Sabtu, 21 Mei 2011

Segalanya Pasti Berujung (PART 13)

“Anu Mbak…itu di luar ada temennya Neng Via katanya. Saya ngga berani langsung nyuruh masuk. Biasanya kan neng Via ngga mau sembarangan nerima tamu. Neng Via belum mau buka pintu ya Mbak?”

          “Iya nih Pak, Sivia masih ga mau jawab. saya juga bingung.tamunya bilang ngga namanya siapa?”

“Katanya namanya Cakka Mbak.”

“Hah???” Oik menatap Pak Oni dengan wajah penasaran. “Beneran Pak?”

“Bilangnya sih gitu Mbak. Kenapa mbak emangnya? Disuruh masuk Mbak?”

“Jangan, jangan!!! Mmmmm…..biar di luar aja dulu Pak…Ntar biar saya yang nemuin…”

“Iya Mbak…” Pak Oni mengiyakan perkataan Oik dan bergegas turun dengan dahi berkerut. Dia juga ikut bingung melihat tingkah majikannya yang semakin hari semakin tak bisa dimengerti. Tuan mudanya yang sakit2an, Neng nya yang sering nangis, orang2 tak dikenal yang sering datang ke rumah dan akhirnya disuruh pulang dengan tangan hampa sama Neng nya. Pak Oni jadi ikut bingung.

Oik tampak berpikir. Dia bingung harus bicara apa pada Cakka. Selama ini kalau dari cerita Sivia, Sivia tak pernah mau menemui Cakka. Tapi Sivia juga selalu bilang bahwa sebenarnya ia tak pernah bermaksud menyakiti Cakka. Dia hanya ingin menjaga perasaan Rio yang sudah sangat menyayanginya. Sivia tak ingin menyakiti Rio yang sudah begitu banyak memberikan perhatian padanya. Walaupun sebenarnya Sivia juga sayang pada Cakka, tapi bagaimanapun juga Sivia harus memilih salah satu.

‘apa disuruh pulang aja ya?’ Oik benar2 bingung. Sementara Sivia tak juga mau menjawab panggilannya dari dalam.

Oik memejamkan matanya sambil berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar Sivia seraya terus berpikir apa yang harus dia lakukan…..
Langkah Oik tiba-tiba berhenti. Ia membuka matanya dan sontak bergegas menuruni tangga menuju halaman depan.

>>>>>>>>>>

Oik mengamati sosok yang sedang berdiri di bawah lampu taman itu dari kejauhan.
‘Inikah seseorang yang selalu diceritakan Sivia sebagai orang yang sangat dicintainya tapi harus dia kubur dalam2 perasaannya karena sudah ada orang lain yang sangat menyayanginya?’
Perlahan Oik mendekati Cakka yang masih menendang-nendang pelan pada udara kosong di depannya.

“Kamu Cakka?”

Cakka yang semula bersandar pun sontak berdiri kaget melihat seseorang yang tiba-tiba muncul dari jarak beberapa meter di sebelah kirinya. Dan dia bukan Sivia.

“Iya….kamu siapa? Sivia nya mana?”

Oik memandangi Cakka dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Kamu……sayang sama Sivia?”

Cakka tertegun. Haruskah ia menjawab pertanyaan yang begitu pribadi dari seseorang yang muncul tiba-tiba dan bahkan tidak dikenalnya.
Cakka memandang sosok di depannya dari ujung kaki sampai ujung kepala.

“Iya….pasti….siapa kamu berani nanya kayak gitu?”

“Kamu pulang aja ya Cak…”

Cakka mengerutkan dahinya mendengar perkataan Oik.
“Kenapa? Emang kamu siapanya Sivia?” Cakka menatap Oik tajam.

“Aku sahabatnya.”

“Sivianya mana?”

Oik mendekat pada Cakka. Ditatapnya mata Cakka yang memandangnya dengan tatapan tajam yang menyiratkan perasaan tidak nyaman yang ia tau itu dikarenakan kata-kata lancangnya barusan.

“Cak…kamu sudah berkali-kali nemuin Sivia tapi dia tetep ga mau nemuin kamu kan?”
Cakka semakin heran dengan orang tak dikenal yang sekarang berdiri di hadapannya.

“Sudah ada orang lain yang sayang sama dia Cak, namanya Rio….Sivia sayang sama dia. Sivia ngga pernah menemuimu karena dia takut kalau dia akan menyakiti Rio. Sivia mengakui kalau rasa buat kamu emang masih bersisa di hatinya. Tapi dia harus milih salah satu Cak. Dan dia milih Rio. Dan kalau kamu terus-terusan maksa kayak gini, itu bakal bikin hati Sivia semakin sakit.”

“hhh…” Cakka tersenyum sinis pada Oik.
“Berarti dia masih sayang kan sama aku?”

“kalau kamu sayang sama dia, tinggalin dia Cak….sudah cukup dia selalu nangis karena dengan terpaksa harus ngusir kamu. “

“Dia ga perlu ngusir aku kalau dia mau. Aku cuma pengen ngomong sebentar sama dia. Aku cuma pengen bilang sama dia kalau aku masih sayang sama dia. Aku….”

“Semua itu akan membuatnya sakit Cak….dia pengen setia sama Rio. Rio sudah memberikan terlalu banyak hal buat dia. Dia ga mau nyakitin perasaannya. Dia takut rasa sukanya sama kamu akan membuat Rio sakit hati.”

“kalau dia masih sayang sama aku kenapa dia harus menghindar? Aku mau menerimanya apa adanya.ada maupun tidak ada Rio. Kami bisa kembali seperti dulu lagi.”

“Jangan egois Cak. Lalu bagaimana dengan Rio?”

“Sivia berhak memilih siapa yang lebih dia cintai.”

“Cak…..Pulanglah…..Sivia sudah menanggung terlalu banyak beban. Menjauhlah darinya. Biarkan dia hidup dengan jalannya yang sekarang.”

“Cinta itu ga bisa dipaksa.Siapa tau Sivia akan merasa lebih nyaman kalau bersamaku.Kalau memang dia lebih nyaman bersamaku daripada Rio, dia boleh memilihku”

Oik mengalihkan tatapannya dari mata Cakka.
“Entahlah Cak….yang jelas, Sivia ingin kamu menjauh darinya. Dia pengen kamu ngga datang-datang lagi padanya. Dia ingin mencintai Rio sepenuh hatinya. Pilihan ada di tanganmu Cak…..Tetap mendekatinya dan terus menerus membuat dia menangis dan hidupnya tidak tenang. Atau pergi meninggalkannya dan membiarkan dia bahagia dengan kehidupannya sekarang. “

“Kamu jangan sok tau. Kalau aku pergi belum tentu dia bahagia. Bagaimana kalau ternyata dia menangis karena dia sebenarnya ingin bersamaku dan dia tak mau bersama dengan si Rio Rio itu.”

Oik tersenyum sinis dan kembali menatap Cakka.
“Terserah Cak….Jika kalian berjodoh kalian akan bertemu lagi.”

“Basi….”

“Cak….perempuan itu ibarat tulang rusuk. Jika kau berusaha meluruskannya maka dia akan patah. Biarkanlah dia tetap bengkok. Biarkanlah dia hidup dengan caranya sendiri. Jangan dipaksa. Aku ini bukan sok tau Cak. Aku ngomong bukan asal buka mulut doang. Aku ini sahabatnya. Dia mencurahkan semua isi hatinya padaku. Dan aku paham betul apa yang sedang dia rasain.Dan aku sudah mengatakan seperti apa yang dia bilang sama aku. Terserah kamu mau percaya atau tidak…….”

>>>>>>>>>>

Langkah kaki Oik terasa berat menapaki tiap anak tangga menuju kamar Sivia. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapannya dengan Cakka tadi. Hatinya merasa takut kalau-kalau apa yang dilakukannya tadi salah. Tatapan mata Cakka yang memandangnya tajam masih terasa membuat Oik tak enak. Bayangan Cakka yang meninggalkannya dengan wajah marah namun menyiratkan keputus asaan membuat Oik semakin bimbang apakah keputusannya mengatakan semuanya pada Cakka tadi sudah benar. Dan apakah Sivia akan memaafkannya karena telah lancang mengungkapkan semua pada Cakka.

Bagaimana kalau yang dikatakan Cakka tadi benar. Bagaimana kalau ia memang sok tau. Bagaimana kalau Sivia tidak bahagia kalau Cakka pergi. Ada sedikit penyesalan karena dia telah lancang tadi. Berani-beraninya dia mendahului Sivia untuk mengatakan semua isi hati Sivia pada Cakka.

tadi Oik benar-benar merasa dia harus membantu menyelesaikan masalah Sivia. Dan entah kenapa semua kata-kata itu meluncur dengan deras dari mulutnya tanpa ia pikirkan apa akibat dari tindakannya. Tapi sekarang dia takut kalau Sivia malah tak suka dengan tindakannya.

Oik berdiri di depan pintu kamar Sivia. Tangannya mengepal kuat. Perasaaan takut masih membayangi hati Oik.

“Vi….” Oik mendekat ke daun pintu dan sekali lagi mencoba memanggil Sivia yang belum mau keluar dari kamarnya.

“Masuk aja…” Oik kaget mendengar jawaban pelan dan serak dari balik pintu. Akhirnya sahabatnya mau menyahut panggilannya.

Perlahan Oik membuka pintu kamar Sivia. Kepalanya melongok sedikit ke dalam. Pandangannya mengitari seisi kamar mencoba menemukan sosok Sivia. Tampak Sivia terduduk di tepi tempat tidur menghadap balkon. Oik menutup pintu sangat pelan dan berjalan perlahan ke arah Sivia.

“Vi…..”
Oik memandangi Sivia yang tetunduk menatap sebuah foto di tangannya.

“Alvin gimana ya, Ik?”
Oik yang semula mengira bahwa Sivia masih memikirkan kejadian tadi siang pun tertegun menatap sahabatnya yang sekarang justru tertunduk lesu sambil memandangi foto adiknya. Oik pun duduk di samping Sivia. Tangannya mengelus pundak sahabatnya. Oik menatap wajah Sivia yang tampak merah dan masih basah karena air mata. Terlalu banyak air mata di wajah sahabatnya itu belakangan ini.

“Kamu ga apa-apa Vi?”

Sivia mengelus foto di tangannya. Ada titik-titik kecil air di kaca figuranya. Seperti bekas air mata yang dihapus dengan tangan. Sivia memandangi foto itu dalam-dalam. Tampak Alvin yang sedang mengangkat piala juara satu lomba menyanyinya.

Oik mengait-ngaitkan jari tangannya menandakan ia tampak gundah. Ia masih belum tenang karena percakapannya dengan Cakka barusan.
“Vi…..tadi….Cakka kesini…..”

Gerakan jari Sivia yang mengusap foto Alvin sejenak terhenti. Matanya masih fokus pada wajah adiknya.

“Aku……aku suruh dia pulang….” Oik menggigit bibirnya. Takut melanjutkan kata-katanya yang mungkin akan membuat Sivia marah. Tapi sivia hanya diam.

“Aku bilang padanya agar tak memdekatimu lagi.” Oik menatap wajah sivia yang masih tertunduk memandang foto Alvin. Ia benar-benar merasa takut Sivia akan marah.
“Maaf vi….aku….aku lancang udah ngomong kayak gitu sama cakka. Aku….”

“Alvin kapan ya bisa sembuh?”
Kalimat sivia benar-benar membuat Oik tertegun. Jantungnya semakin berdenyut.

“Vi…aku….”

“ntar anterin aku ke rumah sakit ya…..aku mau nginep disana aja…”
Oik hanya mengangguk pelan. Sedikit perasaan lega menyelinap di sela-sela degup jantungnya menanti amarah Sivia. Sepertinya Sivia tidak berniat untuk marah.

Setetes air jatuh di atas kaca figura yang dipegang Sivia. Oik yang menyadari hal itu sontak memeluk Sivia.
“Vi…..”

Sivia menyandarkan kepalanya di pundak sahabatnya. Matanya nanar menatap wajah adiknya yang sedang tersenyum.

Air mata Sivia kembali menerobos sudut matanya dan jatuh membasahi baju Oik yang memeluk dan mengusap rambutnya.

“Kok hidupku gini banget sih, Ik?”

Oik mengusap rambut sahabatnya pelan.

“Ayah sama ibuku meninggal waktu aku masih kecil. Terus nenekku…..aku udah ngrasain susahnya cari makan dari kecil. Aku pernah dicaci, dimaki, ditampar di depan umum, dikucilin. Aku bisa bangkit. Ada orang baik yang mau ngangkat aku jadi anak. Aku bisa sekolah. Aku bisa seneng lagi.”

Oik mempererat pelukannya pada tubuh Sivia yang bersandar lemas pada Oik.

“Kenapa sih aku mesti ketemu sama Alvin? Aku cuma pengen punya adek. Dan kenapa harus dia? Dan kenapa Alvin mesti sakit?” Kalimat Sivia terpotong karena nafasnya yang tersengal.


“Dulu aku selalu ngebayangin kalau aku punya adek aku bisa seneng-seneng terus sama dia, aku bisa ngajak dia main, jalan-jalan, becanda. Selamanya…sampai dia besar, selamanya…..”

Oik merasakan pundaknya basah. Air mata Sivia terus merembes membasahi pundak sahabatnya.

“Aku sayaaaaaang banget, Ik, sama Alvin. Pengen banget rasanya bisa ketawa lagi sama dia. Tapi sekarang aku cuma bisa liat dia terbaring sakit.”

Suara Sivia terdengar semakin lemah. Tiap kalimat yang dia ucapkan terasa menyiratkan keputusasaan. Nafasnya terasa berat mencoba berhembus di sela-sela runtutan kalimat panjang yang ingin dia ucapkan perlahan dengan susah payah sementara dadanya yang terasa sesak menahan tangis.

“Kok secepat ini sih Ik?  Perasaan baru kemaren aku ngrasain didorong sama Alvin yang marah banget waktu aku deketin di panti asuhan. Kenapa sekarang jadi kayak gini sih Ik? Aku pikir semuanya akan baik-baik saja kalau aku sudah punya adek. Aku pikir kami bakal hidup seneng bareng-bareng.”

Sivia meremas kerah bajunya sendiri. Matanya terpejam kuat mencoba menahan sakit yang mendera hatinya.

“aku takut Ik….takuuuuuut banget…..”

Sivia semakin terisak. Tangannya menggenggam erat figura yang dipegangnya.

“Oiiiiiiiikkkk…….” Sivia berkata lirih.

“Vi…..aku emang ga ngrasain apa yang kamu rasain. Mungkin aku cuma bisa nebak ataupun mencoba sedikit ikut merasakan sakit hatimu. Mungkin aku cuma bisa ngasih saran sok tau yang mungkin aku sendiripun belum tentu bisa menjalaninya kalau aku yang mengalami. Tapi, Tuhan itu selalu punya rencana Vi…aku cuma bisa bilang…..sabar ya Vi….” Oik menarik tubuh Sivia dari pelukannya. Ditatapnya wajah Sivia dan diusapnya air mata yang masih menggenangi pipi Sivia.

Mereka berdua tenggelam dalam diam.Sivia hanya tertunduk menatap foto Alvin yang masih digenggamnya. Oik memandangnya dengan perasaan bersalah karena tak bisa berbuat apapun untuk meringankan beban sahabatnya.

“Anterin ke rumah sakit ya, Ik…”
Perlahan Sivia mengusap sisa-sisa rembesan air mata di sudut matanya dan meletakkan kembali foto alvin ke meja di samping tempat tidurnya. Sivia beranjak dari tempat tidur dan melangkah mendekati cermin. Disisirnya rambutnya yang agak berantakan karena ia jambak-jambak sendiri.

“Yuk Ik….”
Oik hanya bisa berjalan mengikuti Sivia dengan hati yang miris menatap punggung sahabatnya yang berjalan pelan di depannya.

>>>>>>>>>>

Sivia menggeser kursi perlahan agar tidak menimbulkan suara berisik yang bisa membangunkan Bi Oky yang tertidur bersandar di sofa. Wajahnya tampak kelelahan. Ia tidur sambil memegang remot TV yang masih menyala dengan suara sangat pelan. Mungkin dia kelelahan karena seharian terjaga menunggui Alvin.

Sementara Oik langsung pulang karena Sivia melarangnya untuk ikut menginap di rumah sakit. Sivia tak ingin membuat sahabatnya ikut kelelahan setelah seharian tadi dia kerepotan karena menghadapi Sivia yang sedang sensi.

Sivia duduk di kursi yang ia letakkan di samping kanan ranjang Alvin. Ditatapnya wajah adiknya yang masih tertidur. Putih sekali. Bahkan lebih putih dari biasanya. Pucat. Sivia merasakan merinding di sekujur tubuhnya saat tangannya menyentuh jari-jari adiknya yang terasa dingin.

Sivia menyingkapkan rambut Alvin yang sedikit berceceran di dahinya. Ia melihat bibir Alvin tidak merah seperti biasanya. Tampak pucat dan kering. Kukunya juga tampak sedikit membiru.

Sivia mengamati wajah adiknya. Ditatapnya semua yang selalu membuat hatinya bahagia saat menatap wajah itu. Mata sipitnya yang terkadang tenggelam jika Alvin tergelak karena suatu hal yang lucu. Hidungnya yang walaupun sudah sebesar ini tetapi tak jarang memerahj karena menangis. Pipinya yang akan bersemu merah jika seseorang menanyakan tentang teman yang disukainya.

Sivia merebahkan kepalanya beralaskan tangan kanannya yang ia letakkan di kasur. Wajahnya menatap tangan kanan alvin yang tergeletak di depan wajahnya. Tangan kiri Sivia mengelus-ngelus tangan adiknya itu perlahan.

Sivia merindukan hari-hari bahagianya yang dulu. Sivia kangen ketiduran di depan tivi dengan alvin yang teriak-teriak heboh sendirian di sampingnya saat nonton bola. Sivia kangen narik-narik kaki alvin yang tak juga mau bangun karena nonton bola sampai pagi. Sivia merindukan saat-saat ketika setiap pagi Alvin selalu mencium kedua pipinya jika berpamitan hendak berangkat sekolah. Sivia kangen waktu Alvin dengan malu-malu minta uang jajan saat Sivia lupa memberikannya.Sivia kangen saat ia dan Alvin wisata kuliner setiap kali Alvin berhasil mendapat nilai sempurna di ulangan hariannya. Kangen saat tiap kali Alvin menggendong anak tetangga yang masih balita lalu dia akan membawanya pulang dan membuat seisi rumah berantakan dengan mainannya. Semuanya….

Air mata menetes dari sudut mata Sivia dan mengalir melewati tulang hidungnya karena kepalanya yang terbaring miring di kasur.

Telunjuk Sivia menelusuri jari-jari kecil adiknya. Membelai punggung tangan Alvin yang terasa keras karena tulang-tulang yang menonjol dan tubuhnya yang terlalu kurus. Masih terngiang bagaimana setiap hari adiknya menggenjreng gitarnya dengan nada yang tak karu-karuan. Dan masih terekam bagaimana terakhir kali petikan gitar Alvin yang ia lakukan dengan susah payah mampu membuat hati Sivia luluh lantak.

Sivia menggenggam erat tangan adiknya. Ia memejamkan matanya. Ia lelah….ia ingin tidur…..

Angin yang berhembus cukup kencang malam ini membuat dedaunan di luar sana bergoyang-goyang. Satu demi satu daun yang tak kuat berpegangan pada rantingnya perlahan mulai melayang jatuh menyentuh tanah.

Sivia tertidur masih dengan menggenggam tangan Alvin dan air mata yang mengering di sudut matanya.

>>>>>>>>>>

13 Juni Pukul 13.25

Sivia setengah berlari kembali ke Rumah Sakit. Jantungnya seolah ikut berpacu bersama langkah kakinya. Rasa paniknya tak mau berhenti sejak Oik menelfonnya dan memintanya untuk segera kembali karena Alvin terus merintih dan memanggil namanya.

Ingin menangis rasanya Sivia di sepanjang perjalanan memikirkan adiknya yang terbaring lemah. Dia sama sekali tak tenang setiap kali meninggalkan Alvin walaupun hanya sebentar bahkan hanya untuk membelikan buah-buahan untuknya di minimarket depan Rumah Sakit seperti saat ini. Dia pikir toh ada Oik yang bersedia menjaga Alvin selama ia pergi.

Sivia tak membawa buah yang hendak dia belikan untuk Alvin. Baru saja dia akan membayar ke kasir saat tiba-tiba Oik menelfonnya dengan panik. Tanpa pikir panjang Sivia meninggalkan belanjaannya begitu saja di depan kasir yang berteriak keheranan pada Sivia yang keluar dari minimarket dengan terburu-buru.

Saat Sivia memacu langkahnya sambil terus menahan perasaan agar air matanya tak jatuh sekarang, tiba-tiba ia merasa ada yang menarik tangannya dari belakang dengan kuat hingga ia hampir saja terjatuh.

“Via!!!”

Teriakannya saja sudah membuat Sivia kaget apalagi saat Sivia mengetahui siapa orang yang menariknya itu.

“Shilla?”

Dan Sivia semakin kaget melihat Rio berlari-lari mendekati mereka. Sivia heran apa yang dilakukan Rio bersama Shilla. Tapi pikiran Sivia terlalu panik memikirkan Alvin hingga tak mampu lagi memikirkan yang lain.

“Aku ga ada waktu buat ngomong sama kamu.”
Sivia beranjak meninggalkan Shilla tapi lagi-lagi tangan Shilla menahannya dengan sangat kasar.

“Jangan lari lo. Urusan kita belum selesai!”
Shilla tetap ngotot dengan nada yang tetap tinggi.

“Aku bilang aku ga ada waktu. Aku buru-buru.”
Sivia bersiap melangkah tapi kali ini Shilla benar-benar menarik tangannya dan memegangnya dengan sangat erat.

“Lepasin!”
Sivia mulai kesal dengan sikap Shilla.

“Shilla lepasin dia.”
Rio yang sepertinya juga sedang marah pada Shilla, menarik tangan Shilla yang mencengkeram kuat lengan Sivia.

“Aku bilang lepasin, Shilla. Aku buru-buru.”
Sivia meronta dari genggaman Shilla yang sangat erat.

“Lo mau lari dari tanggung jawab?”

“Tanggung jawab apa? Lepasin!”
Sivia semakin meronta dan emosinya semakin tak terkendali. Alvin sangat membutuhkannya sekarang.

“Sok ga tau lo. Dasar munafik!”
Sepertinya Shilla salah timing saat mengucapkan kata itu. Sivia yang sedang panik memikirkan adiknya sontak tak bisa lagi menahan emosinya dan mulai melawan Shilla dengan sekuat tenaga.

“Lepasin!!!!!”
Sivia mendorong tangan Shilla dengan sangat kuat lalu mengacungkan telunjuknya tepat di depan muka Shilla.
“Jaga mulut kamu ya! Aku bakal selesaiin semua masalah kita tapi ngga sekarang!!!!! Pliss aku buru2!!!”

Sivia berganti memandang Rio dengan mata berkaca2 memohon pertolongan pada Rio yang sejak tadi tertegun tanpa berbuat apapun. Yang ada di pikirannya saat ini hanya Alvin, Alvin dan Alvin.

Sivia memandang Shilla dengan tatapan yang sangat marah. Sampai getar handphone menyadarkan Sivia. Oik memanggil.

Sivia mengangkat telfon dengan tangan kanan sementara tangan kirinya masih dicengkeram kuat oleh Shilla. Melihat hal itu Rio segera mengambil tindakan dan menarik tangan Shilla dari lengan Sivia. Rio menatap Shilla dengan sorot mata penuh amarah dan tak mempedulikan rintihan Shilla yang kesakitan karena lengannya digenggam kuat oleh Rio. Sivia yang sudah berhasil lepas dari cengkeraman Shilla beranjak dengan terburu2 meninggalkan Shilla yang masih dicengkeram kuat oleh Rio.

“Via!!!!” Shilla masih berusaha melepaskan tangannya yang ditahan oleh Rio.

Sivia mengangkat telfon sambil terus melangkah tanpa mempedulikan Shilla yang berteriak memanggilnya dari belakang.

“Halo, Oik”
Sivia berusaha mengendalikan emosi agar suaranya tak nampak aneh di seberang sana.

“Cepet, Via. Alvin terus merintih dari tadi. Badannya berkeringat dingin.”

“Panggil dokter, Oik.”

“ Iya. Ini lagi ditangani sama dokter. Dari tadi dokter nyariin kamu. Alvin terus-terusan manggil nama kamu.”
Nada bicara Oik tampak begitu panik. Sama paniknya dengan Sivia yang masih tersengal-sengal karena kejadian tadi.

“Iya,iya….aku hampir nyampe.”

“Yaudah cepetan.”
Telepon ditutup dan Sivia semakin mempercepat langkahnya. Hampir saja sebuah sepeda motor menyerempetnya saat akan menyeberang jalan.

Rio yang melihat kepanikan Sivia memutuskan mengikutinya ke Rumah Sakit. Rengekan Shilla yang melarang tak dipedulikannya. Akhirnya terpaksa Shilla mengikutinya juga walau dengan muka yang sama sekali tak terlihat ikhlas.
Jalan menuju ruangan Alvin terasa begitu jauh. Nafas Sivia sudah tak teratur saking paniknya. Akhirnya sampai juga. Dari kejauhan terlihat Oik yang mondar-mandir di depan ruangan Alvin.

“Oik!”
Oik yang melihat Sivia tiba tampak begitu lega.

“Via……”

“Gimana, Ik?”

“Dokter masih didalam.”

Sivia mengintip kedalam ruangan melalui kaca pintu. Tak banyak membantu. Tubuh Alvin tertutupi oleh dokter dan suster yang menanganinya. Sivia semakin panik. Dia ikut mondar-mandir di depan pintu. Rio melihat dari kejauhan. Shilla membuntuti dibelakangnya dengan muka ditekuk tujuh tapi sebenarnya dia juga penasaran dengan apa yang terjadi karena dia tak pernah tau kalau adik Sivia sedang sakit.

Di tengah kepanikan Sivia tiba-tiba pintu ruangan Alvin terbuka.
“Mbak Via.”
Dokter Danu nampak keluar dengan tergesa-gesa dan meminta Sivia segera masuk kedalam.

“Adik saya kenapa Dok?”

“Mbak Via masuk saja dulu. Dia terus memanggil mbak Via dari tadi.”
Tanpa pikir panjang lagi Sivia segara berlari kedalam ruangan Alvin. Dia mendapati tubuh adiknya yang tergeletak lemah. Wajahnya sangat pucat. Bibirnya tak henti memanggil namanya dengan suara yang sangat lemah hampir tak terdegar. Semua peralatan medis dan selang infus tak menempel lagi di tubuhnya. Sivia heran kenapa dokter membiarkan adiknya tanpa tindakan apapun.

Beberapa suster mulai keluar ruangan dan tinggallah dokter Danu dan seorang perawat menemaninya. Sivia mendekat pada Alvin. Dia menggenggam tangan adiknya yang berkeringat dingin dan mengelus dahinya yang juga terasa dingin. Air mata tak bisa dibendungnya lagi. Pikiran buruk mulai terlintas silih berganti di pikiran Sivia.

“Alvin……kakak disini Alvin. Alvin dengar kakak kan?”
Perlahan Alvin membuka matanya yang tampak berair. Dia memandang Sivia dengan wajah yang sudah sangat lemah dan pucat.

“va……dan…. A….vi…sa….ki…..di….ngi…..(badan Alvin sakit. dingin)”

Sivia masih bisa mendengar sayup-sayup suara Alvin yang hampir mirip dengan bisikan. Sivia mengalihkan pandangan pada dokter Danu yang diam saja melihat keadaan adiknya seperti itu.

“Via….saya sudah telfon ayah dan ibu kamu. Saya pikir kamu sudah mengatakan pada mereka. Tapi ternyata….”

“Dok, adik saya kenapa? Kenapa Dokter diam saja? Lakukan sesuatu, Dok!”
Dokter Danu tercekat tak bisa meneruskan kalimatnya. Tanpa disangka Dokter Danu membalas kalimat Sivia dengan gelengan yang hampir saja membuat Sivia membentaknya.

Tapi Sivia mulai mengerti apa arti gelengan itu. Air matanya semakin deras mengalir. Dia tak siap kehilangan Alvin sekarang. Sama sekali tak siap.

Oik memandang sahabatnya dengan tatapan yang iba. Rio dan Shilla sudah sempat beradu mulut dengan Oik di luar tadi. Rio bersikeras untuk masuk tapi Shilla melarangnya dan Shilla mulai memaki2 Oik yang menyuruhnya pergi. Tapi mereka segera masuk kedalam saat mendengar teriakan Sivia pada dokter Danu. Mereka semua terhanyut dalam suasana mencekam di dalam ruangan itu.

“Alvin……”
Air mata Sivia jatuh ke pipi Alvin yang memutih karena pucat.

“A…vi…. sa….yang…. Ka….ka…..(Alvin sayang kakak)”

Hati Sivia benar-benar hancur melihat keadaan adik kesayangannya seperti ini. Dunia terasa sempit menjepit tubuhnya hingga terasa sesak di dada. Tenggorokannya sakit menahan perasaan sedih yang tak terkira dihantui berbagai pikiran dan bayangan-bayangan buruk menimpa adiknya.

“Iya……Iya Alvin…..kakak juga sayang sama Alvin.”
Suara Sivia mulai bergetar menahan tangis. Sivia menggenggam tangan adiknya erat-erat dan mengelus kepala adiknya dengan tangan yang mulai gemetar.

“Ka……“

“Iya???“

“A….vi…. ve…ngen… me….luk…. Ka…ka……(Alvin pengen meluk kakak)”

Sivia melihat ke arah dokter Danu. Dokter Danu hanya menganggukkan kepala. Sivia pun mengangkat kepala Alvin perlahan dibantu oleh Oik dan memangkunya sambil setengah memeluknya dengan perasaan yang tak karuan. Air matanya semakin deras mengalir di pipinya yang sudah basah karena diguyur air mata.

“Ka……”
Suara Alvin semakin lemah. Sivia menggenggam tangan Alvin. Terasa dingin.

“Alvin……pegang tangan kakak erat-erat. Alvin sayang kakak kan?”

“I…ya…(iya)”
Hampir tak terdengar Alvin menjawab pertanyaan kakaknya.

“Kalau Alvin sayang sama kakak, Alvin harus kuat. Alvin pasti kuat.”
Sivia tak tau lagi harus berkata apa. Rasanya seperti ingin bersujud di lantai dan memohon agar Tuhan mengembalikan adiknya seperti semula. Dia amat sangat takut kehilangan Alvin.
“Alvin harus kuat. Alvin harus kuat. Alvin minta apa? Bilang sama kakak Alvin minta apa?”

Sebutir air mata jatuh dari sudut mata Alvin yang mulai sayu. Air mata itu terasa seperti air garam yang menyiram luka hati Sivia yang masih basah. Dia tak pernah rela melihat adiknya menangis,

“A…vi… ma…u… ke…te..u… I….bu….(Alvin mau ketemu Ibu)”

Sivia tak menyangka akan apa yang dikatakan adiknya. Bertahun-tahun dia tak pernah mengungkapkan kerinduan pada ibunya dan sekarang dia bilang ingin bertemu ibunya. Perasaan Sivia semakin tak enak mendengar permintaan adiknya. Sivia semakin terisak sambil mengelus wajah adiknya yang semakin dingin dan pucat.

“Alvin…….”
Suara Sivia terdengar bergetar walau sekedar mengucapkan satu kata saja.

“A…vi,,,,,, sa….yah,,,,,,,,ka…ka……A….vi,,,, sa….yah,,,,,,, ka,,,,ka….”
Sivia tak sanggup lagi berkata apapun. Dia hanya menganggukkan kepala smabil terus terisak. Tangannya masih membelai kepala adiknya dengan penuh kasih. Kasih sayang yang selama ini selalu diberikan sepenuh hati dan tak pernah ingin untuk berakhir.

Sivia merasakan genggaman tangan Alvin melemah. Air matanya sudah menganak sungai. Ia hanya bisa memeluk sekujur tubuh adiknya yang mulai dingin.

Hening…..sunyi…..ruangan itu terasa dipenuhi gaung suara isakan Sivia. Dokter Danu, suster, Oik, Rio sampai Shilla pun hanya terpaku menyaksikan Sivia yang sesenggukan memeluk Alvin yang semakin pucat.
Gema detik jam dinding terasa menusuk.
Hingga….

Waktu seakan berhenti berputar, jantung Sivia seolah berhenti berdetak saat Alvin tak lagi terasa menggenggam tangannya. Mata Alvin terpejam. Bibirnya tak lagi berusaha untuk mengucapkan bisikan-bisikan.

“Alvin……..Alvin…..de‘……”
Air mata Sivia seakan bendungan yang ambruk karena diterpa ombak besar. Butiran-butiran hangat itu jatuh membanjiri wajah Sivia yang sudah sembab, lalu menetes ke pipi Alvin yang terus dipandanginya berharap tiba-tiba dia akan membuka matanya. Sivia berusaha menggoncang-goncangkan tubuh Alvin yang tak bereaksi. Ia belai dengan lembut wajah Alvin yang sudah sama sekali tak bergerak.

“Alvin…….”
Isak tangis Sivia terdengar begitu menyesakkan.

“Via….”
Oik mengusap punggung sahabatnya seraya turut menangis. Sivia semakin tak kuasa menahan perih hatinya menyadari bahwa orang yang amat sangat dia sayangi, adik yang teramat dia cintai sekarang telah jauh meninggalkannya.

“Alvin!!!!!!!!”
Teriakan Sivia menggema di setiap sudut ruangan itu. Tinggallah suara isakan Sivia yang meratapi kepergian adiknya dan terus memeluk erat tubuh Alvin yang sudah tak bernyawa.

Semua orang terpaku, meneteskan air mata. Ruangan itu hening……sunyi…..
Seperti hidup Sivia sekarang……

>>>>>>>>>












Tuhan sayang padaku
Sangat sayang
Terlalu sayang mungkin
Dia ingin segera bertemu denganku

Kakak sudah banyak menangis karenaku
Banyak orang yang menangis karena aku

Aku baru tau….
Ternyata Ibuku selama ini masih selalu mengecup keningku saat aku tidur
Aku baru tau karena sekarangpun aku selalu menemani kakak hingga kakak tertidur
Kami semua masih ada untuk kakak selama kakak masih mengingat kami

Aren jangan menangis
Ahh….aku ini memang bodoh sampai-sampai tak menyadari bahwa aku sudah membuatmu banyak menangis. Kenapa kau tak bilang saja dari dulu. Aku memang tak peka dalam urusan seperti ini.

Ify….kau juga menangis. Ahh….jangan kau tatap makamku seperti itu. Aku jadi merasa bodoh karena sudah menyukaimu padahal ternyata kau tidak menyukaiku. Yahhh….harapan kosong….

Teman-teman…..hhhh….maaf juga….setiap kali kalian datang menjengukku, aku selalu sedang tidur. Eh, sekarang aku malah ga bisa bangun-bangun lagi.

Mama sama papa…..padahal hari raya tinggal bentar lagi. Alvin juga ga ngerti Alvin sakit apa. Maaf kalau Alvin ngga bilang.

Kak Via….pengen nangis rasanya Alvin liat Kak Via nangis terus dari tadi. Bodo amat lah aku udah SMP, pokoknya Alvin pengen nangis. Hati Alvin sedih kalau liat kakak nangis. Kangen dipeluk lagi sama kakak…..

Tapi sekarang Alvin udah ngga sakit lagi
Alvin ga malu-maluin kakak lagi karena suka jatuh di tempat umum.hehe…
Alvin juga udah ngga mecahin piring sama gelas lagi di rumah.
Alvin ngga perlu minta ditemenin lagi sama kakak kalau mau tidur karena takut kumat tengah malem.
Kakak juga ga perlu ngeluarin uang lagi bayarin Mbak Lani buat ngurusin Alvin.

Kak……
Mmmm…..
Alvin ada di samping kakak lho.
Boleh ngga Alvin cium pipi kakak sekali aja
Terakhir kalinya
Seperti saat Alvin mau berangkat sekolah setiap hari

…….

Yah…Alvin nangis deh…
Makasih ya Kak atas semuanya
Jangan sedih ya kak…..
Alvin….
Sayang….
Kakak…

4 komentar:

  1. huaaa ... ka boleh izin copast gakk ? klo boleh inbox fb aku yah ka : Valentina_Febrianty14@yahoo.co.id atau twitter @ValentFebrianty klo gak juga yah ka ,, kakak baik deh .. hehehe

    BalasHapus
  2. nangis bacanya :') terharu bgt :') aku suka bgt. baru ini baca cerbung sampek sesegukan gini :')

    BalasHapus
  3. copast yaa :D di blog ku. udh tertera ya

    BalasHapus
  4. Kerenn... banget kak ceritanya :)

    Gimana, sih caranya bikin cerita seindah ini, kak???
    Ajarin aku, ya kak.. hehehe :D

    BalasHapus