Sabtu, 21 Mei 2011

Sepenggal Kisah Darinya

23 Mei 2010 pukul 09.45

Shogun orange itu perlahan berusaha menembus melewati celah-celah barisan mobil yang hampir berhimpitan satu sama lain. Terik matahari di atas kota Malang yang semakin hari semakin berkurang kesejukannya tak menyurutkan semangat lelaki muda itu untuk menyusuri jalanan yang diselingi lubang disana-sini dan aspalnya yang bergelombang.

Barisan mobil di kanan kirinya yang berusaha meringsek melalui jalan padat itu membuat jalanan sempit yang semula sudah dipenuhi dengan becak, andong, dan deretan tukang ojek itu semakin berjejal ditambah dengan lalu lalang orang yang menyeberang dengan leluasa.

Teriakan supir angkot Arjosari-Dinoyo yang memanggil penumpang dipadukan dengan nyanyian orkes keliling plus teriakan tukang sayur dan pedagang asongan membuat jalanan di depan pasar Tumpang itu semakin sumpek dan membuat setiap orang yang lewat di depannya ingin segera berlalu.

Shogun orange itu masih terhimpit di antara Avanza kuning gading di sebelah kirinya dan sebuah Katana hitam di samping kanannya. Ia menjalankan motornya pelan sekali sambil berharap kuda di depannya menarik andongnya lebih cepat.

‘Ayo sedikit lagi….’
Lelaki itu menggumam pelan sambil mencoba mendongakkan kepalanya lebih tinggi agar bisa melihat jalanan lapang di depan andong yang sepertinya sebentar lagi akan berbelok ke kiri.

Lelaki itu masih menunggu walaupun sebenarnya dia juga tak sabar ingin segera terbebas dari kepadatan kendaraan di sekelilingnya. Dia tak mau ikut-ikutan seperti mobil Kijang di belakangnya yang tak henti-hentinya membunyikan klakson dan pengemudinya yang berkali-kali mengumpat apabila ada tukang ojek menerobos celah sempit di samping mobilnya sampai-sampai hampir saja menyerempet cat mulus tunggangannya itu.

Yak…dan andong di depannya pun berbelok ke kiri menyisakan sebuah jalanan cukup lebar di depannya. Lelaki itu buru-buru memacu motornya lebih kencang sebelum ada tukang ojek yang menyerobot jalannya.

“Yes!!!”
Lelaki muda itu menggenggam stir dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya terkepal mewakili kelegaannya berhasil keluar dari kerumunan yang menyesakkan tadi.

Dia tak ingin terlambat kali ini. Hari yang sangat penting baginya. Masa depan dan mimpinya harus terwujud hari ini. Jika kali ini gagal, mentalnya belum tentu siap untuk memulai kembali dari awal.

Shogun orange itu memasuki jalanan teduh di daerah Tugu. Tepatnya di Jl. Gajah Mada. Satu komplek dengan kantor walikota Malang.

Ia memperlambat motornya saat melewati Rumah Makan Duta dan akhirnya berhenti tepat di samping kiri rumah makan itu. Sebuah bangunan berpagar besi cat hijau dengan gazebo di halaman depannya.
Sebuah kos putri milik seorang keturunan Tionghoa yang baru ke empat kalinya dia kunjungi selama 7 bulan ini.

Lelaki itu mematikan mesin motornya dan memarkirnya di bawah pohon mangga di depan rumah tersebut tanpa turun dari motornya. Ia mengeluarkan Nokia 6300 lawas nya dan mengetik sebuah pesan untuk seseorang di dalam sana.

Tak lama kemudian pintu rumah itu tampak terbuka. Seorang gadis mengenakan rok putih selutut dengan kaos sederhana berwarna merah muda polos keluar sambil menjinjing tas kulit kecilnya.

Lelaki itu melepas helmnya dan buru-buru berkaca di spion motornya memastikan di wajahnya tak ada secuil daun seledri yang mungkin terbang ke pipinya saat melintasi pasar sayur tadi. Sepertinya semuanya baik-baik saja. Polusi di sepanjang perjalanan yang dia lalui tak sampai meninggalkan noda di wajah bersihnya.

Gadis itu membuka gerbang dengan senyum mengembang.

“Selalu tepat waktu.”
gadis itu tersenyum pada si pengendara motor. Ia berjalan ke arah Shogun Orange itu setelah mengunci kembali gerbang kosnya.

“Iya dong….”
Pemuda itu menyodorkan sebuah helm Takachi warna putih sementara dia sendiri mengenakan helm standart butut tanpa merk. Ia sengaja membeli helm putih itu agar orang yang diboncengnya tidak malu naik sepeda motor bersamanya. Sementara dia sendiri masih setia dengan helm kunonya walaupun sebenarnya penghasilannya cukup untuk membeli selusin helm bermerek. Tapi sifat ‘terlalu‘ sederhananya membuat ia tak mau mengahambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tak benar-benar ia butuh. Dia memang terbiasa hidup sederhana, tapi kalau sudah berhubungan dengan orang-orang yang disayanginya, apapun rela dia berikan.

“Kita mau kemana sih Vin?”
Gadis itu memakai helmnya dan langsung menaiki motor pacarnya itu dengan posisi miring.

“Ada deh…..tenang aja Fy….ga bakal macem-macem kok aku…”

Ify adalah teman seprofesinya sebagai dosen di Universitas Negeri Malang. Alvin sebagai dosen Bahasa Jepang, sementara Ify sebagai dosen Biologi. Ify kelahiran Jakarta. Jadi disini dia ngekos. Sementara Alvin memilih pulang pergi dari rumahnya di Wonosari walaupun jaraknya tak bisa dibilang dekat.

Alvin mulai menjalankan motornya. Ia memutar balik dan kembali menyusuri jalan yang ia lalui tadi. Kali ini dia tak menjalankannya dengan kecepatan tinggi karena sedang membonceng seorang gadis yang seratus persen wajib dia jaga keselamatannya.

Beberapa menit Alvin memacu motornya dalam diam….

“Ngobrol dong Vin…jangan diem aja!!!”
Ify berbicara dengan setengah berteriak dari jok belakang agar Alvin bisa mendengarnya. Dia merasa bosan karena biasanya Alvin tak pernah sediam ini kalau memboncengnya.

“Hehe…..“ Alvin menjawab sekenanya saja.
“Eh Fy, aku lewat Tumpang gapapa ya?”

“Gapapa lah. Emang kita mau kemana sih?”

“Ntar juga tau. Beneran nih gapapa? Pasti agak macet di pasarnya!!!”

“Iya beneran gapapa….”
Akhirnya Ify memutuskan untuk tak lagi bertanya dan menunggu saja sampai mereka tiba di tempat tujuan. Alvin tetap tak bicara di sepanjang perjalanan. Sesekali dia menjawab obrolan Ify yang sudah susah payah mengajaknya bicara dengan sedikit berteriak agar suaranya tak kalah dengan deru angin bercampur gemuruh mesin motor dan keramaian jalan raya.

Semakin dekat dengan tempat tujuan, Ify semakin penasaran.

“Kok kesini sih Vin? Ini kan jalan ke rumah kamu?”
Ify menatap deretan pohon pisang di antara rumah-rumah sederhana khas jawa di daerah lereng gunung itu. Ify memang baru sekali ke rumah Alvin, tapi dia masih hapal betul ciri-ciri daerah itu.

“Emang…”

Udara beranjak semakin dingin seiring dengan bertambahnya ketinggian tempat mereka berada. Hampir satu jam perjalanan. Dan Ify semakin heran karena memang tak salah lagi ini jalan menuju rumah Alvin.

Tapi Ify semakin berkerut saat tinggal beberapa meter lagi sampai di rumah Alvin, Alvin justru berbelok ke arah yang berbeda dengan arah ke rumahnya. Harusnya arah ke rumah Alvin itu lurus, tapi Alvin justru memacu motornya berbelok entah kemana.

Motor Alvin mendaki melewati jalanan bergelombang yang aspalnya hampir-hampir tak bersisa. Tinggal batu dan kerikil bercampur tanah yang membuat jalan itu masih bisa dilalui kendaraan. Goncangan sepeda motor Alvin membuat Ify mengencangkan pegangannya di pinggang kekasihnya itu.
Rumah-rumah mulai tampak jarang. Hanya terlihat hamparan hijau pepohonan lebat dan…..

Alvin menghentikan motornya di tepi jalan yang sepi dan mematikan mesinnya.
Ify belum juga turun seakan belum sadar kalau inilah tempat tujuan mereka.

“sampai….”
Alvin mengok pada Ify yang masih duduk manis di jok belakang.

“Hah??”
Ify tersadar dan turun perlahan dari Shogun Orange itu sambil menatap tempat di depannya dengan perasaan heran dan bingung bukan main. Ify menatap tempat di depannya dengan dahi berkerut.

“Sini helm nya.”
Alvin menyadarkan Ify dari lamunan keheranannya.

“Kok kesini sih Vin?”
Ify melepas helmnya sambil terus menatap tempat di depannya dengan wajah bingung. Ia menyerahkan helmnya dengan tangan kiri sementara pandangannya tak beralih dari area di hadapannya. Bukan kafe seperti tempat yang biasa mereka kunjungi berdua. Bukan Mall dimana Alvin dan Ify biasa nonton. Bukan taman yang dipenuhi bunga seperti yang pernah Alvin tunjukkan tempo hari. Bukan juga tempat yang indah maupun romantis yang biasanya menjadi tempat favorit orang-orang kasmaran.

“Yuk…”
Alvin mendahului melangkah di depan Ify yang masih terbengong-bengong. Ify mengerjapkan pandangannya dan segera menyusul langkah Alvin.

“Awas hati-hati. Perhatikan langkahmu.”
Alvin berhenti sejenak dan menengok ke arah Ify yang berjalan agak berjingkat dan sedikit tertinggal di belakangnya.

“Tunggu Vin…”
Ify berusaha mensejajari langkah Alvin sambil terus melihat jalanan berumput lebat di bawahnya.

Alvin menunggu Ify yang hampir sampai di sisinya. Alvin menyodorkan tangannya yang langsung disambut oleh Ify yang memang agak kesulitan berjalan di atas tanah berumput dan berkerikil yang tak terawat itu.

Setelah beberapa langkah Ify mencoba melewati rumput-rumput dan terkadang kulit kakinya terserempet duri putri malu dengan masih terus menggenggam tangan Alvin yang sedikit-sedikit menoleh padanya, akhirnya Alvin yang berjalan di depannya menghentikan langkah.

“Kita sampai….”
Alvin melepas genggaman tangannya dari Ify. Ify memutar pandangan mengamati sekeliling. Berusaha menangkap maksud Alvin membawanya kesini. Dia masih heran dengan tempat tujuannya itu.

Alvin tak bereaksi apapun. Dia masih berdiri menatap Ify yang masih kebingungan melihat keadaan sekelilingnya yang benar-benar sepi tanpa ada orang lain selain mereka. Ify mengamati setiap detail tempat itu. Berusaha mencari sesuatu yang dia yakin pasti ada alasan Alvin mengajaknya kesini. Alvin masih menunggu.

Pandangan Ify terhenti. Matanya tertuju pada titik fokus tak jauh dari kakinya berpijak. Ify mengamatinya sejenak…..

“Vin…”
Ify mengalihkan pandangannya pada Alvin yang masih menatapnya.
Alvin hanya tersenyum.

>>>>>>>>>>

Wonosari,Malang, 18 Juni 2006 pukul 08.00

Sesosok pemuda dengan koper besar di sampingnya tampak mencium tangan seorang wanita paruh baya di teras rumahnya yang masih beralaskan semen.

Disekelilingnya tampak seorang gadis berusia 10 tahun dan seorang wanita berusia sekitar 60 tahun.

“Hati-hati Nak kamu disana. Jangan lupa telfon Ibu ya kalau sudah sampai. Sering-sering kasih kabar…..”

“Iya Bu….Alvin akan terus kasih kabar sama Ibu. Alvin akan kangen sekali sama Ibu kalau nanti 4 tahun ngga ketemu.”

Wanita yang rupanya adalah Ibu Alvin itu tersenyum menatap wajah putranya yang mirip dengannya. Ia tak bisa menyembunyikan gurat kesedihan dan kekhawatiran lewat air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

“empat tahun ga akan lama Vin. Belajar yang rajin ya…. Ibu percaya kamu ga akan mengecewakan kami semua.”
Wanita itu mengelus pipi putranya dengan penuh kasih.

“Vin ada angkot!!!!!”
Rio, tetangga sekaligus sahabatnya berteriak dari seberang jalan sambil melambaikan tangannya pada Alvin. Sedari tadi dia menunggu angkot untuk Alvin di pinggir jalan.

Alvin mengangguk pada Rio. Buru2 Alvin mencium lagi tangan Ibunya.
“Bu, Alvin berangkat ya….”
Setelah mencium tangan ibunya, Alvin mendekat pada Oma nya dan mencium tangan wanita dengan gurat kerutan usia di punggung tangannya itu.

“Oma, Alvin berangkat.”
“Iya…ati-ati Vin.” Oma Alvin menyeka air matanya menatap cucu kesayangannya itu.

Alvin mendekap adik perempuannya yang sudah sedari tadi menangis sambil memeluk ibunya.
“Jagain Ibu sama Oma ya, Ke. Kak Alvin pergi dulu. Berarti nanti kalau Kakak pulang kamu sudah SMP.” Alvin mengusap pipi adiknya yag basah. Keke adiknya tak menjawab. Dia masih terisak di pelukan kakaknya.

“Vin buruan angkotnya nungguin!!!!”
Rio yang mengenakan kaos oblong dengan lengan buntung plus celana pendek selutut kembali berteriak dari pinggir jalan.

“Iya iya!!!”
Alvin melepas pelukan adiknya dan mencium keningnya perlahan lalu mulai menggenggam pegangan kopernya dan bersiap menyeretnya.

“Alvin pergi dulu ya…”

“Ati-ati Vin….” Hanya Oma yang menjawab. Ibunya hanya menatap kepergian putra kebanggaannya dengan air mata yang akhirnya tak kuasa menahan pegangannya di pelupuk mata dan akhirnya jatuh membasahi pipi wanita dengan muka teduh itu. Tangannya memeluk anak perempuannya yang menangis terisak di dekapannya.

Alvin bersalaman dengan Rio yang sudah membantunya menaikkan koper ke dalam angkot.

“Sory Vin ga bisa nganter.”

“Gapapa Yo. Nitip keluargaku ya…”

Rio mengangguk pasti pada sahabatnya. Alvin memasuki angkot yang akan membawanya ke stasiun Kota Baru Malang. Supir angkot mulai menjalankan tunggangannya perlahan. Alvin melambaikan tangannya pada Ibu, Oma dan adiknya di teras rumah. Tak lupa juga pada Rio yang masih berdiri di tepi jalan.

Mulai hari ini akan menjadi perjalanan yang panjang. Dari rumahnya di Wonosari, kemudian dengan angkot ini yang akan membawanya ke stasiun Kota Baru. Disana dia akan menaiki kereta menuju terminal Bungurasih Surabaya dan kemudian ia akan menuju Jakarta dimana dia akan berkumpul dengan orang-orang yang selama 4 tahun kedepan akan menemaninya meraih impian.

Sebuah cita-cita yang tak pernah terbayangkan akan dapat diraih oleh seorang anak yatim dari sebuah kabupaten di kota Malang.

Jepang…..satu tempat yang sampai 2 bulan yang lalu hanya menjadi angan dan impian bodoh bagi seorang Alvin. Tapi tepat 2 bulan yang lalu jam setengah 7 pagi, impiannya itu menjadi kenyataan. Sepucuk surat panggilan yang menyatakan ia lulus ujian beasiswa Sampoerna Foundation S1 ke Jepang membuat hidup Alvin terasa seperti mimpi.

Tak ada lagi yang akan mengatainya anak yatim. Tak akan ada lagi yang mengejeknya anak miskin. Dia membuktikannya. Dia bisa dan dia mampu. Dia akan tunjukkan pada dunia dan semua orang yang mengenalnya bahwa dia bisa membahagiakan orang-orang yang disayanginya dengan bermodalkan OTAK.

Alvin memilih kereta ekonomi. Perjalanannya menuju Jakarta memang dengan biaya sendiri. Setelah sampai disana nantilah, semuanya akan menjadi tanggungan penyelenggara.

Dua jam perjalanan menuju Surabaya dilanjutkan perjalanan selama 19 jam dengan bis menuju Jakarta membuat Alvin semakin jauh dari orang-orang yang disayanginya. Alvin menatap Hp nya dengan wallpaper foto keluarganya yang sedang mencabut ketela pohon di kebun belakang rumah dengan tersenyum haru.

“Tunggu aku 4 tahun lagi….Akan kuubah semua tangisanmu dengan senyuman, Bu….”

>>>>>>>>>>

Shinjuku,Tokyo, 12 Februari 2009

Brukk!!!!

“Hei!!!!”

“Moshiwake arimasen. Watashi wa ayamatte…(maaf…saya tidak sengaja)”

Alvin buru-buru menundukkan wajahnya meminta maaf kepada seorang lelaki yang tergesa-gesa memunguti buku-bukunya yang jatuh berserakan. Alvin tanpa sengaja menubruknya di trotoar saat dia sedang tergesa-gesa menengok layar Hp nya yang tiba-tiba bergetar.

“Aa..” Orang itu hanya menatap Alvin dengan wajah kesal sambil berlalu menjauh.

Alvin kembali menatap layar Hp nya. Telefon yang tadi membuat dia menubruk orang sekarang sudah diputus oleh penelfonnya. Satu panggilan tak terjawab. Alvin mengecek nomor penelfonnya. Nomor yang setiap sebulan sekali selalu menghubunginya. Dari rumah.

Alvin mengernyitkan dahi. Biasanya orang rumah akan menelfon setiap sebulan sekali. Tapi ini baru 2 minggu sejak terakhir kali mereka telfon.
Alvin hendak menghubungi balik, namun baru saja dia hendak memencet tombol panggil, Hp nya kembali bergetar. Dari rumah…

“Halo…”

“Kak Alvin!!!!” Terdengar suara adiknya setengah berteriak tapi sedikit serak di seberang sana.

“Keke??”
Alvin mengerutkan kening mendengar suara adiknya yang terdengar aneh.
Tak ada jawaban dari seberang.

“Ke?” Alvin menatap layar Hp nya mengecek apakah mereka masih tersambung. Timernya masih berjalan menandakan orang di seberang sana belum memutuskan sambungan.

“Halo Ke???” Alvin kembali mendekatkan ponsel ke telinganya mencoba lebih teliti mendengar suara di seberang sana.
Tetap tak ada jawaban. Hanya suara gemerisik yang terdengar di telinga Alvin.

“Ha…” Kalimat Alvin terpotong.

“Vin…” Suara di seberang sana berubah.

“Oma? Keke mana?”
Alvin semakin bingung kenapa sekarang justru Omanya yang bicara.

“Kamu sehat Vin? Oma kangeeeennnn banget sama kamu Vin…” Oma bicara dengan nada kerinduan yang tak bisa disembunyikan. Alvin pun tersenyum.

“Sehat Oma….kok tumben baru dua minggu udah telfon lagi? Biasanya kan satu bulan?”

Terdengar desah suara Oma seperti sedang tersenyum di seberang sana.

“Adikmu itu lho Vin….dia senang sekali barusan menang lomba bikin puisi di kelurahan. Saking senengnya sampai pengen banget telfon kamu itu Vin….”

“Wah…Keke hebat. Lha terus sekarang Kekenya mana? Kok tadi langsung ngilang gitu aja?”

“Dia dipanggil sama Pak RT diajak ngambil hadiah di kantor desa. Ibu kamu juga ikut kesana tuh…”

“Owh….mmmm…..dasar anak itu….Terus ga jadi ngomong sama Alvin dong dia? Apa ntar Alvin telfon balik aja ya?”

“Ga usah Vin….kamu belajar aja yang rajin. Nanti biar Oma yang nyampein ke Keke.”

“Salam juga buat Ibu ya Oma…”

Kembali terdengar suara Oma seperti tersenyum.
“Iya….yaudah Oma tutup ya…baik-baik kamu disana Nak.”

“Iya Oma…”

Sambungan terputus. Alvin kembali menatap layar ponselnya. Bibirnya menyunggingkan senyum.

“Keke…Keke…”

>>>>>>>>>>

Juanda, Surabaya, 21 Agustus 2009 pukul 13.50

Alvin berdiri di dekat pintu keluar bandara. Matanya sedari tadi terpaku ke jalanan di depannya mengamati mobil-mobil yang lalu lalang di depannya.

Sesekali Alvin menengok jam tangan di pergelangan tangan kanannya atau sesekali mengintip layar Hp nya kalau-kalau ada pesan masuk.

Alvin masih tetap mengawasi mobil-mobil yang lalu lalang maupun yang berjejeran di area parkir menunggu si empunya keluar dari bandara. Alvin berusaha meneliti kalau-kalau dia menemukan Panther biru bertuliskan FREEDOM di kaca belakangnya seperti yang di sms kan Rio barusan.

Alvin masih bersabar menunggu .

“Vin!!!!”
Alvin menoleh ke sumber suara tak jauh di sebelah kirinya.
Tampak kepala Rio muncul dari balik kaca jendela mobil Panther birunya sambil melambaikan tangan pada Alvin.

“Hei Yo!!!” Alvin balas melambai dan bergegas menarik kopernya ke arah Rio. Rio turun dari mobilnya dan bergegas menghampiri Alvin yang berjalan mendekat.

“Alvin….” Rio merangkul sahabatnya begitu pula dengan Alvin. Mereka berpelukan sebentar layaknya dua sahabat yang saling merindukan setelah bertahun-tahun tak bertemu.

“Apa kabar Yo?” Alvin menepuk pundak sahabatnya dan menatap wajah sahabatnya yang sekarang tampak lebih bersih.

“Liat dong…tambah ganteng kan guweh?”

Alvin tertawa mendengar perkataan sahabatnya yang terdengar asing di telinga Alvin.

“Yo..yo…Ga pantes kamu ngomong pake gue gue…..” Alvin masih terus tertawa. Rio manyun mendengar ledekan Alvin.

“Iya iya…..ah….tapi gimana?? Aku tambah ganteng kan? Si Siti aja yang dulu sok nolak-nolak aku sekarang malah nempel mulu sama aku.” Rio memegang kerah kemejanya dengan wajah bangga. Dan itu berhasil membuat Alvin semakin ngakak.

“Iya deh percaya….” Alvin belum bisa menghentikan rasa geli di perutnya melihat Rio dengan tingkahnya yang masih belum berubah sejak dulu.

“Eh…ayo masuk cepetan….biar kita nyampe Malang ga kesorean. Jadi kan ngasih surprise ke keluargamu? Dasar….apa ngga kaget tuh mereka ntar liat kamu tiba2 nongol di depan pintu?” Rio terus mengoceh sambil menarik koper Alvin ke arah mobilnya.

Lagi-lagi Alvin tertawa.
“Ya namanya juga surprise. Harus bikin kaget dong…”

“Yaudah ayok kalo gitu kita langsung capcus aja….” Rio membantu menaikkan koper Alvin ke bagasi. Tanpa menunggu lagi mereka berdua bergegas menaiki mobil dan menuju kota Malang tercinta.

Di perjalanan Rio benar-benar berbeda. Ia tak seperti saat di bandara tadi. Kali ini dia menyetir dalam diam. Pandangannya fokus ke jalan di depannya. Tak ada banyolan dan tak ada gurauan yang bisa bikin Alvin ngakak.

Alvin lama-lama bosan juga dengan suasana mistis mobil Rio yang hening tanpa suara itu.
“Yo….ngomong apa kek gitu. Sepi amat brasanya….”

Rio tak menyahut. Matanya masih fokus ke jalanan di depannya.

“Woiii!!!!” Alvin menepuk pundak Rio sampai-sampai Rio sedikit terlonjak kaget.

“Wah…parah!!!! Kamu ngelamun Yo??? Gila!!! Kalau nabrak gimana Yo??? Sembarangan kamu ini!!!” Alvin melotot ke arah Rio yang masih gelagepan diomelin sama Alvin.

“Eh…anu…itu….aku konsentrasi kok Vin… Gila aja aku nyetir sambil ngelamun. Aku tuh butuh konsentrasi lebih Vin. Aku kan baru 3 bulan pegang SIM A Vin….masih agak ‘ndredeg’ (gemeteran).”

Kali ini Alvin bener-bener ngakak liat muka sahabatnya yang gelagepan ketakutan gimana gitu. Alvin tertawa sambil memegangi perutnya.

“Ada-ada aja sih Yo….yaudah kamu konsen lagi sana…awas kalau nabrak!!!” Alvin melotot ke arah Rio. Rio hanya nyengir pada sahabatnya itu.

Alvin membiarkan Rio berkonsentrasi dengan jalan. Dia agak kaget juga Rio berani menjemputnya sampai Surabaya dengan hanya bermodalkan 3 bulan pegang mobil. Agak takut juga dia. Akhirnya Alvin ikut memperhatikan jalan dan sesekali memperingatkan Rio kalau di depannya ada becak maupun orang yang hendak menyeberang.

Tapi rasa lelah akhirnya membuat Alvin tertidur. Tinggallah Rio sendiri berkonsentrasi menatap jalanan Surabaya-Malang.

>>>>>>>>>>>

“Vin bangun Vin….” Rio menggoyangkan tubuh Alvin yang masih terlelap di jok sampingnya.

Alvin membuka mata perlahan dan langsung menegakkan duduknya begitu tahu bahwa mereka sudah sampai.

“Wah…nyampe….” Alvin mengucek matanya dan bergegas merapikan rambutnya lalu perlahan membuka pintu mobil dan turun. Rio ikut turun dan segera menurunkan koper Alvin dari bagasi. Alvin menyambut kopernya dan bergegas berjalan ke halaman rumah.

Beberapa langkah dari mobil, Alvin menengok ke belakang dan sontak menghentikan langkahnya saat melihat Rio masih berdiri terpaku sambil menatap dirinya dari samping mobil.

“Lah Yo? Ngapain disitu? Ayo masuk!!!”

“Mmmm….aku….Aku mau langsung pulang Vin…” Rio tak beranjak dari tempatnya.

“Lah kok gitu? Kamu ga kangen apa sama sahabatmu yang udah ga ketemu 4 tahun ini? Ayolah kita ngobrol lagi di dalem.” Alvin melambaikan tangannya mengajak Rio masuk.
“Cepetan Yo….keburu Ibu keluar ntar ga jadi surprise malahan kalau dia ngliat kita kayak orang bego disini.”

Rio tersenyum.
“Aku mau pulang aja Vin.”

“Piye to Yo (gimana sih Yo)?” Alvin menatap sahabatnya dengan dahi berkerut.

“Itu….Di rumahku ada selamatan Vin….mmmm….aku mesti bantuin bapak….eee….ntar sore aku kesini lagi aja Vin…sekalian bawa tumpeng sisa selamatannya buat kamu sama Keke.”

Alvin memanyunkan bibirnya mendengar penolakan dari Rio.
“Yaudah…jangan lupa ya ntar sore.”

Rio mengangguk.
“Aku pulang dulu ya Vin…” Rio memasuki mobilnya dan menyalakan mesin.

“Makasih ya Yo!!!” Alvin berteriak dari halaman rumahnya sambil melambaikan tangan.
Rio balas melambaikan tangannya dari balik jendela lalu mulai memacu mobilnya meninggalkan rumah Alvin.

Alvin menarik kopernya menyusuri jalanan di halaman rumahnya yang masih belum berubah. Hanya saja sekarang disana mulai banyak bunga-bunga yang sepertinya rajin dirawat oleh pemiliknya. Mawar, Melati, daun pandan….paduan warnanya membuat Alvin tak sabar untuk segera bertemu dengan orang-orang yang merawat bunga-bunga itu.

Alvin meletakkan kopernya di depan pintu. Dia menarik napas dalam-dalam. Perlahan dia mulai mengetuk pintu rumahnya.

Tok tok tok….
“Ibu…..Oma……”

Tok tok tok…
“Ke….”

Tok…
Terdengar suara langkah kaki dari dalam. Sesaat kemudian daun pintu mulai bergerak dan perlahan pintu itu mulai terbuka.

Orang di balik pintu tersentak menatap Alvin yang berdiri tegak di hadapannya.

“Kak Alvin!!!!!!!!!” Keke sontak memeluk kakaknya yang sudah bertahun-tahun dirindukannya. Dia menangis sambil memeluk erat kakaknya. Alvin balas memeluk Keke yang makin terisak.

“Oma!!!!!! Kak Alvin pulaaangg!!!!” Keke melepaskan pelukannya dan berteriak ke dalam.

Terdengar langkah kaki terburu2 dari arah dapur. Tampak Oma dengan celemek birunya yang dulu berjalan terburu-buru sambil mengelap tangannya dengan kain serbet.

“Alvin!!!!” Oma setengah berlari dari dapur menghampiri cucu kesayangannya. Kain serbetnya ia lemparkan begitu saja ke meja di ruang tengah. Alvin mencium tangan Omanya dan Omanya pun mengecup kening cucunya yang sekarang tampak lebih tampan.

“Alvin cucuku….Ya Tuhan….kamu ganteng sekali Nak….” Oma menatap Alvin dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan air mata menggenang di pelupuk matanya.

“Kok kakak pulang ga bilang2 sih?” Keke masih bersusah payah mengusap air matanya yang tak mau berhenti. Alvin mengusap rambut adiknya itu.

“Kan kakak mau ngasih surprise….kakak bawa banyak hadiah lho buat kamu, Oma sama Ibu…” Keke hanya tersenyum dan sekali lagi memeluk kakaknya. Dia benar2 rindu pada saudaranya yang satu itu.

“Ayo masuk masuk….Ke…bantuin bawa tasnya ya…” Oma merangkul pundak cucu laki-lakinya dan mengajaknya ke dalam. Alvin mengamati rumah tercintanya. Tak banyak berubah. Hanya sekarang di bawah almari TV ada sebuah DVD player yang sengaja Alvin minta agar dibeli dari uang kirimannya. Dia tau adiknya suka numpang nonton di rumah Rio yang jaraknya cukup jauh dari rumah.

Tatanan kursi ruang tamunya juga berubah. Ada tiga tambahan kursi kayu berukiran di pojok ruangan. Jadi sekarang jumlah kursi di ruang tamunya pas ada 6. Tidak seperti dulu yang hanya 3. Suka kesulitan kalau ada tamu rombongan.

Masih ada beberapa perubahan kecil lain disana. Foto dirinya bersama seorang pengusaha jepang terpampang gagah di tembok ruang tamu. Sebuah foto yang sengaja dia ambil saat sedang study tour ke sebuah perusahaan internasional di Tokyo.

 Alvin kembali mengamati tiap sudut rumahnya. Ia tersenyum melihat stiker bertuliskan Japan dengan huruf kanji tertempel di almari ruang tengah. Stiker murahan yang dibelinya saat pertama kali tiba di Jepang. Dulu saat dia baru tiba disana, segala sesuatu tentang Jepang rasanya ingin dia bagi dengan keluarganya. Oleh karena itu pernak-pernik sederhana dan murah dia kumpulkan untuk kemudian dia kirim ke Malang.

“Ibu mana Oma?”
Oma yang sedang membuatkannya minuman di dapur sepertinya tak mendengar pertanyaan Alvin. Akhirnya Alvin pun menyusul Oma dan Keke ke dapur.

“Ibu mana Oma?”

“Kamu aduk ini ya Ke…” Oma menyerahkan sendok kepada Keke yang langsung melanjutkan mengaduk teh hangat untuk kakaknya.

“Jam segini ini Ibu kamu ya belum pulang to Vin. Biasanya kan kamu tau sendiri Ibu kamu itu kalau belum gelap belum mau pulang.” Oma berjalan menghampiri almari di dekat kompor gas.

“Loh…Ibu masih jualan di pasar?”

Oma kembali tersenyum.
“Ibu kamu itu mana mau disuruh berhenti kerja walaupun kamu kirim uang tiap bulan? Kamu itu kaya ga tau Ibumu aja Vin….” Oma berbicara sambil menata kue bolu ke dalam piring yang akan dia sajikan bersama teh hangat untuk cucunya.

“Owh….aduh…padahal Alvin sudah kangen sekali sama Ibu nih….”

“Sabar….sekarang sudah jam 5. Sebentar lagi Ibumu pasti pulang. Mendingan kamu minum dulu ini tehnya sama dimakan ini kuenya. Habis itu kamu langsung mandi terus dandan yang ganteng. Ibu kamu pasti langsung nangis tuh liat kamu nanti….” Oma bicara sambil terus tersenyum pada cucu kesayangannya itu.

“Ini Kak tehnya. Diminum ya Kak…dijamin manis kayak yang bikin…” Keke tersenyum manja pada Alvin sambil meletakkan baki berisi teh dan kue bolu.

“Kayak Oma dong…” Alvin menyeruput teh hangat yang disodorkan adiknya.

“Ih…kakak…ya kayak Keke lah…” Keke sedikit memanyunkan bibir pada kakaknya itu.

“Yeee…apaan…orang kamu cuma bantuin ngaduk doang…”

“Ihhh…” Keke meninju pelan lengan kakaknya itu.

Alvin berusaha menghindar sambil mencomot kue bolu buatan Omanya.

Oma Alvin hanya tersenyum melihat tingkah kedua cucunya itu. Tak sabar rasanya mendengar cerita cucunya yang baru pulang dari Jepang.

Tak sabar untuk malam ini…..

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Pukul 18.10

Alvin duduk bersila di lantai kamarnya sambil memandangi barang warna-warni yang berjajar di hadapannya. Semua itu adalah oleh-oleh yang dibawanya dari Jepang. Tadi dia sudah memberikan bagian Keke dan Oma. Sekarang giliran oleh-oleh untuk Ibunya.

“satu….dua….tiga………..pas….” Alvin tersenyum saat telunjuknya mengarah ke hadiah ke empat yang akan diberikannya pada Ibunya.

Tok tok tok…
“Vin….”
Alvin sontak menoleh ke arah pintu saat namanya dipanggil.
“Iya Oma…”

“Cepet keluar. Ditunggu di depan TV ya….”

“Iya Oma….” Alvin segera membereskan tasnya yang agak berantakan lalu segera meraih semua kado-kado yang sudah dia susun rapi. Alvin setengah terburu2 membuka pintu kamarnya dan bergegas ke ruang tamu. Ia tak sabar ingin segera memberikan semua itu pada Ibunya.

Sudah ada Oma dan Keke yang duduk di sampingnya.

“Mana Ibu?”

“Iya bentar….duduk sini dulu…” Oma menepuk kursi di sebelahnya.

Alvin duduk di samping Oma dengan masih memeluk kado2nya.

“Banyak amat kadonya Vin?”

“Hehe…..” Alvin hanya nyengir. Dipeluknya kado-kado itu erat-erat. Dia masih terus tersenyum membayangkan Ibunya ke pasar dengan memakai sendal ala Jepang yang dia belikan. Lalu semua orang akan berkata “wah…bagusnya…asli dari jepang ya Bu?” Kemudian Alvin membayangkan ada yang menyahut. “Iya dong….putranya kan baru saja pulang dari Jepang.” Lalu orang-orang akan berdecak kagum “wah hebaaattt…”

Hag hag hag…. Alvin senyum-senyum sendiri membayangkan fantasi bodohnya yang agak sedikit sombong itu.

“Ibu kamu meninggal Vin….”

Senyum Alvin surut. Seperti ada sesuatu yang meremas jantungnya saat dia mendengar kata-kata tak jelas itu terlontar dari mulut Omanya.

“Apa?”
Ditatapnya mata Omanya yang tak sedikitpun menyiratkan kebohongan.

“Ibu kamu meninggal Vin….”
Oma tak berani menatap mata cucunya. Ia tertunduk menatap kado-kado yang sedang dipeluk erat oleh Alvin. Sebulir air mata menetes dari sudut mata wanita dengan wajah keibuan itu. Oma menggigit bibirnya seolah menahan perih yang sekian lama dipendam.

Alvin menatap Keke yang sekarang sudah bebas tanpa harus bersandiwara. Keke sekarang bebas menumpahkan air matanya.

Alvin kembali menatap wajah Omanya berharap ada penjelasan lebih dibalik kata-kata menjijikkan yang barusan dia dengar.

Tiba-tiba Keke beranjak dari duduknya dan tanpa diduga dia jatuh berlutut di hadapan Alvin.

“Maafin Keke Kak….Keke ga jagain Ibu…..” Keke menangis terisak sambil memeluk kaki kakaknya.
Alvin menjatuhkan kado2nya begitu saja ke lantai. Tangannya mengepal kuat di pahanya.

“Maafin Keke Kak…Ibu kecelakaan….“ Keke masih terus menangis sambil memegangi kaki Alvin. Sementara Oma tak bicara apapun.

Alvin menatap kado-kado yang berserakan di lantai tepat di bawahnya.
Alvin menatapnya…….dalam……kosong……wajahnya yang putih mulai memerah.

Setitik air mata jatuh membasahi bungkusan kado berwarna ungu yang berisi sebuah syal bulu hangat. Alvin tak bergerak. Tak bicara. Dia masih menatap kado-kado itu. Hanya air mata yang mewakili perasaannya.

Keke yang memeluk kaki Alvin tiba2 ambruk. Dia pingsan. Rio yang sedari tadi hanya menatap adegan itu dari balik pintu tanpa berani masuk sontak berlari dan meraih tubuh adik Alvin yang terkulai lemas di lantai.  Alvin tak bergerak sedikitpun. Tak ada reaksi walaupun adiknya terkulai tepat di samping kakinya. Dia masih menatap kado-kado itu.

Oma yang hendak menolong Keke mengurungkan niatnya begitu melihat Rio yang sudah buru2 menggendong Keke dan membawanya  ke ruang tengah. Rio mengurus Keke. Sedangkan Oma kembali duduk dan masih menangis di samping Alvin.

“Maafin Oma Vin….Oma…..”

“Kapan?”
Alvin mencoba bicara….. Pelan…. dia tak mampu menyembunyikan getar dalam suaranya.

“Maafin Oma Vin….”

“Kapan?!?!?!?” Alvin membentak Omanya tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari kado di bawahnya yang basah karena tetesan air matanya sendiri.

Oma mengepalkan tangannya. Rasa bersalah karena telah membohongi cucunya selama ini terasa begitu kuat menghantam ketika menatap cucu lelakinya menangis tertunduk di hadapannya. “Setengah tahun yang lalu Vin…..”

Alvin memejamkan matanya yang terasa panas dan perih. Bayangan Ibunya, saat terakhir kali dia mencium tangannya, percakapan terakhir mereka di telfon, Jepang, semuanya…..

“Oma ga mau sekolah kamu terganggu Vin….Maafin Oma….”

Alvin menjambak-jambak rambutnya sendiri. Bulir-bulir air mata masih mencoba menerobos kelopak matanya yang terpejam. Oma mengelus punggung cucunya yang semakin terisak menatapi kado-kado yang berserakan di lantai.

“Ibu!!!!!!!!!!!!!!”

Di ruang tengah, Rio yang sedang duduk di samping Keke memejamkan matanya menahan sakit hati mendengar teriakan pilu dari sahabatnya di ruang depan.

‘maaf Vin…..maaf tadi aku bohong……ngga ada selamatan….aku hanya tak tega melihatmu…..maafkan sahabatmu ini Vin….maaf…..’

>>>>>>>>>>

Malang, 12 Februari 2009.

Keke tak pernah membayangkan bahwa pagi itu akan menjadi pagi terakhirnya melihat Ibunya. Baru 3 jam yang lalu Ibunya berangkat ke pasar dan dia sendiri melangkah santai menuju SMP nya tercinta dengan penuh semangat.

Baru 2 mata pelajaran dia lalui, tiba2 wali kelasnya memanggilnya dan memintanya keluar kelas dengan membawa tas. Wali kelasnya mengantarkan Keke sampai di rumah tanpa mengatakan apapun. Keke baru menyadari apa yang terjadi saat dia melihat bendera kuning di halaman rumahnya. Dan rasa takutnya terbukti saat melihat jasad ibunya terbaring di tengah-tengah ruang tamunya dengan sudah terbungkus rapi.

Tadi di sekolah sebuah telefon mengabarkan bahwa Ibunya meninggal di rumah sakit karena kecelakaan.

Keke benar2 shock dengan apa yang menimpanya. Keke terus berteriak meronta-ronta saat jenazah ibunya dimasukkan ke liang lahat.
Tak ada seorangpun yang berani mengabari Alvin tentang hal ini.

Setelah pemakaman selesai, Keke yang tak kuat lagi menahan perasaannya, dengan penuh emosi tanpa sadar sontak meraih telefon dan memencet nomor kakaknya.

Alvin tak juga mengangkat telefonnya tapi Keke tetap bersikeras menghubunginya. Namun, baru sebentar kakaknya berhasil menyahut, Keke tak kuasa menahan badannya yang sudah lemas. Ia jatuh pingsan. Untung ada Oma yang segera tau perbuatan Keke. Dan beruntung Keke belum sempat mengucapkan apapun pada Alvin. Oma tak mau mengganggu kuliah Alvin. Akhirnya Oma memutuskan untuk berbohong dan tidak memberitahu Alvin.

>>>>>>>>>>

“Ini makam Ibuku Fy…..”
Ify menatap salah satu nisan di sampingnya. Nisan yang paling dekat dengan kakinya di antara nisan-nisan yang lain di sekelilingnya. Ify mencoba membaca apa yang tertulis disana.

Gracia.

Ya….nama itu…..Ify ingat Alvin pernah menceritakannya. Itu nama Ibu Alvin.

Alvin duduk di samping makam Ibunya. Ify juga melakukan hal yang sama. Ify menatap Alvin yang tak bisa menyembunyikan kesedihan dari sorot matanya saat ia mengelus nisan ibunya perlahan.

Alvin memejamkan matanya. Dia berdoa sejenak untuk orang yang paling disayanginya itu. Ify pun menuruti apa yang dilakukan Alvin. Dia ikut memejamkan mata dan berdoa.

Masing2 sudah selesai berdoa dan membuka mata. Alvin menatap makam Ibunya. Tangannya menggenggam kuat sesuatu di dalam saku celananya. Alvin menarik napas dalam-dalam. Perlahan dia mengeluarkan benda itu dan menyodorkannya pada Ify.

Ify yang sedari tadi masih tertegun menatap nisan di depannya berhasil dibuat kaget karena sesuatu yang disodorkan Alvin. Sebuah kotak merah terbuka berisi cincin emas.

“Fy…..di depan makam ibuku….aku ingin memintamu menjadi istriku…..bersediakah kamu Fy??”

Ify menatap kotak itu. Ify tak kuasa menahan air matanya. Ditatapnya wajah orang yang sangat disayanginya itu. Orang yang selama ini selalu menjaganya. Yang selalu menerima dia apa adanya. Yang tak pernah sedikitpun membuatnya sakit hati. Yang selalu mewarnai hidupnya dengan segala sikap rendah hati, bijaksana, penyayang dan perhatian yang dimilikinya. Latar belakang hidup Alvin membuat dirinya begitu tampak bersahaja di mata Ify.

Ify mengusap lelehan air mata di pipinya. Perlahan ia mengangguk. Seulas senyum tersungging di antara butiran bening yang jatuh menelusuri lekuk pipinya.

Alvin tersenyum lega. Ia meraih tangan kiri Ify perlahan dan meyematkan cincin emas itu di jari manisnya. Digenggamnya tangan Ify erat-erat. Alvin kembali menatap nisan ibunya.

“Ibu……semoga kau bahagia……lihatlah dia Ibu…..aku menyayanginya….”

Suara gesekan daun-daun kamboja di atas mereka terasa menggema di tengah tanah sepi itu. Tiupan angin menjatuhkan bunga kamboja kuning tepat di hadapan mereka.

“Ibu…..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar