Sabtu, 21 Mei 2011

Segalanya Pasti Berujung (PART 12)

“Ikut aku bentar ya Vin?”

Alvin mengangguk pelan. Ify pun mendorong kursi roda Alvin keluar kelas.

“Mmmmm….maaf ya Fy merepotkan harus dorong kursi rodaku…” Alvin menengok pada Ify dibelakangnya.
Ify hanya tersenyum.

Entah kenapa Ify merasa ada yang salah. Bukan…bukan seperti ini…harusnya bukan seperti ini yang terjadi. Harusnya bukan dia yang memberikan surprise untuk Alvin….Harusnya bukan dia….

Ify tau Alvin menyukainya. Tapi Ify menganggap Alvin sebagai teman. Bukankah seperti ini hanya akan semakin menyakiti hatinya jika dia tau bahwa semua ini hanya palsu untuk sekedar menyenangkannya. Bukan berarti Ify tidak ikhlas memberikan kado untuk Alvin…bukan…tapi bukankah kejujuran itu lebih indah??

Ify mendorong pelan kursi roda Alvin. Dia memandang tangan Alvin yang mengepal di pangkuannya. Dia bisa merasakan apa yang dirasakan Alvin sekarang. Dia tau Alvin gugup dekat dengannya. Ingin rasanya dia bilang pada Alvin kalau dia tidak menyukai Alvin dan yang menyayanginya adalah Aren.

Tapi apa iya dia tega melakukan itu setelah kemarin Aren memohon2 kepadanya. Dan apakah setega itu dia mengatakan kalau dia tidak menyukai Alvin di hari ulang tahunnya ini dan dalam keadaan Alvin yang seperti sekarang.

Ahhh…..bukan seperti ini seharusnya….ini bukan tanda sayang….hanya kebohongan yang mungkin dibumbui rasa terpaksa.

Ify memandangi Alvin dari belakang.

“Fy…”

“Eh…iya???” Ify terkesiap saat Alvin menoleh padanya walaupun wajahnya tak sampai tepat menghadap padanya.

“Kita mau kemana? Kok kesini?” Alvin bicara pelan sekali. Tampak nada gugup yang semakin membuat Ify tak tahan menatap wajahnya.

“Ada aja…ntar juga tau…” Ify memberikan senyum pada Alvin. Alvin melihat Ify tersenyum dari sudut matanya. Jantungnya makin berdebar.

Mereka menuju sebuah ruangan yang tidak asing lagi bagi Alvin. Tempat dimana dulu Alvin suka menghabiskan waktu istirahatnya untuk bermain basket. Yap…sebuah lapangan basket indoor. Sepi….benar2 sepi….apalagi mereka hanya berdua di dalam ruangan seluas itu. Lampu di dalamnya tidak menyala. Hanya cahaya dari pintu dan beberapa ventilasi saja yang membuat ruangan itu agak terang.

Ify berhenti mendorong kursi roda Alvin tepat di tengah2.
Alvin menatap sekeliling..tak ada sesuatu maupun seseorang. Sepi….

“Fy….disini ngapain?” Alvin masih mengamati sekeliling dengan cermat siapa tau tiba2 muncul surprise untuknya di hari ulang tahunnya ini.

“Fy???”
Tak ada jawaban dari Ify….suasana di dalam jadi benar2 hening. Alvin menengok ke belakang tapi dia kaget karena ternyata Ify tak ada di belakangnya.

“Fy???” Alvin menoleh kesana kemari mencari sosok Ify….dia memutar kursi rodanya ke arah belakang . Diamatinya seisi ruangan itu. Tapi Ify tak ada dimanapun.

“Ify???” Alvin terus mencari2. Dia menggerakkan kursi rodanya ke arah pintu keluar... Tapi baru beberapa meter kursi roda Alvin beranjak,
tiba2...

“Alvin……” Suara dari arah belakang menghentikan gerakan tangan Alvin memutar roda. Alvin menoleh ke belakang. tampak Ify sedang berjalan keluar dari kamar ganti di pojok ruangan yang berseberangan dengan pintu saat mereka masuk tadi.

 Alvin memutar kursi rodanya menghadap tengah lapangan. Alvin mengerutkan kening dan perlahan menjalankan kursi rodanya kembali mendekat ke tengah2. Tapi dia berhenti saat dilihatnya Ify berdiri tegak di tengah2 lapangan. Dia memanggul biola kesayangannya. Posisinya siap menggesek senar2 biolanya.

Alvin terpaku menatap Ify. Jantungnya berdebar.

“Selamat ulang tahun Alvin….” Ify menyunggingkan senyum pada Alvin yang masih terbengong2 menatap Ify.

Ify memejamkan matanya. Dia mulai menggesek senar biolanya dan melantunkan sebuah lagu…..

Bukan….bukan lagu Happy Birthday yang dia lantunkan…..juga bukan lagu Panjang Umur. Alunan lagu Ify terdengar begitu pelan dan menyayat. Ify memainkan biolanya dengan mata terpejam. Perlahan…dan syahdu….

Ify membuka mulutnya…dan dia mulai menyanyi diiringi permainan biolanya yang terdengar begitu sendu.

Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu..
Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu
Karena langkah merapuh tanpa dirimu
Oh…karena hati tlah letih…

Alvin merasakan tubuhnya merinding. Jantungnya berdebar kencang. Tangannya mengepal kuat meresapi setiap lirik yang terucap. Ia tatap mata Ify yang terpejam dengn hati terasa diremas2.

Aku ingin menjadi sesuatu yang selalu bisa kau sentuh
Aku ingin kau tau bahwa ku selalu memujamu
Tanpamu sepinya waktu merantai hati
Oh….bayangmu seakan-akan….

Alunan biola Ify menggema di penjuru ruangan. Keras…terdengar sangat keras di telinga Alvin…tapi begitu lembut…menyentuh….
Dan hangat….
Hati Alvin menghangat….
Mata Alvin menghangat….

Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu
Seperti udara yang kuhela kau selalu ada

Ify menaikkan tempo gesekkan biolanya. Tubuhnya bergerak mengikuti irama yang semakin cepat

Hanya dirimu yang bisa membuatku tenang
Tanpa dirimu aku merasa hilang
Dan sepi…….


Gesekan biola Ify melambat…..Tangan Ify tak lagi bergerak cepat seperti tadi.

Dan sepiiiiii…….

Alunan biola Ify makin melambat dan terus melambat hingga akhirnya….

Tangan Ify berhenti…..Ify membuka matanya. Alvin masih terpaku menatap orang yang disayanginya di depan sana. Tangannya masih mengepal.

Ify meletakkan biolanya begitu saja di lantai. Ia berjalan mendekati Alvin….pelan…pelan sekali…..matanya nanar menatap Alvin yang masih menatapnya seolah mengatakan aku-sayang-kamu-Ify…. Hati Ify sakit menerima tatapan itu dari Alvin. Dia tak tega…..

Ify berdiri di hadapan Alvin. Alvin masih memandang wajahnya lekat2. Ify bisa melihat mata Alvin yang berair. Tidak sampai menetes memang. Tapi cukup membuat Ify merasa semakin bersalah.

Ify menundukkan badannya.
Tangannya merangkul pundak Alvin.
Ify memeluknya.

“Selamat ulang tahun Alvin……” Ify mengucapkannya pelan. Pelan sekali….seperti bisikan. Ify memeluk Alvin….sebulir air mata membasahi punggung Alvin.

Sunyi…..
Alvin terpaku…..
Tangannya menggenggam kuat. Dia tak balas memeluk Ify….tangannya terlalu gemetar untuk membalas pelukan Ify.

Setitik air mata jatuh membasahi lantai.
Bukan…bukan lantai di bawah Ify….juga bukan lantai di bawah Alvin…tapi lantai di bawah seseorang yang menatap mereka dari balik pintu.

Aren….

Entah apa yang sedang dia rasakan.
Sakit hati karena Alvin tak mempedulikannya?
Cemburu pada Ify karena Alvin lebih memilihnya?
Atau bahagia karena Alvin juga bahagia?

Tuhan menciptakan air mata bagi wanita agar mereka bisa meluapkan perasaannya. Dan perasaan Aren sudah tertuang disana…..Walaupun tak seorangpun bisa mengartikannya.

Ify masih memeluk Alvin. Ify menangis bukan karena dia bahagia. Tapi karena dia merasa berdosa.

Alvin masih terpaku. Kado terindah kedua dari Tuhan yang pernah dia dapat di hari ulang tahunnya. Kado pertama ketika dia mendapatkan seorang kakak. Dan sekarang, kado terindah dari orang yang sangat disukainya….

Sunyi….angin yang berhembus di luar….pelan sekali….sekali lagi….seolah mengatakan…..

“semoga berbahagia…..”

>>>>>>>>>>

18 Januari tahun berikutnya……..

Sivia menatap layar TV dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang tak berada di tempat. Tangannya masih menggenggam remot yang sudah lebih dari 15 menit dia anggurkan.

Pikirannya tertuju pada Cakka….dan Rio…..

Cakka yang sampai sekarang tak pernah menyerah selalu datang padanya tapi sampai sekarang juga dia selalu menahan perih hatinya harus mengubur dalam2 perasaannya yang sudah meluap2. Apakah dia seorang playgirl? Yang mencintai dua orang sekaligus dalam satu waktu?

Rio yang selalu menyayanginya… menemaninya….. menyenangkannya…. membuatnya melayang karena semua perhatian dan rasa sayangnya. Tapi sampai sekarang dia tak pernah menyatakan perasaannya. Entah apa yang Rio pekirkan. Entah dia menganggap Sivia sebagai apa. Sampai kapan dia harus seperti ini. Bahkan sampai dia lulus SMA dan kuliah, walaupun masih di Jakarta juga, dia tak pernah sekalipun mengatakan suka pada Sivia.

Lalu Sivia harus menganggap Rio sebagai apa? Teman yang selalu menemaninya kemanapun dia pergi? Atau sahabat kerena selalu ada saat Sivia sedang sedih maupun senang? Atau sekedar kakak kelas yang selalu membantu Sivia mengerjakan soal2 kelas XII yang memusingkan? Atau sebagai kakak yang selalu melindungi dia dan memberikan motivasi padanya untuk tetap bersemangat? Harus dianggap apa Rio oleh Sivia?

Sivia merasa seperti orang bodoh yang lemah. Dia hanya bisa diam menahan sakit hati tanpa pernah berani mengutarakan apa yang dia rasakan. Sivia ingin sekali mengetahui apa yang Rio rasakan padanya. Tapi tak pernah sekalipun dia berani bertanya pada Rio secara langsung.

Biarkan mengalir….
kata2 bodoh yang selalu sok diucapkan Sivia dengan ketegaran palsunya.

Andai Sivia berani mengatakan bahwa dia ingin Rio mengungkapkan perasaannya.
Andai Sivia berani mengatakan bahwa dia sudah lelah terus menerus digantungkan seperti ini oleh orang yang sangat disayanginya.
Andai Sivia bisa mengatakan bahwa dia sudah bosan terus menerus dicaci maki oleh Shilla yang sudah berbulan2 tak pernah bosan mengganggu hidupnya.
Andai Sivia bisa mengatakan bahwa dia juga sangat mencintai Cakka dan rasanya ingin sekali memeluk Cakka andaikan Rio tak segera menyatakan perasaannya.
Andai Sivia bisa mengatakan bahwa dia sangat tersiksa dengan semua perasaan bersalahnya karena sudah menduakan hatinya walaupun tidak ia tunjukkan secara nyata.
Andai Sivia bisa mengatakan dia lelah dengan semua air mata yang terkuras habis disaat dia sudah harus mulai mempersiapkan ujian nasionalnya.

Betapa hati Sivia sangat sakit melihat Cakka setiap kali memohon padanya sekedar meminta untuk dibukakan pintu.
Betapa hati Sivia sakit setiap kali Rio hanya diam saat ada yang bertanya pada Rio sambil menunjuk Sivia “pacarnya ya mas?”
Betapa hati Sivia sakit setiap kali dia dibilang manusia tak punya hati, tak punya mata dan telinga, tak punya perasaan, perebut pacar orang, cewek ganjen, dan umpatan2 sadis dari Shilla.
Betapa hati Sivia sakit setiap kali dia harus melihat adiknya yang…..

ah….Alvin….kenapa harus dia????

Sivia benar2 tak ingin kalau sampai semua masalahnya dengan Rio dan Cakka membuatnya melupakan adik yang sangat amat disayanginya melebihi apapun. Ingin rasanya setiap hari Sivia menemani Alvin tanpa harus dibayangi perasaan sakit hati pada Rio, perasaan bersalah pada Cakka maupun rasa gelisah karena Shilla.

Alvin sangat membutuhkannya dan betapa egoisnya dia kalau lebih mengutamakan masalah COWOK daripada kebahagiaan adiknya sendiri. Dan juga satu hal yang sama sekali tak boleh dia lupakan. Dia adalah Sivia. Pemegang rekor ranking satu selama 5 semester berturut2. Apakah cuma gara2 masalah COWOK dia akan mengecewakan ortu angkatnya yang sudah sangat berbaik hati mau membiayainya.

Aaaaarrrgghhh!!!!!!!

Kepala Sivia terasa semakin berat memikirkan semuanya. Wajah2 itu tak mau pergi dari pikirannya. Terus, terus dan terus menghantui entah sampai kapan.

Tiba2 Sivia tersadar dari lamunannya.

Dia mendengar suara dari lantai atas. Sayup2. Pelan….
Seperti suara gitar.

Bukan…bukan gitar yang berbunyi membentuk suatu irama maupun lagu layaknya seorang gitaris handal. Bukan juga genjrengan layaknya seseorang yang sedang belajar memainkannya.
Bukan…..

Teng……

Teng….

Sivia mengerutkan keningnya. Dia bangkit dari duduknya dan beranjak menuju lantai atas tanpa mempedulikan TV yang sejak tadi didiamkan olehnya. Sivia menaiki tangga perlahan dengan telinga yang berusaha mendengar suara itu lebih jelas.

Sivia semakin mendekati sumber suara.

Kamar Alvin…..

Sura seperti petikan senar itu berasal dari kamar Alvin. Sivia membuka pintu perlahan. Dia mengintip ke dalam kamar Alvin.

Alvin duduk di kursi rodanya menghadap meja belajarnya. Di depannya, gitar kado dari Sivia di hari ulang tahunnya tergeletak begitu saja di atas meja. Tangan kanan Alvin tertelungkup di atas senarnya. Alvin menatap gitar itu dengan tatapan kosong. Jari telunjuk kanan Alvin memetik senar gitar di depannya tanpa melodi. Hanya satu senar….perlahan….dengan susah payah. Sedangkan tangan kirinya tergeletak lemas di pahanya.

“Mbak….” Mba Lani yang sedang duduk di tepi tempat tidur sambil memandangi Alvin sontak mengangguk pada Sivia yang memasuki kamar.

Mbak Lani adalah perawat yang digaji oleh Sivia untuk mengurus Alvin.

Ya….Alvin…..

dia tak bisa lagi berjalan…..tubuhnya tak bisa lagi bergerak. Bicaranya sudah tak lagi jelas. Bahkan makan pun dia tak bisa melakukannya sendiri. Waktu berlalu begitu cepat merenggut senyum adiknya. Mengambil semua kebahagiaan yang belum genap 2 tahun dirasakannya.

Sivia mengangguk pada Mba Lani.

Sivia berjalan perlahan mendekati Alvin. Ia menatap adiknya yang masih terus memetik satu senar gitar dengan susah payah.

 Sivia mengelus pundak adiknya. Alvin menghentikan gerak telunjuknya tapi tangan kenannya masih tetap tertelungkup di atas gitar. Dia tak bisa meletakkannya sendiri ke pahanya. Tadi saja Mba Lani yang membantunya meletakkan tangan kanannya di atas gitar.

“Alvin…..”

Alvin melirik perlahan pada Sivia yang berdiri di sampingnya. Dia tersenyum…pelan sekali, kemudian kembali menatap gitar di depannya.

Teng…..

Teng….

Jari telunjuknya memetik senar gitar itu lagi dengan susah payah. Matanya masih tertuju pada alat musik di depannya itu.

“Ke…..na….va….A….vin…..ka….ya….ki…ni….(kenapa Alvin kaya gini?)”
Alvin berusaha bicara dengan jari masih bersusah payah memetik gitarnya.
Air mata menggenang di pelupuk mata Sivia menatap adiknya.

“A….vin….ga….vi….sa…..ja….yan…..(Alvin ga bisa jalan)”
“A….vin…..ga….vi…sa…..ge….ak…..(Alvin ga bisa gerak)”
“ke…na….wa…..(kenapa?)”

Alvin bicara sangat pelan dengan pengucapan yang tidak jelas.

“co…..wa…..A….vin…ga….sa….ki…..A….vin…..pe…ngen….ma….in….gi…..tah…..sa….ma….ka….kak……(coba Alvin ga sakit, Alvin pengen main gitar sama kakak)”

“A…..vin…..”

Alvin menghentikan kalimatnya saat Sivia tiba2 mendekap bahunya dan menangis memeluknya.
Sivia tak bisa menahan perasaannya melihat adiknya seperti ini…

“Alvin….”
Sivia menyebut nama adiknya dengan hati terasa ditusuk2. Dia terus menangis mendekap bahu adiknya.

“A….vin….me….he…vot….kan…..(Alvin merepotkan)”

Sivia melepas pelukannya. Dia meletakkan tangan kanan Alvin yang sedari tadi tergeletak di atas gitar ke pangkuan Alvin. Kemudian Sivia memutar kursi roda Alvin agar menghadap padanya. Sivia duduk bersimpuh di hadapan adiknya.

Kedua tangan Sivia menggenggam kedua tangan Alvin di pangkuan adiknya itu. Mata Sivia yang memerah menatap wajah adiknya yang sayu dan pucat.

“Kakak sayang Alvin…..kakak sayang Alvin seperti apapun keadaan Alvin…..Alvin adik kakak yang paling kakak sayangi…..“

“A…..vin….sa…kit….a….va….(Alvin sakit apa?)“

Sivia menundukkan wajahnya. Ditariknya napas dalam2 masih dengan tenggorokan yang perih menahan isakan.

“Tuhan sayang sama Alvin………sayang banget…… terlalu sayang….. Sehingga Tuhan……. pengen……..“

Sivia tak mampu melanjutkan kata2nya……dadanya sakit.

“Tu….han…ve…ngen….a….va…..(Tuhan pengen apa?)”

“Tuhan sayang…..terlalu sayang……” Sivia semakin terisak di hadapan Alvin. Dia sudah benar2 tak mampu bicara.

Sivia mengangkat wajahnya yang sudah basah karena air mata. Perlahan Sivia mencium tangan adiknya yang pucat. Pelan sekali. Air mata Sivia membasahi punggung tangan Alvin.

Mba Lani menyeka air matanya melihat adegan di depannya.

Sivia terus menangis…..menangis dengan masih terus mencium tangan adiknya yang dingin dan pucat. Alvin hanya diam melihat kakaknya menangis di pangkuannya.

Angin….
lagi2 hanya bisa mendoakan….

“Semoga berbahagia…..”

>>>>>>>>>>

16 Mei pukul 13.00

Oik menggandeng tangan Sivia berjalan menuju ruang kelas dengan langkah gontai. Rio mengikuti di belakang mereka. Dia menatap punggung Sivia yang berjalan di depannya dengan tatapan penuh kekhawatiran.

Hari ini seluruh siswa kelas XII wajib cap 3 jari untuk ijazah. Oik belakangan ini sering ke sekolah untuk konsultasi ke BK mengenai perguruan tinggi. Biasanya Sivia juga akan ikut mencari informasi tentang universitas incarannya. Namun sudah 3 hari ini Sivia absen datang ke sekolah. Tapi khusus untuk hari ini Sivia memaksakan diri untuk datang.

Rio barusan yang menjemputnya di rumah sakit. Oik yang memintanya. Oik merasa sahabatnya itu butuh dukungan dari orang yang disayanginya. Rio segera mengiyakan karena dia sendiri juga khawatir dengan keadaan Sivia yang belakangan ini semakin memburuk. Selain itu saat menunggu Sivia cap 3 jari nanti dia juga bisa bertemu kangen sebentar dengan guru2 setelah hampir setahun dia lulus dari SMA itu.

begitu sampai di sekolah, Oik langsung menggenggam tangan sahabatnya yang wajahnya sudah benar2 terlihat sayu dan lelah.

Ya…..sudah 3 hari ini Sivia menghabiskan seluruh waktunya di rumah sakit. Apalagi kalau bukan untuk menjaga adiknya yang sudah koma lebih dari 75 jam. Ini kedua kalinya Alvin koma sampai berhari2. Sivia benar2 merasa sangat amat resah melihat keadaan adiknya yang sepertinya sudah tak mungkin lagi menunjukkan perubahan kondisi menjadi lebih baik.

Kalau saja Alvin koma saat Sivia belum Ujian Nasional, mungkin Sivia tidak akan lulus karena waktu belajarnya pasti tersita untuk adiknya.

Sivia merasa sudah mau pingsan sejak kemaren. Saat Dokter Danu kembali mengatakan bahwa tak ada lagi harapan. Sivia merasa seluruh badannya tak punya daya untuk kembali beraktivitas seperti biasa.

Entahlah….dulu dia begitu tegar menghadapi kepergian 3 orang tercintanya. Namun semua itu bukan berarti Sivia siap untuk yang keempat kan? Manusia mana yang mau mengalami semua itu berulang kali.

Sivia dan Oik memasuki ruang kelas. Sedangkan Rio hanya mengantar sampai di pintu. Setelah itu dia menuju ruang guru untuk sekedar mencium tangan beberapa guru yang dulu sudah membimbingnya. Tapi pikirannya masih tertuju pada Sivia.

Sekitar satu setengah jam kemudian Sivia dan Oik sudah selesai menunaikan kewajibannya. Oik menggandeng tangan sahabatnya menuju parkiran. Mereka akan menunggu Rio yang baru saja di sms oleh Oik.

“Vi…kamu pulang aja ya….” Oik masih menggenggam erat tangan sahabatnya.

“Ngga….aku mau balik ke rumah sakit aja. Kasihan Alvin ga ada yang nungguin.”

“Vi…disana tu ada Bi Oky.”

“Aku kakaknya dan Alvin kalau sadar pasti nyariin aku.” Sivia menatap mobil2 yang berjajar di parkiran dengan tatapan kosong.

“Vi…aku tau kamu khawatir sama Alvin. Tapi cobalah Vi kamu juga sayang sama diri kamu sendiri. Gimana coba perasaan Alvin kalau lihat keadaan kamu yang kaya gini waktu dia sadar? Bukannya seneng malah tambah sakit dia Vi. Dia tu sayang sama kamu Vi….”

Sivia masih terdiam dan tak mengalihkan pandangan matanya sedikitpun.

“Seenggaknya kamu istirahat lah dulu bentar di rumah. Tidur dulu beberapa jam. Biar badan kamu fresh lagi.”

Sivia masih tetap mengacuhkan perkataan Oik. Sampai tiba2.…

“EH!!!!!!!!!”

Sivia yang sedari tadi hanya diam sontak menengok ke sebelah kiri. Begitu juga dengan Oik. Dan begitu mengetahui siapa yang berdiri disana, mata Sivia terbelalak kaget. Pikirannya seolah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Shilla??”

Oik terkejut begitu mengetahui bahwa orang yang berdiri di depannya sekarang ternyata adalah orang yang bernama Shilla, yang selalu Sivia ceritakan kepadanya sebagai pengganggu hidupnya.

Shilla tau kalau hari ini Sivia pasti datang ke sekolah karena cap 3 jari yang hukumnya wajib. Dia sudah berniat ingin menegaskan sekali lagi sakit hatinya pada Sivia. Dia benar2 nekat tanpa mempedulikan harga dirinya sendiri.

“Loe belum kapok juga ya jadi cewek ganjen?” Shilla mulai mengeraskan volume suaranya.

“Bisa ga sih ga usah teriak2 di tempat umum kayak gini?” Sivia berkata dengan pelan tapi tampak menahan emosi karena kedatangan Shilla di saat yang sangat amat tidak tepat dan dengan cara yang sangat amat tidak menyenangkan.

“Bodo….biarin semua orang tau kalau lo tu cewek ganjen yang suka ngrebut pacar orang!!!“ Shilla justru semakin mengeraskan volume suaranya sehingga membuat anak2 yang lalu lalang di sekitar mereka menengok. Benar2 pertaruhan harga diri. Baik harga diri Shilla maupun Sivia.

“Aku lagi males ribut sama kamu Shil.” Siva menjawab masih dengan nada pelan. Tapi wajahnya menyiratkan perasaan tidak nyaman.

“Peduli amat!!! Lo udah bikin gue sakit hati karena lo udah ngrebut Rio dari gue!!!”

“Eh…yang ngrebut Rio dari kamu tu siapa? Tanya dong sama dia kenapa dia mutusin kamu?” Oik mulai terpancing emosinya melihat ulah Shilla pada sahabatnya yang kondisinya sedang tidak sehat.

“Diem lo! Lo ga berhak ikut campur disini.”

“Aku berhak! Kamu yang ga berhak bentak2 orang sembarangan kayak gini tau!!!” Oik menatap Shilla tajam.

“Gue ga ada urusan sama lo ya. Eh Vi… Gara2 lo yang kecentilan Rio jadi menjauh dari gue!!!” Shilla yang semula melotot pada Oik kemudian mengacung2kan telunjuknya tepat kedepan wajah Sivia.

“Shil, coba kamu tanya sama Rio. Masih mau ngga dia sama kamu?” Sekarang ganti Oik yang terus membalas umpatan Shilla karena Sivia yang hanya diam diperlakukan seperti itu oleh Shilla.

“Heh!!! Nglunjak ya lo!!! Denger ya…. Rio tu punya gue dan dia ga berhak…..”

“BUKAN!!!!”

Shilla menengok kaget saat mendengar suara orang yang dikenalnya.

“Rio??” Urat wajah Shilla mengendur saat melihat Rio, tapi sesaat kemudian amarahnya kembali meluap.

“Aku bukan punya kamu dan aku bebas ngatur hidupku sendiri….” Rio menatap Shilla tajam. Anak2 di sekitar mereka melihat peristiwa itu dari tempatnya masing2. Tak ada yang berani mendekat apalagi turut campur.

“Kenapa sih kamu selalu ngebelain dia Yo?” Urat2 Shilla kembali menegang.

“Karena Sivia ga salah dan kamu udah marah sama orang yang salah!!!”

“Tapi dia udah ngrebut kamu dari aku Yo!!!”

“Harusnya kamu marah bukan sama Sivia. Harusnya kamu marah sama diri kamu sendiri. Aku mutusin kamu karena semua keegoisan dan sifat genit kamu sama temen2 cowok kamu itu ngerti?????” Rio berteriak keras dihadapan Shilla.

“Rio?????” Shilla merasa seperti ditampar dimuka umum begitu mendengar kalimat Rio.

“Mendingan kamu pergi dan ga usah ganggu2 Sivia lagi!!!”

Shilla sejenak terdiam tampak berpikir.
“Kenapa sih Yo??? Emang cewe ini siapamu? Pacar????”

Shilla sengaja melempar pertanyaan itu karena dia tau Rio dan Sivia belum jadian.

Dan tanpa diduga kalimat itu berhasil membuat Rio terdiam menatap Shilla. Ditatapnya wajah Shilla dan Sivia bergantian.

“Dia bukan pacar kamu kan???” Shilla mempertegas pertanyaannya.

Jantung Sivia berdebar menunggu jawaban dari Rio. Pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaan2 lain yang selama ini diajukan pada Rio. Oik berdiri terpaku di sampingnya.

“bukan….” Raut wajah Rio berubah lesu.

“Terus kenapa kamu ngebelain dia seolah dia itu pacar kamu? Kamu suka sama dia??? Naksir???”

Anak2 di sekitar mereka turut menunggu jawaban dari Rio walaupun beberapa dari mereka ada yang tidak mengenal Rio, Shilla, Sivia maupun Oik. Pokoknya ada tontonan gratis aja.

Rio terdiam. Sejenak matanya memandang Sivia tapi kemudian bergantian memandang Shilla. Dia tak juga menjawab. Shilla masih menatap Rio tajam menunggu apa jawabannya.

“Vi!!!” Oik memanggil namanya begitu Sivia yang tak sabar menunggu jawaban Rio tiba2 melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Oik berlari mengikuti di belakangnya.

“Anterin aku pulang, Ik…”

Oik yang sudah berjalan sejajar di sampingnya langsung mengangguk dan buru2 mengeluarkan kunci mobilnya.

Dan sialnya satu hal yang Sivia inginkan saat itu tak terjadi seperti apa yang dia bayangkan. Sungguh saat itu dia ingin sekali Rio mengejarnya dan mancegah dia pergi. Tapi kenyataannya…Rio hanya berdiri terpaku di tempatnya sambil terus memandangi Sivia yang semakin menjauh dari pandangannya. Hatinya memang tak ingin Sivia pergi. Tapi keinginan tanpa tindakan tak akan pernah  berarti apapun Yo.

Sampai mobil Oik keluar dari parkiran pun Rio tetap tak bergeming dari posisinya. Setelah mobil Oik tak lagi tampak barulah dia memalingkan wajahnya pada Shilla dan menatap tajam Shilla yang tersenyum karena merasa menang.

“Sial!!!!!!” Rio mengatakannya langsung di hadapan muka Shilla dan setelah itu dia buru2 berjalan menuju mobilnya sendiri dan memacunya dengan agak tergesa2. Shilla tak mengejarnya. Dia sudah merasa menang hari ini. Dan jangan disangka dia akan menyerah hanya sampai disini.



 Rio menyadari tindakan bodohnya tadi bisa menghancurkan semua yang telah dia bangun. Tapi entah kenapa hingga semuanya jadi serumit inipun rasa gengsinya tetap tak bisa dia kesampingkan. Bahkan hanya untuk sekedar mancegah Sivia pergi. Kenapa dia tak bisa menjadi seperti aktor2 sinetron yang akan menggenggam tangan orang yang dicintainya untuk mencegahnya pergi. Kemudian dia akan mengatakan perasaannya yang sesungguhnya lalu mereka akan hidup bahagia selamanya. Ah….. Sebenarnya dia ini cinta atau tidak pada Sivia…..



Mobil Oik memasuki halaman rumah Sivia. Sivia turun dengan terburu2 kemudian langsung berlari memasuki rumah menuju kamarnya di lantai atas.

“Vi…” Oik mengejarnya tapi Sivia terlanjur menutup pintu kamarnya tanpa mempedulikan Oik yang mencoba mencegahnya.

“Vi buka Vi…..Vi kamu jangan kayak gini dong….Vi….” Oik mengetuk2 pintu kamar Sivia berkali2 tapi Sivia sama sekali tak menyahut. Oik mulai khawatir.

“Vi plis buka dong……Sivia….” Oik tetap berusaha membujuk Sivia agar dia mau membuka pintu tapi Sivia tetap tak mau menjawab panggilan sahabatnya.

“Vi aku mohon kamu jangan kaya gini. Crita dong Vi…..“ Oik menunggu sesaat. Tetap tak ada jawaban.

“Oke….aku bakal tetep nunggu kamu di lantai bawah sampai kamu mau buka pintu. Plis Vi….” Tetap tak ada jawaban. akhirnya Oik pun turun dan memutuskan menunggu di ruang tengah yang terletak tepat di dekat tangga.

>>>>>>>>>>

Sudah jam setengah 8. Oik baru saja selesai sholat isya‘. Dan sudah sejak tadi Oik mengetuk2 pintu kamar Sivia untuk mengajaknya sholat tapi Sivia tetap tak mau membuka pintunya. Sebenarnya sedang apa Sivia di kamarnya. Haruskah dia meminta Pak Oni untuk mendobrak kamar Sivia.

Oik mondar mandir di depan pintu kamar Sivia. Dia bingung harus berbuat apa.

“Mbak……”
Oik yang masih melamun di depan pintu kamar Via tersentak kaget saat Pak Oni memanggilnya dari belakang.

“Iya Pak?”

“Anu Mbak…itu di luar ada temennya Neng Via katanya. Saya ga berani langsung nyuruh masuk. Neng Via belum mau buka pintu ya Mbak?”

          “Iya nih Pak, Sivia masih ga mau jawab. saya juga bingung. Mmmm…..tamunya siapa ya Pak?”

1 komentar:

  1. aku copas ceritanya di FB aku kak di = http://facebook.com./mutiara.wardani :)

    BalasHapus