Sabtu, 21 Mei 2011

The Question n Answer

Malam hari seperti ini suasana di dalam jeruji besi itu terasa begitu dingin. Denting suara hujan yang mengetuk atap terdengar teratur seperti detikan jam. Menggema di tengah keheningan yang mencekam.
Suasana di luar hening. Tak ada seorang pun yang melewati lorong remang2 dengan hanya terdapat satu lampu setiap 10 meter itu.
Tak ada suara teriakan, erangan, dan rintihan seperti biasanya. Malam ini suasana terasa begitu sepi. Tak terkecuali dalam ruang 09.
Sosok itu tampak berada di pojok ruangan. Duduk di lantai dengan membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya yang ditekuk. Tangan kanannya perlahan mengusap lelehan air matanya sendiri, sedangkan tangan kirinya memeluk lututnya yang tampak kurus.

4 hari…..

Sudah 4 hari dia mendekam di balik jeruji besi yang dingin dan pengap ini.
Sudah 4 hari dia terus menggedor2 pintu besi yang mengekang dirinya dalam kegelapan dan keheningan yang tak pernah ingin ia alami.
Sudah 4 hari dia berteriak memohon minta dilepaskan pada setiap orang yang melintas di depan ruangannya.
Sudah 4 hari dia meraung2 minta dilepaskan merasa dirinya tak bersalah.
Dan sudah 4 hari dia terus menerus bersumpah mencoba meyakinkan mereka semua bahwa semua ini tak pernah dia inginkan, bahwa semua ini bukan salahnya. Dialah korbannya yang harus ditolong dan dibantu.

Ify….
Tak akan ada yang mengenalinya dengan keadaannya yang seperti sekarang. Memandang pun mungkin mereka tak sudi. Semua orang akan menatapnya dengan aneh, sinis, dan mungkin ketakutan. Tak ada yang mau mengakuinya sebagai teman.
Dia hanya sendiri disini. Di dalam jeruji besi yang dingin dan kejam. Kejam karena setiap hari di harus dikelilingi oleh orang-orang yang menatapnya seolah dia adalah makhluk berbahaya dan ditanyai macam2. Kejam karena tak jarang dia ditampar jika meronta dari genggaman mereka atau berusaha melarikan diri dari tempat terkutuk itu. Kejam karena dia tak punya seorangpun yang mau melihatnya saat dia menderita seperti sekarang.

Bukan…..dia bukan penjahat. dia juga bukan orang gila.

Dia hanyalah seorang gadis berumur 17 tahun. Dia hanyalah seorang perempuan dengan wajah cantik. Dia hanya seorang siswa SMA biasa yang setiap hari berangkat bersama kakaknya ke sekolah. Dia hanya gadis biasa yang sering mencuri coklat kakaknya dari almari dan memakannya sampai habis. Dia bahkan bukan cewek biasa. Dia punya wajah cantik dan hati baik yang membuat dia disukai oleh beberapa teman lelakinya.

Tapi satu hal yang harus diingat…..

Itu DULU.

sekarang…..siapa yang mau mengakui dia sebagai teman? Siapa yang mau mengakuinya sebagai ranking satu di kelasnya? Siapa cowok yang mau mengakui kalau pernah suka padanya? Tak ada.

Sekarang semuanya sudah berbeda.

Ify…..seseorang yang terkurung di balik jeruji besi. Yang setiap hari terus meronta minta dilepaskan, yang setiap hari memukul2 tembok besi dingin yang melingkupinya tanpa ada seorangpun yang mau percaya bahwa semua itu bukan karena keinginannya. Andai mereka semua mau mengerti.

 Rambut yang hanya ia sisir dengan jari semenjak 4 hari yang lalu, berusaha agar dirinya tetap rapi dan tak tampak seperti pesakitan hina dan orang terkutuk seperti yang mereka bilang, Wajah yang hanya berkali-kali ia basuh dengan air keran sejak 4 hari yang lalu setidaknya agar tak tampak kusam dan berminyak. Baju yang tak pernah digantinya sejak 4 hari yang lalu tapi dengan hati-hati selalu dia jaga agar tak terkena noda menempel sehingga setidaknya dia masih tampak cantik seperti biasanya.

Siapa yang mau mengakui kalau dia itu Ify?
Tak ada satupun.
Dan orang-orang itu…mereka yang mengatakan akan menolongnya, dan membantunya kembali seperti semula ternyata justru menjerumuskannya kedalam kenistaan dan penderitaan seperti sekarang.

Dia seperti ini hanya karena menjawab satu pertanyaan.
Satu pertanyaan yang akhirnya membuatnya harus menjalani hidup sebagai pesakitan sial yang menderita di tengah kehidupannya yang malang ini.

Pertanyaan yang hanya sekali ditanyakan padanya…
Hanya sekali dijawabnya….
Dan sekali itu pula membawanya kesini….

>>>>>>>>>>

21 Agustus 2010 Pukul 11.00

Hitam….
Tetes-tetes air jatuh dari ujung tiap lekukan payung yang menaungi wajah orang-orang dengan pikirannya masing-masing. Semuanya tertunduk menatap nisan baru yang tertancap di atas gundukan tanah yang masih basah dan semakin basah karena guyuran hujan itu.

Umar Handoko
Lahir : 18 Mei 1961
Wafat : 20 Agustus 2010

Taburan bunga mengiringi doa2 yang terlantun dari para pelayat yang berpakaian serba hitam. Tak ada sedikitpun senyum yang tampak saat itu.

“Sudah Fy…..” Seorang wanita berusia 35 tahunan mengelus bahu Ify yang berlutut di samping makam ayahnya dengan uraian air mata dan isak tangis.

“Ayah…..” Ify mengusap2 nisan ayahnya. Matanya menatap nanar makam ayahnya dengan hidung yang masih merah karena menangis semalaman. Air mata di pelupuknya tak juga mau berhenti. Sebanyak apapun orang yang mengelus dan mendekapnya untuk memberi semangat tak mampu membuat Ify memalingkan pandangan buramnya dari nisan di hadapannya.

Semua yang hadir disitu berangsur2 mulai meninggalkan pemakaman. Nisan itu tampak lebih terang karena lingkupan hitam para pelayat yang berbaju serba gelap yang sejak sejam yang lalu mengerumuninya sekarang sudah berangsur-angsur berkurang. Tinggallah sinar matahari yang menyelinap di antara hujan gerimis mencoba sedikit menghangatkan hati seorang gadis yang sedang tertunduk muram di sana.

Ify masih terus berlutut di samping makam yang tepat berada di bawah pohon kamboja itu. Titik-titik hujan masih terus menetes dari payung hitam yang menaungi kepalanya.

“Ayo kita pulang Fy….” Bu Ira mengelus pundak Ify dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya memegangi payung yang menaungi tubuh mereka berdua.

“Iya Kak….ayo pulang…..mungkin kak Sivia udah sadar….” Nova, anak Bu Ira yang adalah tetangganya, menggenggam tangan Ify dan berusaha menariknya perlahan.

Ify masih menatap nisan di depannya. Pikirannya melayang ke rumah.

 Sivia, kakaknya mungkin sekarang sudah sadar. Seharusnya dia memeluk Ify sekarang. Disini. Tapi Ify mengerti kenapa kakaknya tak bisa berada di sisinya, memandang nisan ayahnya berdua dengannya.

Ify dan Sivia adalah saudara kandung.  Hanya selisih 2 tahun. mereka tinggal berdua bersama ayahnya sejak ibunya meninggal. Ayah mereka bekerja sebagai sales kompor minyak di sebuah perusahaan milik tetangganya sendiri. Keadaanlah yang memaksa mereka harus hidup dengan keterbatasan. Ify tak akan sungkan untuk mengisi waktu luangnya dengan mengetik paper kakak-kakak mahasiswa yang menitipkannya di rental komputer tempat Ify mencari uang jajan.

Sedangkan Sivia yang terpaksa memendam keinginannya untuk mencalonkan diri sebagai ketua OSIS harus merelakan saat-saat rapat progam kerja yang menjadi kegiatan favoritnya diganti dengan duduk bengong sambil membaca buku pelajaran sembari menunggu orang-orang yang sudah selesai nge-net membayar padanya. Dia rela menjadi penjaga warnet paruh waktu demi 300ribu yang setidaknya bisa membantu dia dan adiknya membayar utang pada Pak Oni,tetangga mereka,yang terpaksa ia pinjam untuk daftar ulang dirinya dan Ify saat masuk SMA.

Sebenarnya gaji Sivia itu harusnya sudah bisa melunasi utang uang daftar ulang tersebut andai saja ayahnya tidak dipecat dari pekerjaannya dan mengharuskan ayahnya beralih pekerjaan menjadi tukang kebun di sebuah SMA. Karena itulah akhirnya beban hidup mereka bertigapun harus dibagi dari penghasilan Sivia dan ayahnya. Sivia hanya memperbolehkan Ify bekerja untuk uang sakunya sendiri walaupun sebenarnya Ify juga ingin membantu meringankan biaya hidup mereka.

Dan ketika ayahnya kecelakaan dan meninggal……Kakaknyalah yang pertama kali berteriak meraung memeluk tubuh ayahnya sementara Ify hanya menatap kosong kakaknya yang tampak sangat terpukul dengan kepergian satu-satunya keluarga mereka itu.

Dan saat jasad ayah mereka akan dimakamkam, Sivia pingsan dan tinggallah Ify sendiri yang berusaha sekuat tenaga untuk tetap sadar melepas kepergian ayahnya. Ify tau, dengan kepergian ayahnya berarti Sivia lah yang harus menanggung semua beban itu sendirian.

Ify kembali tertunduk. Air matanya berebut keluar dari mata sembabnya. Ify semakin terisak sementara Bu Ira dan Nova masih tetap berdiri di sampingnya.

“permisi Bu….” tampak seorang lelaki paruh baya mendekat ke arah mereka.

“Iya?” Bu Ira menatap lelaki tersebut dengan pandangan heran karena merasa asing dengan wajah yang baru pertama kali ditemuinya itu.

“Saya wali kelasnya Sivia…”

Bu Ira akhirnya mendapat jawaban atas rasa penasarannya dan akhirnya hanya tersenyum pada lelaki itu. lelaki itu kini duduk di samping Ify.

“Nak Ify…..” Ify masih tak mau mengalihkan pandangannya.
“Ify…kakak kamu sudah sadar. Dia manggil-manggil kamu….pulang ya Nak…” Wali kelas Sivia itu mengelus pundak Ify perlahan. Ify tetap tak  bergeming. lelaki itu hanya menarik napas pelan dan akhirnya kemudian dia mengalihkan pandangan pada nisan di depannya. Ia menengadahkan tangannya dan khusyuk berdoa untuk orang tua muridnya itu.

“Jangan nangis…..”
Ify mendengar seseorang bicara dari sampingnya. Ify tak mengenali suara itu. Perlahan ia menoleh ke sebelah kirinya. Matanya yang masih basah membuat pandangannya buram mencoba melihat wajah orang di sebelahnya dengan lebih jelas.

Tampak seorang anak laki-laki yang sepertinya sedikit lebih tua darinya duduk berjongkok di sampngnya. Ify tidak mengenalnya.
Ify memandangnya lekat-lekat. Seorang anak laki-laki yang tampan. Sangat tampan malah.

“Jangan nangis….Kamu harus kuat….ayahmu pasti tak ingin melihat putrinya bersedih. Kamu pasti lebih cantik kalau tidak menangis. Masih ada orang-orang yang menyayangimu. Kakakmu menunggumu di rumah…..” Anak laki-laki itu menatap mata Ify. Ify hanya terdiam menatapnya dengan pandangan nanar. Ify merasa jantungnya berdebar.

‘anak ini???’
Ify menatap anak itu lekat-lekat. Ify merasa baru pertama kali bertemu dengan anak itu. Tapi…..sepertinya….

Ify mencoba menelisik sesuatu yang terasa meremas hatinya. Dia ingin bicara. Tapi tenggorokannya terlampau perih untuk melontarkan kata-kata. Akhirya dia hanya terdiam menatap seseorang di sampingnya itu.

“Nak Ify….pulang ya….” Wali kelas Sivia yang sudah selesai berdoa kembali mengelus pundak Ify. Ify masih terus menatap anak laki-laki di sampingnya.

“Ini anak saya, Alvin….” Wali kelas Sivia bingung melihat Ify yang tak mempedulikan kalimatnya dan terus menatap putranya.

Sejenak kemudian Ify seolah tersadar dari lamunannya. Ia berhenti menatap Alvin dan kembali menatap nisan ayahnya dan mengelusnya perlahan.

“Kak Ify ayo pulang….” Nova kembali menggenggam tangan Ify. Ify menarik tangannya dari genggaman Nova. Pikirannya tertuju pada anak laki-laki di sampingnya yang masih terus menatap dirinya dengan pandangan heran. Otak Ify berusaha merekam sesuatu. Jantungnya semakin kencang berdetak.

Wali kelas Sivia akhirnya berdiri.

“Bu….saya pamit dulu…sepertinya Nak Ify belum mau diajak bicara….”

“Iya Pak….terima kasih sudah datang.”

“Ayo Vin…” Lelaki itu menatap putranya lalu kemudian mengangguk pada Bu Ira dan beranjak pergi.

“Jangan sedih ya….” Alvin menyempatkan diri menyemangati Ify sebelum akhirnya dia berdiri dan beranjak menyusul ayahnya. Ify menatap nisan ayahnya dengan dahi berkerut.

‘anak itu???’
Ify memalingkan wajahnya menatap punggung Alvin yang tampak menjauh. Ify semakin mengerutkan keningnya. Jantungnya berdebar. Ia  merasakan ada suatu hal menghampiri pikirannya dan membuat jantungnya seolah berpacu. Ify menatap kepergian Alvin dengan pandangan fokus.

Tubuh Alvin tenggelam dalam mobil Xenia yang kemudian membawanya menjauh. Ify masih menatap jalanan kosong yang tadi dilalui mobil itu.

“Ayo kita pulang Fy….Sivia nyariin kamu.” Bu Ira kembali mengajak Ify pulang karena dia merasa Ify sudah mau mengalihkan pandangannya yang sedari tadi kosong.

Tapi harapan Bu Ira untuk berhasil mengajak Ify pulang akhirnya pupus saat Ify perlahan kembali tertunduk menatap nisan ayahnya. Ia memejamkan matanya.

Sejenak kemudian Ify mencoba berdiri. Ia mengangguk pada Bu Ira. Bu Ira lega ternyata kali ini Ify mau diajaknya pulang.

Nova menggandeng tangan Ify dan menuntunnya bersama ibunya.

>>>>>>>>>>

Keesokan harinya pukul 16.00

Nova menggandeng Ify yang berjalan dengan pandangan kosong di belakang keranda yang mengusung jenazah Sivia. Iring-iringan pelayat memenuhi jalan di sepanjang jalur menuju pemakaman. Baru kemaren Ify merasakan suasana seperti ini. Dan sekarang….

Bu Ira berjalan perlahan di belakang Ify dan Nova. Dia menatap punggung Ify dengan pandangan iba. Jantungnya terasa akan melompat dari tempatnya saat tadi pagi tiba-tiba Pak Oni, tetangga mereka, berteriak mengatakan bahwa Sivia bunuh diri.

>>>>>>>>>>

Para pelayat berangsur-angsur meninggalkan Ify yang masih terduduk di samping makam kakaknya sama seperti kemarin. Ify masih menatap kosong nisan di hadapannya. Air matanya mengalir tanpa isakan. Dan masih sama seperti kemarin, tinggallah Bu Ira dan Nova menemaninya.

Kali ini Bu Ira dan Nova tak berani mengucapkan apapun. Mereka tak mampu membayangkan seperti apa perasaan Ify sekarang. kehilangan dua orang keluarganya sekaligus dan hidup sendirian tanpa keluarga.

Sudah dua jam Ify terduduk disana. Dia tak lagi menangis, Hanya menatap makam kakaknya dalam diam dan pandangan kosong. Jantungnya berdebar kencang. pikirannya melayang.

Ify menatap sekelilingnya. Tak ada lagi orang yang melayat. Pemakaman itu sudah sepi. Ify menghela nafas. Bu Ira dan Nova duduk di atas sebuah nisan di belakangnya.

“Kalian pulang saja…..” Tiba-tiba Ify angkat bicara.

Bu Ira dan Nova kaget mendengar perkataan Ify.

“Kamu juga harus istirahat Fy….” Bu Ira mendekat ke samping Ify.

“Aku masih akan disini satu jam lagi Bu….”

Bu Ira dan Nova hanya bisa berpandangan dengan mengerutkan kening. Mereka sudah lelah tapi mereka tak tega membiarkan Ify sendirian disana. Akhirnya mereka memutuskan untuk tetap menemani Ify.

Tiba-tiba….

Dua orang berseragam datang menghampiri mereka.

“Ada apa Pak??” Bu Ira dan Nova kaget dan sontak berdiri melihat kedatangan mereka dan tak mengerti apa yang terjadi.

“Saudari Ify dimohon ikut dengan kami….”

Dua orang polisi itu menahan tangan Ify yang hanya terdiam diperlakukan seperti itu tanpa perlawanan. Ify masih menatap makam kakaknya.

“Ify kenapa Pak??”


Flash back…

21 Agustus Pukul 21.20

Rumah itu sudah sepi pelayat. Bu Ira dan Nova juga baru saja pulang.

Mata Ify menatap toples gula di hadapannya dengan pandangan kosong. Pikirannya jauh melayang. Jantungnya berdebar.
Tangan Ify memutar sendok yang berdenting menyentuh tepian gelas berisi teh hangat yang sedang diaduknya. Ify membuatkan teh untuk kakaknya yang masih berdiri mematung menatap foto ayahnya di ruang tengah.

Pikiran Ify melayang pada sosok yang ditemuinya siang tadi.

‘Alvin???’
Ify menatap jari-jarinya sendiri yang masih bergerak memutar sendok.

‘anak itu….’
Perlahan Ify meletakkan sendok yang dipegangnya. Tangannya meraih gelas berisi teh hangat itu dan membawanya ke ruang tengah.

“Kak….”

Ify mengusap punggung kakaknya dengan tangan kirinya. Sivia menoleh pada adiknya. Ify menyodorkan gelas di tangan kanannya pada Sivia.

Perlahan           Sivia meletakkan foto ayahnya dan meraih gelas yang disodorkan Ify. Sivia menggandeng tangan adiknya menuju kursi yang berjejer tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Sivia dan Ify duduk dalam diam yang terasa menusuk. Sivia mendekatkan bibirnya hendak meneguk teh hangat buatan adiknya. Tapi sejurus kemudian dia mengurungkan niatnya dan menjauhkannya kembali lalu meletakkannya di meja.

“Fy….”
Ify mengalihkan pandangannya dari lantai dan menatap kakaknya yang duduk di sampingnya.

“Kakak akan menjaga kamu….walaupun ayah sudah tak ada….kakak janji kakak akan membahagiakan kamu. Sekarang kita hanya berdua. Cuma kamu satu-satunya keluarga kakak sekarang…..”

Entah kenapa tiba-tiba pikiran Ify melayang pada anak laki-laki tadi siang.

“Alvin…”
Ify berkata lirih hampir seperti bisikan.

“Apa Fy?” Sivia tak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan adiknya.
Ify menatap kakaknya lekat-lekat. Sivia mengelus rambut adiknya perlahan. Ify masih terdiam dengan tatapan kosong yang mengarah ke wajah kakaknya.

“kakak makan ya…..”
Sivia tertegun menatap adiknya.
“Dari tadi siang kakak belum makan…..nanti kakak sakit….makan ya…..”
Ify tersenyum pada kakaknya. Sivia hanya mengangguk.
“Ify ambilin dulu ya kak….diminum tehnya…masih anget…” Ify beranjak menuju dapur. Langkahnya pelan. Sejenak ditatapnya Sivia yang perlahan mulai menyeruput teh hangat buatannya.

Ify meraih piring plastik dari rak dapur di hadapannya. Dia mengisinya dengan nasi yang dimasakkan Bu Ira sore tadi. Ify meletakkan telur dadar di atasnya dan mengguyurnya dengan sop yang masih utuh serantang penuh karena belum ada yang menjamahnya.

Ify beranjak menuju rak di sampingnya. Tangannya hendak meraih sendok saat tiba-tiba matanya tertuju pada benda di hadapannya. Ify terdiam sejenak. Ify meraih benda itu dan mengamatinya sejenak. Dahi Ify berkerut, jantungnya berdebar kencang.

‘Alvin….’

>>>>>>>>>>>

Ify berjalan menghampiri kakaknya yang menatap gelas di genggamannya dengan pandangan kosong.

“Ini kak…..” Ify menyerahkan piring itu pada Sivia.

“kamu ga makan juga?”
Nada bicaranya masih tampak gemetar dan sendu. Sivia menerima piring yang disodorkan Ify.

“Iya….bentar lagi….kakak duluan aja…”

Sivia menatap adiknya. Hatinya miris melihat adiknya yang bahkan tampak jauh lebih tegar dibanding dirinya. Perlahan Sivia tersenyum pada Ify yang masih menatapnya.

“Dimakan Kak….”

Sivia mulai mengalihkan pandangannya dari Ify dan menatap telur dadar di atas nasi itu. Perlahan Sivia mulai menyentuh sendoknya dan mulai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Ify masih menatap kakaknya. Jantungnya tak mau berhenti berdebar sejak tadi. Pikirannya……..
ya….pikirannya masih tertuju pada anak laki-laki bernama Alvin itu. Rasa penasaran menyeruak melingkupi dada Ify. Seperti ada sesuatu dari diri anak itu yang membuat pikiran Ify tak mau lepas darinya.

Sivia menyendokkan sesuap demi sesuap nasi ke dalam mulutnya. Tetapi pandangannya menatap kosong pada piring yang dipegangnya. Pikiran Sivia pun sedang tak berada di tempat. Dia mulai memikirkan dengan cara apa dia akan membiayai hidupnya dan adiknya ke depan. Apakah remaja seusia dia bisa melanjutkan hidup tanpa bantuan dari siapapun dan harus menanggung satu orang adik yang sangat amat disayanginya.

Ify menggenggam erat sesuatu di tangan kirinya yang barusan dia keluarkan dari balik saku bajunya yang tadi dia ambil dari rak dapur. Ify menatap benda itu dengan hati terasa diremas-remas. Ify tersenyum.

Ify menatap kakaknya dalam-dalam. Dan akhirnya….

Piring di tangan Sivia terjatuh saat pisau di tangan kiri Ify menusuk perutnya. Sivia jatuh terkulai di lantai menatap adiknya sayu dengan wajah kaget tak percaya dan tubuh yang sudah bersimbah darah.

“I…. Fy???” Terbata-bata Sivia berusaha bicara. Tubuhnya menegang merasakan perih di ulu hatinya yang tertembus pisau itu. “to…..long….Fy…..” Tangan Sivia menggapai-gapai berusaha meraih kaki Ify yang berdiri di sampingnya. Ify manatap kakaknya dengan mata kosong.

Sivia memegangi perutnya dengan pisau yang masih menancap disana. Darah menggenangi lantai di bawah perut Sivia yang semakin lemas menatap Ify.

“Fy.,…” Tangan Sivia masih terus berusaha menggapai Ify yang masih terdiam dengan wajah datar.

Tangan Sivia berhenti menggapai dan terkulai lemas di lantai. Matanya terpejam. Dadanya tak lagi naik turun menandakan dia tak lagi bernapas. Darah menggenang semakin luas di lantai. Ify masih berdiri kaku di samping tubuh kakaknya.

Flash back end…

“maaf….Saudari Sivia tidak bunuh diri melainkan dibunuh. Dan kami menemukan sidik jari Saudari Ify di pisau yang menusuk korban.”

Bu Ira dan Nova mengatupkan kedua telapak tangan mereka ke mulut karena rasa kaget dan tak percaya atas keterangan polisi itu.

“Mari ikut dengan kami.” Kedua polisi itu menarik paksa Ify dan membawanya ke mobil. Ify hanya diam.
Ify berjalan meninggalkan Bu Ira dan Nova dengan dikawal oleh dua orang polisi ditambah lagi 2 orang yang lain menunggu di tepi jalan.

pandangan mata Ify tertuju pada jalanan di depannya. Hanya jalanan lengang. Tak ada sesuatupun. Ify menangis….

>>>>>>>>>>

Dan disinilah Ify sekarang. Karena satu pertanyaan yang dia jawab dengan jujur yang akhirnya menjerumuskannya dalam keadaan yang tak pernah disangkanya.

Satu jawaban yang ia sendiri tak tau entah dari mana dia bisa mendapatkan jawaban itu. Yang jelas memang itulah jawaban paling jujur yang bisa ia lontarkan.

Satu pertanyaan dari polisi yang mengungkap jati diri dan siapa dia sebenarnya.

Hanya satu pertanyaan umum yang biasa ditanyakan polisi pada seorang tersangka kasus pembunuhan. Ya….mereka hanya bertanya…

“Apa motif anda hingga anda membunuh kakak anda sendiri?”

Dan satu jawaban itu…..

Ify hanya menggumam…..

“Alvin…….”

“Apa maksud anda?” Polisi itu tak mengerti maksud Ify. Dan memang tak ada yang mengerti.

Ify menatap nanar meja di depannya.

“Karena saya ingin bertemu lagi dengannya di pemakaman……”

Aku hanya ingin bertemu lagi dengan anak laki-laki itu. Tapi aku tak mengenalnya. Aku hanya berpikir mungkin dia akan datang lagi jika ada pemakaman.

Kakakku…mungkin dia sama sekali tak mengenal anak laki-laki itu. Tapi dia harus mati karenanya. Karena aku….
Atau mungkin ini bukan aku? Mungkinkah bukan aku yang mengendalikan pikiranku?

>>>>>>>>>>>>>>>>

Dia tidak datang…..
Entahlah…..
Mungkin dia datang….atau mungkin juga tidak….
Mmmmm…..
Dia tidak datang….
Dan aku…
Aku disini karena aku…
Seorang PSIKOPAT……
Hhhhh….
Dia tidak datang….
Dia tidak datang……
Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi…
Siapa dia?
Aku tak mengenalnya….
Dia tidak datang…..lagi…
Alvin?
Siapa dia?
Dia tidak datang….
Dia tak mengenalku….
Dia tidak datang….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar