Kamis, 19 Mei 2011

Dia dan Hujan

senin, 14 Juni pukul 10.40

          “Hatchiii…..hhhh……Hatchiiiii…..”

          Srrrrrttttt…..

          “Hatchiiii…..”

          Srrrrrttt…..

          “Lo pasti ujan-ujanan lagi ya?”

Fay masih terus mengusap-usapkan tisu ke hidungnya yang entah sudah habis berapa lembar untuk menghapus ingus yang ga mau berhenti keluar dari hidungnya.

“hehe….”
Fay cuma nyengir sambil melirik sedikit pada Alvin yang duduk di sampingnya.

Alvin geleng-geleng kepala melihat hidung sahabatnya yang memerah karena terus-terusan diusap.

“Kayak anak kecil aja sih lo kerjaannya ujan-ujanan. Udah SMP gini masa masih suka lari-larian di tengah hujan.”

Fay hanya tersenyum masih dengan menggosok-gosok hidung melernya dengan tisu.

Jam kosong adalah saat yang paling menyenangkan. Mereka bebas dari tugas dan pelajaran yang membosankan. Alvin dan Fay duduk di bangku semen di bawah pohon beringin depan kelas mereka.

Alvin dan Fay sudah bersahabat dari kelas 1 SD. Mereka tetanggaan dan dulu satu SD. Dan karena jumlah muridnya yang hanya 17 orang tiap tingkat, walhasil tidak ada pengacakan kelas di setiap pergantian tahun pelajaran. Jadi Alvin dan Fay selama 6 tahun sudah sekelas. Sedangkan di SMP, entah itu keajaiban atau jodoh, yang pasti mereka satu kelas lagi.

Alvin paham betul seperti apa sifat Fay. Begitu juga sebaliknya. Fay yang tomboy dan Alvin yang super duper cool.

Fay masih konsentrasi dengan hidungnya yang benar-benar menyiksa. Biasanya dia tidak pernah flu kalau habis hujan-hujanan. Tapi mungkin kali ini daya tahan tubuhnya sedang turun.

“Fay!!!!!”

  Fay yang sedang berkonsentrasi tiba-tiba dikagetkan dengan bentakan Alvin dan tangan Alvin yang tiba-tiba memegang lutut Fay.

Alvin menyatukan kedua lutut Fay yang tadi sempat ngangkang padahal dia pakai rok.

“Lo tu duduk yang bener dong!!!”

“Sory Vin sory….”
Srrrrttt….
Fay hanya menengok sebentar pada Alvin lalu meneruskan kembali aktivitas mengelap ingusnya.

“Ah elo….jadi cewek duduk yang rapet nape sih…ngga enak banget tau diliatnya. Di depan sono tuh rame tau ngga.”
Alvin masih melotot pada Fay yang sekarang sudah merapatkan duduknya.

“Iye iye Vin….bawel deh…”

“Iissshhh…kebiasaan…” Alvin menoyor pelan kepala Fay.

“Eh…eh..eh…..gue usapin ingus lo…” Fay mendekatkan tisu bekas ingusnya pada Alvin yang langsung duduk menjauh dengan wajah jijik.

“Ihh….Fay….jijik tau….”

“Hahaha…”
Fay malah ketawa cekikikan liat muka Alvin yang bergidik sambil liatin tisu yang dia acung-acungkan.

Fay membuang tisunya ke tempat sampah di dekat kakinya dan mengambil tisu baru yang langsung dia usapkan lagi ke hidungnya.

“Lo tu kenapa sih suka banget sama ujan? Orang cuma aer kayak gitu doang girang banget sih lo liatnya?”

“Hmmmm…..”
Srrrtttt…..
“Hatchiiiii…..”

“Tapi perasaan tiap kali ada ujan lo juga ga selalu ujan-ujanan….Belakangan ini ujan terus tapi baru kemaren lo keliatan lari-larian di bawah ujan…”

“Hmmm….”

“Heh….elo ditanyain jawabnya ham hem ham hem mulu.”
Alvin manyun pada Fay yang sama sekali tak meliriknya.

“Lo ngga liat gue lagi sibuk ngelap ingus? Nyiksa banget nih. Elo sebagai sahabat gue dari kecil harusnya lo ngerti dong. Gue butuh pengertian Vin. Kalau lo terus-terusan maksa gue, gue ngga bisa. Gue capek dengan semua ini Vin….” Fay bicara dengan nada mendayu-dayu dan mimik memelas. Ia mengatupkan telapak tangan kanannya di jidat sementara tangan kirinya memegang tisu yang ia tutupkan ke hidung.

“Lebay…lebay ah….” Alvin menoyor pipi Fay lumayan keras.

“Hahaha….”
Fay makin cekikikan liat muka Alvin yang sebel sebel gemes ke dia.

“Eh, Fay…lo udah gapapa kan karena masalah kemaren? Mmmm….sory gue ga bisa bantu apa-apa. Gue telat sih datengnya. gue ngga nyangka Cakka bakal tega nampar lo cuma gara-gara lo ngalangin jalannya dia.”

“Hmmm….”

“Lo boleh tomboy, tapi kalau ada apa-apa lo tetep musti crita ke gue. Bagi tu beban lo sama gue. Jangan sok kuat. Jangan-jangan lo sok tegar tapi ternyata lo nyampe rumah nangis. Hahaha….”
 Alvin bicara dengan nada meledek pada Fay.

“Yeee…..cewek kaya’ gue ngga gampang nangis tau…”
Fay melakukan pembelaan.

“Iya iya….tapi bukan berarti cewek tomboy ngga boleh nangis. Lo kan cewek. Yang namanya cewek tu perasaannya peka. Dan lo pasti butuh sandaran kalau lagi ada masalah. Dan gue siap jadi tempat curhat lo. Kita kan sahabat.”

“Apaan sih lo Vin….menye-menye banget lo. Kayak ngga tau gue aja. Gue ini mau lahir cowok kagak jadi. Lo tau bener kan sifat gue dari kecil kayak gimana? Pantang gue menye-menye kaya gitu.”

“lo tu ka….”

“Vin masuk yuk….dingin nih berasanya disini. Gue kan lagi flu. Ngga boleh kena udara luar sembarangan.”
Fay langsung beranjak dari duduknya dan melangkah menuju kelas.

“Woe Fay….gue ngajak lo ngomong. Kok malah ngeloyor sih?”
Alvin menyusul Fay yang sudah berjalan duluan.

>>>>>>>>>>

 Rabu, 23 Juni pukul 16.15

“Mantab Fay.”
Mulut Alvin penuh dengan kue lapis buatan mama Fay yang masih hangat.

“Mau gue bungkusin buat lo bawa pulang?”
Fay juga asik mengunyah gorengan dan cabai yang terasa nikmat dimakan saat suasana mendung begini.

 Sore ini Alvin dan Fay mengabiskan waktu dengan nongkrong santai di teras rumah Fay setelah mereka berdua mengerjakan PR Kimia bersama. Setiap kali ada PR Kimia Fay selalu minta tolong pada Alvin untuk mengajarinya karena memang pelajaran itulah yang paling memusingkan buat Fay dan paling menyenangkan untuk Alvin.

Tik….
Tik…
Tik….

“yah ujan….” Alvin menghentikan kegiatan mengunyahnya dan berdiri menuju tepian teras. Ia menengadahkan tangannya ke atas dan benar saja, Setetes demi setetes air jatuh membasahi telapak tangan Alvin.

Diawali dengan titik-titik air, gerimis, dan akhirnya hujan turun lumayan deras.

“wah…..kesenengan lo nih Fay…..”
Alvin kembali duduk di samping Fay yang masih asik mengunyah Bakwan.

“Lo ngga beraksi?” Alvin memandang Fay yang tak beranjak sedikitpun dari duduknya.

“Hah?” Fay menoleh pada Alvin sambil menggigit cabai untuk menambah nikmat bakwan hangatnya.

“Lo ngga maen ujan kayak biasanya?”
Alvin mengulangi kembali pertanyaannya.

“Ngga ah…”

Alvin mengernyitkan dahi karena heran tumben Fay tak tertarik main hujan-hujanan.

“Kenapa? Bukannya lo suka banget sama hujan?”

“hmmm…..”
Fay hanya menyahut dengan gumaman pelan. Matanya menatap titik-titik air yang menetes dari ujung-ujung lekukan atap rumahnya.

Alvin yang melihat Fay benar-benar tidak berhasrat untuk hujan-hujanan akhirnya kembali mencomot kue lapis yang tinggal 4 potong di piring. Mereka kembali tenggelam dalam diam diiringi suara tumbukan air hujan dengan atap yang menambah syahdunya sore itu.

>>>>>>>>>>

Rabu,30 Juni pukul 09.00

“Buset dah….Alvin ngilang kemana sih? Giliran gue lagi butuh banget aja dia ngilang. Lo dimana sih Vin?”
Fay menggumam sendiri di sepanjang jalannya menyusuri lorong sekolah mencari-cari sosok Alvin yang tak juga ditemukannya.

Sudah hampir 10 menit Fay jalan kesana kemari celingak celinguk nyariin Alvin yang tadi pamitnya mau ke toilet bentar tapi ga balik-balik juga sampai sekarang.

Fay berjalan di sepanjang deretan kelas VIII dan celingak-celinguk kalau-kalau Alvin nyasar ke ruangan kakak kelas. Segalanya mungkin saja terjadi kan?

Tapi langkah Fay terhenti saat matanya tertumpu pada sosok yang sedang berdiri mengendap-ngendap di depan pintu ruang kesenian.

Sosok itu sembunyi di balik pintu dan mengintip ke dalam melalui kaca persegi kecil di tengah-tengah pintu.

“Alvin?”
Fay berjalan menghampiri Alvin yang entah sedang apa di depan ruang musik.

“Vin lo ngapain?”
Bukannya menoleh, Alvin malah mengacungkan telapak tangan kirinya pada Fay yang sudah berdiri di belakangnya sementara dia sendiri masih tetap fokus mengamati sesuatu melalui kaca kecil itu.

“Lo liat apaan sih Vin?”
Fay menepuk pundak Alvin yang tak juga berpaling padanya.

Tapi Alvin justru melambaikan tangan kirinya mengisyaratkan agar Fay ikut mengintip.

Fay pun mendekat dan ikut-ikutan melongok melalui kaca kecil di pintu.

Fay mencoba menemukan apa yang sedang dipandangi Alvin. Matanya mengitari seisi ruangan yang kosong tak ada seorangpun, kecuali…..

“Ify?”

“sssstttt….” Alvin mendekatkan telunjuk kiri ke mulutnya menyuruh Fay diam.

“Lo liat? Gila…..keren banget ngga sih main pianonya? Asli tuh anak…udah cantik, baik, pinter maen piano pula. “ Alvin masih fokus memandangi Ify sampai tiba-tiba sebuah jitakan mendarat di kepalanya.

“Wooooo….dasar lo tu ya….Kalo Ify aja lo puji-puji. Giliran gue aja lo omel-omelin.” Fay manyun di samping Alvin yang sama sekali tak menggubrisnya.

“Beda Fay….Ify tuh cewek banget….tipe gue banget dah….”
Alvin bicara masih dengan tatapan fokus pada Ify.

Ctakkk!!!!
Satu jitakan mendarat lagi di kepala Alvin. Kali ini cukup keras dan sukses membuat Alvin akhirnya menoleh pada Fay.

“Aduh….sakit Fay…” alvin melotot pada Fay yang masih manyun.

“dasar ngga gentle lo. Kalau lo suka terus ngapain lo ngendap-ngendap kayak kucing mau nyolong ikan gini? Masuk aja kali. Terus lo tepuk tangan. Lo puji deh tu permainan pianonya. Dia bakal klepek-klepek sama pujian lo, terus….”

“Terus gue tembak dia. Jadian deh gue sama Ify….”

Pletakkkk!!!!
Jitakan ketiga kembali mendarat di kepala Alvin.

“Dasar lo tu ya. Ga mutu… Omong doang… Talk less do more Bro…”
Fay berkacak pinggang di depan Alvin yang masih mengusap-usap kepalanya bekas dijitak Fay.

“Eh….“
Fay berekspresi seolah teringat sesuatu.
“gue tu butuh lo Vin. Gue nyariin lo kemana-mana taunya lo nangkring disini. Gue butuh bantuan lo nih. PR Fisika gue kurang 2 nomer. Bantuiiiinnnn…..”
Fay menarik tangan Alvin menjauh dari ruang kesenian.

“Eh eh eh…gue masih pengen liat Ify maen…”
Alvin mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Fay.

“Halah…..ntar klo PR gue udah selesai lo balik lagi aja kesini. Cepetan ayo….”
Fay menarik Alvin dengan lebih kuat dan akhirnya membuat Alvin terpaksa menurut dan meninggalkan Ify yang masih menekan tuts-tuts pianonya dengan anggun.

>>>>>>>>>>

Pukul 17.00

Hujan baru saja turun beberapa menit yang lalu. Bau tanah yang terguyur air masih menyisakan kesejukan di hati warga komplek Joglo sore itu.

Alvin duduk menghadap jendela yang langsung mengarah ke jalanan. Ia memangku gitarnya dan sesekali mencoba memetik senar-senar sesuai kunci yang tertulis di kertas yang baru saja ia Print. Dari komputer.

Alvin berkali-kali mengulang petikan gitarnya karena merasa bunyi yang dihasilkan kurang pas. Wajahnya penuh konsentrasi berusaha memperoleh nada yang pas untuk memainkan lagu Favorite Girl nya Justin Bieber.

Pandangannya yang terfokus pada senar gitar tiba-tiba saja teralih karena ia menangkap sosok Fay yang sedang berjalan keluar dari pintu rumahnya.

Fay berhenti sejenak di depan pintu. Sesaat kemudian ia melangkah menuju halaman depan dan keluar di tengah hujan yang cukup deras.

Fay berdiri di tengah-tengah halaman rumahnya dengan wajah menengadah ke atas dan mata terpejam menantang hujan.

Alvin mengamati Fay dengan dahi berkerut. Ia masih belum mengerti kenapa sahabatnya itu sangat menyukai hujan.

Wajah Fay sudah tak lagi menengadah ke atas. Sekarang pandangan matanya lurus menatap jalanan depan rumahnya.

“Fay!!!!!”
Alvin meletakkan gitarnya dan mendekat ke arah jendela lalu memanggil Fay.
Fay tampak kaget dengan teriakan Alvin.

Fay sontak menoleh. Setelah berusaha menajamkan penglihatannya yang agak buram karena air hujan, akhirnya dia bisa menangkap sosok Alvin yang berdiri di balik jendela sambil memandangnya. Fay melempar senyum pada Alvin.

“Hay!!!!”
Fay melambaikan tangannya pada Alvin. Alvin balas melambaikan tangan.

“Awas sakit lagi!!!!” Alvin kembali berteriak.

Fay hanya membalasnya dengan senyuman. Fay melambaikan tangan pada Alvin dan dia kembali menengadahkan wajahnya ke atas sambil merentangkan tangan dengan mata terpejam. Beberapa detik Fay tetap bertahan dalam posisinya dan sesaat kemudian dia mulai berdiri mematung menatap jalanan di depannya. Sejenak kemudian ia mulai berlari kesana-kemari sambil tersenyum-senyum sendiri. Terkadang mulutnya komat-kamit seolah melantunkan sesuatu.

Alvin tersenyum dari balik jendela mengamati tingkah sahabatnya itu.

 >>>>>>>>>>

Selasa, 10 Agustus pukul 13.45

Fay dan Alvin menyusuri jalanan dari sekolah menuju rumah mereka. Hari ini susah sekali mendapatkan angkot untuk pulang karena para supir angkot berdemo kenaikan harga BBM. Saat-saat seperti ini memang paling menyebalkan bagi pelajar seperti mereka. Mereka harus berjalan dulu ke terminal baru bisa menemukan kendaraan untuk pulang. Itupun mereka harus naik bis yang tarifnya sedikit lebih mahal daripada angkot.

“Ah elah….pake demo segala nih angkot. Bikin ribet aja sih….”
Alvin berjalan dengan muka ditekuk tujuh sambil menendang-nendang botol plastik yang ditemuinya di jalan.

“Tau nih…..”
Fay ikut-ikutan mengeluh sambil mengusap keringat yang tetap saja mengucur walaupun hari tidak sedang panas. Tentu saja Fay berkeringat. Mereka berjalan hampir 1 kilometer. Langit memang sedang mendung tapi energi yang digunakan untuk berjalan lumayan membuat mereka ngos-ngosan.

“Aduh……”

“Kenapa Vin?” Fay sontak menoleh pada Alvin yang sedang menengadahkan tangannya ke atas.

“Mau ujan Fay….”

“Waduh….ayo cepetan ntar keburu deres.”
Fay berlari kecil diikuti dengan Alvin.

“Biasanya lo girang banget klo ada ujan?”

Fay terus berlari tanpa mempedulikan pertanyaan Alvin. Dan benar saja, baru beberapa meter mereka berlari, hujan turun dengan derasnya.

“Waaaaaaa!!!! Neduh dulu disana ya Vin….” Fay terus berlari sambil menunjuk sebuah toko tutup yang di depannya cukup nyaman untuk berteduh.

“Ho’oh…”
Alvin mengikuti Fay dari belakang.

Akhirnya mereka sampai di depan toko yang mereka tuju. Fay langsung melepas tasnya dan mengibas-ngibaskan sedikit roknya yang basah.

“Tumben lo ada ujan lari? Biasanya malah mainan….”

“Basah nih baju gue….capek tau ngga nyucinya. Lagi males nyuci gue.”

“Yah…” Alvin ikut meletakkan tas. Ia melepas baju atasannya karena memang dia selalu pakai rangkapan kaos kalau ke sekolah.

“Eh Vin, ada angkot !!!! Buseet…..satu-satunya nih Vin!!!!”
Fay berteriak heboh sambil menunjuk angkot kuning yang mendekat beberapa meter di depan mereka.

Fay melambai-lambaikan tangannya dengan gaya tomboinya pada supir angkot yang semakin mendekat.

Tapi na’as angkot yang mereka stop malah bablas tanpa berhenti sdikitpun untuk mereka.

“Woiiiiii…..angkot woiiii!!!! Woiii!!!! Ah..rese lo!!!! Woeee!!!! Ah…gue hajar juga lo!!!!”
Fay mengacung-acungkan kepalan tangannya pada supir angkot yang mungkin sama sekali tak mendengar umpatan Fay sedikitpun.

“Udahlah Fay. Udah jauh juga.”

“Lo gimana sih Vin? Itu angkot satu-satunya. Lo malah santai-santai aja.”
Fay masih melongok-longok ke arah angkot itu pergi.

“Ya elonya juga. Kalau mau nyetop angkot tu agak majuan dikit sono di pinggir jalan. Disini mana keliatan. “

“Males ah gue ujan deres gini.” Fay kembali memeras-meras roknya yang basah. “Ah…dasar elo Vin. Mending gue ada usaha daripada elo…”

“lagian tumben-tumbenan banget sih lo males kena air hujan?”

“Terus kita pulang gimana dong? Terminalnya masih jauh. Gue ngga bawa payung.”

“Yaudah kita tunggu aja nyampe reda kalau lo ngga mau nekat.”
Alvin mengibas-ngibaskan seragam sekolahnya yang lumayan basah.

“Ah…..rese emang tuh angkot.”
Akhirnya Fay duduk bersandar pada pintu toko itu. Merekapun akhirnya menunggu sampai hujan reda.

>>>>>>>>>>

Sabtu, 21 Augustus pukul 16.00

Alvin : “Fay….gue ke rumah lo ya sekarang….”
Fay   : “ngapain?”
Alvin : “ada deh. Ntar gue ceritain…ya ya ya….”
Fay : “oke gue tunggu…”
Alvin : “Oke…dah Fay…”

Tut…tut…tut….
Telepon ditutup dari seberang. Fay mengerutkan kening karena bingung dengan Alvin yang tak biasa-biasanya girang banget.

Fay berjalan menuju teras rumahnya dan duduk menunggu Alvin. Langit tampak mendung. Sepertinya akan turun hujan.

Tapi hampir 10 menit Alvin tak juga datang.

“Tuh anak berangkat dari mana sih? Orang rumah cuma di depan ini.”
Fay melongok menatap rumah Alvin di kejauhan. Tak tampak Alvin keluar dari pintu rumahnya.

“Fay!!!”
Fay sontak menengok ke sumber suara. Tampak Alvin dengan motornya memasuki halaman rumah Fay.

“Lo dari mana Vin rapi amat? Gue pikir lo dari rumah.”

Alvin tak menjawab. Dia memarkir motornya sembarangan di halaman rumah Fay dan bergegas menghampiri Fay. Wajahnya tampak berseri sekali. Senyumnya tak lepas dari bibirnya. Baru saja dia sampai di hadapan Fay tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.

“Yah ujan….”
Alvin balik badan dan kembali ke motornya. Ia memindahkan motor kesayangannya ke garasi rumah Fay lalu kembali ke hadapan Fay masih dengan senyum terkembang.

“Lo kenapa Vin? Kayak dapet duit sekarung.”

Alvin masih tetap melempar senyum pada sahabatnya yang menatapnya dengan heran.

“Coba tebak….”
Alvin semakin membuat Fay penasaran dengan wajah jahilnya.

“Apa sih Vin? Cepetan deh…. Gua tonjok juga lo bikin gue penasaran.”

“Hahaha…..”
Alvin malah tertawa mendengar gertakan Fay. Wajah Alvin benar2 tampak merekah hari ini. Jarang-jarang Fay melihat Alvin seheboh ini.

“ehm…ehmmm….”
Alvin sok ngambil nada dasar seperti pejabat yang akan pidato.
kemudian dia diam dengan wajah serius dan perlahan mulai bicara…

“gue……“

“gue…..“

“gue……”

Pletakkkk!!!!
Belum sempat Alvin ngomong, Fay sudah menjitaknya dengan lumayan keras.

“gua gue gua gue….apa sih?”

Alvin menggosok-gosok kepalanya yang lumayan puyeng dijitak sama Fay.

“Gue jadian sama Ify!!!!!!!!”
Alvin melonjak-lonjak kegirangan di depan Fay sambil mengacung-acungkan kepalan tangannya ke udara tanda kemenangan yang sudah lama dia nanti-nantikan.

Fay menatap Alvin yang masih terus menari-nari kegirangan di depannya.

“Tau ngga sih Fay…gue tadi ke toko buku dan gue ketemu Ify. emang jodoh tuh kita. Kita berdua ngobrol, ngobrol dan ngobrol dan entah gue kerasukan setan apa tiba-tiba gue nembak dia. Dan lo tau Fay…..dia langsung nerima gue…..gila Fay….gila…..”

Alvin berputar-putar dengan girangnya di depan Fay yang masih menatapnya.

“Gue seneng Fay….gue seneng….”
Alvin menggenggam tangan Fay dan mengajaknya menari-nari tapi Fay hanya diam memperhatikan Alvin yang sepertinya benar-benar tidak bisa mengendalikan luapan kebahagiaannya. Alvin berlari kesana kemari di teras rumah Fay. Mata Fay mengekor kemanapun Alvin melangkah.

Tiba-tiba Fay berjalan ke arah halaman.

“Kemana Fay?”
Alvin yang melihat Fay sontak menghentikan loncatannya dan menatap Fay dengan dahi berkerut.

Fay terus berjalan keluar teras. Fay menuju halaman menantang hujan. Sekarang Fay berdiri di tengah-tengah halaman dengan guyuran hujan yang cukup deras sambil menghadap ke arah Alvin yang masih memandangnya dari teras.

Fay tersenyum.

“Selamat ya Viiiiinn!!!!!” Fay berteriak pada Alvin dari halaman mengalahkan suara hujan.

“Sini!!!!! Kita rayain disini!!!”
Fay melambaikan tangannya pada Alvin yang masih berdiri terpaku di teras.

Alvin yang sedari tadi bengong akhirnya tersenyum.

“Gue disini aja Fay…gue ngga suka ujan….gue nari dari sini aja ya!!!!”

Fay tersenyum pada Alvin. Perlahan Fay mulai menengadahkan wajahnya dan merentangkan tangan. Lalu dia mulai berputar-putar dan berlari mengelilingi halamannya.

Alvin yang melihat tingkah Fay pun akhirnya kembali meloncat-loncat kegirangan dan kembali menari-nari di teras rumah Fay. Walaupun mereka berjauhan tapi mereka seolah menari bersama.

Fay mengikuti gerakan Alvin yang melompat-lompat sambil berputar-putar.

Mata Fay menatap senyum sahabatnya yang terkembang.

Alvin terus menari. Namun, perlahan Fay berhenti berlari. Ia menari di tempat dan perlahan gerakannya semakin pelan. Fay menghentikan gerakan kakinya. Dia hanya menggerak-gerakkan tangannya sampai akhirnya dia berhenti menari. Dia hanya tersenyum menatap Alvin yang masih menari-nari. Fay terpaku dengan matanya terus menatap senyum sahabatnya. Ia menatap wajah bahagia sahabatnya. Fay tersenyum menatap Alvin.

Hujan…..

Aku suka hujan….

Karena….

Hanya dibawah hujan lah….

Air mataku takkan tampak…..







By: Fay

Aku hanya bisa menangis dibawah hujan.
Aku hanya akan menari bersama hujan jika aku ingin menangis.
Karena hanya di bawah hujanlah air mataku takkan tampak….
Dengan begitu aku tak perlu menunjukkan diriku yang lemah
Hujan akan membawa air mataku bersama alirannya.
Tapi sayang…
Ia tak bisa membawa masalahku juga….

Aku akan menari bersama hujan jika hatiku merasa tersakiti
Aku akan menari bersama hujan jika aku merasa gundah dan sedih
Aku akan menari bersama hujan….Jika kau menyebut namanya.
Andai hujan mampu membawa perasaan cintaku ikut pergi bersama alirannya….


Minggu 13 Juni

Aku benci hari ini. Sakit hati aku, Di. Kok Cakka tega banget sih nampar aku. Aku ngga nyangka Cuma gara-gara satu kalimatku itu Cakka bakal marah besar sama aku. Coba tadi Alvin dateng lebih cepet, pasti dia bakal ngebelain aku. Ngga kaya anak-anak laen yang malah ngejadiin aku tontonan gratis.
Asli sakit banget ati aku, Di. Tapi gapapa lah. Aku udah puas nangis hari ini. Ya seperti biasa, rain is the best way to cry.


Rabu, 30 Juni

Aku ga tau mesti bersikap gimana di depan Alvin. Aku terlalu takut untuk mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Aku hanya pengen liat dia senyum. Liat dia bahagia.
Kapan ya kira-kira aku bisa jujur sama Alvin. Ga Cuma sok senyum bahagia waktu dia muji Ify di depanku.ngga tahan banget aku, Di, pengen nangis.Tapi bodoh ya aku. Malah cengengesan di depan Alvin. Munafik emang aku ini.
Andaikan dia bisa ngliat air mataku sore tadi. Ahh…bahkan saat menangispun aku akan tetap tersenyum jika dia melihatku.
Apa dia ngga ngrasain apapun saat liat aku ujan-ujanan tadi. Apa dia ngga ngrasain tatapan sakit hatiku ke dia.
Vin…Vin….kayaknya emang sampai kapanpun kamu ngga akan tau alasan kenapa aku suka hujan. Kalau kamu tau, mungkin semuanya ngga akan sesulit ini.

2 komentar:

  1. hey lagi ka :)
    aku juga ijin copst yang ini ya.
    aku copast di blog aku www.tulisangadiskecil.blogspot.com
    makasihh :))

    BalasHapus
  2. kaka :D
    aku ijin compas yyaaakkkk
    aku ngompas ke blog aku www.ysyafrina.blogspot.com,,,
    makasih ;;)oohh satu lagi aku ijin juga compas yang lain hehehehehhh :>

    BalasHapus