meletakkan tapi lebih tepatnya membanting piring yang ada di tangannya. Jun mencengkeram kasar lengan Mao dengan tangannya yang bahkan masih basah dengan sabun.

“Jangan sekali-kali kau bicara semaumu. Apa kau pikir segala sesuatu bisa tercapai sesuai yang kau inginkan?Hah?? Jangan bicara sembarangan atau kau hanya akan membawa bencana untukku jika Sawada san mendengar perkataanmu.”
Jun menghempaskan lengan Mao dengan kasar dan kembali meneruskan pekerjaannya.

“Aa..apa…Sawada san tidak mengijinkanmu?”

“Apa kau sudah gila berpikir bahwa dia akan mengijinkanku keluar dari neraka ini?”

Mao tertegun menatap Jun yang memandangnya tajam. Kali ini ia tidak menundukkan wajahnya. Ia balas menatap mata Jun. Ia bisa menangkap keputusasaan dari sana. Jun yang merasa dipandangi oleh Mao pun segera memalingkan wajahnya dan secepat mungkin menyelesaikan pekerjaannya dan masuk ke dalam kamar. Mao menatap punggung Jun lekat-lekat.

-----------

Mao sibuk membereskan dapur yang cukup berantakan. Sawada san sedang duduk santai mengunyah makanan penutupnya. Sementara Jun masih membuang sampah ke halaman belakang. Sesaat kemudian Jun muncul sambil membawa tong sampah yang sudah kosong.

“Jun.”

Mao sontak melirik pada Sawada san yang masih sibuk mengunyah makanannya. Selanjutnya lirikan matanya tertuju pada Jun yang berjalan kearah Sawada san.

“Kudengar kamu akan ikut tes sekolah teknik.”

Jun tak bisa menyembunyikan keterkejutan sekaligus rasa takutnya. Tiba-tiba Jun melotot pada Mao yang langsung memalingkan wajahnya. Jun mengepalkan tangannya kuat-kuat menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Semoga berhasil.”

“EH?”
Jun kali ini benar-benar kaget atas apa yang diucapkan Sawada san. Mao kembali melirik mereka berdua.

“Kenapa? Aku bilang semoga berhasil.”

“An…anda…mengijinkan saya….sekolah disana?”

“Kenapa tidak?”

Jun semakin ternganga menatap tuan rumahnya.
“Tapi…”

“Tentu saja aku mengijinkanmu bukan tanpa alasan.”

Wajah terkejut Jun kini berganti dengan raut kebingungan.

“Tentu saja aku tidak akan semudah itu melepaskanmu. Setelah kau lulus dan bekerja nanti kau harus melunasu seluruh hutangmu. Dan jangan coba-macam-macam atau….”

“Baik ! baik….saya, saya tidak akan mengecewakan Anda, saya pasti melunasinya. Pasti.”

Mao kali ini bukan hanya melirik. Sekarang dia sudah sepenuhnya menatap mereka berdua. Ia ternganga menatap Jun yang baru kali ini ia lihat bisa mengeluarkan ekspresi segembira itu. Tapi kemudian ia segera tersadar.

“Hutang? Jun punya hutang?”
Mao memang tak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi di antara merek aberdua. Tapi yang pasti ia sangat bahagia melihat Jun yang sekarang masih tersenyum memandang punggung Sawada san yang menjauh dari ruang makan.

Setelah Sawada san menghilang Jun sadar bahwa Mao memandanginya. Sontak tatapan matanya terarah pada Mao. Senyum di bibirnya pun tiba-tiba surut dan berganti dengan wajah dingin. Tanpa berkata sepatah katapun Jun bergegas memasuki kamarnya. Mao bisa melihat segurat senyum di bibir Jun saat menutup pintu kamarnya. Hatinya terasa begitu lapang malam ini bisa melihat senyum yang begitu sangat dirindukannya itu akhirnya malam ini hadir di hadapannya. Ia pun turut merasakan bahagia tanpa dia tau akibat dari perbuatannya demi kebahagiaan Jun itu.

----------------

30 Agustus 2011.

Mao menyapa Jun yang baru bangun dengan semangat membara. Jun pun tertegun karena saat ia keluar kamar Mao sudah mondar mandir membawa sapu dan tempat sampah. Jun berjalan menuju halaman belakang. Semua pakaian kotor bahkan sudah dicuci dan dijemur rapi. Halaman belakang juga sudah bersih.

“Jun, hari ini tesmu kan? Kamu harus belajar dengan rajin. Ayo cepat sana masuk kamar. Masih ada waktu, kau bisa menambah hafalanmu sedikit. Ayo cepat. Tenang saja, semua pekerjaan sudah ku selesaikan tinggal memasak. Serahkan saja padaku ya ya ya?”
Mao mendorong Jun agar masuk ke kamar. Jun menghempaskan tangan Mao dari punggungnya. Ia masih tetap memberikan pandangan dingin pada gadis itu. Tanpa berkata apapun ia pun meninggalkan Mao yang masih tersenyum lebar padanya dan menghilang masuk ke dalam kamar. Mao tersenyum puas karena kali ini Jun menuruti perkataannya walaupun dengan tampang dingin seperti biasanya.

Pukul 6.30 Mao masih sibuk mengaduk supnya. Ia menoleh saat mendengar suara pintu kamar Jun terbuka. Jun sudah siap dengan seragamnya dan menjinjing tas coklatnya. Ia berjalan menuju pintu depan. Mao segera mematikan kompornya dan bergegas berlari menyusul Jun ke depan.

“Jun!!!”

Jun tak mempedulikan panggilan Mao dan terus berjalan keluar dari pintu. Mao berjalan di samping Jun sambil terus mencoba bicara.

“Jun! semangat ya. Kamu pasti bisa! Setelah selesai pekerjaanku aku akan datang ke tempat tesmu.”

Jun sontak menghentikan langkahnya.
“Jangan lakukan hal bodoh. Untuk apa kau datang kesana? Selesaikan saja urusanmu sendiri.”
Setelah mengatakannya Jun kembali meneruskan langkahnya menyusuri halaman depan. Mao hanya tersenyum pada Jun.

“Semangat Jun!!”
Mao melambaikan tangannya pada Jun yang terus berjalan menjauh menyusuri jalanan. Mao baru beranjak dari depan gerbang saat Jun menghilang di tikungan menuju jalan besar. Mao bergegas kembali ke dapur dan menyelesaikan pekerjaannya.

Pukul 7 lebih 5 Mao sudah berganti pakaian dan siap untuk pergi. Ia bebas kemanapun karena sejak 3 hari yang lalu tak ada lagi anak buah Sawada san yang menjaga mereka. Mao mengunci gerbang depan dengan senyum terkembang. Sambil berdendang ceria ia berjalan menuju tempat tes Jun.

------------

“Wahhh……”
Mao berdiri di gerbang sebuah perusahaan yang menjadi tempat tes Jun. Ia kagum dengan siswa siswi yang berlalu lalang menggunakan berbagai macam seragam SMA. Mereka berasal dari berbagai sekolah dan punya satu tujuan yaitu mengikuti tes yang sama dengan Jun.

“Mereka pasti orang-orang pintar.”
Mao memandangi satu persatu siswa yang lalu lalang di depannya. Banayak yang menenteng buku-buku tebal.

Mao tersadar dari lamunannya dan bergegas mendekat ke pintu gerbang. Mao berdiri tegak menghadap pintu gerbang. Ia mengatupkan kedua tangannya dan memejamkan matanya. Lalu lalang orang yang lewat disana memandanginya dengan tatapan aneh.

“Ya Tuhan, kumohon, biarkan Jun lulus tes ini. Semoga dia berhasil dan mencapai cita-citanya. Kumohon! Kumohon!”
Mao menggenggam tangannya erat-erat. Sesaat kemudian ia membuka kembali matanya. Ia tersenyum lebar menatap gedung tinggi di hadapannya.

“Semangat Jun!”
Mao berlari meninggalkan gedung tersebut. Di sepanjang perjalanan pulang ia terus berdoa untuk kelulusan orang yang disukainya.

Jun berdiri dari tempat duduknya di samping sebuah pojon besar yang berada di depan perusahaan tersebut. Matanya mengikuti Mao yang berjalan menjauh meninggalkan gedung tersebut.

“Dasar bodoh.”
Jun berjalan santai memasuki gerbang tempat tesnya karena ujian akan dimulai 10 menit lagi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar